Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Jumat, 23 Desember 2011

Tren Korupsi 2011 Melonjak Tajam


Tren Korupsi 2011 Melonjak Tajam
Ilustrasi--sa
PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melansir temuan yang memprihatinkan. Menurut PPATK, tren tindak pidana korupsi selama 2011 meningkat signifikan ketimbang tahun lalu.

Dalam refleksi akhir tahun di Jakarta, kemarin, Ketua PPATK Muhammad Yusuf menyampaikan peningkatan tindak pidana korupsi mencapai 71% jika dibandingkan dengan 2010. "Korupsi masih menjadi tindak pidana urutan pertama berdasarkan analisis di PPATK dengan persentase 43,4%. Peningkatannya pun sangat signifikan dari 2010, kini mencapai 71%," jelasnya.

PPATK melansir hasil analisis transaksi keuangan untuk menentukan apakah terkait dengan kemungkinan tindak korupsi atau tidak. Dari analisis selama 2011, jelas Yusuf, profesi pegawai negeri sipil (PNS) mendominasi transaksi yang mencurigakan tersebut. "Terlapor yang bekerja sebagai PNS mencapai 50,3% dari 294 profesi terlapor."

PPATK juga menyampaikan, nominal transaksi yang teridentifikasi mayoritas Rp1 miliar-Rp2 miliar, disusul transaksi di atas Rp4 miliar dan di bawah Rp1 miliar.

Laporan PPATK yang diduga terkait dengan tindak pidana pun didominasi dugaan tindak pidana korupsi, yakni lebih dari separuh dari pidana lainnya. "Dugaan tindak pidana korupsi mendominasi dengan 59,5% atau 175 kasus, diikuti penyuapan yang mencapai 25 kasus," tutur Yusuf.

Wakil Ketua PPATK Agus Santoso menambahkan, modus pencucian uang atau korupsi yang dilakukan kepala daerah maupun PNS yakni dengan memindahkan dana APBD ke rekening pribadi. "Menjelang akhir tahun biasanya bendahara melibatkan kepala daerah dengan modus mengambil dana APBD kemudian memindahkannya ke rekening pribadi sebagai penampungan. Uang itu kemudian digunakan untuk keperluan kampanye," jelas Agus tanpa bersedia menyebutkan kepala daerah yang dimaksud dan jumlah transaksi.

Tanpa tindakan

Pada kesempatan tersebut, PPATK kembali mengungkapkan kekecewaan karena laporan yang diberikan tidak ditindaklanjuti penegak hukum. "Saat di Bogor (pertemuan dengan berbagai instansi penegak hukum beberapa waktu lalu) kami sudah sampaikan bahwa laporan kami perlu ditindaklanjuti, mereka bilang akan dilakukan. Tapi nyatanya hingga kini belum ada," cetus Yusuf.

Namun, ia tak bersedia menguraikan berapa jumlah laporan transaksi mencurigakan maupun nominalnya yang diserahkan ke penegak hukum.

Menurut Koordinator Peneliti ICW Abdullah Dahlan, lambatnya penegak hukum memproses laporan PPATK lantaran belum adanya koordinasi yang baik.

"Harus ada perubahan mindset dan bersinergi dengan PPATK," tutur Dahlan. (HZ/X-16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar