JAKARTA - Keberadaan partai politik (parpol) Islam terus terdegradasi
dari masa ke masa. Bukan saja secara kepartaian yang kurang diapresiasi
publik, elite partai Islam pun kalah pamor ketimbang kalangan nasionalis
jelang Pemilu 2014. Bagaimana kemungkinannya?
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network merilis hasil survei mengenai partai politik Islam di kantornya, Jalan Pemuda 70, Rawamangun, Jakarta Timur, hari ini.
Islam Yes, Partai Islam No, adalah jargon Nurcholish Madjid alias Cak Nur yang kini sudah menjadi realitas politik. Itu bukan sekadar ide atau gagasan yang disampaikan Cak Nur, sebab di luar dugaan, jargon itu terbukti dalam kenyataan.
Hasilnya, hampir semua partai Islam mengalami penurunan yang sangat drastis. Bahkan, dari hasil survei juga terungkap parpol Islam tidak masuk dalam lima besar jika pemilu diselenggarakan pada saat survei dilakukan.
"Partai Islam merosot di bawah 5%, tidak ada satupun parpol Islam yang memperoleh 5%. Partai Islam adalah yang berbasis agama, dan atau basis utamanya adalah Islam," jelas peneliti LSI, Adjie Al Faraby.
Dari survei yang dilaksanakan 1-8 Oktober 2012, sebagai 1.200 responden yang disurvei menempatkan lima partai nasionalis sebagai pemenang jika pemilu digelar saat survei berlangsung. Kelima partai nasionalis tersebut adalah Partai Golkar sebesar 21,0%, PDIP 17,2%, Partai Demokrat 14,0%, Partai Gerindra 5,2% dan Partai NasDem sebesar 5,0%.
Adjie Alfaraby mengungkapkan, pada Pemilu 1955, partai Islam meraih dukungan suara sebesar 43,7 persen. Pada Pemilu 1999, pemilu pertama setelah Orde Baru, perolehan partai Islam menurun menjadi 36,8 persen.
Pada Pemilu 2004, total suara partai Islam naik sedikit sebesar 38,1 persen. Sedangkan Pemilu 2009, total suara partai Islam kembali turun sebesar 25,1 persen. Pada survei Oktober 2012, total suara partai Islam jika digabung sebesar 21,1 persen.
Para analis melihat, redupnya sinar partai Islam terjadi pada Pemilu Presiden 2009, di mana Susilo Bambang Yudhoyono berani menggaet wakilnya Boediono, yang notabene akademisi dan ekonom, bukan representasi dari tokoh Islam.
Berbeda pada Pilpres 2004, SBY masih mengandalkan tokoh yang representatif Islam, yakni Jusuf Kalla. Beberapa capres lain seperti Megawati Soekarnoputri juga menggandeng KH Hasyim Muzadi, tokoh NU, dan capres Wiranto menggandeng KH Salahudin Wahid, juga tokoh NU.
Meredupnya partai Islam diikuti tiadanya tokoh atau figur partai yang populer. Tokoh partai Islam seperti Hatta Rajasa (PAN), Suryadarma Ali (PPP), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Lutfi Hasan (PKS), kurang dikenal publik. "Rata-rata masih di bawah 60 persen," jelas Adjie
Lima besar parpol berbasis nasional atau kebangsaan adalah partai yang berasaskan Pancasila atau basisnya adalah nonagama. Beberapa alasan mendasar yang menyebabkan turunnya partai Islam tersebut:
Pertama menyangkut keinginan masyarakat yang tidak menginginkan politik nasional beraroma agama. Penegasan ini didasarkan atas angka sebesar 67,8% pemilih Muslim yang lebih memilih partai nasionalis.
Kedua, menyangkut pendanaan partai nasionalis lebih kuat daripada pendanaan partai Islam. Tercatat 85,2% publik menilai partai Islam kurang memiliki banyak modal dibanging partai nasionalis. Ketiga, yakni adanya aksi anarkhisme yang mengatasnamakan kelompok Islam.
Sejauh ini, tercatat 46,1% publik percaya merosotnya partai Islam karena anarkisme oknum yang membawa label agama. Memang ini baru prediksi lembaga survei, namun sudah menjadi isyarat bahwa parpol Islam ada dalam bahaya kemerosotan dukungan. Sehingga para penggiat partai Islam harus lebih mawas diri, merangkul ummat Islam, berkinerja lebih baik dan tentu saja amanah terhadap tujuan partai.
(dat18/inilah)
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network merilis hasil survei mengenai partai politik Islam di kantornya, Jalan Pemuda 70, Rawamangun, Jakarta Timur, hari ini.
Islam Yes, Partai Islam No, adalah jargon Nurcholish Madjid alias Cak Nur yang kini sudah menjadi realitas politik. Itu bukan sekadar ide atau gagasan yang disampaikan Cak Nur, sebab di luar dugaan, jargon itu terbukti dalam kenyataan.
Hasilnya, hampir semua partai Islam mengalami penurunan yang sangat drastis. Bahkan, dari hasil survei juga terungkap parpol Islam tidak masuk dalam lima besar jika pemilu diselenggarakan pada saat survei dilakukan.
"Partai Islam merosot di bawah 5%, tidak ada satupun parpol Islam yang memperoleh 5%. Partai Islam adalah yang berbasis agama, dan atau basis utamanya adalah Islam," jelas peneliti LSI, Adjie Al Faraby.
Dari survei yang dilaksanakan 1-8 Oktober 2012, sebagai 1.200 responden yang disurvei menempatkan lima partai nasionalis sebagai pemenang jika pemilu digelar saat survei berlangsung. Kelima partai nasionalis tersebut adalah Partai Golkar sebesar 21,0%, PDIP 17,2%, Partai Demokrat 14,0%, Partai Gerindra 5,2% dan Partai NasDem sebesar 5,0%.
Adjie Alfaraby mengungkapkan, pada Pemilu 1955, partai Islam meraih dukungan suara sebesar 43,7 persen. Pada Pemilu 1999, pemilu pertama setelah Orde Baru, perolehan partai Islam menurun menjadi 36,8 persen.
Pada Pemilu 2004, total suara partai Islam naik sedikit sebesar 38,1 persen. Sedangkan Pemilu 2009, total suara partai Islam kembali turun sebesar 25,1 persen. Pada survei Oktober 2012, total suara partai Islam jika digabung sebesar 21,1 persen.
Para analis melihat, redupnya sinar partai Islam terjadi pada Pemilu Presiden 2009, di mana Susilo Bambang Yudhoyono berani menggaet wakilnya Boediono, yang notabene akademisi dan ekonom, bukan representasi dari tokoh Islam.
Berbeda pada Pilpres 2004, SBY masih mengandalkan tokoh yang representatif Islam, yakni Jusuf Kalla. Beberapa capres lain seperti Megawati Soekarnoputri juga menggandeng KH Hasyim Muzadi, tokoh NU, dan capres Wiranto menggandeng KH Salahudin Wahid, juga tokoh NU.
Meredupnya partai Islam diikuti tiadanya tokoh atau figur partai yang populer. Tokoh partai Islam seperti Hatta Rajasa (PAN), Suryadarma Ali (PPP), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Lutfi Hasan (PKS), kurang dikenal publik. "Rata-rata masih di bawah 60 persen," jelas Adjie
Lima besar parpol berbasis nasional atau kebangsaan adalah partai yang berasaskan Pancasila atau basisnya adalah nonagama. Beberapa alasan mendasar yang menyebabkan turunnya partai Islam tersebut:
Pertama menyangkut keinginan masyarakat yang tidak menginginkan politik nasional beraroma agama. Penegasan ini didasarkan atas angka sebesar 67,8% pemilih Muslim yang lebih memilih partai nasionalis.
Kedua, menyangkut pendanaan partai nasionalis lebih kuat daripada pendanaan partai Islam. Tercatat 85,2% publik menilai partai Islam kurang memiliki banyak modal dibanging partai nasionalis. Ketiga, yakni adanya aksi anarkhisme yang mengatasnamakan kelompok Islam.
Sejauh ini, tercatat 46,1% publik percaya merosotnya partai Islam karena anarkisme oknum yang membawa label agama. Memang ini baru prediksi lembaga survei, namun sudah menjadi isyarat bahwa parpol Islam ada dalam bahaya kemerosotan dukungan. Sehingga para penggiat partai Islam harus lebih mawas diri, merangkul ummat Islam, berkinerja lebih baik dan tentu saja amanah terhadap tujuan partai.
(dat18/inilah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar