Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 10 Agustus 2011

Wamenhan: Belum Ada Seruan Tokoh Islam Mengajak Melawan Separatisme

alt
Jakarta (SI ONLINE) - Hingga saat ini, belum terdengar (belum ada) seruan dari tokoh agama -terutama Islam- yang lantang mengajak untuk melawan gerakkan separatisme, di tengah zaman perang yang sudah asimetrik saat ini.

Wakil Menteri Pertahanan, Letjen TNI Safrie Sjamsoeddin mengungkapkan itu, Senin (8/8/2011) dalam kesempatan silaturahmi menjelang berbuka puasa, bersama sejumlah tokoh Islam di kediaman dinasnya di Jalan Imam Bonjol No. 30, Menteng, Jakarta Pusat.

Sejumlah tokoh Islam hadir pada kesempatan ini, antara lain; HM. Cholil Badawi (Sesepuh asal Magelang), KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i (Pimpinan Perguruan Islam Asy Syafi’iyah), KH. A. Cholil Ridwan (Ketua MUI Pusat), KH. Machrus Amin (Pimpinan PP Darunnajah), Habib Muhammad Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI ), Dr. H. Ahmad Sumargono (Ketua GPMI/Mantan Anggota DPR RI), KH. Muhammad Al Khaththath (Sekjen Forum Umat Islam), KH. Syuhada Bachri (Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), dr. Joserizal Jurnalis (Presidium MER-C), Alfian Tanjung (Ketua Taruna Muslim Tangerang) dan HM. Aru Syeiff Assadullah (Pimpinan Redaksi Tabloid Suara Islam, sebagai Koordinator).

Membuka pembicaraan dalam silaturahmi ini, sebagai tuan rumah Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin mempersilakan tetamunya untuk menyampaikan berbagai informasi. “Saat ini, giliran saya yang lebih banyak mendengar informasi dari Bapak, para Sesepuh, Ustadz dan Kiai,” katanya akrab.

H. Cholil Badawi, sesepuh asal Magelang mendapat kesempatan berbicara paling awal; memaparkan kondisi terkini dengan menyebut, rakyat Indonesia saat ini dalam situasi yang bingung. Kekisruhan negara, benar-benar dirasakan sudah sangat merata di Indonesia. Mantan Wakil Ketua DPA di era Pemerintahan Presiden Soeharto ini juga menyinggung apa yang terjadi di Papua akhir-akhir ini.

“Teriakan rakyat rasanya sudah tidak didengar. Ketika sudah demikian, di zaman kerajaan dulu, rakyat protes agar didengar penguasa, kemudian dengan berjemur diri (pepe) di bawah terik matahari. Situasi saat ini, sudah menuntut keberanian Presiden, untuk melangkah sebagai kepala negara, atau malah sebaliknya rakyat yang melangkah; Mudah-mudahan Allah memberi jalan keluar, bagi masalah Irian (Papua) dan Aceh yang keduanya merupakan daerah yang sangat berpotensi rusuh membahayakan keutuhan NKRI,” katanya dengan tutur bahasa yang runtut; kendati sudah sepuh dalam usia 84 tahun.

Permasalahan karut marut bangsa yang seolah tidak ada jalan keluar yang dikemukakan KH. Cholil Badawi; langsung mendapat tanggapan dari Letjen Sjafrie Sjamsoeddin terutama yang berkembang di Papua, dengan menunjuk adanya gerak separatisme di Indonesia, yang secara keseluruhan merupakan penampilan insurgensi.  Dalam menghadapinya, tidak boleh lagi bicara tentang agama, tidak boleh lagi bicara tentang suku dan ras.

Sebab, lanjut Sjafrie dengan memapar sejumlah bukti sejarah, gerakan separatisme tidak pernah ada yang berjalan sendiri di dalam suatu negeri. “Sulit mengatakan tidak ada kaitan dengan yang di luar NKRI. Kita lihat dari format ancaman; jelas menunjukkan ada Non State Actor (Pelaku dari luar, tetapi bukan negara); lebih memperjelas lagi dari format interesnya; di bidang ekonomi, terutama yang ada kaitannya dengan Sumber Daya Alam. Pihak Non State Actor, sejak zaman penjajahan Belanda, sangat faham dengan kondisi alam Papua,” ulasnya.

Sumber Daya Alam di Papua, tunjuk Sjafrie, sebagai salah satu pemicu berbagai kekisruhan. Sebab, di tengah penduduknya dengan kemajuan kecerdasan tidak ubahnya seperti deret hitung; sedang tuntutan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi Sumber Daya Alam, tak ubahnya seperti deret ukur.

Perkembangan berikutnya, kekisruhan yang terjadi demikian kompleks penyebabnya. Diantaranya; perusahaan tambang dituntut memberi perhatian pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lingkungannya. Tuntutan itu dipenuhi berbentuk uang. Pada tahun pertama, uang kesejahteraan tersalur dengan baik. Pada tahun ke dua; jumlah semakin berkurang, dan tahun-tahun berikutnya tidak tersalur, diambil sendiri oleh koordinatornya. “Ini, merupakan salah satu pemicu,” tandasnya.

Jika kemudian timbul pertanyaan separatisme akan diselesaikan dengan cara apa?. Sjafrie mengakui, yang telah berkembang di Papua sudah demikian sulit; berbeda dengan yang pernah terjadi di Aceh. Di Papua memerlukan penanganan terpadu; antara operasi intelejen, territorial maupun militer. Di Papua, terdapat lima faksi separatisme yang tidak menyatu. “Repotnya, ketika operasi militer diterapkan untuk menghadapi, mendapati sekelompok terduga separatisme, justru tidak bersenjata. Mengadapi smart separatisme demikian, gerak militer seperti kerja sia-sia karena tidak ada dukungan peraturan perundangan. Lain ketika menghadapi separatisme bersejata, tindakan taktis militer di lapangan masih dibenarkan untuk dilakukan TNI. Inilah sulitnya zaman perang yang sudah asimetrik,”paparnya.

Habib Muhammad Rizieq Shihab, Ketua Umum Font Pembela Islam (FPI), menggarisbawahi sulitnya menghadapi separatisme di Papua, lain ketika menghadapi permasalahan yang identik di Aceh. “Karena di Aceh, dapat dihadapi dengan mengedepankan Agama. Penanganan dilaksanakan dengan bentuk dialog agama.”

“Indonesia, sejak sebelum merdeka, berembuk mempersiapkan kemerdekaan, senantiasa melibatkan tokoh agama, terutama Islam. Sejumlah tokoh Islam, tercatat termasuk dalam deretan nama  founding father negeri ini.  Karena itu, dalam penanganan separatisme, hendaknya mengajak dan melibatkan tokoh agama, dalam hal ini Islam. Tetapi, umat Islam saat ini terlanjur dibuat sibuk sendiri, untuk “menyelamatkan diri” dari kejaran dan tudingan terorisme. Kita semestinya memahami, separatisme itu, jauh lebih berbahaya dibanding terorisme yang dituding-tudingkan itu.” katanya dengan orasi bernada tinggi.

HM. Aru Syeif Assadullah, Pimpinan Redaksi Tabloid Suara Islam menambahkan dengan mengungkap kecurigaan, yang terlibat secara langsung dalam Non State Actor dan melancarkan Smart Separatisme, diantaranya dari kalangan missionaries. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) juga mempunyai juru dakwah yang ditempatkan di Papua. Namun dalam hal jumlah, sarana dan pembiyaan, jauh (tidak ada apa-apanya) jika dibanding dengan missionaris, yang dalam setiap gerak jelajahnya didukung dengan pesawat terbang perintis.

Menanggapi paparan dari tetamunya, Sjafri Sjamsoeddin mengungkap sebagai sangat  memahami dan berjanji akan memperhatikan. “Namun disayangkan ya, selama ini, saya kok belum pernah mendengar adanya seruan dari para tokoh dan sesepuh Islam, yang mengajak untuk melawan separatisme. Kalau saja ada, para pihak pelaku Non State Actor, tentu akan keder dan berkali-kali berhitung jika hendak berbuat,” kata Sjafrie Sjamsoeddin; namun terputus karena waktu telah memasukki saat berbuka puasa.

Rep: Muhammad Halwan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar