Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Kamis, 29 Desember 2011

Rajin Kunjungan Kerja, Miskin Prestasi


Mengakhiri tahun 2010, soroton publik atas kinerja DPRD Jatim tak pernah berhenti. Salah satu kinerja DPRD Jatim yang paling disorot masyarakat dan media selama setahun ini adalah kegiatan kunjungan kerja, baik dalam negeri maupun ke luar negeri.
Kita masih ingat pada tahun 2009 baru tiga bulan dilantik menjadi anggota DPRD agenda pertama yang dilakukan adalah melakukan kunjungan kerja ke luar negeri. Kunjungan ini langsung mendapat kecaman publik Jatim. Kebiasaan buruk warisan DPRD periode sebelumnya masih saja ”ditradisikan” dan dilanjutkan.
Dengan hadirnya wajah-wajah baru wakil rakyat kita, seharusnya dapat memberikan semangat dan tradisi politik baru dalam kerja dan kinerja DPRD, termasuk dalam hal kegiatan klasiknya, yakni kunjungan kerja. Dengan kata lain, ada perubahan dan perbaikan dalam kerja dan kinerja DPRD yang baru. Namun, kenyataannya selama setahun menjabat bukannya mengubah mentalitas dan kebiasaan buruk kunjugan kerja ”sia-sia”, justru anggota DPRD baru terlibat dalam kebiasaan buruk anggota DPRD petahana.
Ini yang kemudian membuat citra DPRD di mata publik bukan semakin membaik, justru semakin memburuk akibat ulah dan tingkah polah anggota DPRD sendiri.
Dalam kaitannya dengan kinerja kunjungan kerja, Kompas Jatim pernah mengupas tuntas mulai dari anggaran sampai hasil awu-awu yang didapat dari kunjungan DPRD tersebut. Soroton negatif atas kinerja kunjungan kerja ini bukanlah hal yang baru. Periode sebelumnya setiap tahun DPRD Jatim juga sering disorot masyarakat dan media. Akan tetapi, kecaman, cacian, bahkan tindakan hukum atas kunjungan kerja anggota DPRD oleh kelompok civil society (baca: class action), tidak membuat jera.
Justru yang terjadi pada setiap kunjungan kerja, kecaman bukannya semakin surut, malah semakin keras. Dua kali pemilu langsung tak memberi efek perubahan dan perbaikan pada kinerja DPRD Jatim, terutama aspek kunjungan kerja.
Penjelasan tersebut cukup beralasan karena selama ini setiap tahun anggaran DPRD mengalami kenaikan cukup signifikan, tetapi kerja dan kinerja masih jauh dari harapan. Sebut saja misalnya anggaran kunjungan kerja. Setiap tahun anggaran kunjungan kerja DPRD selalu kenaik, tetapi kerja dan kinerjanya masih sangat memprihatinkan.
Selama ini DPRD mengatakan anggaran DPRD naik (termasuk anggaran kunjungan kerja) dalam rangka meningkatkan ki-nerja DPRD secara institutional dan personal, tetapi realitasnya, masih jauh dari harapan (lihat tabel).

ANGGARAN KUNKER DPRD JATIM (2004-2009)      
TAHUN ANGG.           Kunker

2004                            32,71 M
2005                            35,24 M
2006                            41,79 M
2007*                          32,24 M
2008                            35,77 M
2009                            40,10 M
*Belum termasuk PAK Sumber : data Parliament Wacth Jatim diolah dari berbagai sumber

Dengan kata lain, anggaran DPRD bergerak bagaikan deret ukur, sementara kerja dan kinerja bagaikan deret hitung. Peningkatan anggaran DPRD setiap tahun bergerak lebih cepat daripada kerja dan kinerja yang dihasilkan. Imej publik bahwa kunjungan kerja hanya mengabiskan uang rakyat semakin menampakkan wujud riilnya

Tak berkorelasi
Jika kunjungan kerja diidentikkan dengan peningkatan kinerja DPRD, bisa dikatakan kunjungan kerja yang selama ini dilakukan ternyata tak berkorelasi positif terhadap perbaikan dan peningkatan kerja dan kinerja DPRD, baik secara personal maupun institusional.
Ini ditunjukkan dengan masih lemahnya kinerja DPRD, baik dari sisi fungsi kontrol, anggaran, maupun legislasi. Ketiga fungsi yang dijalankan DPRD tersebut dinilai masyarakat masih sangat lemah alias mengecewakan.
Pertama, fungsi kontrol. Fungsi ini yang paling disukai oleh anggota DPRD, tetapi bagaikan ”tong kosong, nyaring bunyinya”. Meski suaranya keras, sering ada ”maunya”. Kerasnya suara DPRD sering dijadikan tawaran politik DPRD kepada eksekutif. Akhirnya di selesaikan secara ”86” atau damai.
DPRD tak mampu berbuat banyak terhadap berbagai penyimpangan program dan anggaran yang terjadi di eksekutif. Misalnya dalam program pengentasan rakyat miskin dan proyek-proyek yang menyedot APBD cukup besar. Penyimpangan anggaran yang terjadi di eksekutif dinilai DPRD sebagai kewajaran atau hanya kesalahan administratif saja karena itu tak pernah dipersoalkan, bahkan ditindaklanjuti.
Sebut saja misalnya kasus fee Bank Jatim senilai Rp 71,4 miliar. KPK menyatakan bahwa ada dugaan kuat pemberian honor tersebut berindikasi korupsi. Indikasi korupsinya adalah aliran uang tersebut tidak masuk kas daerah, tetapi masuk kantong-kantong pribadi pejabat. Atas kasus ini DPRD Jatim bersemangat untuk membuat Pansus, tetapi layu di tengah jalan dan akhirnya mati. Ada apa dengan layunya Pansus? Saya kira publik sudah tahu jawabnya.
Kedua, fungsi anggaran. Fungsi ini juga dinilai masyarakat sangat lemah dan tak berpihak pada kepentingan masyarakat. Lemahnya fungsi ini terlihat pada struktur dan komposisi APBD Jatim dimana hampir 60 persen tersedot untuk kepentingan elite daerah melalui alokasi belanja rutin birokrasi. Sisanya sekitar 40 persen untuk kepentingan masyarakat melalui alokasi belanja pembangunan.
Setiap tahun tidak ada perubahan signifikan dalam politik anggaran daerah. APBD Jatim masih menempatkan anggaran rutin sebagai panglima, sedangkan anggaran publik sebagai prajurit. APBD Jatim setiap tahun lebih banyak melayani kebutuhan birokrasi daripada kebutuhan masyarakat.
Ketiga, fungsi legislasi. Jika pembahasan raperda selalu diidentikkan dengan agenda kunjungan kerja, seharusnya kinerja fungsi legislasi DPRD semakin baik dan meningkat. Namun, fakta selama ini fungsi legislasi DPRD dinilai masih lemah. Selama ini DPRD mengatakan bahwa kegiatan kunjungan kerja dilakukan dalam rangka pembahasan raperda. Namun lagi-lagi, ini hanya omong kosong. Setiap tahun DPRD Jatim tidak pernah memenuhi target penyelesaian perda.



Umar Sholahudin Koordinator Parliament Wacth Jatim, Dosen Sosiologi Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya

Catatan Akhir Tahun 2011 "Blunder" Marzuki Alie Pengaruhi Citra DPR


 
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO Ketua DPR Marzuki Alie

JAKARTA, KOMPAS.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, sepanjang tahun 2011, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie masih sering melakukan hal yang kontroversial. Apa yang dilontarkannya kerap memancing reaksi publik. Hal kontroversial itu dinilai turut memengaruhi citra DPR di mata masyarakat menjadi semakin buruk.

"Pimpinan DPR itu banyak melakukan blunder, terutama Ketua DPR-nya (Marzuki Alie). Blunder yang dilakukan itu sedikit banyak memengaruhi citra DPR," ujar Koordinator Formappi Sebastian Salang, di Jakarta, Kamis (29/12/2011).

Sebastian mengatakan, pada tahun 2011, kinerja anggota DPR masih jauh dari harapan. Masih banyak anggota Dewan yang malas. Menurutnya, perilaku malas itu, dipengaruhi oleh kedisplinan dan manajemen waktu di DPR yang sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan ketuanya.

"Sebagai pimpinan DPR, mereka itu harus mempersiapkan diri supaya pernyataan-pernyataannya tidak kontroversial, atau tidak menimbulkan persoalan baru di masyarakat. Kan kita tahu setiap kali Ketua DPR memberikan pernyataan, publik ini deg-deg-an. Jadi, menurut saya, harus dibenahi kalau DPR ingin baik di 2012 nanti," kata Sebastian.

Marzuki Alie memang kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Aktivis Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho di Jakarta, Senin (1/8/2011) mengatakan, pihaknya mencatat terdapat 20 bentuk kontroversi yang dilakukan Marzuki sejak 2009 hingga 2011.

"Marzuki bukan baru kali ini mengeluarkan statement atau pun kontroversi. Ini sudah ada sejak tahun 2009. Sebenarnya, kalau mau dihitung, bukan 20, tapi lebih. (Sebanyak) 20 ini yang menurut kami penting dan menuai kontroversi karena ini dilakukan oleh pejabat publik," katanya,

Marzuki pernah menyampaikan gagasan soal pembubaran KPK. Marzuki mengatakan, lembaga ad hoc tersebut lebih baik dibubarkan jika memang tak ada orang-orang yang kredibel dan pantas untuk duduk di sana. Selain itu, Marzuki juga pernah mengeluarkan pernyataan soal nelayan yang menjadi korban tsunami Mentawai, Sumatera Barat, 27 Oktober 2010. Ia mengatakan "Ada pepatah, kalau takut ombak, jangan tinggal di pantai". Pernyataannya ini memancing reaksi dari publik, yang mengecam apa yang dilontarkannya tersebut.

Imigrasi Tunggu Perpanjangan Cekal Yusril


Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra (Foto:SP) Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra (Foto:SP)


[JAKARTA] Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi pada Kementerian Hukum dan Ham mengaku menunggu permintaan perpanjangan cegah dari Kejaksaan Agung (Kejagung) atas tersangka kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum), Yusril Ihza Mahendra dan Hartono Tanoesudibjo. Mengingat, masa pencegahan keduanya berakhir pada Selasa (27/12) kemarin.

"Masa pencekalan berakhir Selasa (27/12). Jadi secara status hukum, status pencegahan mereka berdua telah berakhir," kata Kasubag Humas Ditjen Imigrasi Herawan Sukoaji, Selasa (27/12) malam.

Hingga Selasa (27/12) malam, belum ada surat permintaan perpanjangan status cegah dari Kejagung untuk dua orang tersangka tersebut.

Yusril dan Hartono resmi dicegah sejak tanggal 26 Juni 2011. Dengan surat No. KEP-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 dan  KEP-196/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011.

Permintaan cegah dari Kejagung tersebut sempat dipermasalahkan oleh Yusril karena dianggap tidak sesuai dengan prosedur. Meningat, masih menggunakan pertimbangan UU Keimigrasian yang lama dengan masa
pencegahan selama satu tahun. Padahal, dalam UU Keimigrasian yang baru diatur hanya selama enam bulan.

Akhirnya, Kemenkumham atas permintaan Kejagung meralat masa pencegahan mantan Menteri Kehakiman yang semula satu tahun menjadi enam bulan. "Senin (27/6) malam Pak Jaksa Agung sudah berkomunikasi dengan saya.
Menurutnya, kejaksaan akan mengubah permintaan cekal terhadap Pak Yusril yang mulanya telah disetujui satu tahun menjadi enam bulan," kata Patrialis Akbar ketika masih menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM di Kemenkumham, Jakarta, Selasa (28/6).

Atas permintaan tersebut, Patrialis menyatakan bahwa Kemenkumham akan menerimanya. Sebab, imigrasi pada prinsipnya melaksanakan tugas sesuai dengan Kejaksaan Agung. Sebab, sebetulnya permintaan cekal satu tahun atau enam bulan tidak melanggar hukum. [N-8]

Paham Materialistis Kikis Karakter Bangsa

Paham materialistis merupakan pemicu erosi moral yang mengakibatkan tercerabutnya karakter bangsa. Kondisi itu semakin mengikis pilar-pilar kebangsaan dari kalangan elite politik hingga generasi intelektual yang akhirnya berujung pada krisis kepemimpinan nasional.
Demikian benang merah dalam dialog kebangsaan nasional bertema ”Pilar Kebangsaan di Tengah Krisis Kepemimpinan Nasional” yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (15/12). Hadir pembicara mantan Rektor Unsoed Rubijanto Misman, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan Mayor Jenderal TNI Puguh Santoso, dan Kepala Kepolisian Daerah Jateng Inspektur Jenderal Didiek Sutomo Triwidodo.
Rubijanto mengatakan, kasus-kasus yang terjadi, dari Bank Century, mafia pajak, wisma atlet SEA Games hingga mafia anggaran di DPR yang cenderung menggantung tanpa penyelesaian yang jelas, menjadi bukti pendewaan terhadap sikap materialistis. Hal itu diperparah dengan konflik horizontal antarwarga yang lagi-lagi dipicu persoalan materi. ”Ini jelas menunjukkan krisis kepemimpinan nasional. Masyarakat tidak lagi percaya pemimpin dan elite-elite politik karena tidak berhasil memberi contoh bersikap sebagai negarawan sejati,” ujar Rubijanto.
Yusril Ihza Mahendra menilai saat ini peran negara dalam melindungi segenap bangsa dan Tanah Air patut dipertanyakan. Kekerasan yang cenderung biadab seperti terjadi di sejumlah daerah menunjukkan lemahnya integritas pemimpin dalam memberikan rasa aman masyarakat.
Parahnya lagi, generasi muda juga masih menerapkan standar ganda dalam menyikapi persoalan bangsa. Didiek Sutomo Triwidodo mencontohkan, ketika terjadi bencana di Wasior, Papua Barat, sangat sedikit aksi penggalangan dana. ”Sangat berbeda ketika ada bencana Gunung Merapi. Ini menunjukkan semangat kesukuan masih kental,” ungkap Didiek.
Padahal, kata Puguh Santoso, dalam era globalisasi saat ini, ancaman kedaulatan bangsa tidak lagi bersumber pada aktivitas militer, tetapi justru terhadap ancaman nonmiliter, dari ekonomi, kebudayaan, teknologi, hingga pendidikan. (GRE)

Nazaruddin Serahkan Bukti Keterlibatan Anas kepada KPK


 
TRIBUNNEWS/HERUDIN Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, usai diperiksa oleh penyidik KPK, di kantor KPK, Jakarta Selatan, Kamis (22/12/2011). Nazaruddin diperiksa terkait kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan pusat olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mengaku memiliki bukti soal keterlibatan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam proyek Hambalang. Nazaruddin menyatakan telah menyerahkan bukti-bukti tersebut, termasuk bukti penerimaan uang oleh Anas, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Semua tentang Hambalang, bagaimana aliran dananya, bagaimana Anas menerimanya, sudah saya ceritakan.
-- Muhammad Nazaruddin

Nazaruddin mengungkapkan hal itu seusai menjalani pemeriksaan terkait dengan penyelidikan kasus Hambalang di kantor KPK, Jakarta, Jumat (23/12/2011).
"Soal kapan terimanya, itu semua sudah saya serahkan," kata Nazaruddin.
Dia mengaku menceritakan secara detail keterlibatan Anas dalam proyek Hambalang kepada penyidik KPK.
"Semua tentang Hambalang, bagaimana aliran dananya, bagaimana Anas menerimanya, sudah saya ceritakan," ucapnya.
Saat menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, dua hari lalu, Nazaruddin juga mengatakan, Anas menerima dana senilai hampir 7 juta dollar AS dari PT Adhi Karya, perusahaan pemenang tender proyek Hambalang. Uang tersebut oleh Anas dibagikan kepada semua pengurus Partai Demokrat di daerah untuk memenangkannya dalam kongres partai itu di Bandung, Mei 2010.
Selain itu, Nazaruddin menyebutkan, Anas juga terlibat dalam proyek-proyek lain, seperti pembangunan gedung pajak di Jakarta serta proyek listrik di Kalimantan Timur dan Riau.
"Nah, di pajak itu juga ada Adhi Karya, Mahfud juga yang mengatur. Terus, tentang proyek listrik yang di Kalimantan, Adhi Karya juga yang menang, termasuk proyek listrik di Riau, yang menang namanya Rekin (PT Rekayasa Industri). Yang ngatur namanya Ibu Dila," ungkap Nazaruddin.
Adapun Mahfud, menurut Nazar, merupakan orang kepercayaan Anas. Mahfud itulah yang mengatur proyek Hambalang dan gedung pajak.

Rabu, 28 Desember 2011

FUI: Bentrokan Bima, Bukti Pemerintah Tidak Melayani Rakyat


JAKARTA (Arrahmah.com) – Bentrokan yang terjadi antara aparat kepolisian dengan warga masyarakat Sape, Bima Nusa Tenggara Barat  hingga menimbulkan korban jiwa, menunjukkan pemerintah belum melaksanakan tugas untuk memelihara dan menjaga rakyatnya.
Hal ini diungkapkan Sekjen Forum Umat Islam, Muhammad Al Khaththath kepada arrahmah.com senin,(26/12) Jakarta.
“ Didalam Islam. pemerintah itu ibarat penggembala yang harus menjaga gembalaannya, itu yang seharusnya dilakukan pemerintah” Ungkap Khaththath.
Lebih dari itu menurutnya, rakyat jangan diperlakukan dengan pendekatan kekerasan dan represif bahkan, haknya diberikan kepada pihak asing, tetapi seharusnya rakyat diberikan harapan yang baik.
“Berikan kabar gembira untuk rakyat, jangan malah digebuki. Mudahkan dan jangan persulit mereka” ujar Khaththath menyitir sebuah hadist.
Tambah Khaththath, sikap pemerintah yang berpihak kepada kapitalis dengan menyerahkan kekayaan alam yang seharusnya dihajatkan untuk kepentingan rakyat kepada kapitalis asing, hanya akan mengadu domba rakyat dengan aparat yang menjalankan tugas mengamankan lokasi-lokasi pertambangan.
“Akhirnya aparat  jadi centeng, benturan dengan rakyat”kata Mubaligh Hizbud Dakwah Islam ini.
Ia juga menegaskan, bahwa aparat keamanan harus bersikap bijaksana dan hati-hati ketika menangani kepentingan masyarakat, jangan sampai menjadi aparat keamanan yang disinyalir oleh hadist Nabi shalallahu alaihi wassalam pada suatu zaman yang tidak diridhoi Allah Subhanahu wa ta’ala.
“Pagi hari dalam keadaan dimurkai Allah, sore hari dalam keadaan dimarahi Allah” tanda Khaththath (bilal/arrahmah.com)

Daftar Hari Libur dan Cuti Bersama 2012



Berdasarkan surat keputusan bersama tiga menteri, berikut ini adalah daftar hari libur dan cuti bersama untuk 2012. Mudah-mudahan bisa membantu Anda merencanakan liburan.
Ada 14 libur nasional yang ditetapkan oleh Kementerian Agama, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sedangkan jumlah cuti bersama 2012 berjumlah lima–jumlah yang lebih banyak ketimbang cuti bersama 2011 yang berjumlah empat. “Ada masukan dari lembaga keagamaan tentang perlunya penambahan jumlah cuti bersama. Cuti bersama juga berkontribusi terhadap peningkatan kunjungan wisatawan,” jelas Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono yang hadir saat penandatanganan surat keputusan bersama.
Januari
  • Minggu, 1 Januari: tahun baru
  • Senin 23 Januari: tahun baru Imlek 2563
Februari
  • Minggu, 5 Februari: Maulid Nabi SAW
Maret
  • Jumat, 23 Maret: Nyepi Tahun Baru Saka 1934)
April
  • Jumat, 6 April: Wafat Yesus Kristus
Mei
  • Minggu, 6 Mei: Waisak 2556
  • Kamis, 17 Mei: Kenaikan Yesus Kristus
  • Jumat, 18 Mei: Cuti bersama kenaikan Yesus Kristus
Juni
  • Minggu, 17 Juni: Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW
Agustus
  • Jumat, 17 Agustus: Hari Kemerdekaan RI
  • Minggu dan Senin, 19 dan 20 Agustus: Idul Fitri 1433H
  • Selasa dan Rabu, 21 dan 22 Agustus: Cuti bersama Idul Fitri 1433H
Oktober
  • Jumat, 26 Oktober: Idul Adha 1433H
November
  • Kamis, 15 November: Tahun Baru 1434H
  • Jumat, 16 November: Cuti bersama Tahun Baru 1434H
Desember
  • Senin, 24 Desember: Cuti bersama Natal
  • Selasa, 25 Desember: Natal

Golkar Tawarkan Proporsional Campuran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Partai Golkar menawarkan sistem proporsional campuran sebagai alternatif perdebatan pembahasan RUU Pemilu yang dinilai belum menemukan titik temu.
Sistem ini dinilai mampu menjembatani antara proporsional tertutup yang didukung PDIP, PKB, dan PKS, serta proporsional terbuka yang didukung fraksi lainnya di DPR. "Kita inginkan proporsional campuran," ujar Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie, di Jakarta, Rabu (21/12).
Sistem ini nantinya akan mengakomodir proporsional tertutup 30 persen dan sisanya terbuka. Sistem ini dinilainya tidak akan mengurangi hak konstituen untuk mengetahui dan mengenal caleg yang dipilihnya, karena mereka masih bisa langsung memilih orang yang disukai.
Bakrie juga menilai parpol tidak dirugikan dengan sistem ini, karena dapat menguatkan institusi Parpol. Nantinya Parpol bisa mengangkat kader yang dianggapnya berkompeten sehingga orang-orang yang dianggap berkualitas di partai dapat memanfaatkan potensinya menjadi wakil rakyat di parlemen.
Parpol tidak hanya menjadi wadah merekrut anggota legislatif dan eksekutif, tetapi juga untuk mewadahi kepentingan publik secara umum. Menurutnya Ical, yang terpenting dalam pembahasan RUU Pemilu ini ada semangat membatasi jumlah Parpol agar pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan di DPR tidak rumit.
Ketua Fraksi Demokrat, Ja'far Hafsah, menyatakan sistem pemilu diharapkannya tetap proporsional terbuka, karena selain itu, dinilainya sebagai kemunduran. Pihaknya siap berkompromi dengan parpol apa pun asalkan tidak merubah angka PT yang disepakati pihaknya, empat persen. Untuk jumlah kursi di Dapil dinilainya bisa diubah sesuai dengan kompromi yang ada. "Semangatnya harus tetap membatasi jumlah Parpol," paparnya.
Katua Pansus RUU pemilu dari PDIP, Arif Wibowo, menyatakan pihaknya siap bernegosiasi dalam hal angka PT dan jumlah kursi di Dapil. "Untuk sistem, kami tetap menginginkan tertutup," jelasnya. Pihaknya akan terus mengedepankan sistem itu, karena tidak ingin ada kadernya yang berpotensi dan dianggap layak, tidak terpilih.

Mustafa: Kepala Daerah Perlu Kedewasaan Berpolitik

Jakarta (ANTARA) - Ketua Fraksi PKS DPR RI Mustafa Kamal menyatakan, pasangan kepala daerah di Indonesia perlu kedewasaan berpolitik agar kepemimpinannya berjalan harmonis hingga akhir masa jabatan.
"Jangan sampai pasangan kepala daerah ada yang mundur di tengah kepeminpinannya, karena hubungannya menjadi tidak harmonis," kata Mustafa Kamal di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan hal itu menanggapi mundurnya Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto, pada pekan lalu, sedangkan masa jabatannya baru akan berakhir pada Oktober 2012.
Mustafa menjelaskan bahwa pasangan kepala daerah tidak hanya perlu kedewasaan berpolitik, tapi juga membutuhkan kontrak politik dan pembagian tugas yang jelas, antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
"Poin-poin tersebut, bisa menjadi masukan pada pembahasan revisi UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang sedang dibahas di Komisi II DPR RI," kata dia menjelaskan.
Mustafa menambahkan bahwa jika mencermati persoalan di beberapa daerah memang muncul disharmoni antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
"Persoalan disharmoni itu, harus diselesaikan dengan memperbaiki aturan perundangannya," katanya.
Menurut dia, pasangan kepala daerah terpilih sering melakukan langkah-langkah politik yang di luar kewenangannya, sehingga membuat hubungan antara pasangan kepala daerah tersebut menjadi tidak harmonis.
"Solusi dari persoalan ini, menurut saya, dengan memberbaiki aturan perundangan dan meningkatkan kedewasaan berpolitik dari pasangan kepala daerah," kata Mustafa Kamal menegaskan.

Tjahjo: DPR Lebih Baik Bubar Jika Tolak HMP Century

Tjahjo: DPR Lebih Baik Bubar Jika Tolak HMP Century

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekjen DPP PDI-P, Tjahjo Kumolo menegaskan, tak ada aturan yang dilanggar bila Hak Menyatakan Pendapat (HMP) bergulir terkait penuntasan kasus skandal bailout Bank Century. HMP, Tjahjo menegaskan, melekat kepada 560 anggota DPR.
"Jika hak politik ini ditolak oleh kalangan legislatif, dia yang mengusulkan, jadi  lebih baik lembaga DPR dibubarkan saja," tegas Tjahjo Kumolo pada acara refleksi akhir tahun Penegakkan Hukum PDI Perjuangan , Rabu (28/12/2011).
Tjahjo menjelaskan pada rapat paripurna beberapa waktu lalu, seluruh anggota dewan sudah setuju untuk menggunakan opsi C, untuk menuntaskan kasus aliran dana Bank Century senilai Rp 1,6 triliun. Tjahjo kemudian memastikan, HMP yang diusung oleh fraksi PDI-P, Hanura, dan Gerindra, masih jauh untuk digunakan sebagai alat pemakzulan Presiden.
"Pemakzulan, harus melewati proses panjang melalui persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Dan kalau mau jujur, semua anggota DPR setuju dengan opsi C harusnya setuju menggunakan hak menyatakan pendapat," tegasnya.
Posisi fraksi PDI-P, diakui Tjahjo Kumolo, tak mayoritas dalam mengambil keputusan di parlemen. PDI-P kerap  berhadapan dengan fraksi sekretaris gabungan (Setgab) koalisi partai di DPR. Namun, sambung Tjahjo lagi, partainya  terus berupaya melakukan lobby-lobby politik dengan fraksi lain. " Agar HMP bisa lolos pada sidang paripurna berikutnya," tegas Tjahjo Kumolo.

Selasa, 27 Desember 2011

Ribuan Kader Rayakan Milad Partai Bulan Bintang


Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang MS Kaban (ANTARA/Widodo S. Jusuf)Jakarta 

(ANTARA News) - Ribuan kader dan simpatisan Partai Bulan Bintang (PBB) memeriahkan hari jadi (milad) yang ke-13 yang digelar di Kantor DPP PBB di jalan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu.

Acara yang berteakan "Sang Pemberani Bicara yang Benar" itu dihadiri Ketua Umum DPP PBB MS Kaban dan sejumlah Ketua DPW PBB seluruh Indonesia. Hadir juga dalam acara tersebut Ketua Umum Partai Hanura H Wiranto dan Mantan Meteri Perekonomian Rizal Ramli.

MS Kaban dalam sambutannya mengatakan, Milad ke-13 ini menjadi tanda eksistensi PBB. Dia optimistis  PBB bisa bertahan untuk seterusnya dan mampu berpartisipasi dalam Pemilu 2014 mendatang.

"Selama 13 tahun PBB berdiri dan semoga PBB tetap eksis untuk membangun bangsa dan negara ini," katanya.

Menurut Kaban, PBB merupakan partai yang terbuka oleh partai manapun. Partai manapun bisa berkoalisi dengan Partai Bulan Bintang.

"Tidak menutup kemungkinan PBB akan berkoalisi dengan partai besar lagi. Namun, tidak menutup kemungkinan PBB juga akan berkoalisi dengan partai kecil, dan akan mengusung Capres sendiri pada Pilpres 2014 nanti," katanya saat ditanya wartawan seusai acara Milad.

MS Kaban melanjutkan, dalam Pilpres ataupun Pemilu Legislatif nanti PBB tidak menargetkan suara yang muluk- muluk.

"Kita ikuti saja berapa yang akan diamanatkan oleh Undang-undang untuk ambang batas suara atau "Parlementary Treshould" (PT). Meskipun PT nanti diatas 3 persen kami yakin akan mampu meraihnya," kata mantan Menteri Kehutanan ini.

Yang jelas, jar Kaban, asal penyelenggaraan pemilu nanti bisa bersih dan jujur, kami a yakin bisa meraihnya.

"Kita anggap Pilpres tahun 2009 lalu banyak kecurangan. PBB minta pada penyelenggaraan Pemilu tahun 2014 bisa bersih dan jujur," demikian MS Kaban.(*)
Editor: Ruslan Burhani

PKNU-PBB deklarasikan Aliansi Hijau



Jakarta (ANTARA News) - Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dan Partai Bulan Bintang (PBB) mendeklarasikan Aliansi Hijau di Jakarta, Selasa malam.


Aliansi Hijau merupakan kesepakatan PKNU dan PBB untuk bergabung dalam format konfederasi secara permanen, dan akan berjuang bersama-sama agar dapat menjadi peserta Pemilihan Umum 2014.

Hingga saat ini, revisi Undang-undang Pemilu belum menyediakan klausul gabungan partai politik sebagai peserta pemilu.

"Pertemuan PKNU-PBB ini untuk menyadarkan kawan-kawan politisi di Senayan untuk membangun sistem politik yang baik tanpa membunuh parpol kecil. Tidak perlu ada pembunuhan parpol oleh undang-undang," kata Ketua Umum PKNU Choirul Anam.

Demokrasi yang harus dibangun Indonesia adalah demokrasi yang sesuai nilai luhur bangsa, yakni demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

"Bukan demokrasi kanibalisme," tandas Cak Anam, sapaan akrab politisi yang juga pemilik media massa terbitan Surabaya, Jawa Timur, itu.

Menurut dia, salah besar jika semangat penyederhanaan sistem politik atau penyederhanaan partai dilakukan dengan membunuh partai-partai kecil yang notabene mewakili aspirasi rakyat juga.

Sebagai catatan, dalam Pemilu 2009, meski tidak memenuhi parliamentary threshold (PT), perolehan suara kedua partai itu cukup lumayan. PBB memperoleh 1,7 persen, sedangkan PKNU memperoleh 1,5 persen.

"Penyederhanaan bisa dilakukan dengan kesadaran dan alami. Kalau terus tidak dipilih rakyat pasti akan sadar diri untuk tidak ikut pemilu lagi," kata Anam.

Hal senada dikemukakan Ketua Umum PBB MS Kaban. Dikatakannya, konfederasi merupakan salah satu alternatif penyederhanaan sistem politik atau penyederhanaan partai.

"Ini cara paling aspiratif sederhanakan partai tanpa menghilangkan aspirasi. Ini aspirasi yang hidup di masyarakat," kata mantan Menteri Kehutanan itu.

Kaban berharap langkah konfederasi partai yang dilakukan PKNU dan PBB akan diikuti oleh partai-partai yang lain.

Deklarasi Aliansi Hijau dihadiri oleh pengurus pusat PKNU dan PKB, termasuk Ketua Dewan Syura PKNU KH Abdul Adzim Suhaimi dan Ketua Majelis Syura PBB Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, simpatisan kedua partai serta sejumlah pengurus partai lain.

Bergaya Militeristik Ala Orba, Polri Harus Direstrukturisasi


Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Buntut dari bentrok aparat kepolisian dengan masyarakat pengunjuk rasa di Bima, Nusa Tenggara Barat, desakan untuk melalukan restrukturisasi Polri semakin gencar. Dari beberapa kejadian akhir-akhir ini, presiden pun diminta segera merestrukturisasi Polri .
Menurut sejumlah kalangan, saat Polri berpisah dari ABRI, maka Polri harusnya menata diri menjadi polisi sipil yang soft dalam menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat.
"Kenyataannya justru sebaliknya. Reformasi Polri justru meniru gaya dan cara-cara militer, dari mengayomi menjadi ‘melibas’. Dari hanya melumpuhkan menjadi ‘mematikan’. Lihat saja senjata perorangan yang dipakai Brimob, bukan lagi senjata untuk melumpuhkan, tetapi senjata-senjata sekelas pasukan komando," ujar Politisi PDI Perjuangan, Tubagus Hasanuddin dalam pesan singkatnya kepada wartawan, Senin(26/12/2011).
Ironisnya lagi, kata Tubagus, Brimob malah tidak memiliki tameng, helm huru hara, gas air mata, atau water canon. Sebaliknya mereka malah melengkapi dirinya dengan senjata mesin otomatis, sangkur, dan panser. “Bahkan dalam HUT Bhayangkara 1 Juli, satuan polantas berdefile memakai pedang kavaleri TNI AD,”ujarnya.
Selain itu, kata Tubagus, struktur organisasi yang dipakai Polri juga seperti TNI zaman orde baru mulai dari Kapolsek mempunyai hirarkhi vertikal ke atas ke Kapolres, Kapolda, Kapolri, sampai presiden sebagai "kepala tertinggi" polisi negara.
"Polisi dimanapun biasanya menggunakan organisasi kewilayahan. Kepala polisi di wilayah tertentu bertanggung jawab kepada otoritas sipil setempat. Sekarang Polri juga menjadi lembaga yang super. Mereka yang membuat program, mereka juga yang membuat rencana anggaran, meminta anggaran, menggunakan anggaran, bahkan mereka juga yang mengevaluasi kinerjanya," jelasnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR ini menyarankan seharusnya ada sebuah kementerian yang membawahinya, seperti juga Kemenhan untuk TNI .
"Saya tak habir pikir mengapa presiden SBY tak mau belajar dari pengalamannya untuk segera meredisposisi dan restrukturisasi Polri. Atau barangkali ada keuntungan lain bagi pemerintah sekarang ini bila Polri di bawah langsung presiden," pungkasnya.

Selamat Berjuang.....

Alhamdulillah, Pada tanggal 28 Muharram 1433 H/ 24 Desember 2011 dalam acara Musyawarah Wilayah Luar Biasa Pergantian Antar Waktu Pimpinan Wilayah Partai Bulan Bintang Provinsi Jawa Barat, telah memilih dan menentukan Ketua DPW Partai Bulan Bintang Provinsi Jawa Barat yaitu : Sdr Drs. H. Arif Budiman MSi dengan perolehan suara 22 suara, sedangkan Drs. H. Anwarudin mendapatkan 8 suara.

Selamat Berjuang kepada Drs. H. Arief Budiman MSi dan Achmad Thohari sebagai Sekretaris untuk melanjutkan Periode 2010-2015 M.





Jumat, 23 Desember 2011

Umat Islam Siap Berhijrah dan Berjihad Tumpas OPM dan RMS




JAKARTA (voa-islam.com) - Mencermati makin memanasnya situasi di wilayah timur Indonesia, di antaranya di Papua akibat ulah terror  OPM dan juga kerususuhan Ambon yang ditengarai ditunggangi RMS, ormas-ormas Islam yang tergabung dalam FUI (Forum Umat Islam) Jum’at (23/12) mendatangi Dirjen Pothan (Direktur Jenderal Potensi Pertahanan).
Delegasi FUI dipimpin oleh KH. Muhammad Al Khaththath, didampingi ketua dewan penasehat Habib Rizieq Syihab bersama Ahmad Sumargono, Chep Hernawan, Munarman, Tabrani Sabirin, Zahir Khan dan Aru Syeif Assadullah. Sementara dari jajaran Kemenhan yang menerima delegasi FUI antara lain, Pos Hutabarat, ditemani oleh Dirjen Komponen Cadangan Santoso, Direktur Hukum Strategi Pertahanan Fachruddin, Sekretaris Dirjen Pothan Ustiwa dan pejabat lainnya.
Dalam pertemuan tersebut FUI menyampaikan pernyataan pers terkait makin memanasnya kondisi di papua ditambah pihak Kristen mengusulkan referendum di daerah tersebut. Berikut ini adalah kutipan lengkap pernyataan sikap FUI.

PERNYATAAN PERS

FORUM UMAT ISLAM

“Tolak Pemisahan Papua dari NKRI”
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan kumpulan pulau-pulau dan seluruh penduduknya yang beraneka ragam suku, bahasa, budaya, dan agamanya  yang membentang di Khatulistiwa dari kota Sabang di Propinsi Aceh sampai Merauke di Propinsi Papua adalah negara yang berdaulat dan sah diakui oleh berbagai negara dan bangsa di dunia.  Negara dengan kebhinekaannya yang luar biasa itu adalah nikmat dan rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa, sebagaimana bunyi pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu, nikmat ini harus disyukuri dengan memberikan pengabdian secara ikhlas dan sungguh-sungguh kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, dengan ibadah dan karya nyata pemerintah dan rakyat sehingga terwujud kehidupan yang mulia bagi seluruh rakyat Indonesia yang tercukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka serta terpenuhi kebutuhan kolektif seluruh rakyat akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan tanpa terkecuali.
Salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta menjaga keutuhan wilayah NKRI.  Sejarah mencatat rasa syukur dan sabar atas nikmat kemerdekaan dari kolonial Belanda dan memiliki negara berdaulat dengan mengalahnya umat Islam atas pencoretan tujuh kata, yakni ”dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” dari Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 demi menjaga kesatuan bangsa dan keutuhan wilayah NKRI yang baru sehari diplokamirkan dan kondisi revolusi.  Dalam rangka menjaga keutuhan NKRI pula, umat Islam melalui berbagai ormas Islam  secara pro-aktif mendorong perdamaian di Aceh sehingga konflik Aceh selesai dan Aceh tetap dalam pangkuan NKRI.
Oleh karena itu, sehubungan dengan naiknya eskalasi konflik di Papua dan Maluku yang ditengarai sebagai bagian dari suatu design untuk melepaskan wilayah tesebut dari NKRI oleh RMS dan OPM, maka para pimpinan ormas dan gerakan Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) menyatakan:
Pertama: Menolak usulan referendum dari gereja Papua atau siapapun untuk melepaskan Papua dari NKRI.  
Kedua: Mewaspadai rencana Vatikan menunjuk langsung Uskup Papua yang akan menjadi pembuka jalan bagi lepasnya Papua dari NKRI sebagaimana kasus Timor Timur.
Ketiga: Mengecam segala intervensi asing di Papua untuk lepasnya Papua dari NKRI.
Keempat: Menuntut Menteri Pertahanan untuk mencabut pernyataannya bahwa di Papua tidak ada intervensi asing karena tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Kelima: Mendesak pemerintah mengambil  tindakan tegas terhadap gerakan separatis OPM di propinsi Papua dan RMS di propinsi Maluku yang telah melakukan berbagai tindakan teror yang sistematis kepada rakyat dan pemerintah, seperti membunuh TNI/Polri dan rakyat, membakar kantor dan bendera merah putih seraya menaikkan bendera OPM dan RMS. 
Keenam: Bilamana pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas dan signifikan terhadap berbagai rongrongan dan teror yang dilakukan oleh OPM dan RMS, maka umat Islam dari berbagai penjuru tanah air siap berhijrah dan berjihad ke Papua dan Maluku untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan wilayah NKRI. 

Jakarta, 27 Muharram 1433H/23 Desember 2011
FORUM UMAT ISLAM


Muhammad al-Khaththath    Habib Muhammad Rizieq Syihab 
      Sekretaris Jenderal              Ketua Dewan Penasihat

Profesor Psikolog UI Itu Akhirnya Mengakui Dirinya Tidak Paham Islam


Jakarta (voa-islam) – Psikolog Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono dalam sebuah diskusi yang digelar BNPT, saat peluncuran buku Mereka Bukan Thagut di Hotel Sahid, Jakarta, beberapa waktu lalu (17/12), akhirnya mengakui kelemahan dirinya yang tidak memahami Islam secara utuh.
Seperti diketahui, Sarlito Wirawan ikut melibatkan diri dalam membina narapidana kasus terorisme. Beberapa pondok pesantren juga ikut melibatkan diri, bekerjasama dengan para psikolog untuk “meluruskan” kembali pemahaman soal Jihad. Bahkan, Sarlito kerap melempar stigma-stigma buruk terhadap identitas Islam, mulai dari sikap paranoidnya terhadap ikhwan muslim berjenggot, celana ngatung, hingga pemahaman soal jihad.
Akibat analisisnya yang ngawur membahas isu deradikalisme dan terorisme, Sarlito mendapat banyak kritik dari kalangan aktivis Islam, tak terkecuali para pengamat teroris dan civitas akademik UI itu sendiri. Untungnya, ia sudah menyadari, bahwa wawasannya soal keislaman dan peta pergerakan Islam masih sangat dangkal, dan perlu banyak mengaji dan mengkaji lebih dalam.
Ketika mendengar pembahasan soal thagut, Sarlito yang sering bicara soal deradikalisme dan terorisme itu, mengaku mendapat pencerahan dan wawasan baru soal keislaman. “Saya ini awam kalau soal Islam begini, minggu lalu saya menulis di Koran Seputar Indonesia (Sindo) tentang  thagut. Saya kira tulisannya thogut, ternyata thagut. Tapi yang jelas, saya mengerti hal-hal ini, seperti thagut dan jihadis justru dari kalangan ikhwan, termasuk dari Ustadz Abu Rusdan,” ujarnya tersenyum.
Bukan Monopoli Ikhwan
Sarlito tak memungkiri, akan selalu ada pihak-pihak atau kelompok yang tidak puas dengan pemerintah. Sebagai contoh, seorang mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) bernama Sondang Hutagalung yang membakar dirinya di depan Istana Negara beberapa waktu lalu, adalah ekspresi kekecewaan masyarakat yang kecewa dengan pemerintah saat ini.
Di Papua, masyarakat bergejolak menuntut keadilan. Di Lampung, kelompok masyarakat menggugat pemerintah atas kebiadaban aparat yang membantai warga Mesuji, terkait konflik lahan perkebunan yang dikuasai pihak perusahaan.
“Jadi, kekecewaan itu bukan hanya monopoli para ikhwan saja, yang sampai menyebut pemerintah itu thagut. Yang pasti, saya belum melihat ikhwan membakar diri seperti Sondang. Tapi kalau bom bunuh diri sudah. Itu semua adalah cerminan dari ekspresi masyarakat yang tidak puas,”tukas Sarlito.
Sarlito mengajak rakyat Indonesia untuk bersama-sama menggalang pesan damai dan hentikan segala bentuk kekerasan. Ia yakin, dengan pintu dialog, meskti tidak ada kesepakatan, suatu saat nanti akan bertemu juga. “Bicara soal Pemanasan Global saja baru terjadi kesepakatan setelah melalui beberapa generasi. Tapi saya hanya mendambakan Indonesia yang damai dan bersatu. Itu saja,” harapnya tulus.
Jika ada kelompok yang mengatakan, NKRI harga mati, maka kelompok Islam juga akan mengatakan, Islam harga mati. Setidaknya, perang kata ini tidak boleh ada darah yang tumpah sesama anak bangsa.  Desastian

Kasus Century Masuk Kotak



MI/Susanto/sa
PENANGANAN megaskandal Century antiklimaks. Proses politik di DPR berhasil membuka satu per satu borok pengucuran dana negara sebesar Rp6,7 triliun ke Bank Century. Akan tetapi, hasil audit forensik malah menggiring kasus itu masuk lagi ke kotak pandora.

Itulah sebabnya, Ketua Fraksi PDIP DPR Tjahjo Kumolo menyebut hasil audit forensik itu jauh dari harapan. "Tekanan kekuasaan berhasil mereduksi audit forensik tersebut," ujar Tjahjo.

Hasil audit forensik itu diserahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada DPR, kemarin. BPK menyodorkan 13 temuan menyangkut berbagai aspek plus dua fakta penting (lihat grafik). Wakil Ketua DPR Pramono Anung dan Priyo Budi Santoso kompak menyebut hasil audit itu jauh dari memuaskan.

Meski demikian, lanjut Pramono, ada clue untuk bisa dilakukan pendalaman lebih lanjut oleh aparat penegak hukum terkait dengan temuan BPK yang mengarah kepada kelompok, yayasan, perusahaan, dan beberapa nama direksi Bank Indonesia (BI).

Pramono tidak puas atas audit forensik BPK karena hasilnya tidak mengungkap secara detail aliran dana yang mengarah ke beberapa pihak yang selama ini diduga terlibat dalam kasus tersebut. Apalagi, DPR sudah memvonis bersalah sejumlah pembesar, termasuk Wakil Presiden Boediono dan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Hasil audit forensik sama sekali tidak menjawab apakah benar ada aliran dana untuk partai politik dan calon presiden tertentu.

Ketua BPK Hadi Purnomo berkilah bahwa audit forensik hanya lanjutan. "Ini hanya menyangkut aliran dananya." Hadi menjelaskan aliran dana berbeda dengan kebijakan bailout Century yang dicetuskan Sri Mulyani yang dahulu menjabat Menkeu dan Boediono yang kala itu menjadi Gubernur BI.

Tidak wajar

Hasil audit forensik itu mengungkap transaksi tidak wajar yang menyangkut anggota DPR. Disebutkan bahwa ada aliran dana mengalir ke seseorang berinisial ZEM sebesar US$392 ribu.

Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP Zederick Emir Moeis mengaku dirinya hanya menjadi korban dalam kasus Century. "Saya itu korban. Saya investasi dana di situ, yang malah sampai sekarang masih enggak tentu beritanya. Saya ini senasib dengan nasabah Antaboga," tukasnya.

Seorang lagi berinisial HEW, yang diduga anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat. Akan tetapi, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Marzuki Alie tidak yakin ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Hartanto Edhie Wibowo, tersangkut aliran dana Century. Itulah sebabnya Marzuki akan meminta klarifikasi untuk memperjelas hal tersebut. "Saya akan tanya ke BPK itu singkatan (HEW) siapa?"

Dalam laporan itu juga disebutkan ada aliran dana ke PT MNP (Media Nusa Pradana) yang menerbitkan koran Jurnal Nasional (Jurnas). Anggota Fraksi Partai Demokrat Ramadhan Pohan, mantan Pemimpin Redaksi Jurnas, menyatakan tidak tahu perihal aliran dana Rp100 miliar dari BS itu. (WR/X-3)

Tren Korupsi 2011 Melonjak Tajam


Tren Korupsi 2011 Melonjak Tajam
Ilustrasi--sa
PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melansir temuan yang memprihatinkan. Menurut PPATK, tren tindak pidana korupsi selama 2011 meningkat signifikan ketimbang tahun lalu.

Dalam refleksi akhir tahun di Jakarta, kemarin, Ketua PPATK Muhammad Yusuf menyampaikan peningkatan tindak pidana korupsi mencapai 71% jika dibandingkan dengan 2010. "Korupsi masih menjadi tindak pidana urutan pertama berdasarkan analisis di PPATK dengan persentase 43,4%. Peningkatannya pun sangat signifikan dari 2010, kini mencapai 71%," jelasnya.

PPATK melansir hasil analisis transaksi keuangan untuk menentukan apakah terkait dengan kemungkinan tindak korupsi atau tidak. Dari analisis selama 2011, jelas Yusuf, profesi pegawai negeri sipil (PNS) mendominasi transaksi yang mencurigakan tersebut. "Terlapor yang bekerja sebagai PNS mencapai 50,3% dari 294 profesi terlapor."

PPATK juga menyampaikan, nominal transaksi yang teridentifikasi mayoritas Rp1 miliar-Rp2 miliar, disusul transaksi di atas Rp4 miliar dan di bawah Rp1 miliar.

Laporan PPATK yang diduga terkait dengan tindak pidana pun didominasi dugaan tindak pidana korupsi, yakni lebih dari separuh dari pidana lainnya. "Dugaan tindak pidana korupsi mendominasi dengan 59,5% atau 175 kasus, diikuti penyuapan yang mencapai 25 kasus," tutur Yusuf.

Wakil Ketua PPATK Agus Santoso menambahkan, modus pencucian uang atau korupsi yang dilakukan kepala daerah maupun PNS yakni dengan memindahkan dana APBD ke rekening pribadi. "Menjelang akhir tahun biasanya bendahara melibatkan kepala daerah dengan modus mengambil dana APBD kemudian memindahkannya ke rekening pribadi sebagai penampungan. Uang itu kemudian digunakan untuk keperluan kampanye," jelas Agus tanpa bersedia menyebutkan kepala daerah yang dimaksud dan jumlah transaksi.

Tanpa tindakan

Pada kesempatan tersebut, PPATK kembali mengungkapkan kekecewaan karena laporan yang diberikan tidak ditindaklanjuti penegak hukum. "Saat di Bogor (pertemuan dengan berbagai instansi penegak hukum beberapa waktu lalu) kami sudah sampaikan bahwa laporan kami perlu ditindaklanjuti, mereka bilang akan dilakukan. Tapi nyatanya hingga kini belum ada," cetus Yusuf.

Namun, ia tak bersedia menguraikan berapa jumlah laporan transaksi mencurigakan maupun nominalnya yang diserahkan ke penegak hukum.

Menurut Koordinator Peneliti ICW Abdullah Dahlan, lambatnya penegak hukum memproses laporan PPATK lantaran belum adanya koordinasi yang baik.

"Harus ada perubahan mindset dan bersinergi dengan PPATK," tutur Dahlan. (HZ/X-16)

Fraksi Gencar Lakukan Lobi Terkait RUU Pemilu

Fraksi Gencar Lakukan Lobi Terkait RUU Pemilu
ANTARA/Yudhi Mahatma/ip

JAKARTA--MICOM: Fraksi-fraksi di DPR terus melakukan lobi-lobi politik di luar sidang terkait RUU Pemilu untuk mempermudah pembahasan di panja. Hal terseut diungkapkan Taufik Hidayat, anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar, Jumat (23/12) .

"Berapa kali jumlah pertemuan tidak bisa dihitung, tapi obrolan selama masa reses ini lumayan banyak. Namun tidak sampai pada satu kesepakatan, karena kesepakatan akan dibahas dalam sidang," ujarnya.

Setiap partai, menurut Taufik, memiliki pandangan yang berbeda-beda namun tetap arahannya pada satu putusan untuk RUU Pemilu yag paling baik. Sampai saat ini dirinya belum bisa memformulasikan hasil-hasil pertemuan informal, hanya saja Taufik mengakui obrolan-obrolan tersebut cukup efektif.

"Perbincangan diluar sidang akan lebih efektif untuk dibicarakan kembali didalam sidang panja," paparnya. (HZ/OL-04)

Buku-buku Islam dilarang, Kapitalisme dan Separatisme dibiarkan


JAKARTA (Arrahmah.com) – Pelarangan terhadap buku-buku keislaman yang dinilai pemerintah sebagai buku yang cenderung radikal dianggap juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, sebagai tindakan yang tidak memiliki dasar, karena ketidakjelasan apa yang dipersoalkan terhadap buku-buku Islam, sedangkan buku-buku porno yang jelas berbahaya tidak dilarang. Sehingga ketika ditanyakan kepada kejaksaan Agung, mereka tidak mampu menjelaskan dengan benar, oleh sebab itu mereka tidak melarang secara nasional.
“Sekarang ini pemerintah atau kejaksaan Agung sudah tidak punya dasar melakukan pelarangan,” kata Ismail.
Pelarangan tersebut dinilai Ismail diskriminatif dan tidak jelas, karena buku-buku yang dilarang semisal Tafsir Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb, seharusnya dirinci mana yang sebenarnya dianggap berbahaya, karena di dalam buku-buku tersebut malah lebih banyak yang bermanfaat dibanding yang dinilai berbahaya.
“Dari setiap halaman atau paragraf pasti ada yang tidak membahayakan, jadi mana yang membahayakan, masak Islam membahayakan?” ujarnya heran.
Tambahnya, pemerintah seharusnya fokus terhadap persoalan yang lebih mendasar ketika melihat apa-apa saja yang membahayakan negara. Karena, yang berbahaya itu dalam hal ideologi adalah kapitalisme dan liberalisme yang tidak sesuai dengan prikemanusiaan.
“Seharusnya, pemerintah straight to the point terhadap apa yang sebenarnya berbahaya,” tukas Ismail.
Lebih dari itu, yang berbahaya pula dalam kondisi saat ini adalah separatisme dan korupsi. Jadi, jika ingin dilarang menurut Ismail, buku-buku yang mengarah kepada separatisme dan korupsilah yang harus dilarang.
“Seharusnya pedang mereka mengarah kesana,” tutur Ismail.
 Bukan malah mempersoalkan buku-buku keislaman yang jelas tidak berbahaya karena buku-buku Islam merujuk kepada Al-Qur’an.
“Buku-buku Islam itu berbahayanya apa? Jihad misalnya berbahaya. Loh, Jihad itu ada di Qur’an, berani mereka melarang?” pungkas Ismail.  (bilal/arrahmah.com)

Ucapan Selamat Muswilub dari Yayasan Al Mahdiyyin Garut


  YAYASAN AL MAHDIYYIN KADUNGORA GARUT
 Jl. Raya Kadungora No. 306. Garut. Kp. Caringin   Rt 01./Rw 16. Desa Talagasari Kec. Kadungora

Mengucapkan Selamat dan Sukses
MUSYAWARAH WILAYAH LUAR BIASA
PERGANTIAN ANTAR WAKTU PIMPINAN WILAYAH
PARTAI BULAN BINTANG PROVINSI JAWA BARAT

Tanggal 28 Muharram 1433 H / 24 Desember 2011 M
di Hotel Angurah Bandung

Dalam Meneguhkan Komitmen Perjuangan Politik Islam
menuju Pemilu 2014


Garut, 24 Desember  2011
Ketua                                                     Sekretaris
Alit Rahmat                                                Nana Ruhana
 

Rabu, 21 Desember 2011

Simbol Hoki DPR RI



gedung-mpr

PAKAR fengshui pernah mengatakan bahwa lokasi Gedung DPR sangat cocok, membawa hoki, dan dekat dengan peruntungan. Posisinya persis sejajar dengan Naga —yang menjulur di Jalan Sudirman, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada, dari Blok M hingga ke Glodok.
Sementara seorang simbolog (ahli membaca simbol) berujar: Gedung ini juga melambangkan sebuah kesuburan. Tepatnya dua buah, tertangkup di atas gedung kura-kura (dulu pernah dijahili tangan iseng Pong Harjatmo).
Versi lain juga dengan fasih menguraikan. Bahwa pasangan Gedung DPR adalah Tugu Monas. Tugu Monas, bangunan tinggi dengan pucuk dari emas puluhan kilogram itu, disebut-sebut sebagai perlambang Lingga (perkakas keperkasaan pria, icon kekuasaan laki-laki). Sementara yang satunya, yaitu Gedung DPR RI, tak lain adalah simbol kesuburan dan reproduksi perempuan (atau Yoni).
Aktivis pro gender pasti blingsatan dengan tafsiran ini. Tapi, pokok bahasan kita adalah tentang sebuah gedung yang menjadi pusat “kesuburan” dan “reproduksi”. Walau hanya bisa dirasakan sekelompok manusia (Indonesia) saja.
Empat paragraf awal barusan memang lebih pantas sebagai ungkapan imajinasi tinimbang sebagai sebuah informasi.
Bila sepakat begitu, tak perlulah mencari-cari tahu siapa pakar fengshui yang pernah “meneliti” Gedung DPR RI —dengan terawangan nan seksama. Cuma-cuma pula menghadirkan pakar Simbologi sekaliber Robert Langdon (dalam Novel Da Vinci Code) untuk mengait-ngaitkan bangunan fisik di sekitaran Senayan itu dengan rupa-rupa teori. Cukuplah menerima itu semua sebagai jawaban para pelawak. Atas lelucon bertubi-tubi, yang bersumber dari keberuntungan “para penghuni” di DPR RI.
Hoki Penghuni
Tentu saja kata yang memakai tanda petik, yaitu “penghuni”, tidak bermaksud menyeluruh. Karena selain para elit yang berseliweran dengan busana gagah, juga ada Satpam, Office Boy, serta para PNS dengan seragam yang itu-itu melulu.
Juga tidak berarti “para penghuni” di antara rerimbunan pohon beringin (di taman sebelah kanan air mancur DPR) yang kira-kira terdiri dari: ular, kecoa, rusa, kodok, dan belasan merpati.
Keterlaluan jika daftar nama margasatwa yang terakhir itu dijadikan perlambang untuk penghuni DPR. Keterlaluan di mata “mereka”, maksudnya. Sementara orang luar pasti berseru-seru: cocok!
Pokoknya, Gedung DPR RI adalah alamat penuh hoki. Terutama bagi mereka-mereka yang ketiban “durian runtuh” —-dalam Pemilu. Jangan tak percaya. Untuk menjadi penghuni utama di situ, hanya “tiket keberuntangan” sajalah yang jadi penentu. Meskipun, misalnya anda jenius, tapi kalau tak dipilih rakyat, ya tidak bisa. Meskipun kaya raya, tapi jika garis tangan sedang apes, ya percuma saja —mungkin hanya berada di urutan kedua, di bawah urutan satu yang berhak lolos ke rumah rakyat itu.
Kalaupun urutan kedua bisa lolos, paling-paling karena ada berita duka dengan kalimat awal Inalillahi, dari handai taulan yang mengenal mendiang di urutan pertama. Beruntung untuk orang yang “mengganti” dan bingung bagi keluarga anggota yang “diganti”.
Tetapi meski judulnya adalah untung-untungan, belum terdengar ada orang miskin tapi jujur yang lolos dapat kursi —serta menjadi anggota fraksi. Orang miskin dilarang beruntung…
Lagipula ada rumus politik yang mengokohkan pentingnya perkara keberuntungan. Dalam politik, orang bodoh kalah oleh orang pintar. Orang pintar kalah oleh orang licik. Dan orang licik kalah oleh orang yang beruntung. Meskipun rumus ini bisa saja (sesekali) meleset. Misalnya ketika orang pintar dan licik kalah melawan orang bodoh. Namun formulasi seperti itu tidak untuk politik. Melainkan hanya ada dalam serial konyol semodel Mister Bean dan sejenisnya.
Mengalir Jauh
Jika di dalam penuh hoki dan “banjir uang komisi”, lalu seperti apa di luar? Sesungguhnya mata air keberuntungan itu juga mengalir sampai jauh. Merembes juga ke mana-mana, meski hanya dalam tetesan-tetesan yang lebih sedikit.
Antrean panjang yang menadah untung dari tingkah polah wakil rakyat di gedung rakyat itu alurnya mengalir panjang. Kalau didaftar dengan sistem alfabet A-B-C-D dan seterusnya, maka akan ketemu nama-nama seperti ini:
(A) aktivis LSM, Pers, Ormas, Parpol, hingga aktivis mahasiswa;
(B) broker, broker proyek, broker anggaran, broker jabatan, hingga “broker perempuan”;
(C) cendekiawan yang sangat cendekia di depan kamera tetapi cecunguk di hadapan bos besar;
(D) departemen yang jadi mitra kerja untuk masing-masing komisi, mereka adalah utusan pemerintah yang saban tahun minta dinaikkan plafon anggaran, dari pagu sebelumnya.Kalau yang ini belum tepat, ya, ganti saja dengan sejumlah Departemen Store yang jadi langganan anak bini para anggota yang terhormat, terkhusus di luar negeri;
(E) entertainment, maksudnya dunia hiburan yang kebanjiran order, karena di DPR ada istilah untuk menjamu sesama kolega, harus ada biaya entertain (maksudnya layanan hiburan); dan silahkan tambah daftar yang lain.
Nah, di lingkaran itulah rezeki hoki DPR RI berputar-putar. Menyisakan kehalusan untuk rakyat banyak. Kehalusan di bagian kulit dada, tentu saja. Lantaran hampir tiap waktu dielus-elus, sembari mengucap istighfar… Inilah siklus keberuntungan di Gedung DPR RI, dan “kebuntungan” atas nasib masyrakat luas.

Beda Politisi Era 1945 dan 2011

Bung Karno
Bung Karno
Masih di suasana HUT RI, tak ada salahnya kita membuat analisis dan perbandingan, antara karakter pemimpin publik dan elit politik tempo doeloe dengan para elit hari ini. Nah, yang berikut ini, silahkan dijadikan referensi, atau justru parodi…
  1. Politisi 45 bertipe solidarity maker (ahli menciptakan persatuan).  Sementara politisi 2011 bertipe problem maker (ahli membuat masalah).
  2. Politisi 45 menjadi musuh BELANDA, sementara politisi 2011 menjadi musuh BERSAMA…
  3. Politisi 45 menaklukan “lawan politik” dengan lobby dan diplomasi. Politisi 2011 menaklukkan “lawan politik” dengan money dan upeti…
  4. Politisi 45 lebih dahulu dipenjara, setelah itu baru menjadi pejabat. Politisi 2011 menjadi pejabat dulu, setelah itu baru dipenjara…
  5. Politisi 45 mengabdikan diri sepanjang waktu. Politisi 2011 mengabdikan diri sepanjang Pemilu.
  6. Politisi 45 bekerja berdasarkan “program dan gagasan”. Politisi 2011 bekerja berdasarkan “proyek dan pesanan”.
  7. Politisi 45 rajin menuliskan PENDAPAT di buku catatan. Politisi 2011 rajin menuliskan PENDAPATAN di buku tabungan…
  8. Politisi 45, kata Iwan Fals, ber-NISAN bangga berkafan doa. Politisi 2o11 ber-NISSAN Terano dan berkapan-kapan tamasya…

Iklan Politik dan Kecerdasan Publik


iklan-politik
Jika Raja Mataram di Jawa  mengandalkan wahyu untuk merebut pengaruh. Maka Raja Media di Jakarta, memakai iklan…
Cara cerdas merespon iklan politik di televisi adalah: ambil remote control (lalu ganti saluran). Namun cara ini pun mungkin segera berlalu. Mengingat betapa televisi sudah bersekutu dengan para politisi (atau bisa dibalik, politisi yang bersekongkol dengan televisi).
Tinggal hitung waktu, bahwa nama-nama seperti Surya Paloh, Harry Tanoe, Chairul Tandjung, Aburizal Bakrie, dan Eric Thohir, wara-wiri mengibarkan bendera partai mereka —di layar kaca.
Maka kelak lelucon lawas lahir kembali. Dulu, di era Orde Baru, seorang Kakek bolak-balik di antara beberapa gerai toko elektronik di Glodok. Lalu, seorang penjual bertanya: “Kek, memang mau mencari apa?” Si Kakek menjawab sigap: “Saya lagi mencari Televisi tetapi yang tidak ada gambar Soeharto dan Harmoko… “ (Bukankah zaman itu tak ada tayangan televisi di Indonesia yang tak mempang wajah dua nama penguasa Orde Baru itu?).
Mudah-mudahan tak akan seekstrim itu, bahwa masih ada celah untuk televisi kita yang terbebas dari wajah para konglomerat media —yang kini bertiwikrama menjadi pimpinan partai politik. Tetapi cukuplah dengan mengusung kata: “mudah-mudahan”.
Sebab kenyataan akan jauh lebih menyeramkan. Sekarang saja, beberapa statiun televisi begitu getol menayang iklan politik tentang partai tertentu. Seolah, negeri ini adalah milik Almarhum Kim Il Sung di Korea Utara sana (yang baru-baru ini wafat). Kita tahu, Korea Utara adalah salah satu keganjilan zaman, sebentuk negara dengan hanya satu partai politik saja (sistem unipartai).
Di mana-mana, memang industri televisi tercengkeram kuasa kapital. Tetapi, di Indonesia, ada dua masalah gawat. Masing-masingnya berbentuk “regulasi” dan “tradisi”. Di level regulasi atau aturan main, tak ada penghormatan sama sekali tentang keharusan membatasi tayangan iklan politik (dalam bentuk spot iklan murni, atau berupa berita bermuatan iklan). Sementara di ranah tradisi, kita kehilangan satu disiplin penting dalam iklim broadcasting nasional, yaitu penghormatan terhadap ruang publik.
Regulasi
Hingga detik ini, tak ada kejelasan, seperti apa aturan main iklan politik akan ditegakkan. Rekomendasi KPI (Komisi Penyiaran Indoensia) bahwa harus ada pembatasan dalam tayangan iklan politik, belum juga masuk menjadi pasal penting, di Draf Revisi RUU Politik. Padahal betapa kuat rekomendasi itu, membeber dua argumen utama. Bahwa, pertama, harus ada asas keadilan dalam beriklan (untuk seluruh partai). Kedua, member akses yang setara dan kesempatan yang seimbang untuk bisa beriklan (bagi seluruh partai).
Kurang lebih, dua argumen mendasar itu memaksa semua stasiun televisi menghormati hak-hak dari partai politik (yang tidak memiliki stasiun televisi). Jangan sampai, sebuah partai yang memiliki stasiun televisi beriklan siang dan malam, dengan harga murah (atau malah gratis). Tetapi, ketika ada partai lain yang akan beriklan, tak diberi peluang (dengan memainkan harga tinggi, atau malah menolak sama sekali).
Mengapa harus begitu?
Jelas, bahwa televisi bukan “barang mainan” yang bisa diperalat sebebas-bebasnya oleh siapapun, termasuk oleh pemiliknya sendiri. Lihat penjelasan berikut: (1) Semua stasiun televisi mengudara di atmosfir Indonesia, menggunakan jalur frekuensi nasional, dan itu adalah barang milik publik, yang harus diatur penggunanannya oleh negara. (2) Sumber tayangan televisi adalah berbasis pada fakta-fakta milik publik, dan stasiun televise tak perlu membayar untuk menggali sumber-sumber itu. (3) Televisi bermain di wilayah opini dan wacana, maka apabila tidak diatur, maka akan sangat berpengaruh terhadap kecerdasan dan logika publik.
Tetapi, sekali lagi, hingga detik ini, tak ada penghormatan terhadap kaidah-kaidah penting itu. Iklan politik di televisi, tayang tanpa landasan regulasi sama sekali…
Tradisi
Isu penting yang kedua, berkaitan dengan bahaya kebebasan liar iklan politik di televisi berada tepat di jantung industri televisi itu sendiri, yakni disiplin dan tradisi para praktisi media (broadcaster).
Iklan, sejatinya, murni wilayah komersial. Dengan iklan, terjadi praktek pembujukan (persuading), menyentuh aspek psikologis. Iklan tidak berfungsi mengedukasi melainkan memenipulasi. Kebenaran pada iklan tidak harus berdasar pada fakta-fakta dan realitas, melainkan pada rekayasa dan persepsi. Jika operasi komunikasi seperti ini digiring ke ranah politik, maka pembongkaran rasionalitas dan logika akan berlangsung besar-besaran. Mestinya, ada kesadaran di benak para praktisi media, untuk sedapat mungkin membuat standar iklan politik.
Kaidah ini perlu, agar ada perbedaan antara iklan komersial murni dengan iklan politik. Iklan politik tak boleh bersandar pada asas komersialitas murni, karena di sana ada kepentingan publik yang harus dihormati, yakni kebenaran, faktualitas, dan realitas. Jangan sampai iklan politik jatuh sebagai propaganda, agitasi, dan black campaign. Singkatnya, iklan politik harus memuat anasir-anasir kebenaran infomasi dan edukasi.
Catatan Akhir
Belum terlihat tanda-tanda penghormatan logika publik dalam tayangan iklan politik di televisi. Sebaliknya, malah. Misalnya, iklan Partai Nasdem yang melecehkan rasionalitas, tentang penjaga kereta api yang disebut mendedikasikan diri puluhan tahun, padahal usianya belum 40 tahun (bukankah ini penyesatan?).
Tambahan lain, ada praktek penyamaran antara berita (laporan jurnalistik) yang berwarna pariwara. Tak ada kejelasan, apakah rilis berita atau pariwara? Judulnya berita, tapi berbau iklan… Jelas, bahwa masa depan politik kita kian ruwet. Andai saja publik tidak kritis dan rewel. Mari kita teriaki saja iklan politik di televisi!!!