Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 20 Juni 2011

Mencegah Korupsi Dengan Syariah Islam

 
Korupsi adalah konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme, karena setiap kontrak sosial-politik selalu dinilai dengan materi dan uang. Semua negara akan akan terjangkit korupsi sepanjang mereka menerapkan kapitalisme secara konsisten.

Dewasa ini korupsi telah menjadi penyakit sistemik, bukan sekadar penyakit individu. Bisa dikatakan telah menjadi korupsi yang terstruktur (structured corruption). Penyelesaiannya pun sejatinya harus secara sistemik. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini  diyakini tidak akan membawa perubahan berarti. Berbagai Undang-undang dan komisi untuk mendukung UU itu dibentuk. Tetapi hasilnya nihil. Alih-alih membawa perbaikan, angka korupsi semakin tinggi.
 
Melihat fenomena yang begitu kompleks ini, korupsi jelas tidak mungkin lagi diatasi hanya dengan perbaikan akhlak individu. Banyak orang yang menangis ketika mendengarkan nasihat atau seruan akhlak yang menyentuh, namun ketika kembali pada jabatan atau proyek-proyeknya, mereka merasa bahwa korupsi itu sah-sah saja. Kesalehan ritual sama sekali tak sanggup lagi mencegah seseorang untuk korupsi. Seorang birokrat yang telah naik haji berkali-kali bahkan tanpa sungkan berseloroh, “Haji itu tugas agama, korupsi tugas negara.”
Karena penyebab korupsi ada pada individu yang tidak amanah, lingkungan budaya yang tidak kondusif, dan sistem yang tidak cukup menggiring orang untuk menjadi baik, maka berarti perang terhadap korupsi harus dilakukan secara terpadu di tiga lini ini sekaligus.
Perbaikan Sistem Dengan Syariat Islam
Syariat Islam memberi petunjuk tentang bagaimana meminimalkan tindak korupsi, antara lain: Pertama, sistem penggajian yang layak. Sistem penggajian yang layak adalah keharusan. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarga. Agar tenang bekerja dan tak mudah tergoda, kepada mereka harus diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang layak. Rasulullah SAW bersabda:
"Siapapun yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tak memiliki pembantu hendaknya mengambil pelayan; jika tak memiliki kendaraan hendaknya diberi. Siapapun mengambil selainnya, ia telah berbuat curang atau pencuri".
(HR. Abu Dawud).

Kedua, larangan menerima hadiah. Hadiah–atau sering dinyatakan sebagai ‘hibah’–yang diberikan kepada aparat pemerintah pasti bermaksud agar aparat itu menguntungkan pemberi hadiah. Suap adalah harta yang diberikan kepada seorang penguasa, hakim, atau aparat pemerintah lainnya dengan maksud untuk memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang semestinya wajib diputuskan olehnya tanpa pembayaran dalam bentuk apapun. Setiap bentuk suap, berapun nilainya dan dengan jalan apapun diberikannya atau menerimanya, haram hukumnya (QS. Al Baqarah [02]: 188).

Rasulullah SAW bersabda:
 “Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.” (HR. Ahmad, Thabrani, Al-Bazar dan Al-Hakim)

Hadiah atau hibah adalah harta yang diberikan kepada penguasa atau aparatnya sebagi pemberian. Perbedaannya dengan suap, bahwa hadiah itu diberikan bukan sebagai imbalan atas suatu kepentingan, karena si pemberi hadiah telah terpenuhi keinginannya, baik secara langsung maupun melalui perantara. Pada dasarnya hukum pemberian hadiah adalah mubah, bahkan Rasulullah menganjurkan agar sesama muslim saling memberikan hadiah. Akan tetapi hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah termasuk yang diharamkan. Rasulullah SAW bersabda:

 “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad)

Ketiga, perhitungan kekayaan. Untuk menghindari tindakan curang, perhitungan kekayaan para pejabat harus dilakukan di awal dan di akhir jabatannya. Jika ada kenaikan yang tak wajar, yang bersangkutan harus membuktikan bahwa kekayaan itu benar-benar halal. Cara inilah yang kini dikenal sebagai pembuktian terbalik yang sebenarnya efektif mencegah aparat berbuat curang. Akan tetapi, anehnya cara ini justru ditentang untuk dimasukkan ke dalam perundang-undangan.

Untuk menjaga dari perbuatan curang, Khalifah Umar menghitung kekayaan seseorang  di awal jabatannya sebagai pejabat negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatan. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, Umar memerintahkan agar menyerahkan kelebihan itu kepada Baitul mal, atau membagi dua kekayaan tersebut, separo untuk Baitul mal dan sisa separonya diserahkan kepada yang bersangkutan. Muhammad bin Maslamah ditugasi Khalifah Umar membagi dua kekayaan penguasa Bahrain, Abu Hurairah; penguasa Mesir, Amr bin Ash; penguasa Kufah, Saad bin Abi Waqqash. Jadi, Umar telah berhasil mengatasi secara mendasar sebab-sebab yang menimbulkan kerusakan mental para birokrat. Upaya penghitungan kekayaan tidaklah sulit dilakukan bila semua sistem mendukung, apalagi bila masyarakat turut berperan mengawasi perilaku birokrat.

Keempat, penyederhanaan birokrasi. Birokrasi yang berbelit dan tidak rasional akan membuat segala sesuatu kurang transparan, menurunkan akuntabilitas, dan membuka peluang korupsi. Demikian juga dengan prosedur hukum yang diskriminatif, misalnya memeriksa pejabat tinggi atau anggota DPR harus seizin kepala negara. Akibatnya, tidak jarang jika korupsi menyentuh lapisan elit itu, penyidikan biasanya terhenti. Dalam Islam, aturan yang membedakan pejabat tinggi dari rakyat biasa ini tidak dikenal.

Kelima, hukuman setimpal. Secara naluriah, orang akan takut menerima risiko yang tidak sebanding dengan apa yang diperolehnya. Resiko dalam bentuk hukuman berfungsi sebagai pencegah (zawajir). Penegakan hukum merupakan aspek penting lainnya yang harus dijalankan dalam sistem Islam. Para koruptor akan mendapat hukuman yang setimpal dengan tindak kejahatannya. Para koruptor kelas kakap, yang dengan tindakannya itu bisa mengganggu perekonomian negara, apalagi bisa memperbesar angka kemiskinan, dapat diancam dengan hukuman penyitaan harta, pemecatan, kurungan, kerja paksa, sampai hukuman mati. Dengan begitu, para koruptor atau calon koruptor akan berpikir berulang kali untuk melakukan aksinya. Apalagi, dalam Islam, seorang koruptor dapat dihukum tasyhîr, yaitu berupa pewartaan atas diri koruptor. Pada zaman dahulu mereka diarak keliling kota, tapi pada masa kini bisa menggunakan media massa.

Perbaikan Budaya Dengan Syariat Islam
Sistem hanya akan efektif diterapkan jika budaya masyarakat mendukung. Karena itu, syariat Islam juga memberikan panduan tentang bagaimana agar budaya yang rusak saat ini bisa diperbaiki.

Pertama, teladan pemimpin. Khalifah Umar bin al-Khaththab adalah penguasa kaum muslim yang berhasil menjunjung tinggi praktik-praktik kesederhanaan hidup, bahkan pada bajunya terdapat empat tambalan, makanannya juga makanan yang kasar. Sebelumnya, kesederhanaan hidup juga digambarkan oleh Khalifah Abu Bakar. Dengan teladan pemimpin, pemberantasan tindak korupsi menjadi mudah. Mereka juga akan lebih siap memilih orang-orang bersih untuk menjadi polisi, jaksa, atau hakim, karena tak takut akan terseret sendiri.

Keteladanan pemimpin adalah langkah selanjutnya yang diharuskan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kemunculan seorang pemimpin mengkuti proses seleksi yang sangat ketat dan panjang. Seseorang, tidak mungkin menjadi pemimpin di sebuah propinsi, tanpa melalui proses seleksi alamiah ditingkat bawahnya. Pola dasar yang memunculkan seorang pemimpin mengikuti pola penentuan seorang imam shalat. Seorang imam shalat adalah orang yang paling berilmu, shaleh, paling baik bacaan shalatnya, paling bijaksana. Seorang imam shalat adalah orang terbaik dilingkungan jamaahnya. Dari sinilah sumber kepemimpinan itu berasal. Pola ini secara alamiah, sadar atau tidak sadar, akan diikuti dalam penentuan kepemimpinan tingkat atasnya. Seorang khalifah (kepala negara) tentulah bersumber dari imam-imam terbaik yang ada di negara tersebut. Oleh karena setiap pemimpin merupakan orang terbaik di lingkungannya, maka dapat dipastikan mereka adalah orang yang kuat keimanannya, tinggi kapabilitas dan sekaligus akseptabilitasnya. Pemimpin seperti inilah yang akan menjadi teladan, baik bagi para birokrat bawahannya, maupun bagi rakyatnya.

Kedua, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat hedonis yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat. Sebaliknya, masyarakat yang mulia dan kritis akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya menyimpang.

Dalam sejarah kepemimpinan pemerintahan Islam, demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat tercatat, Khalifah Umar bin Kattab telah mengambil inisiatif dan sekaligus mendorong rakyatnya untuk melakukan kewajibannya mengontrol pemerintah. Khalifah Umar di awal kepemimpinannya berkata: “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskanlah aku walaupun dengan pedang” Lalu seorang laki-laki menyambut dengan lantang  “kalau begitu, demi Allah SWT, aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu Umar bergembira, bukan menangkap atau menuduhnya menghina kepala negara.

Pengawasan oleh masyarakat akan tumbuh apabila masyarakat hidup dalam sebuah sistem yang menempatkan aktifitas pengawasan (baik kepada penguasa maupun sesama warga) adalah sebuah aktifitas wajib lagi mulia. Melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penguasa hukumnya adalah wajib. Ketaatan kepada penguasa tidak berarti harus mendiamkan mereka. Allah SWT telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk melakukan koreksi kepada penguasa mereka. Dan sifat perintah kepada mereka agar merubah para penguasa tersebut bersifat tegas; apabila mereka merampas hak-hak rakyat, mengabaikan kewajiban-kewajiban rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, menyimpang dari hukum-hukum Islam, atau memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah SWT.

Dalam bahasa sekarang itu bisa berarti pers (media) dan LSM dipersilakan lebar-lebar untuk mengawasi perilaku atau gaya hidup para pejabat atau calon pejabat. Namun, di sisi lain media dilarang untuk menjadi alat propaganda gaya hidup instan, hedonis, dan konsumtif yang akan kontraproduktif pada upaya-upaya pemberantasan korupsi.

Perbaikan Individu Dengan Ketaqwaan
Sistem Islam menanamkan iman kepada seluruh warga negara, terutama para pejabat negara. Dengan iman, setiap pegawai merasa wajib untuk taat kepada aturan Allah SWT. Orang beriman sadar akan konsekuensi dari ketaatan atau pelanggaran yang dilakukannya, karena tidak ada satupun perbuatan manusia yang tidak akan dihisab. Segenap anggota atau bagian tubuh akan bersaksi atas segala perbuatan kita (QS. Fushshilat [41]: 20).

Manusia memang menyangka bahwa Allah SWT  tidak tahu apa yang mereka lakukan, termasuk tindakan korupsi yang disembunyikan. Hanya orang yang beriman saja yang yakin bahwa perbuatan seperti itu diketahui Allah SWT dan disaksikan oleh anggota/bagian tubuh kita yang akan melaporkannya kepada Allah SWT. Inilah pengawasan melekat (waskat) yang sungguh-sungguh melekat (QS. Fushshilat [41]: 22-23).

Dengan iman akan tercipta mekanisme pengendalian diri yang andal. Dengan iman pula para birokrat, juga semua rakyat, akan berusaha keras mencari rizki secara halal dan memanfaatkannya hanya di jalan yang diridhai Allah SWT. Rasulullah SAW menegaskan, bahwa manusia akan ditanya tentang umurnya untuk apa ia manfaatkan, tentang masa mudanya kemana ia lewatkan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa, serta tentang ilmunya untuk apa ia gunakan. Bagi birokrat sejati, lebih baik memakan tanah daripada menikmati rizki haram.

Motivasi positif ini kemudian akan mendorong mereka untuk secara sungguh-sungguh meningkatkan kualitas, kapasitas dan profesionalismenya. Karena hanya dengan kemampuan yang semakin tinggilah mereka bisa semakin mengoptimalkan pelaksanaan tugas mulianya sebagai aparat pemerintah. Mereka menyadari bahwa tugas utama mereka adalah melayani rakyat. Wajib atas mereka melaksanakan amanah itu dengan jujur, adil, ikhlas dan taat kepada aturan negara, yang tidak lain adalah syariat Islam.

Bukan Sekadar Jargon
Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan yang mudah. Aktivitas ini akan menggerakkan segenap aspek kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan, juga membutuhkan dukungan dari segenap aparat pemerintahan, masyarakat dan sistem yang baik. Hanya dengan pemilihan sistem yang terbaiklah, maka upaya membangun pemerintahan yang baik itu akan menemukan jalan yang jelas.

Syariat Islam, jika diterapkan secara terpadu, akan mampu menghasilkan sistem dan budaya yang kondusif untuk mengatasi korupsi dan problematika lain negeri ini. Percayalah, dengan pola hidup bersih tanpa korupsi dan dengan menegakkan syariah Islam, kehidupan pejabat maupun rakyat akan diliputi keberkahan (QS. al-A'râf [7]: 96)

Di sinilah urgensitas seruan penerapan Syariat Islam. Hanya dengan itulah, upaya memerangi korupsi benar-benar riil, tidak berhenti sebatas jargon!. Wallâhu a‘lam. (shodiq ramadhan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar