Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Selasa, 28 Juni 2011

Tenaga Kerja Wanita

ilustrasi
Apa yang membuat Malaysia dan Indonesia selalu berselisih? Demikian seorang pembawa acara televisi bertanya kepada Dr. Mahathir Mohammad, mantan PM Malaysia. Jawaban yang diberikan oleh Dr. Mahathir Mohammad cukup make sense alias masuk akal sebagai jawaban seorang politikus dan jawaban yang cukup menenangkan, namun bagi saya pribadi yang pernah ke Malaysia dan pernah singgah di Arab Saudi, jawaban yang sebetulnya hanyalah satu, karena kita bangsa Indonesia suka mengirim pembantu.
Wajar saja bila bangsa Malaysia begitu memandang rendah kita, orang Indonesia, karena yang diketahui oleh mereka bahwa pekerjaan sebagai pembantu, supir, tukang kebun, buruh dan lain-lain kebanyakan adalah orang Indonesia dan banyak dari mereka yang belum pernah ke Indonesia jadi tidak tahu seperti apa Indonesia itu. Di samping dari kita sendiri, media dan lain-lain yang berwenang untuk mengenalkan Indonesia, sangat jarang mengenalkan wajah Indonesia secara sesungguhnya. Gambaran tentang Indonesia lebih kepada wajah para pembantu, pengusiran atau deportasi pekerja ilegal di Malaysia, banjir, sungai yang kotor dan juga bencana alam.
Pernah ada pertanyaan yang sampai sekarang membuat hati kesal, ”Di Indonesia ada rumah bertingkat gak? Di Indonesia, ada tidak makanan seperti ini dan seperti itu?” Atau pertanyaan yang disampaikan secara hati-hati, mau tidak bekerja di rumah atuk (kakek) saya sebagai pembersih bilik air (kamar mandi). Pertanyaan itu disampaikan setelah kami pulang halaqah di Malaysia dimana acara tersebut dihadiri juga oleh para ekspatriat Indonesia, pelajar serta dosen-dosen dari Malaysia dan Indonesia yang bekerja di sebuah intitusi di Malaysia. Niat mereka ketika bertanya dan raut wajahnya biasa saja, tidak nampak menghina namun image yang terbentuk di dalam pikiran mereka bahwa bangsa Indonesia adalah miskin dan harus ditolong serta mau bekerja apa saja.
Mereka baru terbengong-bengong kagum dan takjub ketika mereka datang ke Jakarta dan melihat jalan Thamrin yang sangat besar dan juga pergi ke Bandung melihat begitu banyak tukang jualan makanan yang semuanya sedap-sedap dan unik, namun sayangnya image bahwa bangsa Indonesia adalah pembantu sudah melekat ke hampir seluruh rakyat Malaysia, dan bukan hanya Malaysia saja lho, Arab Saudi juga. Seringkali kita, kaum wanita dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman, bila kita ke imgirasi di Malaysia, sekaan-akan kita adalah TKW yang kehilangan majikan atau ingin bekerja di Malaysia tanpa melalui agensi. Kita ditanya macam-macam, apalagi bila kita berjilbab, beda sekali dengan perlakuan mereka terhadap wanita Indonesia yang tidak memakai jilbab, yaitu wanita yang putih, seksi, yang bermata sipit atau berkulit cerah, pasti perlakuan mereka lebih baik dan tidak akan dianggap wanita yang mau cari kerja di Malaysia alias bukan dari kalangan pembantu. Miris, yaa nasib, mau bilang apa?
Perlakuan seperti pertanyaan, mau apa di sini, tinggal dimana, bawa uang berapa, berapa lama disini dan lain-lain serta muka masam, bentak-bentak dan wajah melengos, memandang rendah, yaa sebagai manusia normal maka rasa tersinggung pasti ada dan biasanya mereka agak sopan sedikit bila kita menjawab dengan bahasa Inggris dan tegas. Sampai akhirnya sempat saya berfikir, “saya tidak akan lagi masuk ke ke negeri ini bila bukan karena ada keperluan yang mendesak.”
Perlakuan seperti ini juga terjadi bagi wanita Indonesia ketika pergi ke Saudi Arabia. Disana sepanjanag jalan pedagang dan tukang jualan memanggil kita dengan “Siti, siti,” dan tak jarang tangan-tangan jahil menyentuh tubuh beberapa wanita Indonesia baik yang menjadi TKW maupun yang menjadi jamaah umrah dengan bercirikan bertelekung renda-renda putih. Mereka tidak tahu bahwa tidak murah untuk pergi berumrah, pergi ke negeri itu, dan umrah para wanita Indonesia merupakan devisa yang sangat banyak bagi negara mereka yang juga merupakan pemasukan yang sangat besar. Namun mereka seringkali memperlakukan dan merendahkan wanita Indonesia lagi-lagi karena dianggap pembantu.
Yaa, pembantu yang dikirim ke luar negeri kebanyakan kurang pandai, tidak bisa apa-apa sehingga dimata mereka memang bodoh dan wajar kalau diremehkan. Selain gaji juga lebih rendah, beda denagn TKW yang dikirim dari Filipina dan Thailand yang rata-rata lebih dihargai, digaji lebih besar bahkan mereka berani pasang harga tinggi serta minta waktu bekerja dibatasi hanya dari pagi hingga sore hari sehingga malam bebas pulang ke rumah kontrakan dan tidur, hal ini berbeda dengan TKW asal Indonesia, mereka harus dan masih harus bekerja dimalam hari bahkan sampai pagi.
TKW yang saya jumpai, beberapa mengatakan bahwa mereka hanya tidur paling banyak 3 atau 4 jam saja sehari, mereka mulai istrahat jam 1 atau jam 2 pagi, untuk kemudian terkantuk-kantuk bangun lagi sebelum subuh, sekitar pukul 4 pagi untuk menyiapkan berbagai keperluan esok harinya. Di bully sebagai bangsa Indonesai di dalam kehidupan di Malaysia sudah kerap diterima oleh para pelajar Indonesia di Malaysia, juga para pekerja dan lain-lain, namun semua terpaksa ditelan saja karena mau apa juga, tak bisa marah, sebab pada kenyataannya memang begitu, TKW dikirim terus, pendaftaran juga jalan terus, dan keadaan serta kemiskinan berlangsung terus. Maka masalah ini tidak akan pernah selesai walaupun TKW tidak dikirim lagi sekalipun, sampai kita memiliki izzah dan membangun negeri bersama, tanpa bergantung nafkah pada negeri yang lain, maka wanita Indonesia tidak perlu lagi dikirm keluar negeri dan menjadi pembantu di negeri orang. Pertanyaan yang membuat air mata anak saya yang mendapat beasiswa di Malaysia meleleh adalah ketika ditanya: ”ibu kamu kerja dimana, dirumah siapa? hari minggu bisa tolong saya basuh baju?”. Satu hal yang membuat wanita Indonesia cukup dihargai di Malaysia adalah ketika sinetron Cinta Fitri dengan artis-artisnya yang cantik serta gedung dan rumah mewah terpampang, maka pertanyaan berubah menjadi, “ibu kamu dengan artis-artis itu rumahnya berdekatan kah.”
Masalahnya bukanlah ini atau itu, masalah utamanya adalah tidak usah mengirim lagi TKW ke luar negeri atau kirimlah TKW yang full of skill yang bisa punya harga diri dan keberanian untuk membela nasibnya bila diperlakukan seweang-wenang serta dilindungi hukum yang jelas, lalu berani menanamkan pemikiran religius pada masyarakat Malaysia, bahwa yang menjadi musuh kita adalah yahudi dan nasrani, bukan orang Indonesia yang seagama.

Dikecam Yusril, Basrief Arief dan Patrialis Akbar Ubah Keputusan



YUSRIL/IST
 
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar tidak mau ambil pusing dengan langkah tersangka Sisminbakum Yusril Ihza Mahendra yang mem-PTUN-kan surat cegah dan tangkal kepada dirinya.

"Kita coba melihat ini secara clear. Imigrasi  ya imigrasi itu kan melaksanakan tugas sesuai dengan permintaan. (Surat cekal) itu sesuai permintaan dari Kejagung," ujar Patrialis di Kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta (Selasa, 28/6).

Dijelaskan Menteri asal PAN ini, tudingan Yusril bahwa cekal tersebut menggunakan undang-undang basi dan tak berlaku lagi tidak tepat. Sebab perubahan dari Undang-undang No 9/1992 ke Undang-undang 6/2011 mengenai Imigrasi itu masih memerlukan peraturan pemerintah. Dan itu, kata Patrialis, disiapkan dalam waktu satu tahun sejak Undnag-undang yang baru disahkan.

"Jadi kalau Kejaksaan minta satu tahun dan kami melaksanakan satu tahun itu masih dalam koridor yang benar, karena peraturan pemerintahnya belum ada," lanjut Patrialis.

Meski begitu, imbuhnya Patrialis, tadi malam dirinya sudah berkomunikasi dengan Jaksa Agung Basrief Arief mengenai masa cekal untuk Yusril. Basrief melunak mengubah jangka waktu cekal dari satu tahun menjadi 6 bulan.

"Kami prinsipnya terima saja, mereka minta 6 bulan ya 6 bulan," sambungnya.

Bagaimana pun, kata Patrialis, dirinya menghormati Yusril sebagai bagian dari warga negara yang mempunyai hak mengajukan keberatannya.

"Kalau Yusril mengatakan seperti itu, bahwa haknya dilanggar negara, ya tidak usah malu-malu untuk melakukan perubahan. Apalagi pak Yusril kan profesor, jadi dia tahu betul. Tidak ada yang sulit kan dinegara ini," demikian Patrialis. [dem]

Langkah Yusril Menunjuk Hidung yang Tidak Paham Hukum

Selasa, 28 Juni 2011 , 16:23:00 WIB
Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi

ILUSTRASI
  

RMOL. Persoalan Sistem Administrasi Badan Hukum yang dikaitkan dengan Yusril Ihza Mahendra sudah bukan lagi persoalan hukum, tapi urusan pribadi oknum di Kejaksaan Agung yang menggunakan institusi tersebut.

Pengamat politik Adhie Massardi mengingatkan, pertarungan antara Yusril dengan Kejaksaan tidak sekali ini terjadi. Pemberhentian Jaksa Agung Hendarman Supandji pada 2010 lalu juga diakibatkan gugatan Yusril ke Mahkamah Konstitusi seputar status ilegal Hendarman sebagai Jaksa Agung.

"Ini sudah masuk kategori abuse of power. Makanya, saya sekarang juga mendukung upaya Yusril menggugat Jaksa Agung pengganti Hendarman Supandji (Basrief Arief) ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kemarin (Senin 27/6), karena menerbitkan perpanjangan surat pencekalan tanpa ketentuan yang jelas terhadap Yusril," katanya kepada Rakyat Merdeka Online, Selasa (28/6).

Selain menggugat Jaksa Agung, Yusril juga melayangkan surat somasi kepada Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Yusril memperingatkan Patrialis untuk dalam waktu 2x24 jam mencabut surat pelaksanaan cekal terhadap dirinya yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM memenuhi permintaan Jaksa Agung RI.

Langkah Yusril ini, katanya, menarik, sebab Menteri Hukum dan HAM melanggar Pasal 333 KUHP yakni dengan sengaja dan melawan hukum menghilangkan kemerdekaan orang. Patrialis telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

"Saya berharap langkah Yusril ini membuahkan hasil. Minimal mengingatkan kepada kita, batapa institusi hukum di negeri ini ternyata dikendalikan oleh oknum-oknum yangg bukan saja tidak paham hukum, tapi punya potensi merusak sendi-sendi hukum kita," ujarnya.[ald] 

YUSRIL SOMASI PATRIALIS AKBAR


Setelah menggugat Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kemarin,  siang ini (Selasa 28/6/2011) Yusril Ihza Mahendra melayangkan surat somasi kepada Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Yusril memperingatkan Patrialis untuk dalam waktu 2×24 jam mencabut surat pelaksanaan cekal terhadap dirinya yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM memenuhi permintaan Jaksa Agung RI. Apabila dalam tempo yang telah ditentukan itu Patrlalis tidak melaksanakan pencabutan, Yusril akan mengambil langkah hukum menuntut Menteri Hukum dan HAM itu baik pidana maupun perdata.
“Saya akan menuntut Menhuk dan HAM melanggar Pasal 333 KUHP yakni dengan sengaja dan melawan hukum menghilangkan kemerdekaan orang” kata Yusril. Selain itu, Yusril juga akan menggugat Patrialis ke pengadilan karena melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam  Pasal 1365 KUH Perdata” kata Yusril.
Yusril memang tidak menggugat Menteri Hukum dan HAM ke PTUN dengan alasan, surat keputusan cekal yang dikeluarkan Jaksa Agung adalah final dan tidak memerlukan persetujuan Menteri Hukum dan HAM. Pihak terakhir ini hanya melaksanakan keputusan Jaksa Agung tersebut. “Patrialis saya somasi, karena berdasarkan ketentuan Pasal 94 ayat (5) UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dia dapat menolak melaksanakan cekal karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur oleh undang-undang”. Namun, Patrialis malah berkeras mengatakan Keputusan Jaksa Agung itu sah dan melaksanakannya.
Dalam somasi itu, Yusril juga memperingatkan Patrialis atas ucapannya yang mengatakan bahwa pelaksanaan cekal Yusril dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama 6 bulan dan tahap kedua 6 bulan berikutnya. “Ucapan Patrialis itu hanya akal-akalan saja, sehingga seolah-olah pencekalan Yusril hanya 6 bulan sebagaimana dibenarkan undang-undang”. Namun menurut Yusril kenyataannya dua surat dari Dirjen Imigrasi, satu ditujukan kepada dirinya, dan satu lagi berisi perintah pencekalan kepada seluruh jajaran imigrasi, dengan tegas menyebutkan pencekalan itu untuk jangka waktu satu tahun dari tanggal 24 Juni 2011 sampai 24 Juni 2012.
Surat somasi Yusril ditembuskan kepada Presiden, Wakil Presiden, Menko Polhukam dan Komisi III DPR RI.

SURAT GUGATAN KEPADA JAKSA AGUNG DI PTUN JAKARTA

Jakarta, 27 Juni 2011

Kepada Yang Mulia
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Jl. A. Sentra Primer Baru Timur
Pulo Gebang
Jakarta Timur

Hal   :  Gugatan Pembatalan KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP- 195/D/Dsp.3/06/2011, TENTANG PENCEGAHAN DALAM PERKARA PIDANA, tanggal 24 Juni 2011


Dengan hormat,

Saya yang bertanda-tangan di bawah ini, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, warganegara Republik Indonesia, usia 55 tahun, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Jl.  Karang Asem Utara No.32, Kelurahan Kuningan Timur, Jakarta Selatan (Bukti P-1) selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”. Penggugat dengan ini  mengajukan Gugatan terhadap seseorang warganegara Republik Indonesia yang bernama Basrief Arief,  dengan jabatan  JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, berkedudukan di Jakarta,  beralamat di Jl. Sultan Hasanuddin No. 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk selanjutnya  disebut sebagai  TERGUGAT.
Adapun yang menjadi objek gugatan Penggugat dalam gugatan ini adalah surat keputusan yang dibuat oleh Tergugat, yakni KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP- 195/D/Dsp.3/06/2011, TENTANG PENCEGAHAN DALAM PERKARA PIDANA, tanggal 24 Juni 2011 (Bukti P-2). Mengingat gugatan ini Penggugat daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada hari ini, Senin, 27 Juni 2001, maka sesuai ketentuan Pasal 55 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usahpengajuan gugatan ini masih berada dalam tenggang waktu sembilan puluh hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia dimaksud.

Selanjutnya, izinkanlah Penggugat menguraikan aspek-aspek formil dan materil dari gugatan ini sebagai berikut:

Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
  1. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang RI No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara jo Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI No  51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara mendefenisikan Keputusan Tata Usaha Negara adalah “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang membawa akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
  2. Bahwa berdasarkan definisi dalam angka 1 di atas, Surat Keputusan Jaksa Agung RI No: KEP-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana adalah terang benderang sebuah keputusan tertulis yang berisi penetapan (beschikking) dan langsung berlaku sejak dikeluarkan oleh pejabat yang membuatnya (einmalig);
  3. Bahwa Kejaksaan Agung RI adalah sebuah lembaga pemerintahan yang awalnya dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945 yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, dan terakhir oleh Undang-Undang RI No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.  Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan RI adalah “lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Sementara Jaksa Agung adalah pimpinan tertinggi yang mengendalikan operasional Kejaksaan Agung.   Selanjutnya dalam Pasal 3 undang-undang dimaksud ditegaskan bahwa kekuasaan negara yang dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Dengan demikian, nyatalah bahwa Kejaksaan Agung RI dan Jaksa Agung adalah “badan atau pejabat tata usaha negara” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;
  4. Bahwa Surat Keputusan Tergugat  No: Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 jelas adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. Bahwa Surat Keputusan Tergugat NOMOR : KEP- 195/D/Dsp.3/06/2011, TENTANG PENCEGAHAN DALAM PERKARA PIDANA, tanggal 24 Juni 2011, bersifat konkrit, individual dan final dengan alasan sebagai berikut:

-      Bahwa Surat Keputusan Tergugat a-quo bersifat konkrit karena objek yang disebutkan dalam Surat Keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud dan nyata-nyata secara tegas menyebutkan  “tindakan pencegahan keberangkatan ke luar negeri”  dengan menyebutkan nama Penggugat sebagai subyeknya  hukumnya;

-      Bahwa Surat Keputusan Tergugat a-quo bersifat individual karena tidak ditujukan untuk umum, tetapi berwujud dan nyata-nyata secara tegas menyebut nama Penggugat sebagai subjek hukumnya;

-      Bahwa Surat Keputusan Tergugat a-quo telah bersifat final karena tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi tertentu baik bersifat horizontal maupun vertikal. Dengan demikian Surat Keputusan Tergugat tersebut telah bersifat definitif dan telah menimbulkan akibat hukum;

-      Bahwa Kementerian Hukum dan HAM yang membawahi Direktorat Jenderal Imigrasi, bukanlah instansi yang perlu dimintai persetujuan  agar Keputusan Tergugat a-quo mempunyai kekuatan hukum yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 angka 3 Undang-Undang RI No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebagaimana tertuang dalam Surat Tergugat kepada Menteri Hukum dan HAM RI Nomor R-1043/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011,  Menteri Hukum dan HAM hanyalah “diminta bantuan dan perkenan Menteri, kiranya pencegahan ke luar negeri” atas nama Penggugat “dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya”.

-      Bahwa Surat Keputusan Tergugat a-quo telah menimbulkan akibat hukum, yakni Penggugat nyata-nyata tidak dapat meninggalkan tanah air untuk bepergian ke luar negeri, karena berdasarkan Surat Keputusan Tergugat, nama Penggugat telah nyata-nyata dicantumkan dalam daftar imigrasi sebagai subyek yang dicegah untuk bepergian ke luar negeri;
6. Bahwa Penggugat, dengan alasan-alasan yuridis sebagaimana akan diuraikan nanti, dengan tegas menolak Surat Keputusan Tergugat a-quo dan menganggapnya sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Penolakan Penggugat ini sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara jo Pasal 1 angka 10 Undang-Undang RI No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, adalah “sengketa tata usaha negara”;
7. Bahwa ketentuan Pasal 47 Undang-Undang RI No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara menegaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara “bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”;
8. Berdasarkan argumentasi sebagaimana diuraikan dalam angka 1 sampai angka 7 di atas, Penggugat menyimpulkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang yurisdiksinya mencakupi tempat kedudukan Tergugat sebagaimana telah diuraikan di awal Surat Gugatan ini, adalah berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa sebagaimana tertuang dalam Surat Gugatan ini.

Alasan-Alasan Penggugat Menolak Surat Keputusan Tergugat a-quo
  1. Bahwa Tergugat dalam dikum Surat Keputusan a-quo tentang Pencegahan dalam perkara pidana:

-      Pertama: Terhadap seorang dengan identitas sebagai berikut:

Nama                                : Prof. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA
Tempat lahir                      : Belitung
Umur, tanggal lahir           : 55 Tahun/5 Pebruari 1956
Jenis Kelamin                    : Laki-laki
Kebangsaan                       : Indonesia
Tempat tinggal                  : Jalan Karang Asem Utara 32, Kuningan, Jakarta
Agama                               : Islam
Pekerjaan                           : Swasta
Pendidikan                                    : S-3 (Universiti Sains Malaysia)
karena dugaan keterlibatannya melakukan tindak pidana korupsi dalam pungutan biaya akses fee dan biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Sistem Administrasi Badan Hukum Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM RI, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999, sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

-      Kedua : Keputusan ini berlaku 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal 26 Juni 2011…dan seterusnya.

2. Bahwa dalam konsiderans “menimbang” Undang-Undang RI No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian – yang dijadikan dasar oleh Tergugat dalam membuat Surat Keputusan Tergugat a-quo – “sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi berbagai perkembangan kebutuhan pengaturan, pelayanan, dan pengawasan di bidang Keimigrasian sehingga perlu dicabut dan diganti dengan undang-undang baru yang lebih komprehensif serta mampu menjawab tantangan yang ada”.

  1. Bahwa Pasal 142 Undang-Undang RI No 6 Tahun 2011 menyatakan dengan tegas bahwa pada saat mulai berlakunya undang-undang tersebut:

  1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474):
  2. …….
  3. Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Keimigrasian yang bertentangan atau tidak sesuai dengan Undang-Undang ini (UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
3.   Bahwa dasar hukum yang digunakan Tergugat dalam Surat Keputusan Tergugat a-quo, selain Undang-Undang RI No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, juga menggunakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan, yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mencegah seseorang bepergian ke luar negeri yang lamanya diserahkan kepada keputusan Jaksa Agung. (Bukti P-4) Meskipun secara formil Peraturan Pemerintah ini masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 143 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, namun karena norma pengaturannya telah nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang No 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yang membatasi jangka waktu pencekalan selama-lamanya 6 (enam) bulan, maka ketentuan tersebut otomatis harus dianggap tidak berlaku lagi. Dalam Surat Keputusan Tergugat a-quo, Tergugat telah mencegah Penggugat untuk bepergian ke luar negeri selama 1 (satu) tahun. Jangka waktu yang diputuskan oleh Tergugat, nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang No 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian;
4.     Bahwa dalam diktum Pertama Surat Keputusan Tergugat a-quo, Tergugat hanya mencantumkan identitas Penggugat sebagai subyek hukum yang terkena pencegahan, yakni nama lengkap, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan dan pendidikan. Sementara menurut ketentuan Pasal 94 ayat (2) Keputusan Pencegahan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang wajib memuat antara lain foto dari orang yang dikenai pencegahan. Sementara dalam Surat Keputusan Tergugat a-quo, tidak dicantumkan foto Penggugat sebagai orang yang tekena pencegahan dimaksud;
5. Bahwa selain menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1994 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan, Tergugat juga menggunakan dasar hukum Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-010/A/J.A/01/2010 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung untuk melakukan Pencegahan dan Penangkalan, tanggal 28 Januari 2010. (Bukti P-4) Pasal 6 Peraturan Jaksa Agung ini menyebutkan kewenangan Jaksa Agung untuk mencegah seseorang untuk bepergian ke luar negeri berlaku selama-lamanya 1 (satu) tahun. Pasal 6 Peraturan Kejaksaan Agung ini nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang RI No 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yang membatasi jangka waktu pencegahan selama-lamanya 6 (enam) bulan. Dengan demikian, sepanjang mengenai pengaturan jangka waktu pencegahan ini, sesuai ketentuan Pasal 143 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, ketentuan dalam Peraturan Jakasa Agung tersebut otomatis tidak berlaku lagi;
6. Bahwa berdasarkan alasan-alasan sebagaimana telah diuraikan dalam angka 1 sampai dengan angka 5  di atas, Penggugat berpendapat bahwa Surat Keputusan Tergugat a-quo adalah keputusan yang melawan hukum, dan karenanya cukup alasan untuk dinyatakan batal dan tidak sah serta  tidak mempunyai kekuatan hukum.

Petitum

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, Penggugat memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk menindaklanjuti gugatan ini, dan Majelis Hakim kiranya berkenan untuk memeriksa dan memutus perkara ini dengan amar putusan sebagai berikut:

  1. Menyatakan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus gugatan ini;
  2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
  3. Menyatakan batal atau tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum Surat Keputusan Tergugat NOMOR : KEP- 195/D/Dsp.3/06/2011, TENTANG PENCEGAHAN DALAM PERKARA PIDANA;
4. Memerintahkan Tergut untuk mencabut Surat Keputusan Tergugat No: Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tentang           Pencegahan Dalam Perkara Pidana, tanggal 24 Juni 2011, atas nama Penggugat, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra;
5. Memerintahkan Tergugat untuk memulihkan nama baik, harkat dan martabat Pengguggat ke posisi semula:
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.

Atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex a quo et bono).


Hormat saya,
Penggugat,



Prof Dr Yusril Ihza Mahendra