Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 23 Mei 2011

Partai Besar Ingin Terkam Partai Gurem



Jeirry Sumampouw (*imc/file)
Jeirry Sumampouw (*imc/file)
Gagasan menaikkan ketentuan batas minimal yang harus dipenuhi partai politik untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di DPR (parliamentary threshold) dari 2,5 menjadi lima persen dinilai sebagai trik partai besar untuk menerkam partai kecil.
Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampouw, mengatakan idealnyaparliamentary threshold tetap pada angka 2,5 persen. “Saya kira belum saatnya kita menaikkan PT. Ini kan hanya karena dilandasi sikap egoisme dan arogansi partai-partai besar,” katanya  di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, dalam konteks politik transisional seperti sekarang, hal itu justru bisa berbahaya karena dapat memunculkan kartel politik yang mengarah kepada sistem pemerintahan otoriter. “Kita masih trauma dengan masa Orde Baru, dimana partai hanya tiga yang dengan mudah dikooptasi oleh pemerintah,” katanya.
Jeirry Sumampouw kemudian menuturkan beberapa implikasi negatif kalau PT naik menjadi lima persen. “Pertama, yang akan mengalami kerugian adalah rakyat. Sistem pemilu kita kan masih berubah-ubah terus dan ini akan secara langsung membuat rakyat dibuat bingung terus dan tidak mengerti, sehingga suaranya bisa jadi tidak bermakna,” katanya.
Hal kedua, menurut dia, situasi pada butir pertama tersebut berpotensi menjadikan suara tak bermakna jauh lebih besar dibanding pemilu lalu. “Kemudian hal ketiga, menaikkan PT akan menghalang-halangi partai-partai baru masuk parlemen,” ujarnya.
Jeirry Sumampouw mengusulkan angka cukup ideal, yakni 2,5 persen, karena angka itu membuka kemungkinan partai baru masuk Parlemen dalam setiap Pemilu. (*an/ham)

MS Kaban Galang Kekuatan Partai Gurem



MS Kaban mencium adanya upaya mematikan parpol kecil dengan rencana DPR menaikkan angka parliementary threshold menjadi 5%. Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu berencana menggalang kekuatan agar rencana tersebut tak terwujud.

Menurut Kaban, bila DPR tetap menaikkan angka parliementary threshold, jalan satu-satunya adalah dengan melakukan judicial review terhadap UU Pemilu itu.
“Kami akan ajukan judicial review bila DPR tetap berlakukan dan menaikan parliementary threshold karena itu benteng terakhir,” ujar Kaban di Jakarta, Kamis (5/8/2010).
Mantan Menhut itu mengaku sudah membuat kesepakatan dengan Ketua Umum partai Hanura Wiranto dan beberapa partai lainnya untuk mengantisipasi kenaikan parliementary threshold itu.
“Kami terus lakukan pendekatan politik dengan partai lain dan sudah ada pendekatan dan kesepakatan dengan Hanura. Sebab pak Wiranto melihat ada gelagat yang tidak baik dalam rangka mematikan dan membungkam partai-partai kecil. Kalau dinaikkan, bisa-bisa Hanura, Gerindra, PPP tidak lolos,” kata Kaban.
Selain menggalang kekuatan dengan partai Hanura, PBB juga melakukan pendekatan dengan partai lain seperti PKNU, dan PMB.
“Kalau kita tidak lolos, maka akan bergabung dengan partai yang lolos PT. Atau bergabung dengan partai tak lolos PT sehingga bisa duduk di parlemen. Intinya, suara rakyat tidak terbuang begitu saja,” tegasnya. (*an/ana)

Gurem Melawan Verifikasi Ulang



MS Kaban (ant)
MS Kaban (ant)
Kebijakan verifikasi ulang bagi partai-partai politik nonparlemen dianggap tak lebih sebagai siasat politik parpol yang memiliki kursi di DPR untuk menjegal keikutsertaan parpol gurem dalam Pemilu 2014. Sejumlah parpol kecil pun kini bersiap-siap mengajukan judicial review UU Parpol ke MK.
Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) MS Kaban beranggapan, kewajiban verifikasi ulang bagi partai-partai politik sebagai syarat untuk mengikuti Pemilu 2014 sebagai aturan yang mengada-ada.
“Verifikasi ulang itu jelas mengada-ada dan sebenarnya tidak perlu karena semua parpol peserta Pemilu 2009 telah melakukan verifikasi,” katanya di Surabaya, Minggu 2 Januari 2011.
Dimasukkannya aturan mengenai verifikasi ulang dalam Undang-Undang Parpol yang disahkan pada 16 Desember 2010 itu, menurut dia, benar-benar sebagai trik parpol yang memiliki kursi di parlemen untuk menjegal keikutsertaan parpol gurem.
“Terus terang verifikasi ulang dan persyaratan lain yang diatur dalam UU Parpol itu sangat membebani parpol nonparlemen,” sebut Kaban .
Karenanta, PBB dan sejumlah parpol nonparlemen akan mengajukan permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pengajuan judicial review ini sebagai upaya kami untuk mendapatkan keadilan dari MK,” kata mantan Menteri Kehutanan itu.
Meskipun dirasa memberatkan, pihaknya tetap akan mengikuti aturan tersebut karena PBB tetap bertekad untuk meraih kesuksesannya kembali pada Pemilu 2014.
Namun demikian, judicial review juga akan tetap diteruskan ke MK. (ant/ham)

PBB Usulkan Pemilu Digelar Parpol



MS Kaban (*mn/file)
MS Kaban (*mn/file)
Partai Bulan Bintang (PBB) mewacanakan Pemilu 2014 digelar partai politik (parpol), sementara pemerintah hanya bertugas sebagai fasilitator sekaligus penyedia sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk kelangsungan pemilu.
Wacana itu diungkapkan Ketua Umum DPP PBB, MS Kaban, kepada wartawan usai membuka Muktamar III PBB di Medan, Jumat malam.
Menurut dia, Pemilu pertama tahun 1955 tercatat sebagai pemilu terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Ketika itu pemilu dilaksanakan sendiri oleh parpol peserta pemilu, sementara pemerintah hanya bertugas mengawasi.
“Pemilu 1955 yang terbaik, sementara Pemilu 2009 yang terburuk dan sangat jauh dari kejujuran. Kini sudah saatnya pelaksanaan pemilu kembali diserahkan kepada yang punya hajat, yakni parpol. Sementara pemerintah hanya sebagai fasilitator. Ini demi membangun pemilu yang benar-benar demokratis dan beradab di negeri ini,” ujarnya.
Kaban mengatakan, UU Pemilu mendatang harus bisa mewujudkan harapan itu. “Serahkan pelaksanaan pemilu kepada parpol seperti tahun 1955. Kita tentu tidak ingin lagi pemilu seperti tahun 2009,” ujarnya.
Lebih jauh ia mengatakan, pengawasan terhadap pemilu akan jauh lebih kuat jika dilaksanakan parpol.
Komposisi pelaksana pemilu itu sendiri didasarkan raihan suara pada pemilu sebelumnya. “Karena pemenang pemilu lalu adalah Demokrat, maka ketuanya dari Demokrat. Para wakilnya dari parpol pemenang berikutnya dan seluruh parpol peserta pemilu juga harus dilibatkan,” jelasnya. (*an/ham)

PBB Tutup Pintu Konfederasi



Kaban
MS Kaban
Wacana Partai Bulan Bintang (PBB) meleburkan diri dalam konfederasi partai-partai Islam berakhir sudah. Partai pimpinan MS Kaban itu memastikan akan maju dengan bendera sendiri pada Pemilu 2014.
“PBB akan maju sendiri sebagai peserta Pemilu 2014. Kami bersama jajaran mulai turun ke bawah guna mengingatkan kader PBB untuk bekerja keras mencari dan meraih dukungan rakyat sebagai persiapan menghadapi Pemilu 2014,” kata MS Kaban di Sumenep, Madura, Kamis 24 Februari 2014.
PBB sempat diwacanakan akan bergabung dalam konfederasi partai-partai Islam yang gagal lolos ambang batas parlemen pada Pemilu lalu. Di antaranya, sempat beredar kabar partai-partai itu akan bergabung dengan PPP.
Perubahan sikap PBB ini, menurut Kaban, karena aspirasi kader di daerah yang dikaitkan dengan perolehan suara PBB secara nasional pada pemilu lalu.
Meski gagal mendapatkan kursi di DPR, perolehan suara PBB pada Pemilu lalu digambarkan tidak terlalu buruk. Dengan kerja keras para kadernya di berbagai daerah, Kaban pun optimis  akan terjadi perubahan perolehan suara yang signifikan pada pemilu mendatang.
Karena itu, ia meminta para kader PBB di seluruh Indonesia untuk melupakan hasil Pemilu 2009.
“Perolehan suara PBB secara nasional pada Pemilu 2009 memang tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold dan itu membuat tidak ada kader PBB yang masuk sebagai anggota DPR. Lupakan itu. Mari bekerja keras untuk Pemilu 2014,” katanya.
Saat ini, kata dia, pihaknya bersama jajaran tengah melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk membawa PBB sebagai peserta Pemilu 2014. (ant/ham)

Partai Bukan Majelis Taklim



MS Kaban (pemiluindonesia.com/file)
Tindak ingin terpuruk lagi di 2014, pengurus dan kader Partai PBB diingatkan akan posisi dan fungsi partai. Mereka juga diingatkan agar tidak menjadikan partai politik seperti majelis taklim.
“Parpol bukan majelis taklim. Manajemen parpol jauh berbeda dengan manajemen majelis taklim,” katanya ketika membuka Musyawarah Kerja Wilayah (Mukerwil) Partai Bulan Bintang (PBB) Sumatera Utara di Medan, Sabtu 16 Januari 2011.
Manajemen parpol, menurut Kaban, adalah manajemen yang berbicara soal kekuasaan yang pada akhirnya bermuara kepada upaya-upaya merebut kekuasaan itu sendiri.
PBB, katanya, juga bukan organisasi kemasyarakatan (ormas), karena “fiqih” ormas sama sekali berbeda jauh dengan “fiqih” parpol.
“Karenanya, `fiqih` dan manajemen yang dianut PBB adalah `fiqih` dan manajemen parpol, bukan `fiqih` atau manajemen majelis taklim. Sebagai parpol, orientasi PBB adalah kekuasaan dan PBB juga berbicara soal kekuasaan itu,” katanya.
Meski mampu menempati posisi ke-10 sebagai peraih suara terbanyak pada Pemilihan Umum Legislatif 2009, namun PBB gagal lolos dari ketentuan ambang batas suara parlemen atau “parliamentary threshold” (PT).
“Ini yang perlu kita sadari. Kita harus benar-benar sadari posisi kita, bahwa kita gagal lolos PT pada pemilu lalu meski berada pada posisi 10 besar peraih suara terbanyak. Kini saatnya kita untuk bangkit dengan benar-benar menerapkan manajemen parpol,” tegasnya.
Pada bagian lain, MS Kaban juga mengingatkan kepada para pengurus dan kader partainya bahwa PBB berpolitik di Indonesia yang memiliki dasar hukum UUD 1945.
“Kita berpolitik di Indonesia yang dasar hukumnya UUD 1945, bukan di Yaman atau pun Saudi Arabia. Itu juga harus kita sadari, dimana sepanjang sejarah bangsa, kekuatan Islam memang tidak pernah dominan di parlemen,” katanya.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa Islam tetap menjadi dasar PBB dalam berpolitik.
“Islam yang tunduk pada hukum-hukum Allah SWT akan tetap menjadi sumber motivasi, sumber inspirasi dan sumber aspirasi bagi PBB dalam ikut serta membangun bangsa ini, dan itu akan terus kita perjuangkan meski butuh waktu panjang,” katanya.
Partai Bulan Bintang menargetkan raihan 6,7 juta suara pada Pemilihan Umum Legislatif 2014. “Kita targetkan 6,7 juta suara pada Pemilu 2014 dan semua itu tergantung kita semua,” katanya.
Target 6,7 juta suara itu, menurut mantan Menteri Kehutanan itu, harus dapat diraih guna menghindari aturan ambang batas suara parlemen atau “parliamentary threshold” (PT) yang sepertinya masih akan diberlakukan pada pemilu mendatang.
Menurut Kaban, PBB pernah meraih dukungan rakyat lebih dari tiga juta suara, meski kemudian pada Pemilu 2009 gagal lolos dari ketentuan PT. Pemilu 2014 dinilai sebagai momentum untuk meraih dukungan yang lebih besar lagi.
“Kita ikut pemilu lagi (2009) tapi belum mencapai apa (raihan suara) yang kita inginkan. Pemilu 2014 merupakan momen bagi kita untuk kembali bangkit,” katanya menegaskan.
Untuk mencapai target raihan 6,7 juta suara itu, Kaban meminta seluruh jajaran pengurus dan kader PBB di semua tingkatan merapatkan barisan dan benar-benar bekerja keras.(ant/hms)

Partai Islam Akan Bangkit Lagi



Romahurmuziy (*ant/file)
Romahurmuziy (*ant/file)
Partai politik berideologi dan berbasis massa Islam diperkirakan dapat bangkit kembali setelah para pemilih yang saat ini beralih ke partai nasionalis mengalami kejenuhan oleh berbagai perilaku politikus partai nasionalis dan partai Islam bisa menyelaraskan keberadaannya dengan kondisi kekinian.
“Mencermati sejarah perjalanan PPP hingga saat ini pernah dua kali mengalami kenaikan perolehan suara yakni pada Pemilu 1997 dan Pemilu 1999 sehingga saya optimistis nantinya bisa naik kembali,” kata Wasekjen Partai Persatuan Pembangunan, Romahurmuziy, pada diskusi “Posisi Partai Islam pada Pemilu 2014″ di Gedung DPR, Jakarta, Selasa.
Menurut dia, pada Pemilu 1997 perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meningkat karena adanya isu koalisi Mega-Bintang yang sangat kuat. Sedangkan pada Pemilu 1999 yakni pada awal reformasi karena banyaknya tokoh-tokoh Islam yang kembali ke PPP.
Meskipun pada Pemilu selanjutnya suara PPP terus merosot, tapi Romy (panggilan akrab Romahurmuziy) optimistis suatu saat suara partai Islam khususnya PPP akan naik lagi.
Menurut dia, penurunan suara PPP dalam beberapa kali Pemilu bukan karena beralih ke partai Islam lainnya tapi ke partai nasionalis.
Dari analisa yang dipelajarinya, penurunan suara partai Islam khususnya PPP karena ada yang tidak sejalan antara keberadaan partai Islam dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. (*an/ham)

PPP Bakal Jadi Partai Kenangan



Burhanuddin Muhtadi (joko luwarso/matanews.com)
Burhanuddin Muhtadi (joko luwarso/matanews.com)
Pamor PPP sebagai parpol besar berbasis Islam  bakal tinggal kenangan jika tidak segera berbenah diri dan menjauhkan diri dari pragmatisme. Kemungkinan ke arah itu sangat menganga karena dalam beberapa pemilu terakhir PPP benar-benar gagal menjadikan diri sebagai rumah besar umat Islam.
Direktur Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, sumber persoalan kegagalan PPP karena tak mampu mempertahankan pemilih utamanya. Namun, di sisi lain PPP gagal menarik pemilih baru.
Muhtadi menjelaskan bahwa ceruk lama pemilih PPP adalah orang tua, usia 40 tahun ke atas, tinggal di desa, dan kelas menengah ke bawah.
“Pertanyaannya bagaimana mengembalikan pemilih lama dan menggaet pemilih baru agar PPP tidak jadi partai kenangan,” kata Muhtadi dalam seminar ‘Meneguhkan Kembali Kesungguhan Berpartai’ di Jakarta, Selasa 15 Maret 2011.
Muhtadi menyarankan PPP harusnya juga mulai mengambil pemilih nasionalis, termasuk dalam hal ekonomi. “PPP perlu jubir-jubir ekonomi, bagaimana menelurkan tokoh-tokoh ekonomi,” ungkap Muhtadi.
Misalnya bagaimana mengatasi kemiskinan, kesenjangan, BBM, rawan pangan.
Menurutnya, ada tiga hal yang menyebabkan terus menurunnya perolehan suara parpol Islam. Pertama, katanya, parpol Islam mengalama krisis ketokohan umat pasca-Gus Dur dan Amien. Kedua, ada tren kanibalisme antarparpol Islam. Dan ketiga, parpol nasionalis lama-lama enggan disebut parpol nasional dan mulai masuk ke tengah.
“Sementara parpol Islam tetap berada di sisi kanan, parpol nasionalis lama-lama ke tengah,” kata Muhtadi.
Muhtadi membeberkan data-data perolehan suara partai-partai Islam pada Pemilu 1999, 2004 dan 2009 yang mengalami penurunan jika dibandingkan dengan Pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada Pemilu 1955 sebesar 43,7 persen dan partai nasionalis 51,7 persen.
Pemilu 1999, sebutnya, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK dan PKNU) anjlok menjadi 36,8 persen. Pemilu 2004 suara partai Islam naik menjadi 38,1 persen. “Perlu dicatat karena total suara ini masih memasukan PAN dan PKB,” katanya. (ant/ham)

Parpol Islam Saling Memangsa



Hasyim Muzadi (joko luwarso/matanews.com)
Hasyim Muzadi (joko luwarso/matanews.com)
Jebloknya pamor partai-partai politik Islam dalam beberapa pemilu terakhir bukan hanya karena krisis ketokohan umat pasca-Gus Dur dan Amien Rais. Kondisi itu juga muncul karena perilaku kanibalisme atau saling memakan sesama di kalangan parpol Islam.
Perilaku kanibalisme itu membuat parpol Islam kehilangan jati dirinya dan akhirnya ditinggalkan para pemilihnya.  Tidak heran jika dalam tiga pemilu terakhir (1999, 2004, dan 2009) mengalami penurunanperolehan suara yang sangat signifikan.
Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menyebutkan, perilaku kanibalisme itu menjadi salah satu sebab utama partai politik Islam terus terpuruk di Indonesia.
Menurut dia, ada dua penyebab lain yang menyebabkan parpol Islam ditinggalkan pendukungnya. Yaitu krisis tokoh umat dan  parpol nasionalis yang mulai masuk ke tengah karena mulai enggan disebut sebagai parpol nasional.
Mengapa muslim lebih memilih partai nasionalis, ketimbang memilih partai Islam, menurut Burhanuddin Muchtadi, karena pemilih muslim makin rasional.
“Mereka (umat muslim) lebih tertarik dengan isu nonagama, terutama masalah ekonomi ketimbang isu keagamaan,” kata Burhanuddin dalam dalam seminar ‘Meneguhkan Kembali Kesungguhan Berpartai’ di Jakarta, Selasa 15 Maret 2011.
Sebaliknya, tambah Muhtadi, partai Islam dianggap kurang peduli terhadap isu-isu ekonomi dan terlalu sibuk berdebat soal isu-isu simbolis.
Muhtadi mengatakan, partai nasionalis sukses melakukan perubahan paradigma dari posisi partai yang awalnya dicap kurang ramah terhadap agenda politik muslim menjadi lebih reseptif terhadap aspirasi umat.
Sementara mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi melihat, partai Islam mulai ditinggalkan karena dianggap sudah tidak bermanfaat bagi umat Islam.
“Partai seperti tidak mampu mempertahankan Islam sebagai agamanya, malah membentuk disparitas antara agama dan partai,” kata Hasyim dalam acara yang sama.
Menurutnya, PPP yang mengaku partai Islam juga malah sering bertindak secara pragmatis dan mengejar kepentingan sesaat.  Menurutnya, partai Islam seperti PPP harus berani menampilkan etika moral agama dalam politik.  (ant/ham)

Kanibal Gerogoti Parpol Islam



koalisi
Perolehan suara parpol Islam semakin tergerus dimakan parpol nasional yang dianggap lebih memberikan solusi. Jika ingin selamat dari ‘kanibalisasi’, parpol Islam harus mulai terbuka, seperti yang dilakukan PKS.

Peneliti LSI Burhanuddin Muhtadi menyatakan, perolehan suara partai-partai Islam yang merosot dari pemilu ke pemilu tidak begitu mengagetkan. “Banyak institusi yang dari jauh hari sudah meramalkan kekalahan partai-partai Islam,” kata Burhan di Jakarta.
Partai nasionalis bisa menang, ujar Burhan, karena parpol nasionalis pun memiliki wadah untuk  menarik hati pemilih muslim. Misalnya PD menyediakan Majelis SBY Nurussalam, dan PDIP dengan Bamusi-nya.
“Ceruk pasar pemilih muslim lari ke Demokrat dan partai-partai nasionalis lainnya karena dinilai sudah tidak terlalu antipati terhadap agenda umat,” terang Burhan.
Kemampuan pencitraan partai nasionalis, lanjut Burhan, menggambarkan perhatian aspirasi rakyat, bersih dari korupsi, mewakili kepentingan rakyat, program dan kemampuan menyejahterakan rakyat. Sehingga jika parpol Islam ingin mendapatkan hati rakyat, mereka harus bicara soal ekonomi, tak lagi moral.
“Bahwa ada kebutuhan mengenai moral, captive-nya tidak sebesar yang dibayangkan bila dibandingkan dengan isu-isu populis seperti ekonomi,” imbuhnya.
PKB, PAN, dan PKS meski menjual ideologi pluralis, namun masih mengandalkan basis massa muslim,  harus masuk ke isu-isu yang banyak diperhatikan orang, yakni soal ekonomi. Mereka harus keluar dari comfort zone agar bisa meraih suara lebih banyak.
“Ada faktor kanibal dalam perebutan suara antar partai-partai Islam. Ini terlihat dalam pemilu 2004 di mana PKS banyak meraih suara tapi bukan dari partai nasionalis, melainkan dari sesama partai Islam,” tuturnya.
Hal ini diamini Mahfudz Siddiq. Politisi PKS itu mengaku keberhasilan partainya bertahan karena keterbukaan. Agama tak lagi dijadikan preferensi. Jargon pun tak Islami, seperti saat pertama keluar di Pemilu 1999. Tagline ‘PK (Partai Keadilan) Partai Islam untuk semua ditinggalkan, terus diganti menjadi ‘Bersih, Peduli’ dan di 2009 ditambah ‘Profesional’.
Dengan semakin terbukanya PKS, diakui Mahfudz, partainya semakin diterima di masyarakat. Ketika suara parpol Islam lainnya merosot tajam, PKS bisa bertahan di kisaran 7-8 persen.
“Ternyata persepsi publik tentang partai-partai Islam adalah tidak bisa menyelesaikan masalah kenegaraan. Jika mau cari pemimpin yang bisa menyelesaikan masalah-masalah negara carinya Golkar, PDIP dan Demokrat,” terang Ketua Komisi I DPR itu.
Pengamat hukum CSIS J Kristiadi melihat, soal agama dan politik di Indonesia sudah berbeda dengan kondisi yang dulu. Partai di Indonesia kini cuma dibedakan menjadi Islam dan Nasionalis.
“Tapi saya kira makin lama tidak bisa dikategorikan lagi seperti ini. Siapa yang bisa menjamin kalau kader dari partai nasionalis tidak agamis dan begitu pula sebaliknya,” ucapnya.

Parpol yang menggunakan simbol-simbol agama, tambah dia, kini tidak laku di masyarakat. Ini terlihat dari PKS yang dianggap fundamentalis oleh sebagian kalangan, ternyata sudah menyatakan dirinya sebagai partai Islam terbuka.
“Ini menarik karena partai-partai Islam sendiri sudah mengakomodasi orang dari agama lain. Realitas politik kita adalah tidak bisa menjadikan unsur primordialisme seperti suku, agama dan lain-lain dalam sikap pemilih,” papar Kristiadi.
Namun diingatkan oleh Ketua DPP PKS Mahfudz Sidik, ada kecenderungan bahwa lembaga-lembaga survei ikut berperan dalam pergeseran suara pemilih. Selama ini parpol kerap dideliver apa yang menjadi agenda politik dari lembaga survei. “Ada pola bagaimana agenda setting parpol yang dipengaruhi agenda setting masyarakat,” ujar Mahfudz.
“Saya dan teman-teman di PKS melihat bahwa perubahan itu harus berjalan secara bersamaan. Ada social dan political engineering. PKS menanam pohon jati memang tidak bisa dilihat sekarang pengaruhnya seperti Demokrat, namun kami berkembang dalam jangka waktu lama namun pasti,” katanya optimistis. (mar/ana)

2014, Parpol Islam Tamat


Pengamat politik LIPI, Prof Syamsudin Haris memprediksi keberadaan parpol Islam akan tamat di pemilu 2014.
“Peluang PPP, PKB dan parpol Islam lainnya makin kecil bisa lolos ke Senayan, apalagi kalau parliamentary thrashold (PT) dinaikkan menjadi 5 persen,” katanya.
Ia mengemukakan itu dalam acara bedah buku “Krisis Ideologi Parpol Islam” karya Dr Arif Mudatsir Mandan, yang juga dihadiri pengamat politik Dr Fachry Aly, Senin. Namun menurut Syamsuddin, bisa saja parpol Islam itu bertahan. Hanya saja, lanjut dia, keberadaan parpol Islam tidak akan jauh berubah dari seperti yang sekarang ini.
“Bisa saja bertahan, tapi ya segitu-segitu saja. Di sisi lain, masih bisa dipertahankan hingga pemilu 2014. Asalkan ada evaluasi dan reaktualisasi dari pemimpinnya, baik tingkat daerah maupun tingkat nasional,” tambahnya.
Menurutnya, Islam bukan lagi hanya milik partai politik Islam. Bahkan PDIP membuat Baitul Muslimin Islam (BMI), Partai Demokrat membentuk Majelis Dzikir. Sehingga perlu ada pendekatan lain yang harus dilakukan parpol Islam untuk mempertahankan posisinya. “PPP ke depan harus lebih inklusif dan moderen serta menjadi partai Islam nasional, yang perjuangannya jangan hanya membentuk negara Islam tetapi negara Pancasila yang Islami,” paparnya.
Yang jelas, katanya, masalah PPP dalam dua pemilu lalu adalah tidak semata-mata soal ideologi tetapi juga soal disorientasi. “Saya pikir partai Islam akan tetap dibutuhkan walaupun suaranya tidak akan lebih baik. Ini merupakan tantangan yang tidak mudah bagi partai Islam,” ungkapnya.
Sementara itu, Fachry Aly, lebih menyoroti karena PPP tidak punya kemampuan untuk bertahan lagi. Lihat saja, PBB. “P3 hanya mampu menyodorkan ideologi dan kyai. Sedangkan PKS muncul dan mengandalkan ideologi dalam pemilu 2009 yang menurut saya memperoleh prestasi yang cukup berhasil meskipun hasilnya tidak terlalu sesuai dengan harapan PKS sendiri,” cetusnya. (an/*)