Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Selasa, 21 Mei 2013

Mengapa Kebutuhan Ilmu Melebihi Butuhnya Makan dan Minum?

Keutamaan Ilmu Menurut Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah
Oleh: Ustadz Fuad Al-Hazimi
VOA-ISLAM.COM - Ilmu adalah pemberi petunjuk (hidayah) dan merupakan kondisi (keadaan) yang benar yang dengannya seseorang akan mendapatkan hidayah. Ilmu merupakan peninggalan para Nabi dan warisan mereka, sedangkan ahlul ilmi (ulama) adalah ashabah dan ahli warisnya.
Ilmu adalah pemberi kehidupan hati, cahaya nurani (bashirah), penyembuh (penyakit di dalam) dada, latihan bagi otak, pemberi kelezatan bagi jiwa, yang melembutkan mereka yang hatinya keras dan buas. Pemberi petunjuk bagi mereka yang kebingungan.
Ilmu adalah tolak ukur yang dengannya segala ucapan, perbuatan dan keadaan diukur dan ditimbang. Ia juga penetap hukum yang akan membedakan antara keraguan dan keyakinan, antara jalan yang melenceng dan yang lurus serta antara hidayah dan kesesatan.
Dengan ilmu kita mengenal Allah, beribadah kepada-Nya, mengingat-Nya, mentauhidkan-Nya, memuji-Nya, mengagungkan-Nya dan dengannya para peniti jalan mendapatkan petunjuk. Dengannya pula orang yang ingin sampai pada tujuan mencapai tujuannya, melalui pintu ilmu orang-orang yang ingin menuju (jannah-Nya) masuk.
Dengan ilmu kita mengenal syari’at dan hukum-hukum Allah, dengannya kita membedakan halal dan haram, dengannya pula kita menyambung tali kasih saying. Karena ilmu kita mengetahui apa-apa yang diridhoi oleh Allah yang sangat kita cintai, serta dengan memahami dan mengikuti ilmu itu kita akan segera sampai kepada-Nya.
Dialah imam sedangkan amal adalah makmumnya, dialah pemimpin sedangkan perbuatan adalah pengikutnya, dialah teman disaat kita kesendirian, dialah yang mengajak kita bicara disaat kita menyepi, dialah yang menghibur kita di saat kita dalam kegalauan, yang membuka tabir kerancuan dan kesesatan dimana tak akan ada seorang pun yang akan merasa fakir saat ia lebih mengutamakan untuk mengumpulkan kekayan ilmu itu, tidak akan hilang bagi mereka berlindung dalam “sarangnya”.
Mudzakarah ilmu adalah laksana bertasbih, membahasnya adalah laksana jihad, mencarinya adalah ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, berinfaq untuknya adalah shadaqah, mempelajarinya adalah amal yang menyamai shiyam (puasa) dan qiyam (tahajjud). Kebutuhan terhadapnya lebih besar dibanding kebutuhan terhadap minum dan makan.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
الناس إلى العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب لأن الرجل يحتاج إلى الطعام والشراب في اليوم مرة أو مرتين وحاجته إلى العلم بعدد أنفاسه
"Manusia lebih membutuhkan ilmu (tentang Ad-Dien) dibanding makan dan minum, karena seseorang dalam sehari hanya membutuhkan makan minum satu atau dua kali saja. Sedangkan ia membutuhkan ilmu dalam setiap helaan nafasnya."
Kami meriwayatkan dari Imam Syafi'i rahimahullah, beliau berkata :
طلب العلم أفضل من صلاة النافلة
"Menuntut ilmu (Ad-Dien) lebih utama dibandingkan sholat nafilah (sunnah)."
Disarikan dari kitab Madarijus Salikin(2/369), karya Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah. Wallahu A’lam Bishshawab. [Ahmed Widad]

Adanya Hubungan Intim Ahmad Fathanah dan Elite PKS

Jakarta (voa-islam.com) Walaupun para elite PKS sekarang cuci tangan tentang Ahmad Fathanah, dan mengatakan Ahmad bukan kader PKS, dan hanya sebagai makelar belaka, seperti dikatakan oleh Fahri Hamzah bahwa Ahmad Fathanah hanyalah makelar, dan bekerja kepada siapa saja.
Tetapi, kenyataannya Ahmad Fathanah itu, seperti dua sisi mata uang atau seperti perangko dengan amplop yang selalu nempel. Hanya sekarang ini sesudah terjadi peristiwa kasus impor daging sapi, semua elite PKS ingin cuci tangan dengan Ahmad Fathah, dan ingin melokalisir kasus impor daging sapi hanya sebatas pada Ahmad Fathanah.
Dengan melokalisir kasus daging impor daging sapi, kesalahannya ditimpakan kepada Ahmad Fathanah, dampaknya tidak terlalu serius bagi masa depan PKS, dan bahkan sebagian kalangan ada yang membuat isu, seakan Ahmad Fathanah itu "orang luar" yang sengaja diselundupkan ke dalam barisan PKS dengan tujuan merusak partai yang dulunya mengaku sebagai partai dakwah.
Kenyataannya, hasil pemeriksaan terhadap beberapa saksi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mengungkap tentang keintiman Ahmad Fathanah dengan sejumlah elit PKS, tidak hanya Luthfi Hasan Ishaaq, sebagaimana yang diklaim selama ini oleh PKS.
Seperti kesaksian Menteri Pertanian Suswono di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (17/5/2013) atas terdakwa Arya Abdi Effendy dan Juard Effendi yang mengungkapkan adanya kedekatan Fathanah dengan elit PKS.
Suswono mengaku ada pertemuan di kediaman Walikota Makassar Ilham Sirajuddin yang diikuti Anis Matta dan Fathanah. Tidak hanya itu, Fathanah juga turut serta dalam acara kampanye kandidat PKS di Pilkada Takalar, Sulawesi Selatan. "Fathanah dan Pak Anis Matta di Takalar," ujar Suswono di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Di bagian lain, saksi yang merupakan penyelidik dari KPK Amir Arif juga mengungkapkan hasil pantauannya di Bandara Soekarno Hatta, pada 10 Januari 2013, tampak terjadi hubungan yang tampak akrab antara elit PKS dengan Ahmad Fathanah.
"Sejak di bandara saya melihat Maria di ruang tunggu 2F bersama Elda, Fathanah, Luthfi Hasan, Hidayat Nur Wahid, dan Tifatul Sembiring. Mereka kemudian naik pesawat Garuda Indonesia di kelas bisnis. Mereka saling bertegur sapa, senyum, seperti sudah kenal lama," ungkap Amir.
Kesaksian para saksi di Pengadilan Tipikor ini seperti melengkapi keterangan sebelumnya di KPK. Pemeriksaan sejumlah saksi seperti adik kandung Anis Matta, Saldi Matta yang terungkap terjadi aliran dana sejumlah Rp50 juta dari Ahmad Fathanah. Meskipun, belakangan diakui oleh Saldi uang itu diakui sebagai utang piutang. Peristiwa ini secara sederhana menunjukkan hubungan saling percaya antara keduanya.
Hal yang sama juga saat Ketua Majelis Syura PKS Hilmi Aminuddin yang tidak menampik adanya pertemuan di Lembang, Bandung, Jawa Barat yang juga diikuti Ahmad Fathanah sebelum Idul Adha tahun lalu.
Memang, sebelumnya Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin, menolak mengakui sangkaan KPK, dan balik menuduh KPK melakukan "blufing" (gertakan) saat diperiksa KPK hari Selasa (14/5/2013), tetapi sesudah diperiksa KPK kembali pada hari Kamis (16/5/2013), dan KPK menunjukkan sejumlah foto, Hilmi mengakui adanya pertemuan di rumahnya di Lembang, yang dihadiri Ahmad Fathanah, Elisabeth, dan sejumlah elite PKS.
Kondisi ini seperti paradoksal dengan sistem di internal PKS yang cenderung ketat dalam urusan pengkaderan. Justru, uniknya Fathanah yang diklaim oleh elite PKS tidak tercatat sebagai kader PKS ini terlihat dalam acara-acara penting dan sangat  strategis PKS.
Ketua Bidang Humas DPP PKS Mardani Alisera saat dikonfirmasi tentang kedekatan Fathanah dengan sejumlah elit PKS yang terungkap dalam persidangan di Pengadilan Tipikor bersikukuh bila Fathanah bukan kader PKS.
"Saya tetap menyangkalnya dengan mengatakan tidak satu keputusan pun atau satu surat pun ada tentang Fathanah," sebut Mardani melalui BlackBerry Messenger (BBM) kepada sejumlah wartawan di Jakarta, Jumat (17/5/2013).
Jadi, sulit mengelak fakta-fakta yang dibuktikan oleh KPK, termasuk rekeman pembicaraan antara Ahmad Fathanah dan Lutfhi, dan menurut sejumlah sumber Ahmad Fathanah sudah berhubungan dengan sejumlah elite PKS  itu, sejak tahun l999.
Semua terkuak dengan sangat jelas, hubungan antara Ahmad Fathanah  dengan sejumlah elite PKS. Ini tak terlepas dari usaha-usaha dikalangan elite PKS yang ingin mengejar rente dari memanfaatkan pengaruh kekuasaan yang mereka miliki.
Tentu, dikalangan rakyat secara luas, benar-benar tokoh Ahmad Fathanah ini, sangat luar biasa, bukan hanya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para elite PKS, tetapi Ahmad Fathanah mempunyai hubungan yang sangat luar biasa luasnya dikalangan artis dan model. Diantara Ayu Azhari, Vita Sesha, dan menurut KPK lebih 30 orang artis dan model yang menjadi teman dekat Ahmad Fathanah.
Ini tak dapat dimengerti oleh siapapun. Bagaimana para elite PKS memiliki hubungan dengan tokoh seperti Ahmad Fathanah dengan kepribadian seperti itu, yang sangat tidak masuk akal, bila  dikaitkan dengan PKS yang selalu menegaskan jati dirinya, sebagai partai dakwah yang bersih.
Mestinya, para elite bersikap jujur, dan mengakui hubungan mereka dengan Ahmad Fathanah. Kemudian melakukan otokritik terhadap internal mereka, dan siapapun yang terlibat dalam sengkarut kasus impor daging sapi ini, dilengserkan dan diganti dengan wajah baru yang masih bersih.
Sebaliknya tidak seperti sekarang ini, di mana para elite PKS dengan sangat keras melawan KPK, dan selalu menolak semua sangkaan KPK terhadap para elite PKS yang sudah nampak salah. Wallahu'alam.

Jumat, 17 Mei 2013

Caleg Menteri Berpotensi Selewengkan Anggaran

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu F.X. Arief Poyuono mengatakan, menteri yang mendaftar sebagai calon berpeluang besar menyelewengkan anggaran. Menurut dia, untuk menghindari penyelewengan anggaran, menteri yang turut mendaftar sebagai caleg harus mundur.

"Setiap akhir tahun, para menteri biasanya jorjoran menggunakan dana APBN untuk pemasangan iklan," kata Arief Poyuono, Senin, 13 Mei 2013.

Dia menjelaskan, iklan yang dibuat menteri sesengguhnya untuk promosi program kementerian. Hanya, ini dapat dimainkan oleh para menteri yang ikut caleg untuk promosi diri. Menteri, kata dia, mempunyai kekuasaan dan wewenang yang besar. Ini bisa digunakan oleh para menteri untuk penyelewengan anggaran, membuat kebijakan dan program kementerian untuk keuntungan caleg menteri itu secara pribadi.

"Anggaran kementerian besar dan sulit diawasi. Kita sangat khawatir itu diselewengkan," tuturnya saat ditemui di lantai satu gedung Mahkamah Konstitusi. "Lihat saja mereka. Mereka muncul di iklan setiap hari. Walaupun berbaju menteri, mereka tetap membawa nama pribadi."

Dia menjelaskan, menteri yang ikut menjadi caleg besar kemungkinan akan menggunakan program pemerintah untuk memperkenalkan dirinya. Menteri, kata dia, akan bepergian ke berbagai daerah sesuai programnya. Namun di setiap kunjungan dia akan mengumpulkan suara. Misalnya memberi bantuan tunai untuk rakyat saat harga BBM dinaikkan. Menteri akan turun langsung ke lapangan, kemudian akan meraih simpati rakyat untuk memilihnya nanti pada pemilu. "Ini suatu kesalahan besar," ujarnya.

Sekretaris Jenderal FSP BUMN Bersatu, Satya Wijayantara, mengatakan, penghabisan anggran sisa APBN biasanya digunakan untuk iklan dan pemasangan billboard untuk program pemerintah. Namun, kata dia, yang muncul pada iklan itu adalah para menteri yang akan jadi caleg itu sendiri. "Yang paling jelas itu iklan Menteri Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan, yang muncul di televisi nasional belakangan ini," ujarnya.

Arief dan Satya mengajukan pengujian materiil untuk Pasal 51 ayat 1 huruf K Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Mereka menganggap pasal itu telah menyalahi hak konstitusi dan membuat para menteri memiliki peluang lebih besar sebagai caleg karena memiliki kekuasaan. Sebagai pemohon, mereka sangat optimistis permohonan ini akan dikabulkan. "Jika MK memang ingin hasil pemilu bisa lebih jujur dan lebih berkualitas, menteri harus mundur," ujar Arief.

Potensi Politik Ormas Dalam Sistem Kepolitikan Indonesia Modern

Politik adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia, sekalipun bukansatu-satunya yang paling utama. Masih banyak bidang lain dalam kehidupan manusia yang juga tidak kalah penting dibandingkan dengan politik. Akan tetapi karena dalam praktiknya selalu penuh dengan intrik dan melibatkan orang banya ksecara kolosal, politik menjadi terlihat lebih menarik dan hingar bingar sehingga seolah-olah politik merupakan segala-galanya dalam kehidupan manusia.
Hal seperti itu wajar terjadi mengingat politik dalam kenyataan yang kita saksikan berkait erat dengan kekuasaan. Para ahli bahkan menyebutnya sebagai suatu fenomena a constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial secarapaksa)[1]. Sementara kekuasaan itu sendiri ada di mana, bahkan dalam diri setiap orang. Ketika kekuasaan itu dipertemukan dengan kekuasaan lain, maka terjadilah saling desak kekuasaan hingga terjadi negosiasi dan kesepakatan siapa yang boleh menggunakan kekuasaannya—secara paksa—dan siapa yang harus menerima dikuasai orang lain. Oleh sebab itu, tidak heran apabila politik selalu akan ramai diperbincangkan.
Hal ini pula yang dialami di kalangan gerakan dan ormas Islam. Masalah politik selalu menjadi perbicangan “seru”, bahkan dapat sampai menimbulkan dampak besar ke dalam bidang-bidang yang lain. Puncak perbincangan politik paling seru biasanya akan terjadi saat ada momen-momen politik besar seperti pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan presiden, atau pemilihan anggota legislatif. Ada yang prodengan keterlibatan gerakan Islam dalam hajat berkala itu. Ada pula yang menolak dengan tegas dengan berbagai alasan. Ada yang menghalalkan, tidak sedikit pula yang mengharamakan.
Setiap keputusan yang merupakan “produk ijtihad” tentu saja ada manfaat dan madharatnya. Akan tetapi, banyak umat Islam yang tidak terlalu mengerti sebetulnya dalam konteks sistem politik demokrasi yang diberlakukan di Indonesia saat ini, apa yang paling tepat dan paling baik dilakukan oleh umat Islam. Tulisan berikut adalah semacam penjelasan idealisme politik apa yang ingin dicapai oleh Islam, bagaimana realitas politik Indonesi saat ini, dan bagaimana peluang umat Islam untuk mengubah politik Indonesia saat ini.
Esensi dan Idealisme Kekuasaan dalam Politik Islam
Kalau ditanyakan tujuan apa yang ingin dicapai dengan berpolitik di dalam Islam, jawaban normatif yang disepakati hampir semua ulama segera dapat kita tulis. Tujuan tersebut adalah: pertama, ingin menegakkan Islam (himâyahal-dîn) dan kedua, mewujudkan kesejahteraan umat (ri’âsahsyu’ûn al-ummah).[2] Tujuan politik dalam Islam sama sekali tidak memberi ruang bagi pragmatisme pribadi dan kelompok. Politik digunakan bukan untuk menumpuk keuntungan pribadi; juga bukan untuk menegakkan kepentingan kelompok (‘ashabiyyah). Hanya dua yang boleh mendapatkan manfaat dari kegiatan politik, yaitu “agama”dan “rakyat”.
Oleh sebab tujuan politik yang begitu mulia, Imam Ghazali menyebutnya para pemegang kekuasaan ini sebagai orang yang mendapat nikmat yang besar. Tidak ada nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. melebihi kenikmatan memegang kekuasaan. Dengan kekuasaan politik yang dipegang, seseorang dapat menjadi orang yang diutamakan oleh Allah Swt. untuk masuk surga. Di mata Allah, para penguasa memiliki derajat yang mulia dan lebih dicintai. Dikatakan oleh Rasulullah Swt., “Adilnya seorang raja dalam sehari lebih dicintai oleh Allah Swt. daripada ibadah tujuh puluh tahun.”[3]
Tentu saja nikmat yang besar bagi para pemegang kekuasaan itu sepanjang ia dapat berlaku adil. Pemimpin yang zhalim, justru ia akan berubah menjadi musuh Allah Swt., bukan lagi kekasih-Nya. Musuh-musuh Allah Swt. adalah mereka yang tidak mau mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Penguasa yang tidak mensyukuri nikmatnya adalah penguasa yang zhalim dan korup. Bagi mereka Allah menyediakan siksa yangamat berat.“Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah Swt. mengharamkan surga baginya,” demikian sabda Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu).
Ini menunjukkan bahwa wilayah politik adalah wilayah yang kedudukannya bisa sangat mulia. Politik di dalam Islam menempati posisi yang penting, asal politik dipergunakan sesuai track-nya, yaitu untuk menjaga tegaknya agama dan menyejahterakan rakyat. Betapa tidak mulia. Para politisi ini akan bekerja bukan untuk kepentingannya, melainkan untuk kepentingan orang lain; dan terutama untukkepentingan agama Allah Swt. Betapa mulianya orang yang memegang pekerjaan ini. Oleh sebab itu, politisi yang tidak bekerja sesuai dengan akadnya sebagai politisi, dia dinamakan “pengkhianat”. Dia mengkhianati amanah Allah Swt. dan amanah rakyat sekaligus. Dosanya pun tidak kepalang tanggung, sama seperti pahalanya.
Pentingnya posisi politik bahkan diletakkan hanya satu garis di bawah kerasulan. Ketaatan kepada pemegang posisi politik tertinggi (ulil-amri) harus diberikan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Nisâ’ [4]: 59). Sekalipun ketaatan ini bersyarat, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan ketaatan padaAllah dan rasul-Nya, namun pernyataan secara khusus tentang posisi ulil-amri ini menyatakan bahwa politik adalah sesuatu yang amat penting dan memiliki kedudukan yang tinggi. Oleh sebab itu pula, memisahkan Islam—sebagai agama—dengan politik adalah perbuatan sia-sia. Selain amat mustahil, juga tidaksesuai dengan karakter ajaran Islam yang syâmil-mutakâmil.
Selain memuji sebagai pekerjaan yang sangat penting, Islam juga mengingatkan bahwa memegang posisi politik adalah memegang posisi yang penuh fitnah.
Dalam sebuah hadis yang tercantum dalam Sunan Al-Nasâ’i bab Ittibâ’ Al-Shaid dariIbnu Abbas, Rasulullah Saw. pernah mengatakan, “Siapa yang tinggal di huta ndia akan kering (dari informasi; kurang pergaulan); siapa yang mengikuti binatang buruan, dia akan lalai; dan siapa yang mengikuti (dekat-dekat) penguasa, dia akan terkena fitnah.” Al-Suyûthi menyebut bahwa yang dimaksud “terkena fitnah” dalam hadis tersebut adalah “hilangnya agama” atau “dikhawatirkan sudah tidak lagi memperhatikan agamanya, karena ingin mendapatkan keridhoan penguasa.”[4]
Berdekat-dekatan dengan penguasa saja dapat menimbulkan fitnah yang besar, yaitu hilangnya agama, apalagi menjadi penguasa. Menjadi penguasa secara psikologis memang membuat orang cenderung merasa dirinya paling segalanya sehingga tidak sedikit yang lupa daratan. Ini terlihat saat yang bersangkutan kehilangan posisi dan kedudukannya. Tidak sedikit yang mengidap penyakit kejiwaan yang sering disebut post power-syndrom. Oleh sebab itu, tanpa bekal keimanan, keilmuan, dan mental baja, banyak orang yang terjerumus dalam kubangan dunia politik. Mereka terjerumus dalam lumpur dosa akibat mengkhianati amanah yang dipikulnya. Kesempatan untuk berkhianat pada amanah sangat terbuka lebar bagi mereka yang memegang kekuasaan. Tidak salah pula dalam konteks ini apabila politik dikatakan sebagai suatu medan yang high risk high value.
Kekuasaan dalam Sistem Politik Indonesia Modern
Sistem politik Indonesia pasca-kolonialisme mengalami perubahan yang cukup signifikan. Bahkan sejak kemerdekaan hingga saat ini telah terjadi perubahan-perubahan penting yang menyebabkan konstelasi sistemik politik Indonesia terus berubah. Bahkan, setelah lepas reformasi terjadi pula perubahan konstelasi politik yang penting untuk dicermati. Inilah yang akan kita potret pada bagian ini. Ini menjadi penting mengingat konteks politik yang tengah dihadapi di Indonesia adalah apa yang saat ini tengah dihadapi.
Secara teori, politik adalah segala hal yang berkenaan dengan kekuasaan. Pusat kekuasaan di suatu komunitas adalah negara. Oleh sebab itu, ketika politik disebut secara tersendiri, maka yang dimaksud adalah segala hal yang berkenaan dengan kekuasaan negara dan derivatnya. Kekuasaan yang hidup secara sosiologis dalam diri setiap orang bukan yang dimaksud dengan istilah tersebut, sekalipun kekuasaan jenis ini menjadi sumber utama hadirnya kekuasaan negara yang efektif.
Dalam konteks politik-kenegaraan, sejatinya negara adalah pemegang kedaulatan (kekuasaan) tertinggi. Representasinya adalah “kepala negara”. Di masa lalu, ketika kekuasaan belum dibagi-bagi, satu-satunya pemegang kekuasaan adalah“kepala negara” yang sering disebut khalifah, raja, sultan, atauistilah-istilah sejenisnya. Ulil-amri yang disebut dalam Al-Quran adalahmereka. Saat diperkenalkan dan dipraktikkan trias-politika di Eropa, mulailah kekuasaan dibagi-bagi. Ada kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan ada pula kekuasaan yudikatif. Tujuannya adalah supaya tidak terjadi pemusatan kekuasaan yang mungkin akan menimbulkan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Sekalipun, dalam praktiknya, division of power semacam ini tidak selalu berdampak baik terhadap efektivitas penggunaan kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan politik, apalagi dikaitkan dengan pencapaian tujuan politik Islam. Bisa jadi pembagian kekuasaan justru membuka pintu masuknya pengaruh atas satu bagian kekuasaan yang akan merusak tujuan politik Islam.
Indonesia pernah mengalami fase dipimpim oleh para raja yang berkuasa secara tunggal,dikuasai asing (baca: Belanda) yang kekuasaannya pun absolut namunmenyengsarakan, dan terakhir setelah kemerdekaan Indonesia belajar untuk memerintah sendiri dengan pola division of power. Indonesia menganu ttrias politika model Montesque. Kekuasaan tertinggi di atas kertas dipegang oleh kepala negara (presiden). Sampai tahun 1967, kekuasaan ini dibagikan kepada tiga pemegang kekuasaan yang berbeda. Ada penguasa legislatif (MPR/DPR) yang dipilih melalui pemilihan umum; ada penguasa eksekutif yang dipimpin oleh perdana menteri yang bertanggung-jawab kepada parlemen (dan presiden); ada kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang mandiri. Sistem ini disebut sistem parlementer.
Memasukiera Orde Baru, kekuasaan berubah menjadi presidensial. Kali ini presiden,selain bertindak sebagai kepala negara, juga menjalankan peran sebagai kepala eksekutif (pemerintahan). Dalam sistem ini selama Orde Baru, eksekutif denganposisinya demikian menjadi sangat powerfull dibandingkan pemegangkekuasaan rekannya, yaitu DPR dan kehakiman. Kepala eksekutif inheren didalamnya sebagai kepala negara sehingga posisinya menjadi sangat penting danmenentukan. Semasa Suharto berkuasa sepanjang Orde Baru, kekuasaannya dianggap“otoriter” hingga perlu dikoreksi.
Kritik terhadap Orde Baru inilah yang akhirnya melahirkan Reformasi. Secara politik ,gerakan Reformasi berhasil merombak pola pembagian kekuasaan yang dianggap otoriter semasa Suharto. Kekuasaan presiden dipangkas. Sekalipun masih tetap kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, namun kekuasaannya untukmengeksekusi program-program harus disetujui oleh DPR. Bila sebelumnya DPR tidak banyak memiliki kekuasaan, justru sejak Reformasi bergulir DPR memiliki tambahan kewenangan yang membuatnya bisa lebih berkuasa daripada sebelumnya. Bahkan, dalam hal-hal tertentu DPR bisa lebih berkuasa dari kepala negara(presiden).
Model kenegaraan dengan sistem pembagian kekuasaan (division of power) seperti ini diyakini merupakan alternatif terbaik untuk menampung hak-hak politik dari warga negara. Seiring dengan diratifikasinya Bill of Right, kebebasan bersuara dan berpendapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengambilan kebijakan politik-kenegaraan selepas Reformasi. Otoritarianisme dianggap sebagai musuh yang harus dienyahkan karena bertentangan dengan prinsip kebebasan individu ini. Kekuasaan yang lebih besar diberikan kepada DPR pun tidak terlepas dari keinginan untuk memberikan ruang aspirasi bagi rakyat yang secara individual memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya. Sebab secara ideal, DPR merupakan institusi yang memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan aspirasi rakyat.
Kekuasaanyang telah terbagi-bagi inilah yang kemudian menjadi lahan pertarungan politikbaru di Indonesia pasca-Reformasi. Stage baru ini tentu saja melahirkan tindakan-tindakan politik baru yang sebelumnya tidak terjadi. Salah satunya adalah politik biaya tinggi (high cost politic). Jangankan pada masa kerajaan-kerajaan masih ada, di zaman Orde Baru pun fenomena ini tidak pernah muncul. Menjadi politisi di zaman itu, sekalipun tetap harus ada biaya politik yang dikeluarkan, namun dalam ukuran yang wajar. Umumnya, setiap calon pejabat politik dapat merogoh kocek miliknya sendiri untuk membiayai ongkos politik yang dibutuhkan tanpa harus melibatkan para pemilik modal (kapitalis).
Pada masa Orde Baru, sekalipun para pemilikmodal tetap ingin mendapatkan akses terhadap kekuasaan, mereka cenderung tetaployal pada penguasa. Bila penguasa bervisi baik, para pemilik modal tidak dapatberkolusi dengan penguasa. Akan tetapi, bila hasrat bermewah-mewah parapenguasa tidak dapat dikendalikan, barulah para pemilik modal ini dapat menggunakan the power of money yang dimilikinya untuk meraih keuntungandari kekuasaan. Saat itu, para pemilik modal lebih senang berada di balik layar. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan adalah para teknokrat danorang-orang pintar yang memiliki kapabilitas untuk mengelola negara. Pada zaman itu tidak mengherankan bila mereka yang bersekolah tinggi dan berprestasi secara akademik memiliki kesempatan lebih luas untuk diakses dalam lingkaran kekuasaan.
Reformasitelah mengubah semua itu. Politik biaya tinggi dan keterbukaan politik yang hampirtanpa batas telah menyebabkan politik hanya ramah bagi mereka yang memilikimodal. Mereka yang tidak bermodal besar, sekalipun memiliki segudang prestasijangan terlalu bermimpi bisa berada di lingkaran kekuasaan. Ada satu dua yangmemiliki modal sosial tinggi, tanpa modal uang banyak, dapat masuk dalamjejaring kekuasaan; akan tetapi jumlahnya amat sedikit. Di antara mereka adalahpara artis, kiai, dan selebritis lainnya. Itupun umumnya mereka kurang memilikikecakapan baik dalam mengelola kekuasaan yang dimilikinya karenalatar-belakangnya yang bukan politisi. Alhasil, keberadaannya dalam lingkarankekuasaan tidak memberi efek besar.
Merekayang berani maju dalam pertarungan politik dan berpotensi besar memenangkannyaadalah “yang punya modal” atau “yang dimodali”. Mereka yang memiliki modaluntuk maju sangat mulia apabila ia mempertaruhkan semua modalnya untukkesejahteraan rakyat. Namun, pada kenyataannya yang dilakukan sama sepertiperlakuannya terhadap modal untuk bisnisnya. Uang yang dikeluarkannya haruskembali dalam jumlah yang lebih banyak sehingga kekuasaan yang diraihnya hanya dijadikan kuda tunggangan untuk semakin memuluskan jalannya menumpuk pundi-pundi uang. Sementara mereka “yang dimodali” orang lain berpotensi hanya menjadi wayang. Dia diusung ke atas kursi kekuasaan hanya untuk memberi stempel kepentingan-kepentingan sang pemilik modal.
Dalam situasi politik seperti ini, sama sekali tidak ada istilah “daulat rakyat”; yang ada hanyalah “daulat uang” dan “daulat pemilik modal”. Ini terlihat darisemakin lemahnya posisi negara terhadap para pemodal. Negara cenderung tidak bisa mencegah tindakan-tindakan destruktif yang dilakukan para pemilik modal seperti mengeruk tambang, menggunduli hutan, memangkas anggaran proyek, dan sebagainya. Padahal, jelas-jelas yang dirugikan dari semua proses seperti ituadalah rakyat. Negara tidak lagi sendirian memegang kendali kekuasaan.Kekuasaan telah menjadi lahan “arisan” yang dipegang sahamnya oleh banyak pihak yang bahkan sama sekali tidak ada kaitannya secara struktural dan institusional dengan penguasa formal. Oleh sebab itu, boleh juga dikatakan bahwa dalam sistem politik Indonesia saat ini ada satu lagi “pembagi” kekuasaan yang tidak kasat mata di negeri ini, yaitu pemilik modal (kaum kapitalis).
NGO Sebagai Fourth Power

Pertanyaanberikutnya yang cukup penting, terutama dalam konteks gerakan organisasi masa(ormas) seperti Muhammadiyah, NU, Persis, MUI, FUI, DDII adalah di mana peran organisasi-organisasi non-pemerintah ini? Berikut penjelasan mengenai masalah ini secara singkat.
Terdapat fenomena baru yang unik dalam institusi negara modern berkait dengan pembagian kekuasaan (division of power). Rupanya pemegang kekuasaan bukan hanya mereka yang memegang jabatan-jabatan politik (political society). Dalam model demokrasi modern masyarakat dimungkinkan membentuk kelompok-kelompokkepentingan untuk menyuarakan aspirasi dan harus diakui serta diberi legitimasi oleh negara. Kelompok-kelompok kepentingan ini pun boleh mengorganisasi diri sebagaimana halnya organisasi negara.[5] Kelompok-kelompok inilah yang disebut sebagai non-government organization (NGO) atau dikenal pula dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).[6]
Arbi Sanit menyebut organisasi semacam ini sebagai salah satu wujud swadaya kepolitikan masyarakat yang mungkin tidak tertampung aspirasinya oleh kekuatan politik yang resmi berada di wilayah political society seperti pemerintah dan partai politikMelalui NGO-NGO yang didirikan oleh masyarakat ini, masyarakat dimungkinkan memiliki kekuatan politik yang harus diakui oleh negara. Kekuatan inilah yang disebut sebagai civil power.[7]
Organisasi masa (ormas) dan organisasi gerakan Islam adalah bagian dari civil society dalam sistem politik modern yang dianut Indonesia saat ini. Keberadaannya diakui oleh negara sebagai kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan ini sebagaimana NGO lainnya diperkenankan memiliki aspirasi politik dan menyuarakannya, langsungataupun tidak. Bedanya kekuatan kelompok NGO ini dibandingkan dengan aparat politik adalah tidak memiliki kewenangan mengeksekusi langsung aspirasipolitiknya dengan alat-alat yang dimiliki oleh negara. Akan tetapi, dibandingkan negara, NGO bisa langsung berhubungan dengan masyarakat untukmemperjuangkan misinya tanpa harus melalui alat-alat negara yang terkadang terlalu rigid.
Sekedar mengambil contoh yang penulis ketahui dengan baik, kita ambil tujuan ormas Persis. Tujuan didirikannya Persis sebagaimana tercantum dalam QA/QD yang disepakati para anggotanya melalui Muktamar adalah untuk mewujudkan syari’at Islam dalam segenap aspek kehidupan, terutama bagi anggotanya. Ini adalahaspirasi Persis. Sebagai warga negara di negara demokrasi, apa yang menjadi cita-cita Persis tidak boleh diberangus oleh negara, karena secara prinsip tidak bertentangan dengan misi negara. Negara harus membiarkannya hidup, sekalipun belum tentu aspirasi semacam ini bisa ditampung oleh negara. Aspirasidan kepentingan para anggota Persis ini dalam konteks sistem di negara modern masih boleh dipelihara dalam kelompoknya. Persis boleh memperjuangkan apa yang menjadi misinya melalui kelompok ini.
Sebagaikelompok kepentingan yang memiliki kekuatan politik di negara modern, ada duahal yang bisa dilakukan melalui organisasi ini. Pertama, secara sah,Persis sebagai organisasi dapat mengusulkan apa yang menjadi aspirasinya kepadanegara melalui saluran-saluran politik negara yang diakui seperti pemerintah,birokrasi, atau anggota legislatif. Sepanjang daya tawar politik yang dimilikioleh Persis kuat, apa yang menjadi aspirasinya sangat mungkin segera akanditindaklanjuti oleh pemegang kekuasaan di wilayahpolitical society. Kalaudaya tawar politiknya rendah, memang akan menyulitkan bagi Persis untuk dapatsecara kuat memaksakan aspirasinya.
Kedua, Persis memiliki akses tanpa batas kepada jamaah dan anggotanyasecara langsung. Aspirasi yang diembannya, sepanjang menyangkut kepentingan jamaah dan anggotanya dapat langsung diterapkan tanpa harus menunggu kekuatan negaraturut membantunya. Bahkan dari sisi ini, kekuatan political society tidak lebih kuat dibandingkan kekuatan yang dimiliki Persis. Persis akan dapat menghalangi masuknya akses political society kepada jamaah dan anggotanya, bila kekuatan proteksi Persis efektif dan besar. Pada bagian inilahkekuatan ormas lebih unggul dibandingkan organisasi lain, bahkan dibandingkan organisasi politik (orpol). Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila ormas (baca: NGO) tepat juga apabila disebut sebagai kekuatan keempat (fourthpower) setelah kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kedua hal di atas dapat juga dilakukan oleh organisasi dan gerakan Islam lain seperti Muhammadiyah, NU, DDII, A-Irsyad Al-Islamiyyah, FUI, dan gerakan-gerakan lainnya yang jumlahnya sangat banyak. Kalau kekuatan-kekuatan ormas dan gerakan Islam ini dapat menyatukan langkah untuk mencapai visi yang sama, maka daya tawar politiknya semakin tinggi. Akan tetapi, amat disayangkan seringkali kekuatan politik ini tidak disadari keberadaannya dan cenderung ditakuti oleh penguasa. Oleh sebab itu, tidak heran apabila penguasa selalu berkepentingan untuk membuat umat Islam menjadi tidak satu suara. Merujuk pada dua kekuatan diatas, maka ormas-ormas dan gerakan Islam dapat melakukan dua hal berikut dalam mempengaruhi politik negeri ini.
Pertama, kembali kepada teori politik-kenegaraan modern yang dianut di Indonesia. Di negeri ini kekuatan politik penentu kebijakan bukan hanya ada di wilayah political society, melainkan ada pula secara efektif di wilayah civil society. Keduakekuatan ini secara bersama ikut menentukan terbentukanya suatu kebijakan. PemudaPersis adalah salah satu bagian dari civil society yang keberadaan danhak-hak politikya diakui negara. Jadi, tanpa harus menjadi parpol, bergabung dengan parpol tertentu, atau “menitipkan” kadernya kepada parpol tertentu, secara inheren di dalam tubuh Pemuda Persis ada kekuatan politik yang efektif dan dapat digunakan secara langsung untuk ikut menentukan kebijakan negara.
Masalahnya adalah bahwa posisi politik ini seringkali tidakdisadari keberadaannya sehingga sangat jarang—kalaupun dikatakan tidakpernah—digunakan. Banyak kebijakan yang sesungguhnya bisa diubah haluannyahanya berbekal nama suatu ormas Islam atau gerakan tertentu. Misalnya saat ini tengah digodog rancangan KUHP di DPR yang diusulkan pemerintah. Sebagai bagiandari kekuatan civil society yang memiliki hak politik, ormas dangerakan-gerakan Islam bisa saja datang ke DPR atau pemerintah untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Kekuatan politik Ormas dan gerakan-gerakan Islam akan semakin diperhitungkan apabila ditambah dengan pengerahan masa. Kebijakan bisa berubah atas usul Ormas dan gerakan-gerakan Islam. Akan tetapi, apakah di Ormasdan gerakan-gerakan Islam ada kader yang siap mengkritisi RUU itu dengan argumentasi yang tidak memalukan? Juga apakah di Ormas dan gerakan-gerakanIslam ada yang memiliki kapasitas untuk memainkan peran politik ini? Jelas ini kembali kepada keberhasilan kaderisasi di Ormas dan gerakan-gerakan Islam. Oleh sebab itu, untuk saat ini sebetulnya tidak perlu terlalu takut Ormas dangerakan-gerakan Islam tidak bisa mempengaruhi kebijakan politik dengan tidak ikut bergabung dengan parpol.
Kedua, visi politik itu bukan hanya sekedar memengaruhi kebijakan, tetapi juga pada aspek implementasi kebijakan dan hukum di masyarakat (tanfîdz). Pemerintahmemiliki perangkat untuk tujuan politik yang satu ini. Perangkatnya disebut“aparat penegak hukum” seperti birokrasi, polisi, pengadilan, jaksa, dan sebagainya. Akan tetapi, “badai uang” yang melanda negeri ini telah melumpuhkan kekuatan aparat penegak hukum sehingga berakibat law disobedience (ketidaktaatanpada hukum) terjadi di mana-mana. Aparat tidak banyak yang bisa bertindaktegas. Banyak peraturan perundangan yang akhirnya hanya jadi macan kertas. Secara politik, ini adalah suatu bentuk kegagalan lain.
Ormas dan gerakan-gerakan Islam adalah di antara sekian banyakNGO yang memiliki akses kepada anggota, jamaah, dan simpatisannya yang bisajadi lebih dipercayai dibanding kepercayaan mereka terhadap negara (baca: political society)Tentu ini merupakan efek dari konsistensi Ormas dangerakan-gerakan Islam dalam membina dan mendekati jamaah. Para pemimpin ormasdan gerakan-gerakan Islam dipercayai dan ditaati karena kejujuran, keihklasan, keilmuwan, dan kezuhudan mereka. Sementara para birokrat dan politisi banyak yang tidak ditaati karena ketidakjujuran, pamrih, dan kemewahan yang mereka kejar. Dibandingkan dengan aparatur negara, kekuatan daya terap nasihat daripara pemimpin ormas dan gerakan-gerakan Islam (yang juga umumnya ulama) lebih kuat dibandingkan para aparatur politik. Ini adalah wilayah politik yang sebetulnya terbuka peluangnya untuk digunakan seluas-luasnya bagi tegaknya misipolitik Islam, yaitu tegaknya agama dan kesejahteraan umat.
Walaupun kedua wilayah politik yang bisa dimanfaatkan oleh kader-kader Ormas dan gerakan-gerakan Islam yang memang ingin berjuang dengan wasilah “politik” nyata-nyata dan jelas adanya, namun seringkali tersamarkan dengankenyataan bahwa kedua wilayah itu adalah wilayah yang “kering”. Tidak ada gelimangan anggaran dan uang di sana. Akibatnya, daya tarinya menjadi sangatrendah. Kalau ini memang yang menjadi alasan mengapa fasilitas politik yang inheren di ormas dan gerakan-gerakan Islam tidak dimanfaatkan, maka benarla hbila ada yang su’uzhan memprediksi bahwa orang-orang yang bertarung untuk masuk ke ruang-ruang politik di wilayah political society sama-samaseperti yang lain hanya ingin berebut “kue politik” alias uang! Kalau memangitu yang terjadi, apa artinya ada kader-kader Ormas dan gerakan-gerakan Islam yangikut serta dalam pertarungan politik praktis negeri ini?
Wallâhu A’lam bi Al-Shawwâb.  
[1] Lihat Goodin and Hens Dieter Klingemann (ed.). A New Handbook of Political Sicence. (London: Oxford University Press, 1995) hal. 7
[2] Al-Mawardi menyebut tujuan kekuasaan dalam Islam adalah untuk menjaga urusan agama (hirâsah al-dîn) dan mengelola urusan dunia (siyâsahal-dunyâ) lihat : Muhammad Rasyid Ridha. Al-Khilâfah aw Al-ImâmahAl-‘Uzhmâ. (Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1994) hal. 35; lihat jugaShalah Al-Shawi. Al-Wajîz fi Fiqh Al-Khilâfah. (Kairo: Dâr Al-I’lâmAl-Dauli, tt.) hal. 5.
[3] Abu Hamid Al-Ghazali. Al-Tibr Al-Masbûk fî Nashîhah Al-Mulûk. (Kairo: Maktabah Al-Kulliyyah Al-Azhariyah, tt.) hal. 18
[4] Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi. Syarh Sunan Al-Nasâ’i. (Beirut:Dâr Al-Ma’rifah, 2001) Jil. 6 hal. 50.
[5] S.P. Varma. Teori Politik Modern. (Jakarta: Raja Grafindo,2007) hal. 225. Lihat juga Arbi Sanit. Swadaya Politik Masyarakat. (Jakarta:Rajawali, 1985) hal. 35
[6] NGO ini secara umum didefinisikan sebagai organisasi yang memilikicirri-ciri: 1) bukan bagian dari pemerintah, birokrasi, maupun negara; 2) tidak bertujuan memperoleh keuntungan materi (nirlaba); 3) kegiatan dilakukan untukkepentingan masyarakat umum. Definisi ini adalah definisi yang resmi dibuatoleh negara melalui Intruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990. Inimerupakan wujud dari pengakuan negara atas keberadaan organisasi-organisasi non-pemerintah. Apabila RUU Ormas jadi disahkan, maka bagian dari NGO yangkhusus, yaitu ormas, mendapat legitimasi lebih kuat lagi keberadaannya olehnegara.
[7] Arbi Sanit. Op. Cit. hal. 35
Disampaikan alam diskusi dwipekanan INSISTS 9 Jumadil Tsani 1434/21 April 2013

Yusril: ‘Kasih Orang Fundamentalis Kekuasaan Maka Dia Akan Jadi Moderat’


FAKTA bahwa banyak orang menjadi berubah setelah menduduki kekuasaan adalah sesuatu yang jamak terjadi. Justru aneh dan unik jika seseorang setelah berkuasa bisa tetap dengan cara dan gaya seperti sebelum dia berkuasa. Lebih menariknya lagi, orang-orang yang dulu dianggap sebagai fundamentalis, radikal ataupun ekstrimis, bisa berubah 180 derajat setelah menduduki kekuasaan.
Bagi Prof.DR.Yusril Ihza Mahendra, SH, hal tersebut tidaklah sesuatu yang mengejutkan, karena menurutnya seseorang itu tergantung di mana posisi tempat dia berada. “Posisi seseorang akan melahirkan corak pemikiran politik yang berbeda,” ujar Yusril, Ahad Sore kemarin (15/5/2013) sewaktu menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Partai Politik Islam: Solusi Atau Masalah” yang digelar oleh Forum Studi Islam (FSI) FISIP UI.
Dalam penjelasannya, Yusril membandingkan Jamaat Islami Pakistan pimpinan Syaid Abul A’la Al-Maududi – yang oleh banyak pihak dianggap sebagai sosok yang fundamentalis – dengan Muhammad Natsir yang dianggap lebih moderat dan akomodatif dalam bersikap serta melakukan pergerakan. Hal itu tidak lain menurut Yusril disebabkan adanya posisi yang berbeda. Sejak awal Maududi dan jamaahnya tidak pernah terlibat dalam politik kekuasaan sehingga beliau bisa sangat ‘fundamentalis, berbeda dengan Natsir dengan Masyumi-nya yang sudah terlibat dalam kegiatan politik kekuasaan sejak dari mulai beraktifitas dalam politik praktis.
“Orang-orang Masyumi itu sejak awal sudah terlibat dalam politik, mereka berdebat nyata dan sengit di dalam parlemen dengan kubu komunis, sosialis dan sebagainya, berbeda dengan Maududi yang secara pribadi lebih banyak menulis risalah-risalah teoritis ‘keras’ dalam memberikan pemahaman politik kepada umat,” papar Yusril.
Menyimpulkan hal tersebut, Yusril berpendapat bahwa semakin jauh orang dari kekuasaan maka dia akan menjadi fundamentalis begitu juga sebaliknya, semakin dekat orang dengan kekuasaan maka akan menjadi moderat. Pada poin ini, Yusril mencontohkan Anwar Ibrahim – mantan wakil perdana menteri Malaysia – yang dahulu aktif di ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia).
Anwar dulu menurut Yusril sangat fundamentalis, sebelum dia berkuasa dia sangat anti dengan sekolah-sekolah Cina yang ada di Malaysia dan dia sangat anti perjudian serta mengusulkan agar Genting Highland (kawasan Judi legal di Malaysia) untuk ditutup. Namun apa yang terjadi setelah beliau menduduki posisi menteri pendidikan? Sekolah-sekolah Cina tidak dia tutup dengan alasan bisa merusak stabilitas BN (Barisan Nasional) yang di dalamnya ada partai Cina. Begitu juga ketika Anwar menjabat sebagai menteri keuangan. Anwar tidak berani menutup Genting Highland dengan alasan kalau lokalisasi judi itu ditutup maka kerajaan tidak mendapat pajak, jelas Yusril.
“Orang fundamentalis ekstrimis kasih dia kekuasaan maka dia akan jadi moderat, sebaliknya orang yang moderat dalam kekuasaan singkirkan dia dari kekuasaan dia akan jadi fundamentalis.” tandas Yusril.(fq/islampos)

'Jadi Caleg, Yang Penting Punya Duit'

TEMPO.CO, Jakarta - Mahalnya ongkos kampanye di Pemilu 2014 nanti rupanya disadari betul oleh sejumlah mantan aktivis yang ikut meramaikan bursa calon anggota legislatif khususnya DPR RI.

"Embel-embel aktivis, artis, kiai itu sebenarnya tidak begitu relevan. Yang membuat menang itu punya uang atau tidak," kata mantan aktivis 1998, Adian Napitupulu, dalam diskusi di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jumat, 17 Mei 2013.

Adian tak menganggap statusnya sebagai mantan aktivis menguntungkan dirinya sebagai calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan di daerah pemilihan Jawa Barat V. Meskipun dia mengakui jika kemampuannya dalam mengorganisir massa mungkin menjadi salah satu kelebihannya dibandingkan dengan calon lain.


Tapi belajar dari pengalaman sebelumnya, kata dia, hal utama yang dibutuhkan untuk kampanye adalah uang. Adian mencontohkan, setiap ke daerah dan berdiskusi dengan masyarakat tentu tak mungkin tanpa ada sedikit minuman dan makanan ringan. "Bagaimana kita mampu datangi mereka kalau kita tidak punya uang," ujarnya. "Yang bilang, cukup Rp 700 juta itu bohong," kata dia menambahkan.


Dalam perhitungan Adian, seorang caleg harus menyiapkan uang Rp 3 miliar dengan target lolos ke Senayan. Karena tak bisa menyediakan sebanyak itu, ia mempersiapkan strategi lain. "Modal saya ada. Tapi saya maksimalkan kerja pengorganisasian dan acara efektif lainnya," katanya.


Sedangkan mantan aktivis Ferry Juliantono mengaku menyiapkan uang sekitar Rp 1 miliar. "Target saya menang dengan suara terbanyak di dapil Jawa Barat VIII," kata mantan sekretaris jenderal Komite Indonesia Bangkit.

BLSM Bisa Jadi Alat Politik Partai Penguasa


Partai Bulan Bintang Provinsi Jawa Barat menolak keras program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Pasalnya, BLSM bisa dijadikan alat politik partai penguasa dalam mengelola elektibitasnya.
Hal itu dikatakan Sekretaris DPW PBB Prov Jawa Barat Alit Rahmat di Markas Wilayah PBB Jawa Barat , Bandung, Alit Rahmat  berkaca pada program serupa sebelumnya, BLT, yang hanya dijadikan alat politik. “Kita akan menolak itu (BLSM),” ujar dia.
Lebih lanjut menurutnya, Partai Bulan Bintang akan mengecam  adanya indikasi praktek-praktek transaksional Parpol yang ada di DPR.
Menurutnya, bila akhirnya pemerintah tetap keukeuh ingin BLT, maka kami PBB  akan melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turut serta mengawal kebijakan ini. Tujuannya tak lain agar benar-benar kebijakan ini terawasi dengan baik dan tidak ada muatan lain di dalamnya.
“Kita akan mendorong, kalau bisa KPK ikut dalam pembahasan BLT itu sehingga bisa transparan. Kita menghindari adanya indikasi transaksional partai-partai DPR. Karena di daerah-daerah BLT, bansos-bansos sudah menjadi ikon, modus operandi, ya pilkada mengikuti gaya ini,” ujarnya.

PBB Didik Putri Susno Duadji Jadi Bacaleg

Berita Partai — Partai Bulan Bintang (PBB) tengah didik nama putri Susno Duadji, Diliana Ermaningtias, untuk maju sebagai bakal caleg menggantikan ayahnya. Keputusan tentang pencalegan Diliana akan diputuskan pada Jumat (17/5/2013) siang ini.
Sekretaris Jenderal PBB BM Wibowo mengatakan, Diliana sudah menyerahkan berkas sebagai bacaleg. “Sementara ini secara internal Mbak Ana merupakan kandidat favorit pengganti Susno Duadji di dapil Jabar 1,” ujar Wibowo saat dihubungi wartawan, Jumat pagi.
Wibowo menuturkan, pencalonan Diliana juga sudah mendapatkan restu dari Susno. Pimpinan partai PBB, kata Wibowo, juga sudah mengunjungi Susno yang kini mendekam di LP Cibinong, Jawa Barat.
Langkah Diliana menjadi bakal caleg PBB pun semakin terbuka karena ada restu itu. Wibowo pun mengaku selama ini Diliana sudah sering menemani Susno dalam acara-acara PBB. “Kan keluarga besar Pak Susno sudah otomatis kader PBB,” tuturnya.
Kendati sudah menyerahkan berkas, keputusan Diliana maju sebagai bakal caleg masih menunggu keputusan resmi pada Jumat siang ini. “Nanti rencananya jam 2 baru kita putuskan. Tapi yang jelas, Mbak Diliana ini calon favorit di internal partai,” ucapnya.
Sebelumnya, mantan Kabareskrim Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji maju sebagai bakal caleg Partai Bulan Bintang (PBB). Susno awalnya ditempatkan di daerah pemilihan Jawa Barat I dengan nomor urut 1. Namun, belum juga kampanye pileg dilakukan, Susno dieksekusi oleh pihak kejaksaan setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasinya.
Susno merupakan terdakwa dalam kasus dugaan korupsi PT Salmah Arowana Lestari (SAL) dan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat. Susno dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara. Setelah masuk bui, Susno pun dicoret Komisi Pemilihan Umum sebagai bacaleg PBB.

Al-Ghazali dan Pendidikan Anti-Korupsi



HAMPIR
setiap hari sejak beberapa bulan terakhir, kita dibombardir berita korupsi dari kelas kakap hingga kelas teri. Dari tingkat pusat sampai level kelurahan. Dari pegawai biasa hingga pejabat tinggi. Dari pengusaha hingga politisi. Tak terkecuali jaksa, hakim, dan polisi, bahkan menteri. Sepanjang tahun 2004 hingga 2012 saja, data dari Kemendagri mencatat, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II terlibat tindakan kriminal, dimana 33,2 persen atau 349 kasus adalah korupsi. Umumnya kasus manipulasi anggaran atau mark-up biaya pengadaan barang, fasilitas dan jasa. Juga pemungutan biaya ilegal atas layanan publik, pemberian suap alias gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang atau jabatan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi maupun relasi.
Di satu sisi, berita-berita tersebut justru menimbulkan frustasi ketimbang harapan. Kepercayaan masyarakat jadi makin surut pada institusi-institusi di negeri ini. Alih-alih prihatin atau malu, publik maupun pelaku kini sama-sama menjadikan korupsi sebagai bahan guyonan, karena kritik dan sindiran setajam apapun tak lagi mempan. Seperti seloroh Mbah Kartolo di TIM Jakarta: “Paling enak numpak motor, paling aman numpak sepur. Paling aman dadi koruptor, nek konangan ya ndek Singapur”. Maksudnya: paling nyaman naik motor, paling aman naik kereta. Paling aman jadi koruptor, kalau ketahuan kabur ke Singapur(a). Maka muncul di sisi lain tanda tanya besar dalam benak kita: Apakah sebab ini semua dan adakah obatnya?


Tiga Teori
Secara umum, penjelasan para ahli mengenai korupsi dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Pertama, teori kesempitan yang mengatakan bahwa orang korupsi karena gajinya kecil, pendapatannya rendah, hidupnya susah, kebutuhan banyak. Maka solusinya, menurut teori ini, kesejahteraan perlu ditingkatkan dan gaji dinaikkan. Namun masalahnya, jika teori kesempitan ini benar, mengapa banyak pelaku korupsi itu ternyata orang-orang yang kehidupannya makmur? Maka disodorkanlah dua tipe korupsi: yaitu korupsi karena kesempitan hidup (corruption out of need) dan korupsi karena rakus (corruption out of greed). Seperti hasil penelitian Vito Tanzi (1998, hlm. 572), kenaikan gaji dan kecukupan tidak menjamin orang berhenti atau enggan korupsi.
Teori kedua boleh kita namakan teori kesempatan. Menurut teori ini, orang korupsi karena adanya kesempatan, kendati awalnya mungkin tidak punya keinginan atau rencana sama sekali. Namun teori ini pun bermasalah juga. Apakah semua orang yang punya kesempatan pasti korupsi? Bukankah pada kenyataannya tidak sedikit orang berkesempatan korupsi tetapi tidak melakukannya? Teori yang berpijak pada asumsi keliru ini menganggap manusia itu cenderung berbuat jahat. Maka dari itu semua pintu korupsi hendaklah dikunci rapat-rapat. Jangan sekali-sekali memberi ruang atau peluang walau sedikit atau sekecil apapun.
Namun lagi-lagi masalahnya seperti kata Iwan Fals (1986), “Otak tikus memang bukan otak udang.” Otak koruptor tidak sama dengan otak komputer. Jika sudah niat korupsi, ada atau tidak ada kesempatan itu bukanlah persoalan. Kesempatan bisa dicari, bahkan diciptakan. Dimana ada kemauan, disitu ada jalan.
Adapun yang ketiga adalah teori kelemahan. Pendukung teori ini percaya bahwa tindak korupsi merebak akibat lemahnya tata kelola pemerintahan (poor governance), lemahnya sarana penegakan hukum (weak legal infrastructure), dan lemahnya mekanisme pengawasan (weak monitoring system). Namun, teori ini pada gilirannya terjebak dalam logika ‘muter-muter’ alias circular reasoning. Bahwasanya korupsi disebabkan oleh pemerintahan yang lemah, dan pemerintahan yang lemah disebabkan oleh korupsi. Pemerintahan mesti kuat agar korupsi lenyap, dan korupsi baru lenyap bila pemerintahan kuat. Jadilah pertanyaannya sekarang bagaimana memutus lingkaran setan ini.

Perspektif Agama
Karena korupsi adalah tindakan curang untuk mendapatkan uang ataupun keuntungan dengan cara menyalahi, melangkahi, dan mengakali aturan hukum dan undang-undang negara, maka termasuk tindak korupsi itu memberi dan menerima suap (bribery), mencuri (theft) atau menggelapkan (embezzlement), melakukan pemalsuan (fraud), pemerasan (extortion), dan menyalahgunakan wewenang atau jabatan (graft). Semua praktek ini hukumnya jelas haram. Agama melarang keras perbuatan korupsi segala bentuk: ghisysy (menipu), mencuri (sariqah), menggelapkan (ghulul), menyuap (rasywah), dan menerima atau meminta suap (irtisya’).
“Siapa bertindak curang [yakni korupsi] niscaya datang dengan kecurangannya itu pada hari kiamat kelak”, firman Allah dalam al-Qur’an (3:161).
Menurut Imam ar-Razi, curang di sini maksudnya mengambil hak [milik negara] secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi (at-Tafsir al-Kabir, cetakan Beirut 2005, jilid 3, juz. 9, hlm. 62).
Kanjeng Nabi Muhammad pun telah bersabda: “Wahai manusia, siapapun yang menjalankan tugas untuk kami, lalu dia menyembunyikan dari kami barang sekecil jarum atau lebih, maka apa yang disembunyikannya itu adalah kecurangan [yakni korupsi] yang kelak dibawanya pada hari kiamat”, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad.
Bahkan dalam hadits lain, “Seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka atau dua utas talipun akan menjadi api neraka [seandainya tidak dikembalikan].” (HR: Imām al-Bukhārī).
Kalau secara normatif agama begitu gamblang hukumnya, lantas mengapa faktanya kejahatan korupsi begitu sukar untuk dihentikan? Apabila kita cermati secara mendalam, niscaya jelas bahwa korupsi itu nyaris tidak ada hubungannya dengan status agama pelakunya.
Tindakan korupsi lebih erat kaitannya dengan soal mentalitas daripada identitas agama. Sebagaimana halnya kebersihan, kedisiplinan dan kerja-keras lebih banyak ditentukan oleh sikap dan watak individu ketimbang afiliasi ideologinya.
Nabi mengatakan, “Manusia itu ibarat logam. Kalau aslinya emas, maka apapun bentuknya –cincin, kalung, ataupun gelang– tetap emas.” Jika seseorang itu dasarnya baik, rajin dan jujur, maka dia akan menjadi Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha yang baik, rajin dan jujur. Sebaliknya jika wataknya buruk, licik, dan pemalas, maka apapun agamanya akan tetap jahat dan buruk perangainya.
Memang betul, manusia bukanlah logam. Manusia lahir asalnya bersih, kullu mawlūdin yūladu ‘alal fitrah, kata Kanjeng Nabi. Tidak ada bayi baru lahir langsung jadi koruptor. Kejahatan dan sifat-sifat tercela seperti halnya akhlak terpuji diperoleh dari lingkungan sosial dan intelektualnya. Jadi tak salah kalau disimpulkan bahwa korupsi itu hasil pembelajaran, pergaulan, dan pendidikan.
Di sinilah langkah kongkrit pemerintah (Kemendiknas) bersama KPK memperkenalkan mata pelajaran dan mata kuliah anti-korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi patut dipuji dan didukung sepenuh hati.
Betapa besar pengaruh pendidikan terhadap korupsi telah lama disinyalir oleh Ibn Khaldun, pakar sosiologi dan sejarawan Muslim klasik. Masyarakat yang sekian lama mengalami penindasan dan kekerasan biasanya akan menjadi bangsa yang korup. Kezaliman dan penindasan menyempitkan jiwa, menguras semangat, dan akhirnya membuat mereka jadi bangsa pemalas, pembohong dan licik. Meski berlawanan dengan hati nurani, hal itu dilakukan jua demi menghindari penindasan yang lebih berat dari penguasa. Lama-kelamaan, berbuat jahat dan menipu melekat jadi kebiasaan dan karakter mereka (Students, slaves, and servants who are brought up with injustice and tyranny are overcome by it. It makes them feel oppressed and causes them to lose their energy. It makes them lazy and induces them to lie and behave viciously. They contradict their conscience for fear of suffering further oppression. Thus they learn deceit and trickery). Demikian tulisnya dalam kitab ‘al-Muqaddimah’ yang diterjemahkan oleh Franz Rosenthal (1967).
Namun, disamping langkah-langkah legal, politis dan edukatif, pencegahan korupsi juga perlu menggunakan pendekatan spiritual agama. Kalau Anda puasa, jangankan yang haram, sedang yang halal pun tidak Anda makan. Sementara yang tidak puasa punya pilihan memakan yang halal saja, yang syubhat (belum tentu halal dan boleh jadi haram), atau bahkan yang haram.
Pada akhirnya semua ini kembali pada sikap. Menurut Imam al-Ghazālī, paling utama sikap orang sholeh dan wara’ yang menjauhi semua kategori karena zuhud. Yang pertengahan itu sikap orang bertaqwa yang menghindari syubhat dan menolak yang haram. Yang paling rendah adalah sikap tidak peduli halal haram dan sebagainya. Inilah resep Imam al-Ghazali untuk pendidikan anti-korupsi.*     


Peneliti INSISTS dan Dosen ISID Gontor         


Awas! Generasi Neo-Sophist Makin Marak

Oleh: Edi Kurniawan

BARU-BARU ini sebuah kuliah Pluralisme Agama dalam bentuk seri mingguan diselenggarakan oleh sebuah organisasi yang menyematkan dirinya dengan ‘Jaringan Islam Liberal’ di kawasan Utan Kayu, Jakarta. Kuliah ini dihadiri oleh para mahasiswa yang berasal dari berbagai Perguruan Tinggi, terutama yang berada di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sementara sang guru adalah aktifis organisasi tersebut yang selama ini banyak menyebarkan faham-faham yang ‘nyeleneh’ di tanah air.
Setiap peserta diwajibkan menulis sebuah artikel dengan tema Pluralisme Agama sebagai syarat kelulusan yang dipublikasikan melalui situs organisasi tersebut. Dalam sebuah artikel, dengan sangat lugu seorang peserta mengatakan, “Penulis meyakini, pintu menuju Tuhan itu tidak hanya satu, tetapi banyak, sebanyak pikiran manusia. Seperti kata Al-Quran: “Wahai anak-anaku, janganlah kalian masuk dari satu pintu yang sama, tapi masuklah dari pintu-pintu yang berbeda” (QS Yusuf: 67). … Hal ini menyimpulkan bahwa, sebenarnya agama itu hanya sebuah jalan menuju Tuhan. Meskipun jalan itu beragam, warna-warni, luas, plural, tetapi semuanya akan menuju ke arah vertikal yang sama: Tuhan Yang Maha Esa”.
Kutipan diatas hanyalah salah satu contoh dari beberapa tulisan yang sarat dengan dengan pemikiran sufastha’iyyah atau sophisme, yaitu faham yang menolak kebenaran absolut dan menganggap setiap pendapat sama benarnya karena semuanya bersifat relatif atau nisbi.
Keraguan yang berlebihan tanpa diiringi pemahaman dan ilmu yang memadai menjadikan si penulis hilang arah dan pupus imannya pada agama. Ia juga salah dalam menempatkan ayat tersebut (QS. Yusuf: 67). Sesungguhnya ini bukan ayat pluralisme agama, tetapi menceritakan perintah Nabi Yaʿkub as. kepada anak-anaknya agar memasuki kota Mesir melalui pintu yang berbeda, karena beliau khawatir terhadap keselamatan anak-anaknya yang mempunyai paras yang indah dari gangguan orang-orang jahat sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu ʿAbbas, Muhammad ibnu Kaʿab, Mujahid dan Qatadah yang dikutip oleh Ibn Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.
Salah tafsir semacam ini juga kita jumpai dalam argumentasi guru dari si murid mengenai ‘ayat pluralisme’ yakni al-Baqarah ayat 62 dan al-Ma’idah ayat 69. Konon katanya keselamatan di akhirat kelak bukanlah milik umat Islam semata, Yahudi, Nashrani dan Sabi’in juga berhak mendapatkan keselamatan asalkan beriman dan beramal salih, kata mereka.
Sebenarnya jika kita lihat dengan jernih konteks siyaq, sibaq dan lihaq dari ayat ini dan tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an serta penjelasan para mufassir, pendapat ini jelas keliru.
Ada juga praktek ‘menggunting’ teks oleh si guru untuk membenarkan yang batil. Misalnya ketika dikatakan ahlul kitab tidak terbatas hanya pada Yahudi dan Nashrani, melainkan Buddha, Hindu, Konghucu dan Shinto pun termasuk ahlul kitab. Mereka  mengutip pendapat Rasyid Ridha, tapi mengabaikan peringatan beliau akan seriusnya bahaya pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan ahlul kitab. (Lihat, Tafsir al-Manar (1948), IV: 193)
Dalam pembahasan ilmu kalam, sufastha’iyyah atau faham sophisme ini menjadi perbincangan tersendiri, bahkan Imām al-Nasafī memasukkannya kedalam pembahasan akidah: ḥaqaiq al-asy-ya’ tsabitah wa al-ʿilm biha mutahaqqiq, khilafan li al-sufastha’iyyah. Artinya, hakikat quidditas atau esensi segala sesuatu itu tetap, tidak berubah (yang berubah itu hanyalah sifatnya saja). Pengetahuan tentangnya benar adanya yang bersalahan dengan golongan sufastha’iyyah. (Saʿd al-Din al-Taftazani, Syarh ʿAqa’id al-Nasafiyyah (2000), hlm 20-21)
Al-Baghdadi adalah orang yang pertama membagikan sufastha’iyyah kedalam tiga bentuk yang kemudian diikuti oleh Imam al-Nasafi. Mereka adalah: pertama al-ʿindiyyah atau relativisme. Kelompok ini meyakini bahwa tidak ada yang objektif dalam ilmu dan kebenaran.
Semuanya bersifat subjektif. Ringkasnya, kelompok ini meyakini bahwa kebenaran itu tergantung kepada orang yang mengatakannya.
Kedua, al-ʿinadiyyah atau skeptisisme yang bermakna the obstinate alias keras kepala. kelompok ini merasa ‘masa bodoh’ dengan kebenaran walaupun kebenaran itu sudah jelas. Ringkasnya, kelompok ini mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu.
Ketiga al-la adriyyah atau agnotisisme. Kelompok ini selalu ragu dalam melihat kebenaran karena tidak tahu hakikat kebenaran itu sendiri. ‘I do not know’, begitulah tepatnya.
Ringkasnya, kelompok ini mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia. (Syarh ʿAqa’id al-Nasafiyyah, hlm 21-22. Lihat pula Syed Muhammad Naquib al-Attas, the Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of The ʿAqā’id al-Nasafī (1988), hlm. 48)
Kelompok ini berawal dari sebuah gerakan filsafat pada zaman Yunani kuno oleh saintis gadungan alias ‘sophist’ (Greek: sophistāi) yang dipimpin oleh Protagoras (480-410 SM), Georgias (483-375 SM), Hippias dan Prodicus. Mereka ini kelompok yang menyesatkan dengan menyebarkan faham etika dan epistomologi relativisme.
Menganggap eksistensi itu tidaklah penting dan tidak akan pernah diketahui. Agama menurut mereka hanyalah sebuah penipuan belaka, sehingga sembahyang itu tidak ada gunanya serta validitas hukum itu hanya cocok untuk waktu dan tempat tertentu saja. Kemudian juga mereka memasukkan benih-benih keraguan dalam ilmu dan  kemungkinan untuk mendapatkannya serta memprakarsai faham skeptisisme. (The Oldest Known … hlm. 47-48).
Ciri-ciri dari faham ini yang telah digariskan oleh ulama kita tampak pada kelompok ‘neo-sophist’ atau mereka yang se‘nasab’ dengan mereka. Dalam bidang tafsir, tidak ada tafsir yang benar, semuanya relatif (ʿindiyyah), katanya.
Tapi aneh, mereka pun sering mengutip pendapat para mufassir yang otoritatif, tentu yang sesuai dengan selera mereka. Dalam bidang syariʿah, tidak ada lagi teks yang bersifat qathʿi (pasti) dan thawabit (tetap), semuanya dibolehkan untuk berijtihad.
“… Dengan mengecualikan ayat-ayat yang berkaitan dengan ritual murni seperti shalat, puasa, dan haji, ketentuan soal makanan dan minuman (math’umat dan masybuhat), seluruh ‘ayatul ahkam’ atau ayat-ayat hukum yang keseluruhannya turun di Madinah itu harus dianggap sebagai ayat yang berlaku temporer, kontektual, dan terbatas pada pengalaman sosial bangsa Arab abad ke-7 M. Ayat-ayat itu mencakup ketentuan tentang kewarisan, pernikahan, kedudukan perempuan, jilbab, qishas, jilid, potong tangan…”, begitulah katanya. (Abd. Moqsith Ghazali, dkk., Metodologi Studi al-Qur’an (2009), hlm. 136).
Bahkan yang lebih ‘nyeleneh’ lagi, homoseksual pun dihalalkan oleh salah seorang dari mereka. Mereka terjebak dalam keraguan yang tiada ujungnya.
Sikap Ilmuwan Muslim
Framework semacam ini digunakan dalam falsafah ilmu Barat modern dan diterima dengan ‘manut’ oleh mereka. Maka yang perlu kita tekankan disini adalah bahwa ilmu itu tidaklah netral atau bebas nilai, akan tetapi sarat nilai. Ilmu yang lahir dari rahim Barat, tidak dinafikan nilai-nilai Barat pun terselip di situ. Menolaknya secara mentah-mentah adalah bodoh.
Sementara bersikap taken for granted saja, itu ceroboh. Akan tetapi pilihlah mana yang sesuai budaya dan kebenaran agama kita. Hal inilah yang dilakukan oleh para ilmuan kita pada masa lalu ketika ilmu-ilmu dan filsafat Yunani, Persia dan India digalakkan untuk dikaji. Mereka tidak langsung menerima melainkan melalui proses penyaringan terlebih dahulu seperti yang dikatakan oleh al-Kindi bahwa mereka [ilmuan Muslim] tidak menerima bulat-bulat ilmu asing, tetapi ilmu itu mestilah melalui proses penyaringan yang berasaskan adat dan agama Islam. (Al-Kindi, Al-Kindi’s Metaphysics, (1974), hlm. 58). Wallahu aʿlam bi al-shawab.*


Penulis adalah mahasiswa master di Centre for Anvanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS) – Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur dan Alumni IAIN STS Jambi

Rencana Jahat di Balik Issue Terorisme

Pada era 80-an Amerika Serikat (AS) berhasil membujuk pemerintah negara-negara Arab dan negara-negara berpenduduk muslim lainnya seperti Indonesia dan Malaysia untuk mendukung perjuangan rakyat Afganistan melawan pasukan pendudukan Uni Soviet (yang merupakan musuh ideologis AS dalam era perang dingin), dengan slogan untuk membentengi agama Islam dan umat Islam dari gempuran komunis.

Selama pendudukan Uni Soviet di Afganistan, mereka dipuji, disanjung, dielu-elukan, lantaran misi mulia dan sakral yang memiliki dasar legitimasi keagamaan sangat kuat berada di pundak mereka. Inilah jihad mengusir pasukan tak bertuhan (komunis) dari negeri Islam. Pemerintah dan umat Islam mendukung secara moral, politik, dan finansial keberangkatan para Mujahidin ke Afganistan. Bahkan sejumlah pemerintah negara Arab terlibat langsung mengatur dan mengoordinir perjalanan mereka ke Afganistan.

Presiden Mesir Anwar Sadat-dengan dorongan Amerika Serikat dan atas restu Presiden Pakistan Zia ul Haq saat itu-tercatat berperan besar bagi pembentangan jalan hijrahnya ribuan aktivis Islam dari Mesir ke Pakistan dan Afganistan. Presiden Zia ul Haq pun bekerja sama dengan CIA membangun kamp-kamp latihan militer bagi Afgan Al Arab di Kota Peshawar (Pakistan) dan sekitarnya, sebelum mereka diterjunkan dalam pertempuran di Afganistan.

Akan tetapi, setelah pasukan Uni Soviet hengkang dari Afganistan tahun 1989, AS ternyata mengkhianati Muahidin dan sama sekali tidak memberi penghargaan atas jasa para Mujahidin mengalahkan musuh ideologis AS. Para Mujahidin juga bak kehilangan induk, setelah tewasnya Presiden Pakistan Zia ul Haq yang dikenal banyak memberi perlindungan terhadap kaum Mujahidin.

Menurut penuturan salah seorang pemimpin Mujahidin, Abdurrasul Sayyaf, CIA mulai berusaha membunuh Presiden Zia ul Haq, Osama bin Laden, dan Sheikh Abdullah Azzam, tatkala ada gejala kekalahan Uni Soviet di Afganistan. Upaya pembunuhan ini dilakukan oleh karena AS/CIA merasa tidak lagi membutuhkan tenaga dari tokoh-tokoh kunci tersebut. Bahkan AS merasa khawatir bila para tokoh mujahidin ini dibiarkan ikut memenangkan perang melawan Soviet sampai akhir, malah akan menambah semangat jihad dan justru membahayakan posisi dan pengaruh AS di wilayah tersebut. Sayyaf lebih jauh mengungkapkan, Zia ul Haq pernah mengatakan bahwa nasib dirinya berada di tangan CIA. Karena itu, lanjutnya, Zia ul Haq ke mana pun pergi selalu meminta ditemani Dubes AS di Islamabad yang akhirnya memang tewas bersamanya dalam satu pesawat yang meledak begitu lepas landas.

Perbedaan pendapat antara Zia ul Haq dan Pemerintah Amerika Serikat (AS), ungkap Sayyaf, menyangkut soal masa depan Afganistan pascahengkangnya Uni Soviet. Zia ul Haq bersikeras Afganistan harus menjadi negara Islam, sedangkan AS menginginkan Pemerintah Afganistan lebih sekuler dan berafiliasi ke Barat. Perbedaan pendapat tersebut ternyata harus dibayar mahal oleh Zia ul Haq yang membawa kematiannya secara tragis.

Setelah itu, tokoh Ikhwanul Muslimin asal Palestina, Sheikh Abdullah Azzam-yang dikenal anti-AS-juga tewas akibat ledakan bom mobil yang dipasang CIA di Kota Peshawar. Hanya Osama bin Laden yang masih selamat dari upaya pembunuhan AS, karena ia cepat pindah ke Sudan saat itu.
Hilangnya tokoh-tokoh sekaliber Zia ul Haq dan Sheikh Abdullah Azzam merupakan pukulan politik yang sangat dahsyat terhadap Mujahidin Afganistan dan kaum Afgan Al Arab.

KEKUASAAN di Islamabad yang jatuh ke Benazir Bhutto yang lebih sekuler setelah tewasnya Zia ul Haq itu, membuat hubungan Pakistan dan kaum Afgan Al Arab tidak seharmonis pada era Zia ul Haq. Pemerintah Pakistan mulai memberi tekanan-tekanan terhadap para Mujahidin di Kota Peshawar. Sebagian dari mereka terpaksa meninggalkan Kota Peshawar pulang ke negara asalnya seperti Mesir, Libya, Aljazair, Tunisia, dan Arab Saudi. Mereka yang takut pulang lantas mengalihkan tujuan ke negara-negara Arab lain seperti Sudan, Yaman, Somalia, dan sejumlah negara Eropa. Sebagian lain kembali lagi ke Afganistan dan terpaksa bergabung dengan faksi-faksi Mujahidin yang saling berperang itu. Osama bin Laden termasuk dari Mujahidin yang memilih meninggalkan Afganistan menuju Sudan.

Bagi Mujahidin yang memilih pulang ke negaranya, ternyata bukan sambutan simpati yang ditemukan, tetapi polisi langsung memborgol tangan mereka dan dibawa ke penjara. Begitulah nasib mereka sepulang dari berjihad di Afganistan. Mereka bak memasuki terowongan gelap yang tak pernah lagi menemukan ujung terangnya. Saat itu mencuat kasus-kasus yang terkenal dengan kasus Afgan Mesir, Afgan Aljazair, Afgan Tunisia, Afgan Libya, dan Afgan-Afgan lain.

Begitu pula para Mujahidin asal Indonesia, mereka dikejar-kejar dan di fitnah oleh rezim orde baru ketika itu sebagai pelaku tindakan subversif. Oleh karenanya, banyak mujahidin yang terpaksa berdiam di Malaysia dan sebagian pulang ke Indonesia dengan diam-diam. Para Mujahidin asal Indonesia inilah yang saat ini banyak di fitnah terlibat dalam jaringan terorisme, dan kemudian dijadikan target untuk ditangkap.

Padahal sejak berkahirnya pendudukan Uni Soviet di Afghanistan dan bersamaan dengan ambruknya proses perdamaian di Timur Tengah pada paruh kedua tahun 1990-an, kaum Mujahidin mulai menyadari adanya keterlibatan CIA langsung dalam memburu mereka di mana pun mereka berada.

Upaya untuk memburu alumni Afghan atau para Muajhidin ini dilakukan oleh AS secara sistematis. Secara konseptual AS mengadopsi gagasan yang dikembangkan oleh Rand Corporation, sebuah lembaga think thank proxy zionis israel. Beberapa dokumen yang diproduksi dan testemony yang dilakukan oleh para peneliti Rand Corp. Di depan kongres AS menunjukkan bahwa sesungguhnya apa yang disebut oleh AS sebagai perang global terhadap terorisme (Global War On Terorism/GWOT) itu adalah perang terhadap umat Islam yang ingin menerapkan Islam secara kaffah.

Beberapa dokumen yang dapat dijadikan bukti bahwa GWOT itu adalah perang terhadap Islam adalah Understanding Terrorist Ideology yang merupakan ceramah KIM CRAGIN didepan komite Intelijen Senat AS pada June 2007. selain itu juga beberapa dokumen lainnya, diantaranya yang berjudul EXPLORING TERRORIST TARGETING PREFERENCES, Unconquerable Nation Knowing Our Enemy Strengthening Ourselves yang kesemua dokumen tersebut adalah produksi Rand Corporation.

Selain itu juga AS memiliki rencana ganda dengan memanfaatkan issue WOT ini. Pada bulan September 2000, PNAC mengeluarkan sebuah Cetak Biru buat masa depan dalam tulisan panjang berjudul “Rebuilding America’s Defenses : Strategy, Forces, and Resources for a New Century.” Tulisan ini bermula dari premis bahwa “Amerika adalah superpower tunggal di dunia, dengan kombinasi kekuatan militer tunggal, keunggulan teknologi, dan kekuatan ekonomi terbesar. Strategi besar Amerika harus bertujuan untuk memeliharai dan memperluas posisi menguntungkan sebesar-besarnya di masa yang akan datang.”

Tulisan strategis itu merekomendasikan misi-misi baru bagi kekuatan militer Amerika, termasuk kapabalitas nuklir yang dominan dengan senjata-senjata nuklir generasi terbaru, kekuatan tempur yang siap tempur yang cukup dan memenangkan berbagai pertempuran besar, dan kekuatan-kekuatan menjalankan “tugas-tugas kepolisian” di seluruh dunia dengan komando Amerika dan bukan Perserikatan Bangsa Bangsa. Hal itu juga menegaskan bahwa “keberadaan kekuatan militer Amerika di wilayah-wilayah kritis di seluruh dunia merupakan bentuk aksi yang paling visible sebagai perwujudan dari status Amerika selaku superpower tunggal.”

Saat peristiwa 11 September 2001 terjadi, bentuk kehancuran yang diharapkan oleh PNAC terjadi guna memuluskan realisasi agenda mereka. Bagi mereka peristiwa itu memang seharusnya terjadi.

Kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh PNAC. Hanya beberapa hari dari 11/9, PNAC mengeluarkan surat bahwa “kalau pun nanti tidak ditemukan bukti keterkaitan Irak dengan penyerangan, strategi apa pun yang bertujuan menghabisi terorisme dan sponsornya harus memuat upaya penggulingan Saddam Husein dari kekuasaan di Irak.” Upaya determinan itu memuncak pada perang di Musim Semi lalu. Akhirnya alasan sebenarnya dari penyerangan Irak bukanlah persoalan Senjata Pemusnah Massal, minyak, pelanggaran HAM, atau apapun alasan lain yang dikemukakan secara publik. Namun sebagaimana yang telah ditulis dua tahun silam adalah keinginan besar untuk merebut peran permanen di wilayah strategis dunia, kawasan Teluk.

Maka dari itu, Presiden Bush dalam pidato kenegaraannya di tahun 2002 mendeklarasikan “Perang kita terhadap teror telah dimulai, tapi ini baru permulaan.” Ia memilih Irak, Iran dan Korea Utara sebagai “Poros Kejahatan, bersenjata untuk mengancam keamanan dunia.” Pada bulan Juni, Bush memberi signal dukungannya untuk strategi pre-emptive war dengan mengatakan bahwa AS “siap untuk aksi pre-emptive bila diperlukan untuk mempertahankan kebebasan kita dan mempertahankan hidup kita.” Pada akhir tahun, hal ini menjadi kebijaksanaan resmi pemerintahan Bush, yang tercantum dalam 2 dokumen perencaan Gedung Putih.

Strategi membesar-besarkan isu terorisme yang diobral sekarang ini dalam rangka menyeret militerisasi dalam politik luar negeri Amerika. Sekarang ini tidak kurang dari 130 negara di dunia yang ditempati oleh pasukan Amerika dengan 40 negara di antaranya menetap secara permanen. Dan banyak lagi negara lain yang menyediakan hak-hak bagi pasukan Amerika untuk berbasis. Dalam tulisan yang dimuat di Wall Street Journal menggambarkan bahwa perubahan besar dalam strategi militer Amerika dalam 50 tahun terakhir ini akan mengarah pada upaya “mendorong kekuatan militer Amerika ke dalam areal yang jauh lebih dalam dan pojokan dunia yang paling berbahaya.” Menteri Pertahanan, Donald Rumsfeld, seorang arsitek strategi ini, “telah mempersiapkan pasukan Amerika untuk masa depan yang dapat melibatkan banyak tempat pertempuran yang kecil, kotor dan paling berbahaya.”

Kalau kita membaca Project of the New American Century (PNAC) yang disusun Dick Cheney, Paul Wolfowitz, Donald Rumsfeld dan Richard Perle, sebelum mereka berkuasa, tujuan yang tidak dikatakan adalah mendirikan supremasi, bukan hanya hegemoni, Amerika di dunia, terutama di seluruh Asia.

Rancangan kelompok neokonservatif itu dipoles dalam sebuah laporan yang disiapkan oleh Project for the New American Century berjudul Rebuilding America’s Defenses: Strategy, Forces and Resources For A New Century bulan September 2000. Adalah wartawan Skotlandia dari harian Sunday Herald, Neil Mackay, yang membocorkan laporan itu dalam artikelnya tanggal 15 September 2000.

Dengan kata kunci "serangan preemptif" dan membasmi terorisme serta memerangi rezim-rezim yang mengembangkan senjata pemusnah massal, Irak merupakan sasaran empuk yang mudah dikalahkan. Maka dicari-carilah pembenaran bahwa Saddam melindungi Al Qaeda, serta mengembangkan senjata pemusnah massal- nuklir, kimia, dan biologis.

Pikiran yang dikembangkan oleh CFR dan RAND Corporation di atas dilanjutkan oleh para pendukung perang dari kelompok The Project for the New American Century (PNAC), yang dimotori oleh Paul Wolfowitz dalam sebuah dokumen berjudul "Rebuilding America's Defenses" yang diterbitkan pada bulan September 2000, setahun sebelum peristiwa 11-9. Ddalam dokumen itu dinyatakan, "AS harus mencegah negara-negara industri maju yang lain jangan sampai bisa menantang kepemimpinan AS, atau bahkan bercita-cita untuk dapat menjalankan peran regional atau global yang lebih besar."

Seperti halnya dokumen CFR dan RAND, dokumen PNAC itu pun secara khusus menyoroti bangkitnya Cina yang perlu dihadapi oleh AS dengan menyatakan, "Kini sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran balatentara AS di Asia Tenggara." (Michael Meacher, "This War on Terrorism is Bogus', the Guardian, London, edisi September 6, 2003. Meacher adalah mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair).

Sebelum 11-9, semua rencana mereka menabrak tembok rintangan yang sama tidak satu pun pemerintahan di Asia Tenggara, bahkan yang konservatif sekalipun seperti Indonesia, yang bersedia memikul risiko menghadapi oposisi anti-Amerika di dalam negeri, atau membuat Cina marah, karena langkah bodoh membangun hubungan dengan militer AS. Dengan kata lain, tanpa adanya bukti adanya ancaman Cina terhadap kawasan Asia Tenggara, para pemimpin ASEAN akan berpikir dua kali untuk memperkenankan kehadiran balatentara AS dalam jarak pukul, bukan hanya terhadap Laut Cina Selatan, terlebih-lebih terhadap daratan Cina. Peristiwa 11-9 membukakan peluang emas untuk mewujudkan usulan dokumen-dokumen tersebut.

Pemerintah Bush dengan sigap memenuhi saran-saran yang diajukan oleh think-tanks seperti RAND, CFR, dan PNAC. "Perang membasmi terorisme global" kemudian oleh pemerintahan Bush ditangkap sebagai dalih par-excellence untuk menghadapi sikap sebagian negara-negara ASEAN yang menolak peningkatan kehadiran balatentara AS di Asia Tenggara. Presiden Bush menyatakan dalam laporannya yang berjudul, The US National Security Strategy (2002) kepada DPR AS menyatakan, "AS akan mengambil langkah-langkah untuk menghalangi Cina meningkatkan pengaruhnya, dan akan bekerja untuk mencegah negara tersebut jangan sampai menyamai atau melampaui kekuatan AS, sehingga dapat mengancam negara-negara di kawasan Asia-Pasifik"(?).

Akhirnya The Heritage Foundation, think-tank dari kelompok ultra-sayap kanan Yahudi yang memiliki hubungan erat dengan Partai Republik, menyatakan dengan tegas, bahwa, "alasan melancarkan perang membasmi terorisme di Asia Tenggara pada akhirnya harus dikerjakan dengan atau tanpa persetujuan pemerintah-pemerintah di kawasan ini." (Peter Symonds, opcit.).

Peristiwa "Bom Bali" 12-10 -- tanpa ada seorang pun warga negara Amerika yang jadi korban -- oleh AS telah ditampilkan sebagai "bukti" adanya jaringan teroris internasional JI di Indonesia. Setelah peristiwa 12-10 itu semuanya berubah sudah, seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, siap berada di bawah komando AS untuk "membasmi terorisme". Dan untuk itu AS menuntut agar balatentaranya di Pasifik meronda Selat Malaka, di kemudian hari diniscayakan akan melebar ke Selat Lombok dan alur-alur laut chocke points penting lainnya, dengan dalih "membasmi pembajakan dan terorisme di laut".

Dan untuk memperlancar agenda AS di Indonesia dalam usaha memburu para mujahidin dengan kedok GWOT maka AS membiayai pembentukan pasukan khusus kepolisian dengan nama Detasemen Khusus 88. pada saat kunjungan ke Jakarta tahun 2002 menlu collin powel mengumumkan program bantuan sebesar 50 juta US dollar untuk membantu aparat keamanan dalam kampanye melawan terorisme. Kongres AS juga menyetujui untuk memberikan bantuan kepada polisi Indonesia sebesar 16 juta US dollar termasuk 12 juta US dollar untuk membentuk DEATSEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR / UNIT KHUSUS ANTI TEROR (lihat laporan lembaga HUMAN RIGHT WATCH 25 maret 2003 berjudul : ATAS NAMA MELAWAN TERORISME : PELANGGARAN HAM DISELURUH DUNIA).

Bahkan dalam anggaran belanja pertahanan AS belanja untuk Global War On Terrorism tahun 2008 yang lalu mencapai 141, 7 milliar US dollar.

Demikian sedikit gambaran yang ada dibalik issue terorisme yang berkembang dan dikembangkan saat ini. Kiranya kita semua tidak terjebak dalam permainan AS yang memiliki maksud jahat untuk menguasai dunia dengan sistem sesatnya.

Wamakaru wa makarallah wallahu khairul makariin. Wassalam