Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 21 Desember 2011

Iklan Politik dan Kecerdasan Publik


iklan-politik
Jika Raja Mataram di Jawa  mengandalkan wahyu untuk merebut pengaruh. Maka Raja Media di Jakarta, memakai iklan…
Cara cerdas merespon iklan politik di televisi adalah: ambil remote control (lalu ganti saluran). Namun cara ini pun mungkin segera berlalu. Mengingat betapa televisi sudah bersekutu dengan para politisi (atau bisa dibalik, politisi yang bersekongkol dengan televisi).
Tinggal hitung waktu, bahwa nama-nama seperti Surya Paloh, Harry Tanoe, Chairul Tandjung, Aburizal Bakrie, dan Eric Thohir, wara-wiri mengibarkan bendera partai mereka —di layar kaca.
Maka kelak lelucon lawas lahir kembali. Dulu, di era Orde Baru, seorang Kakek bolak-balik di antara beberapa gerai toko elektronik di Glodok. Lalu, seorang penjual bertanya: “Kek, memang mau mencari apa?” Si Kakek menjawab sigap: “Saya lagi mencari Televisi tetapi yang tidak ada gambar Soeharto dan Harmoko… “ (Bukankah zaman itu tak ada tayangan televisi di Indonesia yang tak mempang wajah dua nama penguasa Orde Baru itu?).
Mudah-mudahan tak akan seekstrim itu, bahwa masih ada celah untuk televisi kita yang terbebas dari wajah para konglomerat media —yang kini bertiwikrama menjadi pimpinan partai politik. Tetapi cukuplah dengan mengusung kata: “mudah-mudahan”.
Sebab kenyataan akan jauh lebih menyeramkan. Sekarang saja, beberapa statiun televisi begitu getol menayang iklan politik tentang partai tertentu. Seolah, negeri ini adalah milik Almarhum Kim Il Sung di Korea Utara sana (yang baru-baru ini wafat). Kita tahu, Korea Utara adalah salah satu keganjilan zaman, sebentuk negara dengan hanya satu partai politik saja (sistem unipartai).
Di mana-mana, memang industri televisi tercengkeram kuasa kapital. Tetapi, di Indonesia, ada dua masalah gawat. Masing-masingnya berbentuk “regulasi” dan “tradisi”. Di level regulasi atau aturan main, tak ada penghormatan sama sekali tentang keharusan membatasi tayangan iklan politik (dalam bentuk spot iklan murni, atau berupa berita bermuatan iklan). Sementara di ranah tradisi, kita kehilangan satu disiplin penting dalam iklim broadcasting nasional, yaitu penghormatan terhadap ruang publik.
Regulasi
Hingga detik ini, tak ada kejelasan, seperti apa aturan main iklan politik akan ditegakkan. Rekomendasi KPI (Komisi Penyiaran Indoensia) bahwa harus ada pembatasan dalam tayangan iklan politik, belum juga masuk menjadi pasal penting, di Draf Revisi RUU Politik. Padahal betapa kuat rekomendasi itu, membeber dua argumen utama. Bahwa, pertama, harus ada asas keadilan dalam beriklan (untuk seluruh partai). Kedua, member akses yang setara dan kesempatan yang seimbang untuk bisa beriklan (bagi seluruh partai).
Kurang lebih, dua argumen mendasar itu memaksa semua stasiun televisi menghormati hak-hak dari partai politik (yang tidak memiliki stasiun televisi). Jangan sampai, sebuah partai yang memiliki stasiun televisi beriklan siang dan malam, dengan harga murah (atau malah gratis). Tetapi, ketika ada partai lain yang akan beriklan, tak diberi peluang (dengan memainkan harga tinggi, atau malah menolak sama sekali).
Mengapa harus begitu?
Jelas, bahwa televisi bukan “barang mainan” yang bisa diperalat sebebas-bebasnya oleh siapapun, termasuk oleh pemiliknya sendiri. Lihat penjelasan berikut: (1) Semua stasiun televisi mengudara di atmosfir Indonesia, menggunakan jalur frekuensi nasional, dan itu adalah barang milik publik, yang harus diatur penggunanannya oleh negara. (2) Sumber tayangan televisi adalah berbasis pada fakta-fakta milik publik, dan stasiun televise tak perlu membayar untuk menggali sumber-sumber itu. (3) Televisi bermain di wilayah opini dan wacana, maka apabila tidak diatur, maka akan sangat berpengaruh terhadap kecerdasan dan logika publik.
Tetapi, sekali lagi, hingga detik ini, tak ada penghormatan terhadap kaidah-kaidah penting itu. Iklan politik di televisi, tayang tanpa landasan regulasi sama sekali…
Tradisi
Isu penting yang kedua, berkaitan dengan bahaya kebebasan liar iklan politik di televisi berada tepat di jantung industri televisi itu sendiri, yakni disiplin dan tradisi para praktisi media (broadcaster).
Iklan, sejatinya, murni wilayah komersial. Dengan iklan, terjadi praktek pembujukan (persuading), menyentuh aspek psikologis. Iklan tidak berfungsi mengedukasi melainkan memenipulasi. Kebenaran pada iklan tidak harus berdasar pada fakta-fakta dan realitas, melainkan pada rekayasa dan persepsi. Jika operasi komunikasi seperti ini digiring ke ranah politik, maka pembongkaran rasionalitas dan logika akan berlangsung besar-besaran. Mestinya, ada kesadaran di benak para praktisi media, untuk sedapat mungkin membuat standar iklan politik.
Kaidah ini perlu, agar ada perbedaan antara iklan komersial murni dengan iklan politik. Iklan politik tak boleh bersandar pada asas komersialitas murni, karena di sana ada kepentingan publik yang harus dihormati, yakni kebenaran, faktualitas, dan realitas. Jangan sampai iklan politik jatuh sebagai propaganda, agitasi, dan black campaign. Singkatnya, iklan politik harus memuat anasir-anasir kebenaran infomasi dan edukasi.
Catatan Akhir
Belum terlihat tanda-tanda penghormatan logika publik dalam tayangan iklan politik di televisi. Sebaliknya, malah. Misalnya, iklan Partai Nasdem yang melecehkan rasionalitas, tentang penjaga kereta api yang disebut mendedikasikan diri puluhan tahun, padahal usianya belum 40 tahun (bukankah ini penyesatan?).
Tambahan lain, ada praktek penyamaran antara berita (laporan jurnalistik) yang berwarna pariwara. Tak ada kejelasan, apakah rilis berita atau pariwara? Judulnya berita, tapi berbau iklan… Jelas, bahwa masa depan politik kita kian ruwet. Andai saja publik tidak kritis dan rewel. Mari kita teriaki saja iklan politik di televisi!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar