Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 27 Juni 2011

Politik Pencitraan Berhasil Bila Didominasi Masyarakat Paternalistik


M Yulianto: Politik Pencitraan Berhasil Bila Didominasi Masyarakat Paternalistik

Jakarta - Politik pencitraan kerap dikaitkan dengan Presiden SBY. Sikap reaktif SBY bila ada isu menyerang dirinya, dinilai sebagai politik pencitraan karena selalu ingin tampil sempurna. Politik semacam ini berhasil diterapkan di tengah masyarakat yang paternalistik.

"Pencitraan berhasil jika kondisi masyarakat 60 persen lebih masih paternalistrik. Patronnya adalah media dan pencitraan, sedangkan kliennya konstituen pemilih. Kalau kondisinya begini, maka sedikit-sedikit curhat. Kedua, tingkat melek politik dan melek media masyarakat masih sangat rendah. Kalau ada kondisi itu, maka pencitraan bisa berhasil, karena masyarakat bisa diterpa, dicocok dan dihipnotis pencitraan," tutur analis politik M Yulianto.

Berikut ini wawancara detikcom dengan akademisi Universitas Diponegoro ini, Senin (27/6/2011):

Riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebut SBY menjadi tak berdaya di kandangnya karena kasus Nazaruddin. Menurut Anda?

Dari segi pendekatan kepemimpinan, SBY merupakan publik figur yang tidak punya ketegasan, keberanian dan lemahnya integritas. Menurut pemikiran (sosiolog asal Norwegia) Johan Galtung, untuk menghadapi negeri yang carut marut maka seorang pemimpin harus memiliki tiga hal.

Pertama, good will atau niat baik. Niat baik ini harus kuat mengakar. Dari kasus SBY, niat baiknya disandera kepentingan pragmatis dirinya di Demokrat dan di koalisi. Presiden sepertinya takut nyanyian korupsi oleh Nazaruddin, padahal janjinya adalah menjadikan dirinya sebagai garda depan pemberantasan korupsi. Niatan yang baik ini saya rasa tidak cukup kuat.

Kedua, courage atau keberanian. Saya kira SBY tidak cukup memiliki keberanian dalam memgambil keputusan penting. Hal itulah yang kemudian menimbulkan kesan ragu-ragu dalam diri SBY.

Padahal SBY adalah perwira tinggi, jenderal besar. Intelektual tinggi yang dimilikinya karena memiliki gelar doktor tidak mendorong kepemimpinan kuat. Pendidikan dan pengalaman militer tidak mendorong keberanian kuat serta birokrasi yang bersih dan jujur.

Ketiga, integritas. Integritas pribadi pemimpin ini tercermin dalam diri pribadinya, di kelompok, serta partai pendukung. Belakangan citra Demokrat terpuruk akibat mencuatnya kasus Nazaruddin.

Publik melihat tidak ada ketegasan. Kelas menengah menjadi pesimistis dan bahkan ada yang kemudian tidak hormat. Padahal integritas merupakan salah satu hal mendasar di kepemimpinan.

SBY yang sering curhat ini dinilai LSI sebagai salah satu faktor yang membuat tingkat kepuasan publik menurun karena dinilai bukan karakter strong leader. Menurut Anda?

Hingga Pemilu 2009 lalu, elektoral masih dikendalikan persepsi citra publik dengan kekuatan media dan kekuatan publik. Puncak dari politik pencitraan adalah publik yang merasa tertipu. Padahal kepemimpinan sejati tidak memerlukan politik pencitraan.

Publik yang merasa tertipu dengan curhat itu menunjukkan titik balik dari pencitraan. Saya berharap jangan karena pencitraan instan, lalu masyarakat menjadi tertipu.

Padahal dengan pendidikan politik yang riil dan pemberian wacana yang jujur, simpati publik dapat diraih. Presiden AS, Barack Obama pernah dengan jujur menyampaikan sewaktu masih muda dia pernah merokok dan memakai narkoba. Tidak harus tampil sempurna. Kalau semua dipersepsikan sempurna, ketika gagal maka kecewa semua. Ini adalah komunikasi politik yang membohongi.

Popularitas SBY ada keterkaitan tidak dengan popularitas Demokrat?

Perlu diketahui, parpol kita itu memiliki topangan struktur birokrasi dalam politik kekuasaan. Kalau jatuh maka tidak laku. Yang kedua, parpol kita juga bergantung pada figur, sehingga ada personalisasi kepemimpinan. Misalnya Demokrat dengan SBY dan PDIP dengan Megawati. Ini berbeda dengan PKS dan Golkar yang sangat cair, di mana tidak ada atas nama perseorangan.

Apresiasi publik pada SBY sangat menentukan pamor Demokrat di 2014. Ini karena terjadi personalisasi politik.

Bilamana politik pencitraan berhasil?

Pencitraan berhasil jika kondisi masyarakat 60 persen lebih masih paternalistrik. Patronnya adalah media dan pencitraan, sedangkan kliennya konstituen pemilih. Kalau kondisinya begini, maka sedikit-sedikit curhat. Kedua, tingkat melek politik dan melek media masyarakat masih sangat rendah. Kalau ada kondisi itu, maka pencitraan bisa berhasil, karena masyarakat bisa diterpa, dicocok dan dihipnotis pencitraan.

Untuk perubahan politik, maka harus menunggu 2014. Sekarang ini koalisi pragmatis praktis, sehingga masih disandera koalisi parpol.

Ke depannya bagaiman karakter pemimpin yang bisa mendapat hati rakyat?

Saya kira seperti yang ditawarkan Galtung, yakni yang punya good will, courage, integritas. Yang mahal ya itu. Yang jujur, punya integritas sedang kita tunggu.

Bagaimana jika perubahan yang diharapkan pada 2014 tidak muncul karena munculnya apatisme politik publik?

Apatisme politik bisa dieliminir bertahap. Kalau ada yang jadi ekpektasi publik, maka parpol harus cerdas membaca untuk antitesis kepemimpinan. Kalau memang ada orang yang jujur, berintegritas, berani, harus bisa dimunculkan. Yang memunculkan adalah parpol, media, masyarakat kelompok kritis. Kalau sosok ini ditemukan, direspons, saya yakin bisa meningkatkan upaya partisipasi publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar