YOGYAKARTA (voa-islam.com) - Para aktivis deradikalisasi Islam tidak bisa disebut Muslim, karena tidak mau Syariat Islam ditegakkan. Untuk menghalang-halangi penerapan syariat Islam secara kaffah, mereka melakukan segala cara, termasuk mengebiri akidah Islam, menyelewengkan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW.
Demikian kesimpulan bedah buku “Kritik Evaluasi & Dekontruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia” yang digelar di Masjid Kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Ahad (15/8/2011).
Ketua MUI Surakarta Prof Zaenal Arifin Adnan menyayangkan penyelewengan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits dalam gerakan deradikalisasi Islam. ”Kami sangat prihatin karena ternyata ada pihak-pihak yang mencoba melakukan deradikalisasi, tetapi ternyata salah dalam menerapkan ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi. Ini sangat membahayakan Akidah Umat Islam,” jelasnya dalam kata sambutan mengawali acara bedah buku.
Berawal dari keprihatinan itulah, MUI Surakarta terpanggil untuk meluruskan dan mengkritik gerakan deradikalisasi Islam, dalam buku berjudul “Kritik Evaluasi & Dekontruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia.” Selain kepada para pegiat deradikalisasi Islam, buku itu juga dikirimkan kepada Kedutaan Amerika. “Buku putih terbitan MUI Surakarta ini juga diminta oleh Kedutaan Amerika sebanyak 15 eksemplar dan alhamdulillah sudah kita kirimkan supaya bisa beredar di sana untuk dipelajari,” paparnya.
Pembicara pertama, Ustadz Mudzakir dalam paparannya mengkritisi kesalahpahaman istilah “radikal” dalam acara Halaqah Nasional Deradikalisasi yang digelar BNPT. Menurut Pengasuh Ponpes Al-Islam Surakarta ini, kata radikal yang mereka pakai tidak sesuai dengan arti sesungguhnya, untuk mengebiri akidah umat Islam.
“Mereka menginginkan supaya umat Islam itu hanya menjalankan ajarannya secara formal saja, yaitu cukup hanya shalat, puasa dan haji saja. Mereka ingin supaya jangan sampai ada pikiran untuk menegakkan syariat Islam,” ujarnya.
....Mereka ingin supaya jangan sampai ada pikiran untuk menegakkan syariat Islam...
Ustadz Mudzakir menambahkan, program deradikalisasi sarat dengan penyesatan dan penyelewengan penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits agar umat Islam tidak berani menjalankan Islam secara kaffah, termasuk jihad fisabilillah, karena takut dituduh Islam Radikal.
“Mereka melakukan penyesatan melalui serangan terhadap apa yang mereka sebut sebagai Islam Radikal, sedangkan apa yang mereka sebut Islam radikal adalah orang-orang yang ingin menjalankan Islam dengan sebenar-benarnya,” jelasnya. “Usaha lain dari program deradikalisasi ini adalah dengan menyelewengkan tafsir dari ayat dan hadits yang berkenaan dengan jihad dan penegakkan syariat Islam agar sesuai dengan apa yang mereka inginkan,” tambahnya.
....Radikalisme yang dinisbatkan pada ajaran agama Islam itu merupakan tuduhan yang luar biasa untuk mematikan idiom syariat islam, daulah islamiyah atau khilafah dan jihad....
Senada itu, HM Lutfie Hakim SH MH menjelaskan bahwa radikalisme yang dinisbatkan pada ajaran agama Islam itu merupakan tuduhan yang luar biasa untuk mematikan beberapa idiom Islam di antaranya: syariat Islam, daulah islamiyah atau khilafah dan jihad. “Tiga hal ini yang sering dilontarkan dari mulut Ansyaad Mbai dan kemudian disosialisasikan ke berbagai daerah,” tegas anggota Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat itu.
Lutfie menambahkan, para aktivis deradikalisasi Islam itu bisa murtad jika dengan sengaja tidak setuju terhadap syariat Islam dan Jihad. “Apabila ada seseorang yang secara sengaja tidak menghendaki syariat islam dan jihad, maka tidak bisa lagi disebut sebagai seorang Islam. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Ma’idah ayat 44.
Sementara itu, Dr Eko Prasetyo SH mengapresiasi buku terbitan MUI Surakarta yang mengkritisi gerakan deradikalisasi umat Islam. “Buku ini berusaha untuk melawan cara pandang pemerintah dan masyarakat saat ini tentang stereotip terorisme,” jelasnya.
....Laporan BBC menyatakan bahwa proyek terorisme menghasilkan nilai trilyunan rupiah yang tentunya nilainya tidak sedikit...
Menurut Direktur Program PUSHAM UII Yogyakarta ini, ada tiga alasan mengapa ada cara pandang BNPT tentang stereotip terorisme. Pertama, karena posisi negara Indonesia sangat tergantung dengan Barat. Kedua, karena pemerintah hampir tidak memiliki prestasi dalam penanganan korupsi, panggundulan hutan, penanganan bencana dsb, hanya dalam penanganan terorisme saja yang mereka anggap sebagai prestasi yang penting. Ketiga, uang yang menjanjikan dari proyek terorisme.
“Laporan BBC menyatakan bahwa proyek terorisme menghasilkan nilai trilyunan rupiah yang tentunya nilainya tidak sedikit,” pungkasnya. [taz/agus]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar