Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Minggu, 14 Agustus 2011

Indonesisa dan Dominasi “Bandit-Bandit” Politik Borjuasi


Aksi sekonyong-konyong Presiden SBY menginstruksikan kepada aparat penegak hukum untuk menangkap Nazaruddin juga menimbulkan skeptisme, dicurigai sekedar untuk pencitraan semata. Karena ternyata perihal migrasi buronan INTERPOL tersebut dari Singapura, sudah disampaikan kepada pemerintah Indonesia beberapa minggu lalu, jauh sebelum ia dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK 30 Juni 2011. Sebagaimana dilansir kementerian Luar Negeri Singapura dalam situs resminya, Selasa (5/7/2011).
Instruksi Absurd
Aroma tendensi politik pencitraan dari intruksi Presiden SBY yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ini, didasarkan oleh semakin berlarut-larutnya kasus tersebut hingga memasuki bulan kedua, sehingga memberi multiple effect (efek berganda) bagi partai Demokrat dan SBY.
Pertama, menambah keras guncangan instabilitas politik di internal partai. Sebagaimana diketauhi, Nazaruddin masuk dan menjadi Bendahara Umum Demokrat berkat kebaikan Anas. Kedekatan hubungan tersebut tentu menyudutkan. Efek politik jangka panjangnya akan mempengaruhi performa Anas, baik ditingkatan DPP maupun DPD-DPD Demokrat.
Celah ini menjadi angin segar bagi faksi Andi Alfian Mallarangeng yang merupakan seteru Anas saat Kongres di Bandung Mei tahun 2010 lalu. Wacana Kongres Luar Biasa bisa menjadi semakin menguat, mengingat Nazaruddin sempat menyebut kalau Anas turut menerima aliran dana untuk membiayai Kongres di Bandung tahun 2010 lalu dan untuk persoiapan Pilpres 2014.
Kedua, tak syak lagi, nyanyian Nazaruddin dengan terus menyebut elit Demokrat terlibat dalam kasusna menyebabkan terjadinya distrust (ketidakpercayaan) publik atas janji-janji manis Ketua Dewan Pembina Demokrat untuk memberantas korupsi. Karena faktanya, Demokrat sendiri sudah menjadi hunian nyaman bagi koruptor.
Persepsi sumir tersebut tentu akan diikuti dengan migrasi suara. Sebagaiaman lansiran Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang dipublikasikan pada 29 Mei 2011 lalu, Demokrat merupakan partai yang pemilihnya tidak stabil, rentan mengalihkan pilihan jika sedikit saja ada kesalahan. Hal ini dikarenakan pemilih Demokrat didominasi oleh pemilih rasional.
Oleh karenanya, jika tidak dilakukan upaya pencitraan, maka bisa dipastikan daya magnetis Demokrat melemah secara drastis. Ini bisa kita baca dari makin anjloknya kepercayaan publik pada pemerintahan SBY sebagai representasi Partai Demokrat.
Inilah kekhawatiran besar Partai Demokrat, perolehan suaranya bisa semakin anjlok melebihi anjloknya angka-angka yang dilansir berbagai lembaga survey. Maka pada titik ini intruksi SBY untuk menangkap Nazaruddin dapat dibaca sebagai upaya counter imaging.
“Bandit” Demokrasi
Dibalik gempa politik yang mengguncang Demokrat, kita diperlihatkan oleh fakta tentang wajah partai politik. Wajah yang semakin karut marut. Transisi demokrasi yang terjadi selama ini, ternyata tidak mampu melahirkan mainstream dan paradigma baru sebagai nilai tambah dalam pentas politik. Partai politik malah disandera oleh kepentingan sesat. Menyimpang jauh dari fungsi utamanya.
Partai politik sekedar dijadikan sebagai batu loncatan untuk meraih keuntungan bagi pribadi dan kelompok. Mabuk kekuasaan secara masif menyerang mereka yang dilabeli sebagai “elit”. Sebagaimana dikatakan Haryatmoko (2010), partai politik yang seharusnya berperan sebagai instrumen demokrasi, namun situasi sekarang ini justru menunjukkan partai politik menjadi bagian masalah.
Satu hal yang perlu disadarai, bahwa kenyataan ini tidak lepas dari sistem demokrasi liberal yang high cost (biaya tinggi). Memantik kompetisi keras untuk mengusai kantong-kantong materi. Parahnya, yang digerogoti adalah keuangan negara.
Maka tak heran jika persaingan merampok uang negara sering kali dilegalisasi melalui poryek-proyek fiktif oleh perusahaan-perushaan bodong yang dalam waktu sekejap tiba-tiba memiliki aset milyaran. Kejahatan seolah-olah kebajikan, karena partai politik menjadikan perusahaan kader-kadernya sebagai pipa yang mengalirkan dana segar bagi keuangan partai.
Inilah yang dikatakan oleh Mancur Oslon (2000) di dalam bukunya yang berjudul Power and Prosperity, dengan mengambil sampel pada negara Uni Soviet ketika memasuki fase transisi menjadi negara demokrasi. Masa yang menurut Oslo sebagai periode yang justru menjadi kesempatan bagi bertakhtanya para bandit.
Suhartono W. Pranoto (2008), mendefinisikan bandit sebagai penjahat yang sudah berkaliber, penjahat kelas kakap, atau penjahat ulung. Bandit berasal dari bahasa Latin bandere artinya brigand atau perampok, perusak atau pelanggar hukum di luar perlindungan hukum. Bandit juga berarti bukan lagi penjahat biasa, namun sudah berpengalaman dan memiliki jam terbang yang tinggi.
Salah satu prinsip dalam demokrasi sebagaiamana dikutip dari Robert A. Dahl (1957) adalah kebebasan. Baik berserikat, berkumpul, berpartisipasi dan segala jenis kebebasan lainnya yang melekat sebagai hak dasar manusia. Maka dalam sistem demokrasi liberal, bandit menjadikan demokrasi sebagai alat legitimasi dari apa yang mereka lakukan. Dengan atas nama kebebasan kejahatan yang dilakukan seolah olah adalah kebenaran.
Oleh Ignatius Wibowo (2011) di dalam bukunya “Negara dan Bandit Demokrasi”, tesis Oslo digunakan untuk mengidentifikasi adanya bandit demokrasi di Indonesia. Menurut Oslo, ada dua jenis bandit yaitu roving bandits (bandit yang mengembara) dan stationary bandits (bandit menetap).
Dalam terminologi demokrasi, bandit tentu lekat dengan konteks politik-kekuasaan. Keberadaan bandit tidak dapat kita lihat dari satu variabel. Namun ada banyak sebab sehingga perbanditan menjadi gurita ditengah berlapisnya sistem dan lembaga yang diharapkan bisa menghilangkan atau sekedar mereduksi kualitas dan kuantitas bandit.
Politik Borjuasi
Salah satunya adalah persilangan power (kekuasaan) dan kepentingan ekonomi. Jejaring yang telah terbentuk pada semua level sektor vital semakin mengukuhkan posisi para bandit. Mulai dari level birokrasi, ekonomi, dan hukum.
Tak perlu heran jika sejak dulu, kehidupan bangsa ini hanya ada di tangan sekelompok kecil entitas. Mereka adalah bandit yang pada akhirnya bertransformasi menjadi kelompok borjuis. Linier dengan tuntutan kompetisi demokrasi liberal yang secara alami menyaring dan menggugurkan mereka yang tidak berasal dari kelas menengah atas. Atau juga mereka yang gagal melakukan mobilitas vertikal menjadi kelompok borjuis.
Akhirnya elit yang terkondisikan pada orientasi ekonomi, sehingga yang diperhitungkan hanya terbatas pada etika utilitarian yang lahir dari rahim materialisme. Etika ini menyelubungi sistem partai politik yang mengusung sitem moral Darwinisme “the survival fo the fittes”, yang memuja kultus pemenang dengan ukuran material. Politik dalam dominasi bandit-bandit borjuasi.
Kenyataan ini merupakan buah dan akibat arus pragmatisme yang menjadi jiwa sebagian besar Parpol di Indonesia. Dalam jangka pendek, sering kali buah pragmatisme itu manis dan menjadi candu, tapi pada akhirnya berubah menjadi racun.
Pragmatisme, layaknya kebathilan akan berujung pada kehancuran. Pragmatisme bisa kita sampling (ambil contoh) dari kejadian yang menimpa Partai Demokrat. Pola rekruitmen (kaderisasi) partai yang tidak berjalan, Nazaruddin yang dulunya adalah Calon Anggota Legislatif –yang gagal- di partai lain, memiliki ruang untuk loncat ke Demokrat. Terjadi persilangan kepentingan dengan prinsip mutualisme (saling menguntungkan). Resikonya seperti yang kita saksikan saat ini.
Satu pelajaran berharga bahwa pola rekruitmen dengan mengedepankan tokoh instan, populer dan memiliki kemampuan pendanaan yang besar sebagai daya ungkit elektoral, bukanlah jaminan untuk semakin membesarkan dan mengokohkan partai.
Solusi
Politik di era demokrasi borjuasi yang dicirikan pengarus utamaan sokongan dana, sudah saatnya ditinggalkan. Menyambung opini Indra J. Piliang di salah satu koran nasional, bahwa demokrasi dilahirkan oleh kaum borjuis sudah diketahui dan nampak nyata. Maka sebagai bagian dari masyarakat politik, peran kita sebagai antitesa untuk menghentikan laju politik borjuasi tersebut, tentu menjadi salah satu variabel penentu. Ada beberapa cara yang dapat kita tempuh.
Pertama dimulai dari sikap selektif dalam menyalurkan hak politik. Dibutuhkan dukungan dari kelompok civil society untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Kewajiban ini sejatinya dilakukan oleh partai politik, namun faktanya sangat jarang partai politik melakukan poiltical edication kini hampir mutlak ditinggalkan. Yang ada hanya penyesatan politik.
Kedua, mendorong supremasi hukum tanpa pandang bulu dengan optimalisasi lembaga penegak hukum yang berlapis. Baik lembaga resmi negara maupun lembaga ad hoc seperti KPK dan Satgas Anti Mafia Hukum.
Disini dibutuhkan aparat penegak hukum yang terlepas dari berbagai kepentingan dan jaringan kekuasaan. Karena distrust terhadap aparat penegak hukum di mata publik saat ini, diakibatkan oleh tidak terlepasnya mereka dari intervensi kekuasaan.
Ketiga, memanfaatkan keterbukaan ruang publik untuk melakukan pengawasan terhadap semua entitas di level eksekutif, legislatif dan yudikatif, untuk mengusir bandit-bandit politik dan mengucilkan mereka dari pentas politik. Karena dengan memberi ruang atau bahkan celah, dengan superioritasnya dalam sekejap mereka mampu mengacaukan sistem demokrasi. Wallahu’alam
 
 
KEBOBOROKAN wajah politik Indonesia makin tersingkap. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Demokrat yang juga anggota DPR RI membuka tabir gelap tersebut. Kini entah kemana rimbanya Nazaruddin, politisi muda yang menjadi sorotan publik atas sejumlah dugaan korupsi yang dialamatkan pdanya, menghilang dari radar aparat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar