Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 26 Oktober 2011

2014, Tak Bakal Ada Pemimpin Muda



T
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemilu Presiden 2014 mendatang diyakini tak bakal memunculkan pemimpin muda. Generasi muda tak bisa tiba-tiba muncul jadi pemimpin karena selama ini mekanisme seleksi kepemimpinan nasional dimonopoli oleh partai politik.
Di sisi lain, partai politik yang ada saat ini juga belum menunjukkan kualitas sebagai institusi pokok di sebuah negara demokrasi.
"Untuk 2014 pemainnya enggak akan banyak. Enggak bisa pemimpin muda muncul tiba-tiba. Dari mana? Karena dia tidak punya mekanisme, tidak punya tools-kan. Tools-nya melalui partai. Kecuali kalau sistem kita membolehkan independen maju, mungkin bisa pemimpin muda," kata mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault di Jakarta, Rabu (26/10/2011).
Menurut Adhyaksa, kemunculan pemimpin muda hanya bisa didorong oleh partai politik. Itu pun jika pemimpin muda tersebut mendapat restu dari oligarki yang berkuasa di partai yang bersangkutan.
"Pemimpin muda yang mungkin maju ya seperti kalau Bu Mega tidak mau, kemudian PDI P mencalonkan Puan Maharani barangkali bisa. Yang sudah mendapatkan tempat di partai. Pola rekrutmennya memang melalui partai. Itu yang enggak bisa dipungkiri," katanya.
Sayangnya, lanjut Adhyaksa, partai politik di Indonesia sekarang ini tak bisa menghasilkan politikus berkualitas dan amanah dengan tanggung jawabnya. Partai politik di Indonesia hanya menghasilkan politikus yang mau dilayani negara dan bangsanya.
"Bukan politikus negarawan yang menjadikan dirinya sebagai pelayan bagi bangsa dan negaranya. Cara berpikir dan berkehendaknya bukan untuk kelompok dia. Bukan soal hitung-hitungan kursi berapa dapat, tetapi bagaimana rakyat ini. Kalau politikus-an sih, orang yang menjadikan negara dan bangsa sebagai pelayan pada dirinya. Percuma pemimpin muda kalau ternyata koruptor," katanya.

Antisipasi Jangan Sampai Indonesia Jadi Negara Gagal



JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah dan segenap komponen bangsa lainnya seharusnya mulai mengantisipasi kemungkinan Indonesia menjadi salah satu negara gagal. Apalagi, indikator Indonesia menuju negara gagal sudah mulai muncul.
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mengungkapkan, sejumlah ahli seperti Direktur Pencegahan dan Resolusi Konflik di Universitas Harvard dan Guru Besar University of California Los Angeles Jared Diamond menyebut Indonesia merupakan salah satu negara yang tengah menuju kondisi negara gagal bersama sejumlah negara lainnya, seperti Rwanda, Burundi, dan Afganistan.
"Itu indikator dari para ahli seperti itu jelas harus kita antisipasi. Mereka bilang Indonesia bakal menjadi negara gagal. Indikatornya antara lain kalau terjadi kleptokrasi (semua cabang kekuasaan terjadi korupsi), ada pertarungan horizontal, kepercayaan daerah kepada pusat kurang, dan kepercayaan rakyat kepada pemimpin mulai hilang," kata Adhyaksa di Jakarta, Rabu (26/10/2011).
Seharusnya dengan munculnya semua indikator yang bakal mengarahkan Indonesia menjadi negara gagal, semua komponen bangsa mau mengantisipasinya.
"Kalau seperti itu kan kita bisa mengantisipasinya dong. Saya katakan ketika terjadi yang namanya reformasi sama seperti perestroika dan glasnos di Soviet. Tetapi, ketika Soviet terpecah menjadi negara kecil, dia punya pemimpin nasional namanya Putin, agen KGB hebat yang pernah terlibat dalam reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Itu diimplementasikan dalam Rusia sekarang ini. Indonesia sekarang sedang menuju ke arah disintegrasi bangsa atau arah demokratisasi jati diri," katanya.
Menurut dia, disintegrasi ataupun berhasil menjadi negara demokrasi yang berjati diri sangat tergantung bangsa Indonesia sendiri. "Itu bergantung pada tiga hal pokok. Yang pertama, cara berpikir dan berkehendak dari politik kita hari ini. Kedua, netralitas TNI dan Polri harus kita jaga, dan ketiga, kekuatan kepemudaan," ujarnya.

Rakyat Merindukan Pemimpin yang Tegas



TPGIMAGES
JAKARTA, KOMPAS.com - Rakyat Indonesia saat ini cenderung merindukan sosok pemimpin yang tegas dan berwibawa. Karakter kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini dinilai penuh keraguan dalam mengambil langkah-langkah pro rakyat, merupakan salah satu faktor kerinduan masyarakat akan sosok pemimpin yang tegas dan berwibawa tersebut. Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Toto Sugiarto dalam paparan survei A Few Good Man: Kandidat Presiden 2014, di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu (26/10/2011).
Toto mengatakan, masyarakat merepresentasikan ketegasan dan kewibawaan tersebut dengan sosok pemimpin yang berasal dari militer. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan SSS, kata Toto, sebanyak 33,8 persen responden memilih latar belakang yang cocok menjadi calon presiden berasal dari militer.
Sementara itu, akademisi sebanyak 17,2 persen, tokoh agama 12,1 persen, dan partai politik 8,9 persen. Menurut Toto, hasil survei tersebut menjadi pentunjuk bahwa dikotomi sipil dan militer belum sepenuhnya sirna dari memori publik.
"Gejala seperti ini bisa jadi dipicu oleh lemahnya kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan di kalangan politisi sipil. Dan keinginan masyarakat untuk mendapatkan kepastian ke mana negara ini akan dibawa, membuat mereka kembali menoleh pada figur yang berlatar belakang militer," kata dia.
Toto menambahkan, dengan ketokohan tegas dan berwibawa tersebut, masyarakat juga tentunya berharap agar dituntaskannya beberapa kasus-kasus penegakan hukum yang belum selesai. Ia menilai, saat ini perilaku para politisi yang kadang terlalu hiruk pikuk ketika membahas suatu kasus yang hasilnya tidak jelas.
"Jadi, banyak kasus yang masih menjadi pekerjaan berat pemerintah. Dan kalau tidak dipimpin oleh pemimpin yang tegas, akan sangat sulit mengharapkan kasus-kasus itu bisa diselesaikan. Masyarakat saat ini sudah agak bosan dengan kepemimpinan ragu-ragu," kata Toto.
Dari survei juga terungkap bahwa kasus korupsi menempati peringkat pertama sebagai masalah yang masih pekerjaan berat pemerintah dengan suara sebanyak 40,5 persen. Selain itu, kemiskinan sebesar 29,8 persen, dan pengganguran 16 persen.
"Temuan ini merefleksikan tingkat keamanan dan pengganguran tidak selaras dengan apa yang dirasakan publik. Oleh karena itu akan sangat wajar sekali, kalau rakyat membutuhkan pemimpin yang tegas untuk menuntaskan masalah-masalah mereka semua," jelas Toto.

Kreatif dan Inovatif saja tak cukup untuk Tumbuh


Partai Bulan Bintang yang saat ini berusia 14 tahun , memang masih dianggap muda disbanding dengan partai-partai lain di masa orde baru, tetapi Partai Bulan Bintang mempunyai sejarah panjang dalam kancah perjuangan  Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Namun demikian tidapak dapat dipungkiri, bahwa dalam hati kecil, kerap terasa kurang adanya "progress" yang nyata. Bila ada progress pun di sana sini terasa timpang, kurang seimbang.
Kita sadari bahwa mendorong Partai Bulan Bintang  atau   organisasi untuk tumbuh memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak faktor eksternal yang begitu sulit dikontrol. Dengan keadaan sekarang yang begitu kompetitif, pertumbuhan yang stabil bahkan bisa tidak terasa sebagai pertumbuhan. Ada anggapan, bila kita mengerjakan hal yang sama dengan yang biasa kita kerjakan dalam lima tahun terakhir, bisa dipastikan organisasi  akan mengalami penurunan kinerja. Ini berarti, kita tidak boleh nyaman menjalankan “business as usual”. Organisasi  atau bahkan Partai Bulan Bintang , perlu memikirkan pertumbuhan secara terpisah dari sekadar menjalankan apa yang sudah direncanakan.

Kita semua setuju bahwa
Partai Bulan Bintang  adalah partai politik yang baru tempat para generasi politik berkarya  . Namun sadarkah kita bahwa tetap harus ada yang diperbaharui dari praktik-praktik yang kita terapkan sekarang? dengan kerjasama yang selama ini berjalan mulus. Ungkapan bahwa ia merasa bosan dengan prosedur yang standar dan hasil yang dicapai, memang cukup membuat fungsionaris  terkejut, bahkan merasa aneh. Namun, untuk tumbuh kita memang perlu melakukan perubahan yang ekstrim.

Kita perlu menyadari bahwa pertumbuhan bukan sekadar menyangkut strategi, keputusan, kepemimpinan dan risiko. Pertumbuhan terutama menyangkut diri kitanya sendiri. Bila kita hanya bermain di masa kini, tentu kita tidak bisa berharap akan bisa tumbuh dengan optimal. Bila kita sungguh-sungguh ingin mengejar dan menikmati pertumbuhan, kita memang harus berinvestasi pada spirit,
 mindset, dan pemikiran-pemikiran baru. Diri kita dan organisasi akan mendapatkan dampak dari peran yang kita mainkan dari diri kita sendiri.

Fokus pada manusianya
Tidak jarang kita sendiri merasa, bahwa apa yang sudah kita dapatkan, dari hasil brainstorming yang giat, dan kemudian menjadi solusi untuk masanya, perlu kita jaga, dan kita implementasikan secara konsisten. Dengan berhasilnya kita melakukan sesuatu, ada kecenderungan kita untuk mempertahankan cara itu, kalau bisa, seumur hidup. Mana pernah kita mempunyai keyakinan bahwa pada saat sistem ini kita terapkan kita sudah harus beranjak untuk menemukan expertis, tantangan, bereksperimen, dan bahkan melakukan trial and error baru untuk menghadapi masa depan yang sulit diprediksi. Sayangnya, pasar tidak diam. Alangkah bahayanya, bila kita merasa bahwa organisasi sudah bisa mempraktikkan cara-cara secara autopilot, tak perlu banyak pembenahan
Kita menyaksikan betapa partai politik di Indonesia mengalami pahir getirnya dalam memasarkan visi misi nya, membentuk infrastuktur sampai ketingkat yang paling bawah,. Namun belakangan, banyak kita lihat pemain politik yang hanya bisa berperang individu, tanpa bisa memberi nilai tambah yang bisa dijual ke konstituen. Dari kenyataan ini kita belajar bahwa tetap yang paling penting adalah manusianya dalam organisasi. Bila mentalitas manusianya tidak digarap, dengan mudah organisasi akan kehilangan derap untuk tumbuh. Bila proses pembelajaran mandeg, mandeglah juga spirit untuk berkembang. Bila macetnya kerjasama dianggap sebagai suatu hal yang lumrah dan tidak diprioritaskan untuk dibenahi, kita harus siap menanggung dampak turunnya pemilih.
Ide baru saja tidak cukup
Tuntutan untuk berpikir kreatif dan inovatif saat sekarang ternyata tidak cukup. Banyak partai politik  membuat “boot camps” agar semua isi pikiran kreatif bisa menelurkan inovasi. Namun, alangkah seringnya kita menemukan ide-ide yang setengah masak, alias sulit diimplementasikan, bahkan tidak “strategic fit”. Jika kita menelaah, segera kita bisa melihat bahwa ketuntasan mengimplementasikan ide baru lebih disebabkan karena sikap ragu untuk mengganti praktik existing, ketakutan akan kegagalan, sikap “bukan tugas saya”, serta terlalu banyak “silo”. Proses-proses manusiawi di dalam organisasi ternyata tetap yang nomor satu untuk dibenahi. Kita harus meyakini bahwa pertumbuhan organik di dalam jiwa manusia di setiap organisasilah yang menjadi penentu kemajuan organisasi itu sendiri.

Inovasi yang menggebrak sudah pasti menjanjikan “
added value" yang besar. Perubahan arah dan semangat transformasi sudah pasti menghentikan kebiasaan-kebiasaan lama yang ada. Namun, tidak secara otomatis individu dalam organisasi mempunyai persepsi dan terjemahan yang seragam terhadap sasaran dan cara mencapainya. Ada orang yang lari untuk mengejar sasarannya, tetapi ada juga yang ragu-ragu dan agak mengerem langkahnya.
Tantangan kita adalah menggaungkan arah dan sasaran bersama ini ke seluruh organisasi. Bila sasarannya relevan, jelas dan berguna bagi kepentingan umum, maka individu dalam organisasi pasti akan menggerakkan spirit dan energinya untuk menuju sasaran itu sehingga kemungkinan suksesnya lebih terjamin. Peluang masih terbentang luas, di luar apa yang sedang kita tekuni. Kita harus tumbuh pesat dan cerdas menyambut peluang tersebut

Pemain atau Korban.



Asalamu’alaikum Wr.wb.
Ikhwan, kader, pengurus Partai Bulan Bintang yang saya Hormati. Dalam dunia organisasi atau politik kita akan dihadapkan pada situasi dan kondisi yang selalu berhubungan dengan beragam kepentingan dan prilaku yang menyangkut diri kita ataupun orang lain, kadang terkandung makna dalam benak kita “pemain atau korban” istilah ini selalu muncul dalam berbagai lingkungan social, organisasi ataupun politik. Mari kita lihat ada kekuatan yang akan mendorong kita kea rah kesuksesan.
Kadang merasa diri sebagai bulan-bulanan situasi, korban situasi, kadang ia tidak bisa melihat orang lain sebagai support melainkan sebagai beban, “ mengapa harus saya selalu muncul dalam benak dan pikiran siapapun.
Bila individu kerap menyalahkan lingkunganya, peraturan dan kebrokbrokan  situasi yang ada, maka secara otomatis ia akan tumbuh menjadi orang yang mudah menggurutu, sekaligus melepaskan tanggungjawab dalam mengembangkan diri dan mengoreksi diri, midset sebagai korban ini mudah menular dari bisa menjadi penyakit dalam tim, atau organisasi, kalau mentalitas korban ini menyebar akan akan terdiri atas orang-orang yang merasa dirinya “innocent” dan tidak berdaya, lalu siapakah yang akan diandalkan untuk mengubah situasi ?
Responsibility = response-ability
Sekolot-kolotnya ayah saya, ia selalu mengingatkan bahwa manusia, hampir di semua situasi mempunyai pilihan, bahkan dalam situasi genting sekali pun. Akal budi membuat kita mampu berlatih untuk merespons apa yang kita hadapi sehingga tidak merasa bahwa semua situasi adalah nasib yang jatuh dari langit.
Bila kita berlatih, stimulus yang datang kepada kita diolah sebagai informasi yang perlu direspons dengan kemauan kita sendiri. Dengan demikian kita tidak lagi merasa sekadar obyek atau victim, namun menjadi subyek atau sutradara untuk mengendalikan situasi. Hal inilah yang juga diajarkan pada pemain-pemain bola atau dalam latihan bela diri. Kita tidak asal bereaksi, tetapi kita memilih gerakan berdasarkan informasi tertentu.
Sikap mental ini tidak selalu harus dimiliki oleh individu dengan posisi tinggi ataupun jenderal jenderal besar seperti McArthur atau LB Moerdani. Kita pun sebagai “wong cilik”, yang masih belum mempunyai jabatan bisa mempunyai “player mentality”, mengambil peran dan tanggung jawab penuh atas situasi yang terjadi. Di dalam pekerjaan, bila informasi yang dimiliki tidak cukup, bisa saja kita menyalahkan pihak yang memberi data tidak lengkap, namun kita pun sebetulnya bisa mengembangkan sikap bertanggung jawab dan proaktif untuk mencari informasi lebih banyak. Seorang pemelihara tanaman di kantor pun bisa mengambil inisiatif, misalnya sepenuh hati memberi pupuk, membuat larangan dan peraturan agar tanaman yang dirawatnya tidak rusak dan bisa tumbuh subur. Kenapa kita tidak bisa?
Bergerak mengejar sasaran
Latihan untuk menganggap bahwa apapun yang terjadi di hadapan kita adalah "informasi", akan membuat kita terbiasa untuk memikirkan langkah apa yang kita ambil. Seorang “korban” dengan mudah menyalahkan situasi, sementara “pemain” selalu mampu memahami situasi. Seorang pemain sepak bola andal pun selalu paham tentang situasi yang dihadapinya dan mampu mengarahkan tendangannya sambil sekaligus meramalkan ke mana bola itu akan pergi. Jadi ia bukan berespons secara impulsif. Meski respons ini terjadi dalam hitungan detik, tetapi individu bermentalitas pemain sudah mempunyai kontrol terhadap situasi.
Di situasi kerja kita pun perlu mempertanyakan, apakah kita hanya mengikuti perintah atau berusaha mempersiapkan, berpartisipasi, dan mengkontrol situasi? Apakah kita mengambil peran pasif atau aktif? Apakah kita membuat keputusan karena terdesak ataukah kita membuat keputusan dalam keadaan sadar dan jernih? Individu dengan mentalitas pemain biasanya tidak sulit untuk bergerak dan mengarahkan diri ke masa depan dan “make things happen”. “They don’t sit around waiting for answers to appear; they stand up, put one foot in front of the other, and find the answers”.  
Pelecehan psikologis, seperti menyebut diri “kacung kampret”, sebetulnya lebih sering dilakukan oleh diri kita sendiri, bukan oleh orang lain. Kitalah yang perlu menyuburkan penghargaan diri, rasa percaya diri untuk maju dan mengembangkan karier. Dengan demikian, kita menumbuhkan, karakter diri yang kuat dan bisa bangga karena nyata-nyata memberikan kontribusi optimal.


Mental Pengikut Jangan di Anut !



Di saat ada persoalan yang melanda  intitusi atau  organisasi  dalam pembicaraan sehari-hari, kita senantiasa dibawa untuk mengingat kepahlawanan para pejuang, Kita pun merasa ini saat yang tepat untuk memikirkan kualitas kepemimpinan. Sayangnya, dalam obrolan mengenai kepemimpinan ini, banyak sekali olok-olok dan cercaan yang muncul, entah itu mengenai karakter, kebijakan, ataupun lemahnya kontrol dari para pemimpin yang menyebabkan perubahan urung terjadi.
Semua orang setuju, bahwa baik-buruknya suatu institusi, perusahaan atau bahkan negara, tergantung dari pemimpinnya. Beberapa orang yang menuding kesalahan dan ketidakefektifan para pemimpin, kerap berteori: “Suasana kepemimpinan di Indonesia masih paternalistik, sehingga peran pemimpin bahkan semakin kuat pengaruhnya”.
Di saat semua mata menyoroti kelemahan para pemimpin, adakah kita juga terlintas untuk mencermati peran para pengikut? Bila dipikir-pikir, bukankah para pengikut yang justru berperan untuk mendukung gerakan dan menjalankan “action” yang distrategikan oleh pemimpin? Mana mungkin seorang pemimpin merealisasikan visi, misi, dan sasarannya, bila pengikutnya tidak menjalankan  instruksi sesuai  pemikiran, prinsip, passion, dan irama yang diinginkan?  
Kita sering lupa bahwa, tanpa pengikut, pemimpin tidak ada. Seorang pemimpin baru bisa eksis, bila ada pengikut, meskipun hanya satu orang sekalipun. Perilaku dan sikap pengikut akan menentukan kualitas kepemimpinannya. Pertanyaannya, apakah kepemimpinan baru efektif bila para pengikutnya patuh penuh pada atasan, tidak suka protes, tidak sering bersuara sumbang? Bukankah duet Soekarno-Hatta, juga konon sering berseberangan prinsip, tidak selalu  diwarnai kepatuhan Bung Hatta sebagai bawahan? Bahkan Stanley Milgram, tokoh yang melakukan penelitian psikologi klasik mengenai kepatuhan, menyimpulkan bahwa kepatuhan buta bisa sangat berbahaya. Jadi, bagaimana idealnya peran pengikut yang bisa mendukung suksesnya kepemimpinan dan efektif mendorong perubahan?

Pengikut aktif
Sering kita mendengar cerita mengenai organisasi di mana manajemen menengahnya frustrasi menghadapi manajemen senior yang sulit dipengaruhi untuk pembaharuan organisasi. Anak-anak kemarin sore yang begitu haus inovasi dan ingin mencoba tantangan baru, kerap tidak bisa bergerak karena ide-idenya banyak "dimentahkan" oleh pimpinan organisasi. Para senior yang selalu berpidato mengenai perubahan dan menganggap dirinya "agen perubahan" sering kembali ke praktik-praktik lama yang memang membuat mereka tetap nyaman dan "tidak usah repot-repot". Bahkan, bila di antara  kelompok senior ada yang sedikit melawan arus dan membawa misi dari yang muda-muda untuk melakukan perubahan, tidak jarang kemudian si senior tadi dianggap orang yang memang sudah waktunya untuk  pergi.
Beginilah alur proses tidak terjadinya inovasi. Para senior berperan sebagai “roadblock", bukan "road" bagi inovasi. Bagaimana tidak, individu yang melawan ditumpas, sementara orang yang menurut akan dipuji dan dianggap potensial. Kita harus sadar bahwa budaya keseragaman, kebiasaan berkelompok ibarat burung yang melakukan perilaku yang sama bisa menyebabkan organisasi, baik bisnis maupun pemerintahan, tidak inovatif. Apa jadinya kalau semua pengikut hanya bersikap "yes-man" saja? Padahal, dari segi jumlah saja, pengikut pasti sudah memiliki kekuatan pikir yang jauh lebih besar daripada satu orang pemimpin saja. Bukankah akan terjadi kesenjangan komitmen yang memberatkan pemimpin?
Kita tentu harus berhati-hati agar tidak membentuk pengikut atau bawahan yang cuma menunggu perintah dan tidak menggunakan daya pikirnya sendiri untuk memecahkan masalah. Organisasi seperti ini, sangat rentan serangan dan persaingan, karena tidak adanya kekuatan di tubuh organisasinya.
Saat ini, masyarakat kita tampaknya terbiasa menengok “ke atas” terlalu banyak, menumpukan harapan pada pemimpin secara berlebihan. Kita terlalu sibuk mencintai kepemimpinan, sampai tidak mempedulikan kualitas diri kita sebagai pengikut. Bukankah dengan cara ini kita mengakui bahwa kita adalah pengikut yang lemah? Kita kerap lupa melatih diri kita sendiri dan bawahan kita untuk menjadi pengikut yang kuat, yang tidak menurut saja, yang berdiri tegak dan memprotes bila ada praktik yang janggal atau merugikan. Kebiasaan untuk berpikir keras ini seharusnya kita lakukan sejak berada di posisi yang paling bawah sekalipun. Bukankan sebuah "learning organization" hanya dimungkinkan bila seluruh organisasi belajar, mempertanyakan, bersikap kritis dan berpikir aktif?
Followership is leadership
Pemimpin yang jagoan, tentunya sangat mengerti bahwa ia hanya akan survive melalui anak buahnya. Bukan "power over" tetapi lebih "power through" anak buahnya. Dalam keadaan yang semakin kompleks dan membingungkan, pemimpin yang mampu menciptakan suasana terbuka, penuh pendapat dan komunikasi yang jujurlah yang akan mampu menyusun kekuatan, "active engagement" dan enerji dalam kapasitas penuh. Kepemimpinan yang matang mengembangkan bawahan, anggota kelompok ataupun rakyat yang percaya diri, merespek diri dan orang lain, serta jujur secara rasional maupun emosional.
Hanya dengan cara ini, para pengikut bisa memberi kontribusi nyata, memiliki kepemilikan terhadap masalah dan situasi yang terjadi, serta berinisiatif untuk memecahkan masalah. Bukan menjadi pengikut seperti robot. “It may be that we are puppets-puppets controlled by the strings of society. But at least we are puppets with perception, with awareness,” begitu kata Stanley Milgram.

Silaturahmi dan menumbuhkan Kiat Bijaksana



Oleh : Alit Rahmat
Alhamdulillah Pertemuan dengan DPC-DPC Partai Bulan Bintang Se jawa barat pada tanggal 26 Oktober 2011 di Markas Wilayah jl. Peta 49 Bandung dapat terlaksana dengan baik.
Motivasi yang terungkap dari rekan rekan DPC Partai Bulan Bintang menjadi pendorong semangat melangkah dalam mempertahankan eksistensi dan komitmen membangun partai Bulan Bintang provinsi Jawa Barat kedepan.
Silaturahmi inilah yang harus selalu terawatt dan terpelihara dengan taqarrub, tabattul, tajarrud dan tawajjuh ilallah, betapa hari ini kita menyaksikan sifat yang mulia yang melekat pada kader dan pengurus Bulan Bintang tetapi kadang kekhawatiranpun muncul dengan kondisi yang ada adalah tergerus oleh sifat susulan (fudhulul mukhalathah), demi kekuasaan kadang tak segan untuk mengorbankan orang lain. Demi Ideologi, dia rela mengadu domba
Lalu bagaimana sikap kita sebagai pejuang Syiasah syariyah dalam melihat kondisi yang ada adalah memelihara dan menumbuhkan sifat bijaksana, diantaranya :
1. Menyadari bahwa perbuatan zhalim akan kembali kepada pelakunya di dunia ini. Tidak menunggu balasan di akhirat.
"Dua perbuatan yang disegerakan siksanya di dunia ini adalah berbuat zhalim (al-Baghyu) dan mendurhakai orang tua (‘uququl walidaini)." (al-Hadits).
2. Menyadari betapa mahalnya karunia kehidupan yang dianugerahkan kepada kita sehingga bisa menikmati berbagai fasilitas kehidupan adalah atas kebijaksanaan Allah SWT.
"Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?." (Al Baqarah (2) : 28).
3. Mensyukuri karunia dan kebijaksanan-Nya menjadikan kita makhluk yang paling mulia/terhormat dibandingkan dengan makhluk yang lain. Sehingga ia akan memuliakan dirinya dan menghormati orang lain.

"Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan [untuk mencari kehidupan], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." (Al Isra (17) : 70).
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At Tin (95) : 4).
4. Menghayati kebijaksanan-Nya, alangkah mahalnya karunia akal yang berfungsi untuk memahami ayat-ayat-Nya yang berupa diri sendiri, ayat Al-Quran dan ayat yang digelar di alam semesta. Betapa sedihnya jika sudah diberi karunia hidup, tetapi bukan manusia, dan manusia tetapi akalnya mengalami disfungsi. Manusia yang tidak menggunakan akal pikirannya lebih rendah derajatnya daripada binatang ternak.
"Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai." (Al Araf (7) : 179).
5. Menyadari keadilan-Nya, betapa karunia Islam merupakan nikmat yang paling mahal dalam kehidupan. Dengannya ruhaninya akan ditumbuh kembangkan secara maksimal.
"Pada hari ini telah KU- sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. "(Al Maidah (5) : 3).
Dahulu para sahabat sangat bangga menjadi muslim. Mereka mengatakan, ”Ayahku adalah Islam. Tiada lagi yang aku banggakan selain Islam. Apabila orang bangga dengan suku, bangsa, kelompok, marga, perkumpulan, paham mereka, tapi aku bangga nasabku adalah Islam. Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami –ahlul bait-, bagian dari keluarga Muhammad saw.”
6. Menyadari atas kebijaksanaan-Nya, bahwa orang beriman itu bagian dari keluarga besar kaum muslimin di seluruh dunia. Sehingga akan memiliki kebanggaan korps, berdasarkan keyakinan dan keimanan bukan ikatan yang bersifat lahiriyah yang semu. Dari sini akan memperoleh pelajaran yang amat mahal, ukhuwwah islamiyah. Sebuah persaudaran melebihi dari ikatan nasab.
"Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (Al-Hujurat (49) : 10).
7. Bercermin pada sikap keadilan dan kebijaksanaan para pendahulu kita yang shalih.
"Kebenaran Islam berada pada lisan Umar bin Khathab." (al-Hadits)
8. Menyadari kehadiran kitab suci, atas rahmat dan kebijaksanaan-Nya
"Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian." (Al Isra (17) : 82).
9. Menyadari terutusnya Rasulullah SAW adalah semata-mata kebijaksanaan-Nya.
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (Al Jumuah (62) : 2).
10. Menyadari penciptaan manusia, bumi dan seisinya dengan kebijaksanaan, bukan sekedar permainan.
"Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami ? Maka Maha Tinggi Allah, raja yang sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) 'Arsy yang mulia." (Al-Mukminun (23) : 115-116).*