Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 17 Agustus 2011

Meminta Izin Orang Tua Dalam Jihad

Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kelaurga dan para sahabatnya.
Izin dari orang tua dalam masalah jihad menjadi perbincangan para ulama. Dalam kitab-kitab mereka banyak dikupas tentang kedudukan izin dari orang tua. Bahkan menjadi syarat kepergian seseorang ke medan jihad. Ini khususnya dalam jihad yang fardhu kifayah. Yaitu untuk melebarkan kekuasaan Islam dan menaklukkan negeri-negeri kafir agar tunduk di bawah kekuasaan Islam.
Namun dalam jihad yang berhukum fardhu ‘ain maka izin dari orang tua tidak menjadi syarat kepergiannya. Ini khususnya kalau  negeri muslim telah diserang dan dikuasai musuh-musuh Islam. Misalnya jihad di Irak saat ini. Semenjak Amerika menginjakkan kakinya di Irak untuk menginvasi dan menjajahnya, maka setiap orang muslim yang mampu di sana wajib bangkit melawan dan mengusir musuh sampai berhasil. Jika mereka tidak mampu dan tidak lekas berhasil, maka kaum muslimin di sekitarnya –baik dari bangsa Arab atau non-Arab- wajib bangkit membantunya sehingga orang-orang kafir tersebut hengkang dari sana. Jika masih juga tidak mampu, maka kaum muslimin di belahan timur dan barat wajib bangkit membantu. Seperti itulah kesepakatan para ulama.
Kapan Jihad Menjadi Fardhu ‘Ain?
Para ulama telah menetapkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain dalam tiga kondisi:
Pertama, apabila dua pasukan sudah bertemu dan berhadapan berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (QS. al-Anfal: 15)
Kedua, apabila orang-orang kafir sudah memasuki negeri muslim, bagi penduduk negeri wajib berperang melawan dan mengusir mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu.” (QS. Al-Taubah: 123)
Ketiga, Apabila imam sudah menunjukkan suatu kaum untuk keluar berjihad maka mereka wajib keluar berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Maka apabila kalian diperintah untuk keluar berjihad, maka keluarlah!.” (Muttafaq ‘alaih)
Kapan Harus Meminta Izin Orang Tua?
Sesungguhnya jihad merupakan amal yang agung dan sangat mulia. Hanya saja dalam pelaksanaannya diwajibkan meminta izin kepada orang tua selama jihad tersebut bukan fardhu ‘ain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Perlu di ketahui bahwa hukum dasar jihad secara umum adalah fadhu kifayah. Artinya, jika sebagian kaum muslimin sudah melaksanakannya maka kaum muslimin lainnya telah gugur kewajibannya. Jika mereka tidak ikut berjihad, maka tidak berdosa.
Dalam jihad yang fardhu kifayah ini, seorang mujahid sebelum berangkat, wajib mendapatkan izin dari orang tuanya. Dia meminta izin keduanya, selama keduanya muslim. Tidak dibedakan apakah mereka kaya atau tidak, keduanya menjadi tanggungannya atau bukan. Karena nash-nash yang ada menunjukkan secara jelas dan gamblang tentang wajibnya meminta izin.  
Diriwayatkan dalam Shahihain, dari Abdullah bin Amru, “Ada seseorang datang menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam meminta izin untuk ikut berjihad. Lalu beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” dia menjawab, Ya’, beliau bersabda, “Berjihad engkau dengan (berbakti) kepada keduanyalah.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pernah menolak seseorang yang berhijrah dari Yaman dengan meninggalkan kedua orang tuanya. Beliau bertanya, “apakah kamu punya seseorang di Yaman.” Dia menjawab, “Kedua orang tuaku.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kedua mengizinkanmu?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Kembalilah kepada keduanya dan mintalah izin darinya. Jika keduanya mengizinkanmu, boleh kamu berjihad. Jika tidak, maka berbaktilah kepada keduanya.”
Jumhur ulama menyatakan, diharamkan jihad apabila kedua orangtua atau salah satunya melarang. Dengan syarat keduanya muslim, karena berbakti kepada keduanya merupakan fardhu ‘ain baginya sementara jihad adalah fardhu kifayah. Maka apabila jihad menjadi fardhu ‘ain, maka tidak harus minta izin.
Imam al-Shan’ani berkata, “Mayoritas ulama berpendapat, diharamkan seorang anak berjihad apabila kedua orangtuanya atau salah satunya melarangnya, dengan syarat keduanya adalah muslim. Karena berbakti kepada kedua orang tua adalah fardhu ‘ain sedangkan jihad adalah fardhu kifayah. Maka apabila jihad menjadi fardhu ain, tidak perlu minta izin. Jika dikatakan, ‘Berbakti kepada kedua orang tua juga fardhu ain dan jihad dalam kondisi fardhu ‘ain juga, maka keduanya sama. Apa alasan diutamakannya jihad?’ Aku katakan, ‘Karena kemaslahatan jihad lebih umum/luas, karena dia untuk menjaga dien dan membela kaum muslimin, maka maslahatnya yang lebih lebih luas didahulukan daripada selainnya’.” Selesai.
Ini merupakan perkataan yang benar dengan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Hal ini dikecualikan apabila dia memiliki kedua orang tua yang sudah renta dan tidak ada anggota keluarga selainnya yang mengurusnya, pada saat itu dia boleh meninggalkan jihad.  Wallahu Ta’ala a’lam.

Yusril Ihza Mahendra: Sistem Buruk,Orang Baik Dipaksa Jadi Orang Jahat

Jakarta (voa-islam) - Maraknya korupsi dan kebencian masyarakat atas tindak pidana tersebut  telah dimanfaatkan rezim yang berkuasa untuk menghancurkan lawan politik pemerintah. Mantan Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra bahkan menyebut tuduhan korupsi, tidak ada bedanya dengan tuduhan subversif yang dikenakan pemerintahan Soeharto pada lawan politiknya ketika itu.
“Orang mudah dianggap musuh dan dicari-cari kesalahannya. Kalau zaman Soekarno, kalau ada orang yang berbeda, dia akan sebut orang itu kontrarevolusi. Kalau zaman Soeharto akan disebut subversif. Kalau zaman sekarang, akan dituduh korupsi,” kata Yusril saat dikunjungi kelompok yang menamakan dirinya “Dewan Penyelamat Negara” di Kantornya di Jakarta, belum lama ini.
Kata Yusril, penegakan pasal subversif pada zaman Soeharto dilaksanakan melalui kopkamtib. Unit itu kini berubah nama. Ia menilai KPK dan Kejaksaan menjadi alat bagi pemerintah untuk menekan pihak yang tak disukai.
“Kalau tidak senang, dia akan cari-cari kesalahannya. Tapi, siapa sih manusia yang tidak pernah salah? Tapi, kalau temannya bersalah, KPK dan Kejaksaan hanya diam saja. Itu yang terjadi sekarang ini,” cetusnya.
Yusril tak memungkiri, praktek suap harus diberantas. Namun, yang mengkwatirkannya, isu korup dijadikan model untuk memukul lawan-lawan politik. Sama halnya ketika Soekarno menggunakan isu kontra revolusi untuk melumpuhkan semua lawan-lawan politiknya. “Orang Masyumi dan Partai Sarikat Indonesia ditangkapi dan ditahan sekian lama tanpa diadili dengan tuduhan kontra revolusi tadi.”
Begitu kontra revolusi hilang, tidak laku lagi, Soeharto menggunakan isu subversif dan cap PKI. Siapa saja bisa dituduh subversif, kopkamtib bisa menahan dan menagkap orang dengan seenaknya.  Zaman Soeharto berakhir, isu subversif dan stigma PKI tidak laku lagi, lalu diciptakan isu KKN yang disertai merubah UU Korupsi dengan begitu kerasnya. Stigma korup pun dipakai rezim sekarang untuk menghantam lawan-lawan politiknya.
“Saya tidak pernah percaya sepenuhnya penanganan kasus korupsi. Sebuah  penelitian yang dilakukan fakultas hukum UI tentang pengadilan tipikor mengungkapkan, dari 100 perkara yang ada, tak satu pun yang bebas, semua dihukum. 80 persen dari keputusan itu, berupa hakim ad hoc. Ini seperti subversi ketika zaman Soeharto dulu,” tandasnya.
Persoalannya kemudian, lanjut Yusril, seseorang bukan lagi salah atau tidak, ada bukti atau tidak ada bukti, ada landasan hukum yang kuat atau tidak. Tapi apakah orang itu akan dijadikan target atau tidak. Ketika orang dijadikan target, maka akan dicari kesalahannya.
“Seorang pejabat itu ketika harus mengambil keputusan, tidak sepenuhnya  100 % benar. Mungkin hanya 95% yang benar, sedangkan lima persennya bisa saja tidak tepat. Nah, kalau seorang pejabat telah dijadikan target, sudah pasti dengan mudah diobok-obok. Jika tidak dijadikan target, ya santai saja.”
Sudah jelas, seseorang yang ada  bukti keterlibatannya dalam kasus korupsi, tapi tidak pernah diperiksa. Tapi ada yang cuma bermodalkan surat keleng, malah diperiksa KPK. Begitu juga, saat Wikileaks mengeluarkan dokumen rahasia soal keterlibatan seorang dalam perkara korupsi, KPK tidak bertindak. Jadi,  persolannya, bukan lagi salah atau tidak, tapi jadi target atau tidak.

SBY Gagal
Itulah sebabnya para tokoh yang tergabung dalam “Dewan Penyelamat Negara” mulai mengkhawatirkan, negara ini akan menjadi negara gagal. Sebuah harian ternama, mengindikasikan, Indeks Prestasi Pemerintah SBY hanya 31 persen. Ini bukti pemerintah telah gagal. Ironisnya masih tetap berkuasa.
“Secara politik, roda pemerintahan semakin tidak jelas pijakannya. Negara ini tak ubahnya negeri antah barantah. Bandingkan dengan Brasil, yang telah keluar dari persoalan utang. Sedangkan pemerintah SBY yang telah memasuki tahun ke delapan, hasilnya tidak jelas,” kata seorang tokoh Dewan Penyelamat Negara.
Diakui Yusril ketika masih menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM. Ia sebetunya ingin  membangun sebuah sistem yang kuat di republik ini. Menurutnya, negara harus diperintah oleh sistem, bukan oleh orang sebenarnya. Kendati, ada hubungan satu sama lain. Jika sistem dibangun kuat, kita bisa mengatasi masalah KKN, seperti yang dihadapi sekarang ini.
Yusril bependapat, dalam sebuah sistem yang baik, orang jahat itu akan dipaksa menjadi orang baik. Tapi sebaliknya dalam sistem yang buruk, orang baik dipaksa menjadi orang jahat. Sebagai contoh, Kalau kita pergi ke Singapura, kita tiba-tiba menjadi baik. Tapi bukan berarti, kita orang baik. Sistem pemerintahan di Singapura lah yang memaksa kita menjadi orang baik.
“Begitu juga, bukan berarti di Jerman tidak ada korup, mentalnya bisa saja sama korup, tapi ketika masuk ke dalam sistem yang kuat dan baik, maka nawaitu untuk korup menjadi tidak bisa terlaksana. Jadi sistem itulah yang menjaga. Adapun tugas negara adalah membangun sistem. Sementara tugas para ulama adalah menjaga moralitas pribadi. Ada kombinasi antara keduanya,” kata Yusril

MUI Prediksi Ada Dua Hari Raya Idul Fitri Tahun ini (30 & 31 Agustus)

YOGYAKARTA (voa-islam.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memperkirakan, hari lebaran tahun tidak serempak, ada dua kali hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriyah di tanah air. Muhammadiyah sudah memastikan Hari Raya pada 30 Agustus 2011, sementara  Nahdlatul Ulama diprediksi MUI pada 31 Agustus 2011.
”Diperkirakan Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriyah dua kali yaitu, hari Selasa 30 Agustus dan Rabu 31 Agustus,” kata Toha Abdurrahman selaku Ketua MUI DIY, di Yogyakarta, Rabu (10/8/2011).
Menurut Toha, perkiraan dua kali hari Raya Idul Fitri tersebut disebabkan karena Selasa malam 30 Agustus itu, hilalnya baru 1,49 derajat.
Toha menuturkan, yang berlebaran hari Selasa tanggal 30 Agustus itu landasannya adalah menggunakan Al-Qur’an dengan metode hisab, seperti Muhammadiyah. Sedangkan yang Lebaran hari Rabu 31 Agustus juga menggunakan Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW dengan cara rukyah, seperti yang dilakukan NU.
”Saya mengimbau kepada masyarakat supaya tidak saling mempermasalahkan itu. Hari Raya dua kali itu tidak masalah. Terserah masyarakat mau Lebaran yang mana,” katanya. [taz/viv

Cegah Radikalisme, MUI Kini Menjadi Mitra BNPT

Jakarta (voa-islam) – Kegiatan ini  buka kali pertama  digelar MUI Pusat. Belum lama ini, Sabtu (30/7), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat kembali menggelar Diskusi Panel “Membangun Ukhuwah di Tengah Pluralitas Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia” di Kantor MUI Pusat, Jl. Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk menangani kasus terorisme, MUI menjalin kemitraan dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dipimpin oleh Ansyad Mbai.

Dialog Ukhuwah Islamiyyah ini diselenggarakan oleh Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI) bentukan MUI ini bertujuan untuk menjembatani antar gerakan dan pemikiran Islam di Indonesia dan memberikan kesadaran terhadap pentingnya ukhuwah Islamiyyah.
Hadir sebagai pembicara, antara lain: Jusuf Kalla (Keynote speaker), Prof Dr. H. Atho Mudzhar (Departemen Agama), Dr. H. Saleh Daulay (Muhammadiyah), Prof. Dr. Didin Hafidhuddin (Ketua Umum Baznas),  Irjen Pol (Purn) Ansyad Mbay (BNPT), dan Marsda Ma’roef Syamsuddin (BIN).
Tema diskusi kali ini berjudul: “Membangun ukhuwah diantara pluralitas pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia”. Ada ada beberapa sub tema yang dibahas dalam diskusi panel tersebut, diantaranya: Keragaman pemikiran Islam di Indonesia dan bahaya liberalism; Peta gerakan dan pemikiran Islam di Indonesia dan upaya membangun ukhuwah Islamiyah; Mencari solusi atas problematika social sebagai penyebab radikalisme; Mengenal gerakan radikalisme Islam dan gerakan separatism di Indonesia sebagai ancaman Ukhuwah Wathoniyyag (NKRI).
Menurut Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI, Drs. H. Adnan Harahap,  fenomena gerakan Islam di Indonesia di satu sisi mendapat lahan subur untuk tumbuh dan berkembang. Namun di sisi lain, mendapat tantangan yang cukup berat, ketika berhadapan dengan liberalisasi ekonomi dan politik yang pada gilirannya masuk pada wilayah pemahaman keagamaan.
“Tidak jarang masyarakat berada dalam kebingungan menghadapi keragaman pemikiran tersebut, mulai dari pemikiran liberal hingga ideologi radikal. Konflik-konflik itu jika dibiarkan akan menyebabkan kekacauan dan keburukan pada umat Islam, bahkan menjadi sebab kelemahan umat Islam, sehingga akan dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk kepentingan mereka. Karena itu dibutuhkan ukhuwah Islamiyah dengan mengajak para tokoh yang dianggap mewakili kelompok dan organisasi mereka untuk berdialog secara intens,” jelas Adnan.

Deradikalisasi Terorisme adalah Proyek Amputasi Syariat Islam & Pecah-Belah Umat

SUKOHARJO (voa-islam.com) – Program deradikalisasi berkedok penanggulangan terorisme, ditengarai sebagai proyek mengamputasi organ penting agama Islam dan gerakan memecah-belah kekuatan umat Islam.
Hal itu diungkapkan Ustadz Abu Rusydan dalam bedah buku “Kritik Evaluasi dan Dekonstruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia” yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo di Masjid Baitul Makmur Solo Baru Sukoharjo, Ahad (31/7/2011).
Sebagai orang pernah menjadi korban deradikalisasi ketika ditangkap Densus 88 dengan tuduhan terorisme, Abu Rusydan sangat memahami trik-trik para penyidik dalam menginterogasi para  tahanan yang dituduh terlibat dengan kegiatan terorisme.
Menurutnya, deradikalisasi yang gencar dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah program yang konsep dan praktiknya cacat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan sama sekali.
“Saya sejak awal sudah mengetahui dan menduga bahwa program ini merupakan program yang cacat baik secara konsepsinya maupun prakteknya. Program ini kalau dipelajari maka akan membingungkan, BNPT sendiri dalam berdiskusi dengan pihak lain tentang programnya tersebut, tidak bisa menjawab pertanyaan lawan diskusinya,” ujar ustadz yang sekarang berdomisili di Kudus itu.

Sasaran utama Gerakan Deradikalisasi Terorisme, jelas Abu Rusydan, adalah pola pikir dan nilai-nilai Islam. Pola pikir yang disasar adalah pemikiran yang menginginkan tegaknya Syariat Islam dan Khilafah Islamiyah, sedangkan nilai-nilai Islam yang dibidik adalah pemahaman Islam mengenai al-wala’ wal-bara’, takfir, jama’ah, bai’at dan sistem perjuangannya melalui jihad dan istimata.
“Tidak ada satupun sasaran deradikalisasi ini yang menyasar kepada istilah dan nilai-nilai agama lain seperti Nasrani, Hindu, Budha, dan lain-lain. Jadi orang yang mempunyai faham di atas patut dijadikan obyek Deradikalisasi,” jelasnya.
Abu Rusydan menambahkan, salah satu kebohongan BNPT adalah berkoar-koar di media, baik cetak maupun elektronik bahwa salah satu faham kelompok teroris adalah mengafirkan orang yang berada diluar kelompoknya. Pasalnya, selama berinteraksi dengan para mujahidin baik yang ada di Indonesia maupun diluar negeri semisal Al-Qoidah dan bahkan pemimpin-pemimpin Al-Qoidah, Abu Rusydan tidak pernah mendengar para Mujahidin mengafirkan orang yang berada diluar kelompoknya. “Ini adalah kebohongan dan kedustaan yang besar dari BNPT,” tegasnya.
Kebohongan lainnya, lanjut Abu Rusydan, BNPT sering mengatakan bahwa salah satu faham kelompok Teroris adalah sering mengafirkan penguasa dan pemerintahan ‘sah’ yang tidak mau berhukum dengan Al Qur’an dan Sunnah, hanya dengan mengambil potongan ayat Al-Qur’an secara sebagian dan mengambil fatwa ulama yang tidak diakui oleh kalangan ulama Saudi.
Menurutnya, tuduhan BNPT itu adalah asumsi yang tidak berdasar, karena mereka tidak pernah mau mempelajari Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh secara keseluruhan. Mengutip fatwa Syaikh Bin Baz yang merupakan ulama yang diakui fatwanya oleh kalangan ulama Saudi, Abu Rusydan menjelaskan, status hukum bagi penguasa atau pemerintah yang tidak mau menghukumi manusia dengan apa yang telah Allah turunkan dan mengganti hukum Allah dengan hukum buatan manusia, dan menganggap hukum manusia lebih baik dari hukum Allah, maka hukumnya adalah kafir.
....Gerakan Deradikalisasi Terorisme adalah program amputasi tegaknya Syariat Islam dan untuk memecah belah kekuatan umat Islam....
Abu Rusyadan menegaskan, untuk memangkas perjuangan penegakan syariat Islam dan memecah-belah kekuatan Islam, proyek berkedok deradikalisasi terorisme itu sedini mungkin mematikan istilah-istilah Islam diganti dengan istilah-istilah kebangsaan.
“Gerakan Deradikalisasi Terorisme adalah program amputasi organ penting agama Islam dan kaum muslimin terhadap keinginan umat Islam untuk tegaknya Syariat Islam dan untuk memecah belah kekuatan umat Islam,” jelasnya. “Salah satu sebab mereka adalah sedini mungkin merusak istilah Ukhuwah Islamiyah dengan istilah-istilah yang mereka inginkan seperti istilah Ukhuwah Wathoniyah, dan-lain-lain,” terangnya.
Selain itu, untuk mengamputasi ruh Islam, BNPT melakukan segala cara untuk menumpas segala kegiatan yang mengarah kepada jihad dan hubbusy-syahadah.
“Apakah Jihad tidak disyari’atkan dan tidak diperintahkan dalam Islam? Padahal kedudukan jihad di dalam hadits itu, pahalanya lebih besar dari pada ibadah lainnya seperti shalat, puasa, zakat, dan lain-lain,” pungkasnya. [taz/bekti sejati]

Deradikalisasi Terorisme: Proyek Menjiplak AS yang Memerangi Ideologi Jihad

SUKOHARJO (voa-islam.com) – Program deradikalisasi terorisme yang dilakukan BNPT adalah proyek menghapus ideologi jihad yang merupakan ruh perjuangan umat Islam. Proyek ini menjiplak dari dokumen Rand Corporation yang disampaikan di Kongres Amerika Serikat.
Hal itu diungkapkan Munarman SH dalam acara bedah buku “Kritik Evaluasi dan Dekonstruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia” yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo di Masjid Baitul Makmur Solo Baru Sukoharjo, Ahad (31/7/2011).
Munarman memulai pemaparannya dengan menyampaikan dokumen Rand Corporation yang disampaikan di depan Kongres Amerika pada bulan Juli 2007.
“Dalam dokumen itu disebutkan bahwa pada hari sekarang ini, jika seseorang menyebut istilah Terorisme pasti terkait erat dengan ideologi ekstremis yaitu ideologi jihad yang dilakukan oleh kelompok Salafi Jihadis,” papar direktur An-Nashr Institute Jakarta itu.

Menurutnya, jika isu perang melawan teror atau War on Terror dikatakan bukan perang melawan Islam dan umat Islam, maka itu suatu kebohongan yang besar. Sebab sebagian besar program Deradikalisasi Terorisme merupakan jiplakan dari dokumen Rant Corporation. “Jelas sekali di situ dikatakan bahwa  perang melawan teror adalah perang melawan ideologi jihad, sedangkan yang mempunyai ideologi dan istilah jihad hanya Islam dan umat Islam,” tegas Munarman yang juga Ketua Bidang Nahi Munkar FPI Pusat itu.
Tak ragu-ragu lagi, Munarman menyimpulkan bahwa program deradikalisasi terorisme yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah proyek menghapus istilah jihad yang merupakan ruh perjuangan umat Islam. “Program Deradikalisasi Terorisme yang sekarang ini sedang dijalankan oleh BNPT merupakan program untuk menghapus istilah dan nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam khususnya istilah jihad yang merupakan ruh umat Islam demi tegaknya Syariat Islam,” jelasnya. “Hal ini sudah sangat jelas sekali dan terang benderang sebagaimana yang acap kali diucapkan melalui mulut Kepala BNPT Ansyad Mbai, mantan Kepala BIN Hendropriyono ataupun Direktur Penindakan BNPT Petrus Reinhard Golose,” imbuhnya.
Makar BNPT dalam memberangus jihad, jelas Munarman, adalah keberadaan Satgas Antibom yang dikomandani oleh Gories Merre. Satuan yang berada di bawah BNPT ini bertugas sebagai eksekutor tembak mati tanpa proses hukum.
“Salah satu elemen yang ada di bawah BNPT yaitu Densus 88, ada satuan Satgas Anti Bom yang langsung dikomandoi oleh Gories Merre. Satuan ini tidak berada di bawah struktur Densus 88. Satuan ini bertugas sebagai eksekutor tembak mati tanpa proses hukum bila polisi tidak bisa menangkap orang yang dituduh sebagai teroris. satuan ini tidak berlatih di Mabes Polri sebagaimana anggota Densus 88 lainnya, melainkan mereka berlatih di sebuah Pulau milik Pengusaha Tommmy Winata,” terang Munarman.
Pemateri terakhir, dr. Joze Rizal dari Mer-C mengapresiasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo yang menerbitkan buku dan menggelar acara bedah buku bersama ormas-ormas Islam. “Saya sangat mengapresiasi langkah MUI Solo  dan elemen serta Ormas-Ormas Islam yang mengadakan  dan mendukung acara seperti ini. Harapan saya, acara-acara seperti ini lebih sering diadakan baik dalam forum seminar, halaqah, dauroh atau bedah buku untuk menguatkan ruhiyah kita dalam mendalami dienul Islam, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat agar mereka tidak disesatkan dengan acara Deradikalisasi lainnya. Acara ini perlu untuk memberi informasi yang berimbang atas berita yang disampaikan oleh media-media barat yang ada di Indonesia  dan bisa menjadi sarana menguatkan ukhuwah serta sebagai kantong saling bertukar pandangan untuk meminimalisir perbedaan yang ada,” ujarnya.
Joze mengimbau para aktivis Islam agar jangan takut memperjuangkan syariat Islam hanya karena ada program deradikalisasi BNPT. Pasalnya, tiga ideologi di dunia, Islam, Kristen dan Yahudi/Zionis, semuanya menegakkan ideologinya masing-masing. Yahudi berusaha membangun tatanan dunia baru, sedangkan Islam memperjuangkan Syari’at dan Khilafah. “Jadi umat Islam dan  para aktivis Islam jangan takut dengan program Deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT, karena kita sedang memperjuangkan ideologi yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab sejatinya mereka ini juga sedang melakukan perang ideologi kepada kita,” jelasnya. [Bekti Sejati]
CATATAN REDAKSI:
VCD dokumentasi acara bedah buku tersebut bisa didapatkan di kantor Radio Dakwah Syariah (RDS) Solo. HP: 081 226 170 777, telp: 0271 765 1818, email rdsfmsolo@yahoo.com.

Jemaat Ahmadiyah Divonis 6 Bulan, Amerika Kecewa Berat

WASHINGTON (voa-islam.com) — Kepala keamanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Deden Sudjana tak melakukan banding ketika divonis penjara 6 bulan. Justru Amerika Serikat (AS) yang merasa kecewa dan sakit hati. Ada hubungan apa antara Sekte sesat Ahmadiyah dengan Amerika Serikat?
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) AS mengkritik putusan pengadilan Indonesia yang memvonis Deden Sudjana dengan hukuman penjara selama enam bulan. AS merasa Deden hanya membela diri dan orang lain dari penyerangan massa, yang menewaskan tiga temannya.
“Kami kecewa dengan hukuman atas Deden Sudjana yang menjadi korban dari serangan 6 Februari,” kata juru bicara Kemenlu AS Victoria Nuland.
Pernyataan itu disampaikan menanggapi putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang Banten, yang memvonis Deden Sudjana dengan hukuman enam bulan penjara. Deden divonis bersalah karena terbukti melawan pejabat hukum dan melakukan penganiayaan terhadap Idris, dalam bentrokan warga dengan Ahmadiyah di Cikeusik, 6 Februari silam.

Kemenlu AS memprotes vonis itu karena dianggap sama atau lebih keras daripada yang dijatuhkan bulan lalu terhadap 12 orang yang memimpin massa.
“Hukuman penjara enam bulan sama dengan hukuman paling parah dari vonis yang diterima 12 orang yang terlibat dalam serangan brutal itu,” katanya.
Tak tanggung-tanggung, dalam pernyataan yang membela Ahmadiyah itu, Kemenlu AS juga membawa-bawa nama besar Presiden AS Barack Obama.
“Kami kembali mendorong Indonesia untuk mempertahankan tradisi toleransi untuk semua agama, tradisi yang dipuji oleh Presiden Obama dalam kunjungannya ke Jakarta pada November 2010,” tegasnya.
Pernyataan jurubicara Kemenlu AS itu, selain bisa dinilai sebagai upaya intervensi terhadap pengadilan di Indonesia, juga bisa mempermalukan nama besar Presiden AS di mata orang yang mengerti hukum. Mengapa AS kecewa dengan vonis penjara kepada orang yang terbukti bersalah?
Pasalnya, sebagaimana diberitakan voa-islam.com sebelumnya, Deden Sudjana divonis enam bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang Banten, Senin (15/8/2011), karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 212 KUHP karena melawan pejabat hukum dan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan terhadap saksi Idris alias Idis, yang memicu bentrokan Cikeusik, yang menewaskan tiga orang anggota JAI.
“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melawan pejabat hukum dan melakukan penganiayaan. Oleh karena itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman enam bulan penjara dikurangi masa tahanan,” kata ketua Majelis Hakim Sumartono saat membacakan putusannya di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Serang, Senin (15/8/2011).
Dalam putusannya, Majelis Hakim mengatakan, terdakwa Deden Sudjana alias Deden bin Sudjana yang menjabat sebagai Ketua Keamanan JAI Pusat telah memimpin rombongan anggota JAI datang ke Kampung Peundeuy, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, pada 6 Februari 2011. Mereka berangkat dari Bekasi pada 5 Februari 2011 dengan menggunakan dua mobil.
Deden juga diketahui sempat berhenti di Kota Serang untuk menjemput anggota jemaah Ahmadiyah lainnya yang berasal dari Bogor dan Serang. Rombongan tersebut tiba di Cikeusik sekitar pukul 08.00 WIB pada Minggu 6 Februari 2011 dengan beranggotakan 17 orang dengan menggunakan dua kendaraan serta membawa barang bukti tiga tombak, satu karung batu, ketapel, dan golok.
Ketika terdakwa bersama rombongan datang ke Cikeusik sebelum bentrokan tersebut terjadi, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Cikeusik Inspektur Satu Hasanudin dan Kepala Desa Umbulan, M Johar, sempat mendatangi terdakwa di rumah Suparman untuk melakukan evakuasi untuk menghindari bentrokan karena akan ada unjuk rasa dari massa yang menolak keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik.. Namun, terdakwa Deden menolak ajakan aparat tersebut dengan alasan ingin mempertahankan rumah Suparman sebagai aset Ahmadiyah.
Bahkan terdakwa juga menolak ajakan aparat kepolisian yang akan mengamankan terdakwa bersama rombongannya karena akan ada demo massa ke rumah Suparman yang dijadikan tempat berkumpulnya anggota JAI.

“Saat akan dievakuasi dari rumah Suparman, terdakwa menolak ajakan aparat dengan mengatakan, ‘Kalau polisi tidak mampu biarkan saja Pak, biar bentrok kan seru’,” kata Sumartono menirukan ucapan terdakwa Deden.
Atas dasar itulah, Deden Sudjana dinyatakan bersalah melanggar pasal 212 KUHP karena melawan petugas aparat keamanan saat akan dievakuasi dari rumah pemimpin Ahmadiyah Cikeusik, Suparman, sebelum terjadi bentrokan di Cikeusik, Pandeglang Ahad (6/2/2011) lalu.
Berdasarkan fakta-fakta hukum di pengadilan, Kepala Keamanan Ahmadiyah Deden Sujana terbukti secara sah dan meyakinkan telah berbuat kesalahan dengan melawan pejabat hukum dan melakukan penganiayaan. Akibat kesalahan itu, pengadilan memvonis Deden dengan hukuman penjara cuma enam bulan.
Karena kesalahannya, Kepala Keamanan Jemaat Ahmadiyah divonis penjara cuma enam bulan. Jemaat Ahmadiyah yang dipenjara, kenapa Amerika yang sakit hati? [taz/pelita, dbs]

Tanpa Resolusi Jihad, Tidak Akan Ada NKRI

Kenapa harus alergi mendengar kata jihad. Padahal seruan jihad, mendorong perlawanan bangsa Indonesia hingga terbebas dari belenggu penjajah. Tanpa jihad dan berkat rahmat Allah, Indonesia tak akan merdeka, tidak punya harga diri dan kedaulatan di negeri ini. Tapi kini, jihad dikebiri, diredam, bahkan dikaburkan maknanya. Padahal, sesungguhnya, jihad tak akan lekang oleh waktu.
Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilepaskan dari peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya kaum santri. Yang menarik, berdasarkan laporan pemerintah Belanda sendiri, bahwa peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.
Ironis, sejarah yang diajarkan kepada anak-anak sekolah, tidak mengenalkan peran “Resolusi Jihad” yang dikomandoi oleh KH. Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan fatwa “wajib” bagi setiap muslim untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dan sangat disayangkan, sejarah negeri ini tenyata tidak pernah berkata jujur tentang peran Laskar santri yang terhimpun dalam Hizbullah maupun laskar kiai yang tergabung dalam Sabilillah, dalam berperang melawan penjajah. Ketika itu Hizbullah berada di bawah Masyumi, dimana KH. Hasyim Asy’ari menjabat sebagai Ketua Masyumi.
Laskar Hizbullah (Tentara Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah) didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Laskar Hizbullah berada di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar Sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur. Konon, pemuda pesantren dan anggota Ansor NU (ANU) adalah pemasok paling besar dalam keanggotaan Hizbullah.
Peran kiai dalam perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar Hizbullah-Sabilillah saja, tetapi banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air). Menurut penelitian Agus Sunyoto, dari enam puluh bataliyon tentara PETA, hampir separuh komandannya adalah para kiai.
Patut diketahui, Hizbullah dan Sabilillah adalah laskar rakyat paling kuat yang pernah hidup di bumi Indonesia. Meskipun dalam sejarah, keberadaan laskar tersebut disisihkan. Buktinya, perjuangan mereka tidak ditemukan dalam museum-museum. Boleh jadi, para laskar ini seringkali berselisih paham dengan pemerintah Soekarno yang tidak bersikap tegas dalam menentang pendaratan pasukan Sekutu dan Belanda ketika itu.

Resolusi Jihad
Tahukah? Pada 21 Oktober 1945, telah berkumpul para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”. Sejarawan Belanda Bruinessen mengakui, Resolusi Jihad ini tidak mendapat perhatian yang layak dari para sejarawan.
Dari perspektif historis, banyak orang-orang NU sendiri yang tidak mengerti posisi sejarah Resolusi Jihad. Sangat disayangkan, Resolusi Jihad yang diperankan NU termaginalisasi, bahkan terhapus dari memori sejarah bangsa. Itu akibat pergulatan dan manuver politik, ada upaya-upaya dari kelompok tertentu yang ingin menggusur NU dari dinamika percaturan politik kebangsaan.
Tak dipungkiri, semangat ke-jam’iyyah-an NU di kalangan generasi muda kini semakin merosot. Pada lingkup internal, banyak kader-kader muda NU yang tidak mengerti rangkaian sejarah Resolusi Jihad. Survei membuktikan, ingatan masyarakat tentang Resolusi Jihad NU 1945 yang memiliki mata rantai dengan Peristiwa 10 November di Surabaya semakin punah.
“Oleh karena itu, wacana Resolusi Jihad NU harus dihidupkan kembali, direkonstruksi dan tidak ditempatkan pada upaya politisasi sejarah. Tanpa Resolusi Jihad, tidak akan ada NKRI seperti yang kita cintai saat ini,” kata Gugun El-Guyanie, penulis buku Resolusi Jihad Paling Syar’i.
Jangankan masyarakat umum, generasi-generasi penerus NU dari pusat sampai ranting, Ansor-Fatayat, IPNU-IPPNU pun banyak yang tidak mendapatkan transfer sejarah mengenai resolusi penting itu.
Setelah menginjak lebih dari setengah abad, memori tentang resolusi itu hendak dihidupkan kembali. Di Surabaya, sudah mulai dibangun museum Resolusi Jihad oleh PCNU Surabaya. Pengurus NU dan kader-kadernya pun mulai berdiskusi dan memperingati hari Resolusi Jihad tiap tanggal 22 Oktober.
Anti Kolonial
Untuk menyegarkan ingatan kembali, dulu, NU telah mengharamkan pantalon dan dasi. NU dengan tegas menolak sistem pendidikan model Belanda. Ketika itu NU memakai hadits: ”man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum” (siapa yang menyerupai suatu golongan, tentu dia merupakan bagian dari mereka).
Perlawanan kultural terhadap pemerintah kolonial Belanda, berhasil membentuk kiai dan santri-santrinya menjadi lapisan masyarakat bangsa Indonesia yang sangat anti penjajah, Pada gilirannya, sikap anti penjajah ini memberikan sumbangan yang sangat besar pada perjuangan menuju Indonesia merdeka.
Juga ingatlah, ketika Jepang mewajibkan agar bangsa Indonesia mengikuti pendewaan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika dengan cara membungkukkan badan ke arah Timur pada waktu-waktu tertentu, NU langsung menyatakan penolakannya. Seperti juga semua orang Islam, pendewaan kepada selain Allah, dipandang sebagai perbuatan syirik oleh NU.
KH. Hasyim Asy’ari secara terbuka menyatakan penolakan itu. Pengaruhnya yang besar menghantarkan kiai pendiri NU ini dijebloskan Jepang ke dalam tahanan.  Saikerei yang diwajibkan kepada bangsa Indonesia menjadi api yang membakar perlawanan umat Islam. Adalah KH. Zaenal Musthofa dari Singaparna, seorang anggota NU, kemudian mengangkat senjata. Sebuah perlawanan bersenjata pertama kali terhadap Jepang.
Ketika NU melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan proklamasi kemerdekaannya, dan sudah mempunyai konstitusinya sendiri (UUD 1945), maka pada tanggal 22 Oktober 1945, organisasi ini mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad. Namun, sebelumnya NU mengirim surat resmi kepada pemerintah yang berbunyi:
”Memohon dengan sangat kepada pemerintah Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan perjuangan yang bersifat ”sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia yang merdeka dan beragama Islam.
Adapun resolusi yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa itu berbunyi:
  1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
  2. Republik Indonesia (RI) sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
  3. Musuh RI, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
  4. Umat Islam, terutama NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
  5. Kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap muslim (fardhu ’ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan shalat jama’ dan qashar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.
Resolusi jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah. Dengan semangat takbir yang dipekikkan Bung Tomo, maka terjadilah perang rakyat yang heroik pada 10 November 1945 di Surabaya.  
Dari sejarah ini, warga NU dan para elitnya, seyogianya tidak menjadi alergi ketika akhir-akhir ini ada upaya untuk mengebiri, meredam dan mengaburkan makna jihad. Resolusi Jihad yang diserukan KH. Hasyim Asy’ari, seyogianya diingat kembali. Karena resolusi jihad yang bersejarah itu tak pernah lekang oleh waktu. Karena umat Islam memenuhi panggilan jihad, maka disaat itulah harga diri dan kemuliaan akan diraih.
Di era kemerdekaan ini, bisa saja seruan jihad dikembangkan maknanya, tapi bukan berarti jihad harus dilenyapkan dan dikubur dalam-dalam. Apalagi sampai  membuat stigmatisasi, seolah jihad adalah sesuatu yang mengancam dan membahayakan penguasa. Tanpa jihad,  umat ini akan lesu dan ternina-bobokan, juga tak punya visi ke depan.  (Desastian/dbs)

Satu menit yang begitu berharga

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.
(QS. Al-‘Ashr (103): 3)

Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang penuh berkah. Di bulan ini, Allah SWT melimpahkan hidayah, rahmat, maghfirah, dan nikmat-Nya melebihi karunia-Nya di bulan-bulan yang lain. Pahala shaum dan amal shalih lainnya dilipat gandakan sedemikian besarnya. Pintu-pintu surge dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu. Lebih dari itu, di setiap malam Allah SWT mencatat hamba-hamba-Nya yang akan dibebaskan dari api neraka. Subhanallah, begitu indah dan berkahnya bulan suci ini.
Bulan Ramadhan penuh dengan ladang amal shalih dan limpahan pahala yang tak terhingga. Meski demikian, tidak setiap orang menyadarinya dengan baik. Dari sekian orang yang sadar, hanya sedikit yang mampu mengisinya dengan baik. Dan dari sedikit orang yang sadar dan mampu mengisinya dengan baik, lebih sedikit lagi yang mampu menjaga semangat dan istiqamah sampai Ramadhan berakir.
Jika kita memiliki barang yang berharga, maka kita pasti akan memperhatikan, menjaga, dan merawatnya sebaik mungkin. Kita dilanda kekhawatiran manakala barang berharga tersebut hilang, rusak, atau turun nilainya. Demikian pula seharusnya sikap kita terhadap bulan Ramadhan. Kia harus merawat dan memanfaatkannya sebaik mungkin, agar kita mendapatkan limpahan pahala dan berkahnya. Kita akan sangat rugi apabila kita menelantarkan, menyia-nyiakan, dan mengacuhkannya.
Wujud dari mengormati, merawat, dan menjaga bulan Ramadhan adalah memanfaatkan setiap detik dan menitnya dalam amal kebajikan yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Tidak semestinya detik demi detik dan menit demi menitnya berlalu begitu saja, tanpa diisi dengan kegiatan yang mendatangkan kecintaan dan keridhaan Allah SWT. Kita harus senantiasa menanamkan kesadaran ini dalam siang-malam kita di bulan Ramadhan ini. Pikirkanlah, sesungguhnya satu menit di bulan suci ini bisa menjadi ladang amal shalih yang tidak pernah berhenti mengalirkan pahala.
Apa yang bisa kita lakukan dalam satu menit? Banyak.
Bayangkan, jika satu menit itu kita manfaatkan untuk membaca satu ayat Al-Qur’an yang terdiri dari tiga puluh huruf, maka kita mendapat pahala tiga puluh kebaikan. Setiap kebaikan dilipat gandakan sepuluh kali, maka nilai satu menit tersebut adalah tiga ratus kebaikan dalam buku catatan amal kita.
Kita bisa mendulang lautan pahala dari tiap menit di bulan suci ini dengan amalan yang ringan, mudah, tidak memforsir tenaga dan tidak memakan biaya. Kita bisa melakukan beragam amal kebaikan sambil berbaring, duduk, berdiri, atau bahkan berjalan. Misalnya:
  1. Dalam satu menit, kita bisa membaca surat Al-FAtihah sebanyak 5 kali, maka kita bias mendapatkan pahala lebih dari 7000 kebaikan.
  2. Dalam satu menit, kita bisa membaca surat Al-Ikhlash sebanyak 15 kali. Hal itu sama nilainya dengan pahala mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 5 kali.
  3. Dalam satu menit, kita bisa membaca dzikir ‘Laa Ilaaha Illallahu wahdahu laa syariika lahu lahul mulku wa lahul hamdi wa huwa ‘ala kulli syai-in qadiir sebanyak 10 kali. Hal itu sama nilainya dengan memerdekakan empat orang budak dari anak keturunan Nabi Ismail.
  4. Dalam satu menit, kita bisa membaca Subhanallah wa bihamdihi sebanyak 100 kali. Hal itu sudah cukup untuk menghapuskan dosa-dosa kecil kita walau sebanyak buih di lautan, selama kita terbebas dari syirik dan dosa-dosa besar.
  5. Dalam satu menit, kita bisa membaca Laa haula wa laa quwwata illa billah sebanyak 40 kali. Dzikir ini merupakan tabungan kekayaan kita di surga kelak.
  6. Dalam satu menit, kita bisa membaca istighfar sebanyak 100 kali. Istighfar adalah sebab dihapuskannya dosa, ditinggikannya derajat, dilapangkannya rezki, ditolaknya musibah, dan diberikan jalan keluar dari segala kekusahan.
  7. Dalam satu menit, kita bisa membaca subhanallah wa bi hamdihi ‘adada khalqihi wa ridha nafsihi wa ziinata ‘arsyihi wa midaada kalimatih sebanyak sepuluh kali. Pahala lafal dzikir ini sudah melebihi berpuluh kali lipat bacaan tasbih dan dzikir lainnya.
  8. Dalam satu menit, kita bisa membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebanyak sepuluh kali. Hal ini sudah sama nilainya dengan seratus kebaikan untuk diri kita sendiri.
  9. Dalam satu menit, kita bisa membaca Subhanallah wa bihamdihi Subhanallahil ‘azhim sebanyak 50 kali. KAlimat ini ringan di lisan, namun berat dalam timbangan akhirat, dan sangat dicintai oleh Ar-Rahman SWT.
  10. Dalam satu menit, kita bisa membaca Subhanallah wal hamdu lillah wa laa ilaaha illallahu Allahu Akbar sebanyak 25 kali. Kalimat ini merupakan ucapan yang paling dicintai oleh Allah SWT.
  11. Dalam satu menit, kita bisa membaca laa ilaaha illallahu sebanyak 50 kali.
  12. Dalam satu menit, kita bisa mengangkat kedua tangan dan membaca do’a yang ringkas namun mengandung semua kebaikan yang diperlukan di dunia dan akhirat, jawami’ul kalim.
  13. Dalam satu menit, kita bisa menasehati seorang muslim, menyuruhnya berbuat kebajikan, mencegahnya berbuat kemungkaran, menyalami tangan beberapa orang, atau menyingkirkan duri dan gangguan sejenisnya dari jalan.
Hanya butuh satu menit…
Kita bisa menangguk pahala kebaikan yang banyak, menggugurkan dosa keburukan, meninggikan derajat, dan meraih ridha Allah SWT.
Jika menit demi menit kita manfaatkan secara maksimal…terkumpul satu jam yang penuh berkah dengan amal kebaikan.
Jika jam demi jam kita manfaatkan secara maksimal…terkumpul satu hari satu malam yang penuh berkah dengan amal kebajikan.
Duhai, alangkah banyaknya menit-menit kita yang terbuang percuma…
Betapa banyak jam-jam kita yang berlalu tanpa manfaat dunia dan akhirat…
Betapa banyak hari-hari dan malam-malam kita yang hangus, lenyap, dan tak pernah bisa kembali lagi…tanpa mendatangkan ridha Allah dan pahala melimpah dari-Nya.
Saudaraku seislam dan seiman…
Ramadhan masih menyisakan beberapa hari dan malam…
Masih ada banyak menit dan jam yang siap melimpahkan karunia Allah kepada kita.
Pertanyaannya, benar-benar seriuskah kita memanfaatkannya untuk meraih ridha Allah dan pahala tertinggi di sisi-Nya?
Semoga jawabannya adalah iya…dengan tekad bulat, ucapan lisan, dan amal perbuatan kita.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Delapan tanda pecundang “kompetisi” Ramadhan

Rasulullah Muhammad saw mengatakan, “Berapa banyak orang yang melaksanakan puasa namun ia tak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan haus.”
Ungkapan Nabi di atas merupakan sinyalemen bahwa tidak sedikit di antara para aktivis puasa Ramadhan melewati hari-hari puasanya sekadar tidak makan, minum, dan berhubungan badan. Puasanya hanya berupa menahan rasa lapar, dahaga, dan hasrat seksual belaka.
Kalau sudah demikian, apa saja tanda orang yang puasanya hanya berkisar seputar perut dan kemaluan itu?
Pertama, ketika seseorang berpuasa tapi gagal memenuhi target satu kali khatam al-Qur`an di bulan Ramadhan meski satu kali saja. Imam Syafi`i merupakan salah satu contoh sosok yang sukses dalam bulan Ramadhan. Bukan satu atau dua kali khatam al-Qur`an namun beliau mengkhatamkannya sebanyak enam puluk kali dalam satu bulan.
Dr. A`id Abdullah Al-Qarni menceritakan keadaan rumah para Salafus Shaleh di bulan Ramadhan. Suara lantunan al-Quran senantiasa bergema bak gema lebah. “Mereka membaca al-Qur`an dengan tartil, memperhatikan keajaiban-keajaiban isinya, menangisi peringatan-peringatan yang terdapat di dalamnya, berbahagia dengan berita gembiranya, saling menyuruh dengan perintah-perintahnya, dan saling mencegah dengan larangan-larangannya,” tulisnya.
Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, “Barangsiapa yang tidak membaca al-Qur`an ia telah meninggalkan al-Qur`an, barangsiapa yang membaca al-Qur`an namun tidak merenungi kandungan-kandungan maknanya berarti ia juga telah meninggalkan al-Qur`an, dan barangsiapa yang membaca al-Qur`an serta merenunginya namun isinya tak ia amalkan sama saja ia telah meninggalkan al-Qur`an.”
Jika membaca dan berusaha mekhatamkan al-Qur`an saja gagal dilaksanakan, kapan akan merenungi kandungannya dan kapan pula al-Qur`an akan diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Kedua, ketika seseorang berpuasa namun tidak mampu menjaga anggota tubuh dari penyimpangan. Salah satu hikmah seperti disebutkan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi adalah sebagai tarbiyah (pendidikan) bagi kemauan, perang terhadap hawa nafsu yang negatif dan hal-hal buruk yang telah mentradisi, serta melazimkan kesabaran.
Berpuasa perut tanpa puasa anggota tubuh tentunya hanya memperoleh kepayahan fisik semata namun hampa hikmah dan tarbiyah. Yang terbaik adalah bagaimana puasa yang dilakukan betul-betul mengandung kebersamaan, antara menahan diri makan, minum, berhubungan biologis, dan di saat yang sama mempuasakan anggota tubuh dari penyimpangan: hati dari penyakit-penyakitnya, lidah dari mengeluarkan kata-kata kasar dan cabul, mata dari pandangan yang tak halal, tangan dari merampas hak orang lain, telinga dari mendengar perkataan kotor, nyanyian-nyayian seronok yang mengumbar nafsu, dan hinaan, dan kaki dari melangkah ke tempat-tempat yang tidak baik.
Ketiga, saat malam-malamnya tidak dihidupkan dengan ibadah. Malam-malam Ramadhan adalah waku yang sangat tepat untuk meningkatkan volume ibadah. Setelah beribadah lewat menahan diri dari segala hal-hal yang dilarang selama puasa di siang hari, maka di waktu malam dihidupkan dengan beragam perbuatan terpuji.
Begadang merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslim. Mereka menghabiskan malam-malam dengan bicara tanpa manfaat, merokok, bercengkrama hingga larut malam sembari menghabiskan malam tanpa guna yang bisa meningkatkan kadar ketakwaan.
Keempat, kala berbuka puasa menjadi ajang “balas dendam.” Berbuka puasa sering dijadikan kesempatan “membayar hutang” makan dan minum di siang hari saat tengah puasa. semua makanan dan minuman ia lahap untuk mengganti “tunggakan” sebelumnya. Jika ini yang terjadi, lalu di man letak pelajaran menahan diri dari menuruti nafsu.
Tidak menjadikan buka puasa sebagai balas dendam, membuat jiwa terkendali, hati akan menjadi sibuk memikirkan hal-hal yang baik, dan yang tak boleh dilupakan orang yang berkecukupan akan semakin sadar bahwa dirinya telah diberi nikmat yang begitu banyak dibandingkan orang fakir, miskin, dan anak yatim piatu yang sering menahan lapar dan dahaga. Karena, meninggalkan syahwat dan kesenangan duniawi.
Sebagian kaum Salaf pernah ditanya, “Mengapa puasa itu disyariatkan oleh Allah?” Mereka menjawab, “Puasa disyari`atkan supaya orang yang kaya pun dapat merasakan pedihnya rasa lapar sehingga mereka tidak melupakan orang-orang yang kelaparan.”
Kelima, ketika Ramadhan tidak dioptimalkan dengan infak dan sedekah. Di bulan Ramadhan, dianjurkan untuk lebih memperbanyak sedekah dan infak. Ramadhan sendiri disebut juga sebagai syahrul juud yaitu bulan kedermawanan. Rasulullah menyatakan bahwa, “Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan ramadhan.” (HR. Turmudzi)
Keenam, seseorang dapat ditandai sebagai orang yang gagal ramadhan ketika lebih sibuk memasok kebutuhan lebaran ketimbang memenuhi pundi-pundi amal saleh khususnya di 10 malam terakhir Ramadhan.
Padahal, nabi dan para sahabtanya itu lebih aktif dan giat menghidupkan 10 malam terakhir bulan Ramadhan dengan berdiam di masjid (i`tikaf), memperbanyak ibadah, berdizkir, memburu malam lailatul qadar, dan merasakan kesedihan luar biasa karena sebentar lagi akan berpisah dengan bulan Ramadhan.
Ummul Mukminin, Aisyah r.a. menceritakan tentang kondisi Rasulullah SAW ketika sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadhan: “Adalah Nabi SAW ketika memasuki sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadhan, maka beliau mengencangkan ikat pinggang, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari)
Ketujuh, ketika lebaran Idul Fitri disikapi sebagai hari kebebasan dari ‘penjara Ramadhan.” Ramadhan dianggap sebagai penjara dan penghalang untuk melakukan hal-hal yang menyimpang. Sehingga ketika sudah keluar Ramadhan, terasa seperti seorang ‘napi’ yang menghirup udara kebebasan dari ‘LP’ Ramadhan untuk melakukan hal apa saja yang diinginkannya. Keadaan ini terjadi karena selama berpuasa tidak mengikuti adab dan tata cara yang benar sehingga menyikapi Ramadhan bak penjara yang menakutkan itu.
Kedelapan, tidak ada tindak lanjut setelah keluar dari bulan Ramadhan. Tanda kegagalan dalam kompetisi Ramadhan ialah tidak meneruskan dan mempertahankan kedekatan dengan Allah serta solidaritas sosial yang sudah terbangun di bulan suci. Akibatnya, rampungnya Ramadhan ditandai selesainya pula segala macam kebaikan seperti puasa sunnah, shalat malam, sedekah, membaca al-Qur`an, dan sebagainya.
Amal-amal di bulan Ramadhan adalah bekal pasokan ruhani yang menjelma dalam kehidupan sehari-hari untuk sebelas bulan berikutnya. Jangan kita lewatkan dengan kehampaan. Waspadailah delapan tanda pecundang kompetisi Ramadhan. Sayang, modal usia di bulan Ramadhan ini bila kita sia-siakan begitu saja. (hid/arrahmah.com)

Negeri Calo

NEGARA ini merdeka bukan semata-mata agar bebas dari penjajah, melainkan juga agar seluruh rakyatnya sejahtera. Namun, setelah 66 tahun merdeka, negara baru mampu mewujudkan kesejahteraan bagi sebagian kecil rakyatnya. Belum seluruh rakyat hidup sejahtera.
Berdasarkan hasil survei Setara Institute yang dirilis di Jakarta, Minggu (14/8), kemiskinan tetap menjadi masalah utama bangsa ini. Masalah bangsa lainnya ialah korupsi, kolusi, nepotisme, pengangguran, tingginya harga sembako, pemimpin yang tidak prorakyat, tingginya biaya pendidikan, dan buruknya pelayanan penyelenggara negara.
Salah satu sumber persoalan bangsa ialah tabiat elite yang tanpa integritas. Laku mereka jauh nian dari kata. Bangsa ini sudah lama tanpa keteladanan elite.
Kejujuran merupakan kwalitas langka, bahkan sangat lngka. Kepura-puraan malah kian digandrungi. Lebih celaka lagi, orang-orang yang dipercaya menangani pekerjaan-pekerjaan kejujuran yang menjadi syarat mutlak demokrasi dan tegaknya hukum berkeadilan, mengubahnya menjadi manipulasi dan kebohongan.
Contoh manipulasi berseliweran di sekitar kita. Satu per satu kasus hukum muncul lalu memangsa kasus yang lain hingga lenyap. Kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan memangsa skandal Century, kini muncul lagi kasus Muhammad Nazaruddin. Setiap kasus itu gegap-gempita pada pengungkapan awalnya kemudian sunyi-senyap penyelesaian akhir.
DPR yang bertugas melakukan pengawasan justru memperlihatkan kinerja buruk, bahkan terkenal sebagai lembaga yang korup. Tidak sedikit anggota dewan digiring Komisi Pemberantasan Korupsi ke bui. Tragisnya lagi, DPR tidak pernah jera. Kini muncul lagi kasus anggota DPR menjadi calo anggaran seperti yang terungkap dalam nyanyian Nazaruddin. Tugas utama DPR sebagai penyalur aspirasi rakyat terhenti lalu menjelma menjadi makelar.
Kiranya tidak berlebihan bila kita mengatakan inilah negeri calo. Sebab, calo berkeliaran dari terminal hingga Gedung DPR dan pemerintahan, dari pasar sampai lembaga penegak hukum.
Tentu saja bukan Ibu Pertiwi salah mengandung. Tapi, mental elite negeri ini yang porak-poranda. Mereka mengisi kemerdekaan tanpa kejujuran. Mereka disibukkan berbagai transaksi, negosiasi, demi kepentingan diri, kelompok dan partai sendiri. Mereka membuat Republik ini menjelma menjadi negeri calo. EDITORIAL MI

SBY Janjikan Program ‘Serba Murah’ Untuk Orang Miskin



BohongNet – Pemerintah menyiapkan empat klaster dalam membantu rakyat miskin di dalam negeri. Ini merupakan salah satu program pemerintah yang masuk dalam kategori pro-poor.

“Melalui empat klaster ini, kita berharap, kebijakan ini dapat menjadi langkah terobosan yang secara fundamental dapat menurunkan kemiskinan, sekaligus memperkuat ekonomi rakyat kita,” ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8/2011).
Menurutnya, klaster pertama merupakan program bantuan dan perlindungan sosial yang di antaranya berwujud beras murah untuk masyarakat ekonomi tidak mampu (raskin), Program Keluarga Harapan, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan jaminan kesehatan masyarakat atau Jamkesmas.
Sementara klaster kedua yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Sedangkan klaster ketiga melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). “Klaster keempat yang mulai efektif pada 2012 dan dilaksanakan secara bertahap meliputi sejumlah program,” ujarnya.
Program yang telah disiapkan pemerintah adalah rumah murah dan sangat murah, kendaraan umum angkutan murah, air bersih untuk rakyat, listrik murah dan hemat, peningkatan kehidupan nelayan, dan peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan. detikNews

66 Tahun Merdeka, Rakyat Masih Miskin

Rasanya hampa jika kita setiap tahun merayakan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Betapa tidak, kemiskinan masih melilit jutaan manusia yang hidup di bumi ini. Mulai dari desa hingga kota besar pun tidak sedikit masyarakat yang kesulitan mendapatkan penghidupan yang layak. Bahkan angka kemiskinan terus meningkat. Seiring bertambahnya usia kemerdekaan bangsa, jumlah rakyat miskin pun selalu bertambah. Lalu apa makna merdeka dari belenggu penjajahan? Bila rakyat terus menjerit dalam jajahan kemiskinan.

Enam puluh enam tahun merdeka, masih banyak rakyat Indonesia yang kesulitan mendapatkan makanan yang cukup dan tempat bermukim yang layak. Belum lagi memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan yang mahal harganya. Maka pengentasan kemiskinan kini menjadi sebab bentuk perjuangan baru bagi bangsa ini untuk memerdekakan kaum miskin dan lemah dari himpitan beban kemiskinan mereka.
Menurut kacamata kaum intelektual, bahwa kemiskinan itu adalah bukan masalah kemampuan pribadi, tetapi masalah kelembagaan. Masalah struktural yang melingkupi masyarakat miskin antara lain ketidakadilan penguasaan alat produksi terutama tanah, kualitas SDM, subsidi, akses memperoleh tunjangan, dan ketidakadilan pasar.
Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Ingat!.. kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah. Kenyataan, kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan.
Sungguh sangat miris melihat kenyataan ini. Yang menjadi pertanyaan kita semua, jika kemiskinan seperti itu terjadi di negeri yang tandus, gersang, dan tanpa kekayaan alam yang berarti, tentu cukup bisa dimaklumi. Namun sungguh ironis, kemiskinan ini terjadi di negeri yang dikenal sangat kaya raya dan subur. Fakta yang lebih mencengangkan lagi adalah, kerap kemiskinan itu justru terjadi di daerah yang kekayaan alamnya melimpah ruah, atau justru di pusat sumber kekayaan alam itu. [kbrNet/slm]

Deradikalisasi Islam: Proyek Penyesatan yang Bisa Memurtadkan Akidah

YOGYAKARTA (voa-islam.com) - Para aktivis deradikalisasi Islam tidak bisa disebut Muslim, karena tidak mau Syariat Islam ditegakkan. Untuk menghalang-halangi penerapan syariat Islam secara kaffah, mereka melakukan segala cara, termasuk mengebiri akidah Islam, menyelewengkan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW.
Demikian kesimpulan bedah buku “Kritik Evaluasi & Dekontruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia” yang digelar di Masjid Kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Ahad (15/8/2011).
Ketua MUI Surakarta Prof Zaenal Arifin Adnan menyayangkan penyelewengan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits dalam gerakan deradikalisasi Islam. ”Kami sangat prihatin karena ternyata ada pihak-pihak yang mencoba melakukan deradikalisasi, tetapi ternyata salah dalam menerapkan ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi. Ini sangat membahayakan Akidah Umat Islam,” jelasnya dalam kata sambutan mengawali acara bedah buku.
Berawal dari keprihatinan itulah, MUI Surakarta terpanggil untuk meluruskan dan mengkritik gerakan deradikalisasi Islam, dalam buku berjudul “Kritik Evaluasi & Dekontruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia.” Selain kepada para pegiat deradikalisasi Islam, buku itu juga dikirimkan kepada Kedutaan Amerika. “Buku putih terbitan MUI Surakarta ini juga diminta oleh Kedutaan Amerika sebanyak 15 eksemplar dan alhamdulillah sudah kita kirimkan supaya bisa beredar di sana untuk dipelajari,” paparnya.
Pembicara pertama, Ustadz Mudzakir dalam paparannya mengkritisi kesalahpahaman istilah “radikal” dalam acara Halaqah Nasional Deradikalisasi yang digelar BNPT. Menurut Pengasuh Ponpes Al-Islam Surakarta ini, kata radikal yang mereka pakai tidak sesuai dengan arti sesungguhnya, untuk mengebiri akidah umat Islam.
“Mereka menginginkan supaya umat Islam itu hanya menjalankan ajarannya secara formal saja, yaitu cukup hanya shalat, puasa  dan haji saja. Mereka ingin supaya jangan sampai ada pikiran untuk menegakkan syariat Islam,” ujarnya.
....Mereka ingin supaya jangan sampai ada pikiran untuk menegakkan syariat Islam...
Ustadz Mudzakir menambahkan, program deradikalisasi sarat dengan penyesatan dan penyelewengan penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits agar umat Islam tidak berani menjalankan Islam secara kaffah, termasuk jihad fisabilillah, karena takut dituduh Islam Radikal.
“Mereka melakukan  penyesatan melalui serangan terhadap apa yang mereka sebut  sebagai Islam Radikal,  sedangkan apa yang mereka sebut Islam radikal adalah orang-orang yang ingin menjalankan Islam dengan sebenar-benarnya,” jelasnya. “Usaha lain dari program deradikalisasi ini adalah dengan menyelewengkan tafsir dari ayat dan hadits yang berkenaan dengan jihad dan penegakkan syariat Islam agar sesuai dengan apa yang mereka inginkan,” tambahnya.
....Radikalisme yang dinisbatkan pada ajaran agama Islam itu merupakan tuduhan yang luar biasa untuk mematikan idiom syariat islam, daulah islamiyah atau khilafah dan jihad....
Senada itu,  HM Lutfie Hakim SH MH menjelaskan bahwa radikalisme yang dinisbatkan pada ajaran agama Islam itu merupakan tuduhan yang luar biasa untuk mematikan beberapa idiom Islam di antaranya: syariat Islam, daulah islamiyah atau khilafah dan jihad. “Tiga hal ini yang sering dilontarkan dari mulut Ansyaad Mbai dan kemudian disosialisasikan ke berbagai daerah,” tegas anggota Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat itu.
Lutfie menambahkan, para aktivis deradikalisasi Islam itu bisa murtad jika dengan sengaja tidak setuju terhadap syariat Islam dan Jihad. “Apabila ada seseorang yang secara sengaja tidak menghendaki syariat islam dan jihad, maka tidak bisa lagi disebut sebagai seorang  Islam. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Ma’idah ayat 44.
Sementara itu, Dr Eko Prasetyo SH mengapresiasi buku terbitan MUI Surakarta yang mengkritisi gerakan deradikalisasi umat Islam. “Buku ini berusaha untuk melawan cara pandang pemerintah dan masyarakat saat ini tentang stereotip  terorisme,” jelasnya.
....Laporan BBC menyatakan bahwa proyek terorisme menghasilkan nilai trilyunan rupiah yang tentunya nilainya tidak sedikit...
Menurut Direktur Program PUSHAM UII Yogyakarta ini, ada tiga alasan mengapa ada cara pandang BNPT  tentang stereotip  terorisme. Pertama, karena posisi negara Indonesia sangat tergantung dengan Barat. Kedua, karena pemerintah hampir tidak memiliki prestasi dalam penanganan korupsi, panggundulan hutan, penanganan bencana  dsb, hanya  dalam penanganan terorisme saja yang mereka anggap sebagai prestasi yang penting. Ketiga,  uang yang menjanjikan dari proyek terorisme.
“Laporan BBC menyatakan bahwa proyek terorisme menghasilkan nilai trilyunan rupiah yang tentunya nilainya tidak sedikit,” pungkasnya. [taz/agus]

HUT RI ke-66: KEMERDEKAAN yang Jauh dari KEBERKAHAN

HUT RI ke-66: KEMERDEKAAN yang Jauh dari KEBERKAHAN

Hari ini 17 Agustus 2011 bertepatan dengan 17 Ramadhan ketika Nuzulul Qur’an, bangsa Indonesia diberi nikmat kemerdekaan.
Setelah 66 tahun berlalu, sudahkah kita meraih baldatun thoyyibatun warobbun ghofuur? Rasanya masih jauh. Mengapa? Karena para pemimpin Indonesia menolak hukum Islam sehingga kemaksiatan merajalela. Padahal jika kita beriman dan bertakwa kepada Allah, maka akan dicurahkan keberkahan dari langit dan bumi.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Al-A’raf 96).
Jadi, apakah puasa, shalat, zakat, haji dan ibadah lainnya diterima, sedangkan kita menolak hukum Islam lainnya?
60. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut , padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
61. Apabila dikatakan kepada mereka : "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.
62. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna".
63. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.
64. Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
65. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa 60-65).

Kemerdekaan RI: Anugerah Allah Melalui Jihad Pahlawan dan Pejuang Islam

Oleh: Wildan Hasan

Peminat Pemikiran Islam, tinggal di Lemah Abang Cikarang

“Kalaulah suatu penduduk Negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya kami akan membuka kan berkah buat mereka dari langit dan dari bumi…” (Al-A’raf 96)
66 tahun yang lalu Indonesia memerdekakan diri pada hari Jum’at, hari paling mulia dalam Islam, bertepatan pada bulan Ramadhan, bulan paling mulia dalam Islam. Tak diragukan lagi, sangat jelas artinya bahwa kemerdekaan adalah anugerah dari Allah SWT. Demikianlah, maka disebut dalam muqaddimah UUD 1945 bahwa atas berkat rahmat Allah telah sampailah Indonesia kepada gerbang kemerdekaan.
Dua bulan kemudian setelah Agustus, setiap tanggal 10 November rakyat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan Nasional. 10 November sebuah tanggal yang monumental buah perjuangan arek-arek Suroboyo di bawah pimpinan pejuang besar kemerdekaan, Bung Tomo.
Namun naas, karena sejarah milik penguasa. Nasib Bung Tomo tiada ubahnya bak pesakitan dan pengkhianat bangsa. Ia di penjara oleh rezim yang berkuasa. Namun bagaimana pun juga, akhir sejarah, Allahlah yang menentukan. Bung Karno terkena tulah dari ucapannya yang terkenal "Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para pahlawannya." Ia terjungkal dari kekuasaan dengan cara yang mengenaskan dan jadi pesakitan yang sebenarnya, karena ulahnya yang tidak mampu menghargai jasa para pejuang. Hal yang sama terjadi kepada penggantinya, Soeharto.
Bung Tomo yang setiap pidatonya dalam membakar semangat jihad rakyat Indonesia melawan penjajah kafir selalu diawali dan diakhiri dengan Takbir,  Jum'at 7 November 2008 akhirnya ditetapkan oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional bersama Dr Mohammad Natsir dan KH Abdul Halim. Ketiga Mujahid pejuang kemerdekaan ini –seandainya masih hidup– mungkin akan bergumam "ah, malu aku. Hanya seperti inikah kemampuan pelanjutku dalam menghargai perjuangan yang berdarah-darah itu?"  Bukan berarti mereka mengharapkan penghargaan. Terlintas di pikiran pun tentunya tidak.
Dr. Mohammad Natsir adalah seorang ulama besar yang diakui dunia, dai, pendidik dan politisi ulung yang mempersatukan negara-negara boneka buatan kolonial Belanda dengan mosi yang terkenal, Mosi Integral Natsir, menjadi Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Mosi yang disebut-sebut sebagai proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kedua setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Akhirnya Pak Natsir, demikian biasa disapa, dipercaya menjadi Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia . Beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan di tiga kabinet yang berbeda masa Soekarno. Di mana menurut pengakuan Bung Hatta, Bung Karno tidak pernah mau menandatangani surat-surat pemerintah jika tidak disusun dan dibaca dulu oleh Pak Natsir.
Sedangkan KH Abdul Halim adalah ulama karismatik asal Majalengka Jawa Barat –penulis sendiri lahir dan besar di kota yang sama, merasakan karisma beliau yang begitu kuat pada masyarakat setempat– melahirkan banyak para pejuang kemerdekaan dengan metode pendidikannya yang khas.
Lalu apa pentingnya gelar Pahlawan Nasional bagi Bung Tomo, Pak Natsir dan KH Abdul Halim? Buat mereka bertiga tentu sangat tidak penting. Karena mereka adalah pahlawan sejati, yang berjuang ikhlas hanya berharap pahala dari Allah SWT (pahala-wan). Karena faktor keikhlasan itulah setelah kemerdekaan diraih; para kyai, ulama dan santri itu kembali melanjutkan amal mereka di sawah, ladang, pesantren dan lain-lain. Sementara pemerintahan akhirnya diisi oleh mereka yang tidak ikut berjuang atau ikut berjuang tapi tidak cinta Islam.
Para pejuang kemerdekaan berjuang atas motivasi mempertahankan aqidah dan memperjuangkan agama Allah di bumi ini. Maka ketika adanya penjajahan yang otomatis akan merusak akidah, umat Islam bangkit melawan. Jelas benar bahwa pejuang kemerdekaan seluruhnya adalah kaum muslimin tidak yang lain. Hanya umat Islamlah yang memerdekakan negeri ini dari penjajahan. Karena buat kaum muslimin saat itu perjuangan kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah. Mereka sangat menyadari bahwa akan tetap hidup di sisi Allah sekalipun syahid di medan perang. Allah SWT berfirman,
“Laa tahsabanna ladziina qutiluu fii sabiilillahi amwaatan bal ahyaaun ‘inda Robbihim yurzaquun…” (Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan diberi rezeki…)
Maka tidak lain dan tidak bukan, Islamlah yang memerdekakan Negeri ini, karena seluruh pejuang kemerdekaan beragama Islam. Menurut penelitian Guru Besar Ilmu Sejarah UNPAD, Dr Ahmad Mansur Suryanegara, tokoh pejuang kemerdekaan asal wilayah timur Nusantara, Thomas Mattulesy ternyata seorang muslim yang bernama Muhammad atau Ahmad Lesy. Kenapa demikian, karena wilayah timur Indonesia dari dulu sampai saat ini komposisi muslim dan non-muslim seimbang bahkan pada awalnya hanya ada Islam. Tidak benar jika dikatakan bahwa wilayah timur mayoritas non muslim. Bahkan Islamlah yang pertama kali menapakkan kaki di wilayah tersebut.
Dalam buku Neiuw Guinea karangan WC Klein tertulis fakta bahwa Islam masuk Papua pada 1569. Barulah pada 5 Februari 1855, dua misionaris Kristen mendarat di Pulau Mansinam, Manokwari, Papua. Ternyata menurut buku Penduduk Irian Barat (hal 105) sebagian besar tentara dan orang Belanda yang ditempatkan di Papua adalah rohaniawan Gereja (misionaris Katolik dan Zending Protestan).
…Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah…
Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah. Sementara itu  Kata ‘Maluku’ diambil dari bahasa Arab muluk (Raja-Raja), wilayah Maluku saat ini dan Papua awalnya dikuasai dan diperintah oleh para Raja Islam (Sultan) sebelum akhirnya datang misionaris-misionaris Kristen yang mempertahankan adat dan tradisi jahiliyyah di wilayah tersebut. Sehingga upacara-upacara kemusyrikan dan pakaian yang tidak syar’i dipertahankan dengan dalih pelestarian budaya. Tragisnya, ternyata hal itu dilanjutkan secara legal oleh pemerintah kita hingga detik ini.
Padahal, menurut para dai yang bertugas di sana, termasuk Ustadz Fadhlan Garamatan, seorang Da’i putra asli daerah, warga Papua sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka. Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap mantap dalam pembodohan struktural terhadap rakyatnya tersebut. Ustadz Fadhlan menggambarkan betapa warga pedalaman Papua begitu senang bisa mandi menggunakan sabun sebelum mereka disyahadatkan. Sebelumnya mereka mandi dengan melumuri badannya dengan minyak babi atas petunjuk para misionaris Kristen.
...Warga Papua sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka. Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap pada pembodohan struktural terhadap rakyatnya...
Raja Sisinga Mangaraja juga adalah muslim yang taat. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, tidak benar kalau raja Sisinga Mangaraja adalah penganut agama leluhur tapi dia adalah seorang muslim yang taat. Termasuk para pejuang Nasional yang kita kenal, mereka semuanya muslim. Pangeran Diponegoro adalah Ustadznya Istana dan para penasihatnya adalah para Kyai. Imam Bonjol, Cut Nyak Dien dan lain-lain semuanya adalah para ulama dan santri.
Konsekuensinya umat-umat yang lain khususnya umat Kristiani tidak punya andil sama sekali dalam perjuangan kemerdekaan. Umat Kristiani tidak mungkin akan bangkit berjuang melawan penjajah. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi sementara agama yang dianutnya dengan agama para penjajahnya sama? Akankah mereka akan membunuh saudara seimannya? Lebih-lebih kita tahu Kristen disebarkan melalui penjajahan. Menurut keterangan Ahmad Mansur Suryanegara, orang Kristen pada waktu itu, bukan lagi tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan mereka membantu kaum penjajah!” (hal tersebut beliau sampaikan langsung kepada penulis, saat penulis panel bersama beliau dalam Studium General Milad Pemuda Muhammadiyah ke-99 di Subang 22 November 2008). Bagi yang mengerti sejarah hal ini adalah fakta yang teramat jelas. Jadi sungguh mengherankan ketika mereka menuntut lebih. Bahkan sedikitpun sebenarnya mereka tidak berhak, ketika faktanya mereka tidak punya saham apapun dalam perjuangan kemerdekaan.
...umat Kristiani tidak punya andil sama sekali dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka tidak mungkin bangkit berjuang melawan penjajah dan membunuh saudara seimannya...
Katakan dulu di BPUPKI dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, tercantum nama Maramis dan Latuharhary dua orang perwakilan umat Kristiani. Namun sungguh keberadaan dua orang tersebut faktanya masih buram. Jika benar mereka ada (bukan fiktif), apakah mereka tidak malu mengaku-ngaku tapi tidak ikut memperjuangkan kemerdekaan, atau menurut beberapa sumber mereka sengaja mendompleng atau didomplengkan oleh Soekarno agar terlihat bahwa umat Kristiani juga punya peran dalam kemerdekaan Republik ini. Selain mereka juga termasuk yang habis-habisan menolak Piagam Jakarta. Hingga saat ini, umat Kristiani senantiasa menolak habis-habisan bila ada perundang-undangan yang mengatur ibadah dan muamalah umat Islam. Aneh, padahal tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu, sehingga engkau mengikuti millah mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Begitu besarnya peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan, dalam bukunya ‘Menemukan Sejarah’ Ahmad Mansur Suryanegara menuliskan beberapa data di antaranya:
1. Pengakuan George Mc Turner Kahin seorang Indonesianis (Nationalism and revolution Indonesia) bahwa ada 3 faktor terpenting yang mempengaruhi terwujudnya integritas Nasional; 1) Agama Islam dianut mayoritas rakyat Indonesia, 2) Agama Islam tidak hanya mengajari berjamaah, tapi juga menanamkan gerakan anti penjajah, 3) Islam menjadikan bahasa Melayu sebagai senjata pembangkit kejiwaan yang sangat ampuh dalam melahirkan aspirasi perjuangan Nasionalnya.
…Pelopor gerakan Nasional bukan Budi Utomo tetapi Syarekat Islam (SI) yang memasyarakatkan istilah Nasional dan bahasa Melayu ke seluruh Nusantara...
2. Bahwa pelopor gerakan Nasional bukan Budi Utomo tetapi Syarekat Islam (SI) yang memasyarakatkan istilah Nasional dan bahasa Melayu ke seluruh Nusantara, anggotanya beragam dan terbuka. Sementara Budi Utomo; menolak persatuan Indonesia, memakai bahasa Jawa dan Belanda dalam pergaulannya, bersikap ekslusif di luar pergerakan Nasional dan keanggotaannya hanya untuk kalangan Priyayi (Bangsawan/ningrat) saja.
3. Pelopor pembaharuan sistem pendidikan Nasional adalah Muhammadiyah (1912) 10 tahun lebih awal dari Taman Siswa (1922). Muhammadiyah sudah memakai bahasa Melayu sementara Taman Siswa berbahasa Jawa dan Belanda. Hal paling mengerikan adalah pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara ternyata sangat membenci Islam.
4. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dipelopori oleh para pemuda Islam atas prakarsa para ulama dalam rapat Nasional PSII di Kediri pada 27-30 September 1928. Dan masih banyak lagi-lagi fakta-fakta lain yang belum terungkap.
Pada hakikatnya dan seharusnya negeri ini adalah negeri Islam. Karena salah satu sumber hukum positif di negeri ini adalah Syariat Islam. Dicantumkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai menjiwai UUD 1945 oleh Soekarno menjadi dasar sahih keharusan negeri ini diatur oleh syari’at Islam selain faktor historis yang sudah dikemukakan di atas. Maka sebelumnya, saat ini dan seterusnya seluruh produk perundang-undangan yang lahir harus mengandung nilai-nilai syariat.
…Pelopor pembaharuan sistem pendidikan Nasional adalah Muhammadiyah (1912) 10 tahun lebih awal dari Taman Siswa (1922)…
Dengan dasar tersebut sungguh tidak logis dan inkonstitusional jika ada sebagian kalangan yang menggugat perda-perda bernuansa Syariah. Termasuk UU Pornografi yang juga sebenarnya belum murni syariah. Tanpa malu-malu mereka mengancam akan berpisah dari NKRI, seolah-olah NKRI membutuhkan mereka. Sesungguhnya, mereka harus berpisah diri-diri mereka saja dari bumi Indonesia, karena wilayah timur atau wilayah manapun di negeri ini adalah milik umat Islam.
Negeri ini lahir atas buah karya keikhlasan para mujahid pejuang kemerdekaan atas Berkat Rahmat Allah SWT. Sebagaimana tercantum dengan tegas dalam Pembukaan UUD 1945 “Atas Berkat Rahmat Allah SWT….” Karena jika tidak atas Berkat Rahmat Allah SWT tidak mungkin bambu runcing dapat menang melawan senjata-senjata modern penjajah kafir.
Para muarrikhin (sejarawan) mengatakan “sejarah milik penguasa”. Perjuangan seorang Mohammad Natsir dan kawan-kawan yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan mempersatukan Indonesia dalam NKRI banyak tidak diketahui oleh para pewarisnya (rakyat Indonesia), karena Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara sementara para penguasa tidak menginginkannya.
Sebagian besar dari kita atau anak-anak kita di sekolah tidak mengenal sosok para mujahid tersebut. Dengan dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional maka sudah menjadi keharusan materi sejarah diluruskan di buku-buku sejarah anak-anak kita. Hal yang sebenarnya paling ditakuti oleh penguasa. Di mana pemikiran dan perjuangan sosok-sosok itu akan dibaca yang kemudian membangkitkan ruh jihad di dada-dada generasi Islam. Sehingga gelar pahlawan yang secara otomatis pengakuan konstitusional itu, senantiasa diulur-ulur.
Mereka khawatir jika setiap kali keluar dari kelas, para siswa akan memekikkan takbir Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar !!!