Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 10 Oktober 2011

Piagam Jakarta dan UUD 1945




Sumber: DR Ahmad Sumargono - Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategi Politik dan Pemerintahan (PKSPP) (14/06/2011)

, Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan landasan konstitusional yang menentukan arah pembangunan nasional, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah landasan konstitusi bagi bangsa Indonesia, seharusnya menjiwai setiap peraturan dan perundang-undangan dalam mewujudkan cita-cita dan arah pembangunan bangsa.


Sedangkan dalam naskah otentik pembukaan UUD 45 dijiwai oleh Piagam Jakarta, pada naskah yang disusun tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan bentukan BPUPKI yang terdiri atas Ir Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muhammad Yamin, itu termaktub dalam alinea keempat kalimat: "... kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja …."

Pada 9 Juli 1945, Soekarno menyebut Piagam Jakarta sebagai "Gentlemen's Agreement" antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim. Tapi, pada 18 Agustus 1945, "tujuh kata" vital tadi akhirnya didrop dengan alasan umat Kristen di Indonesia Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia, yang baru saja diproklamasikan, bila tujuh kata itu tetap dicantumkan dalam Pembukaan UUD 45 sebagai Dasar Negara.Mengomentari ultimatum itu, DR M Natsir mengatakan: "Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa."

Upaya kelompok Islam untuk merehabilitasi Piagam Jakarta pada Sidang Majelis Konstituante 1959 'disabotase' oleh Presiden Soekarno dengan menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Gagallah usaha tersebut hingga sekarang. Memasuki era reformasi, UUD 45 telah mengalami amendemen sebanyak empat kali, yakni pada 1999 hingga yang terakhir 2002. Amendemen itu menimbulkan kontroversi.

Ada yang menginginkan kembali ke UUD 45 yang asli (versi Dekrit), sebagian lagi ingin mempertahankan UUD yang sudah diamendemen, yaitu UUD 2002, dan ada yang menginginkan UUD yang sudah diamendemen ini diamendemen kembali untuk kelima kalinya. Untuk yang terakhir ini, sebagian mengusulkan amendemen terbatas dan sebagian lagi amendemen overwhole atau keseluruhan. Amendemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amendemen 2002 adalah keran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan, bahkan merupakan ancaman bagi kedaulatan bangsa.

Secara umum modus operandi imperialisme lewat jalur UU terindikasi melalui Intervensi G2G (Government to Government), yakni pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda dalam perundangannya dan model G2G seperti ini, memang tampak vulgar sehingga mudah diserang oleh hujan kritik. Contohnya: Pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia, maupun Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan UU antiteroris yang lebih ketat.

Dalam bidang ekonomi, melalui W2G (World to Government), yakni intervensi melalui lembaga internasional (seperti PBB,WTO, dan IMF) yang mengambil peran. Seperti dalam hal agenda UU yang terkait dengan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU Perbankan, UU Migas,UU Tenaga Listrik, dan UU sumber daya air).
Peranan NGO (Non Government Organization) atau LSM asing tidak kalah agresivitasnya dalam melakukan intervensi melalui pemanfaatan LSM lokal. Untuk kepentingan asing, mereka bisa mendatangkan para penyusun UU hingga demo besar besaran, seperti penolakan RUU pornografi dan pornoaksi.

LSM asing yang terlibat aktif dalam penyusunan UU adalah NDI (National Democration Institute) yang dalam operasionalnya didukung CETRO (Central for Electoral Reform) suatu LSM asing yang bergerak di bidang reformasi pemilihan umum dan rancangan undang-undang. Mereka mempunyai program Constitutional Reform. Diduga ada dana 4,4 miliar dolar dari AS untuk mendanai proyek di atas. Bahkan, NDI dan CETRO mendapat fasilitas di Badan Pekerja (BP) MPR hingga dengan mudah mengikuti rapat-rapat di MPR.

Sebagai konsekuensinya, undang-undang yang berada di bawah UUD 45 Amendemen itu pun bersifat liberal. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), UU Sumber Daya Air (SDA).

Pakar minyak Kurtubi dalam diskusi bertema "UUD 1945 vs UUD 2002" di kantor Institute for Policy Studies Jakarta, membenarkan masuknya paham liberalisme dalam UU Migas dan UU Sumber Daya Air. Belakangan juga disahkan UU Penanaman Modal yang memberikan karpet merah bagi kekuatan asing untuk menguasai 100 persen kekayaan Indonesia untuk kemudian melakukan repatriasi.

Dampak nyata dari UU tersebut sudah terasa. Melalui UU Migas, Pertamina yang notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan lagi pemain tunggal. Pertamina harus bersaing dengan perusahaan minyak asing, seperti Shell, Exxon Mobil, Mobil Oil, dan perusahaan lainnya. Dalam kasus pengelolaan ladang minyak Blok Cepu Jateng, Pertamina harus kalah melawan Exxon Mobil.

Beberapa waktu lalu, sejumlah media menulis bahwa kuatnya dominasi asing di Indonesia. Data-data yang disajikan sungguh mengagetkan karena besarnya kepemilikan asing di Indonesia. Menurut data yang disajikan, sampai dengan Maret 2011, asing telah menguasai lebih dari 50 persen aset perbankan nasional. Ini berarti aset bank Rp 1,551 triliun lebih. Dari total aset bank senilai Rp 3.065 triliun, kini dikuasai asing.

Bidang asuransi pun lebih separuh milik asing, yaitu sekitar 45 perusahaan asuransi jiwa. Bidang lain, pasar modal total investor asing menguasai 70 persen. Di bursa efek, data yang parah juga terjadi pada kepemilikan BUMN yang telah diprivatisasi, kini 60 persen dikuasai asing.

Lebih mengerikan lagi adalah penguasaan sektor pertambangan minyak dan gas yang kini 75 persen telah dikuasai asing. Kini, rakyat Indonesia dipaksa membeli BBM dengan harga pasar dunia, padahal semula Indonesia merupakan anggota OPEC, negara pengekspor minyak, kini terbalik menjadi pengimpor bahan BBM karena hampir 100 persen minyak yang dieksploitasi dari bumi pertiwi justru diekspor dengan harga yang murah.

Sebagai negara penghasil minyak selayaknya minyak yang dihisap dari bumi negeri ini bisa dipakai maksimal untuk kepentingan rakyat. Seperti yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi dan Libya yang kini rakyatnya menikmati harga BBM-Premium rata rata Rp1200/liter.

Keprihatinan yang dialami bangsa ini tampaknya harus segera diambil langkah-langkah penataan ulang terhadap kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi melalui pemberdayaan sumber daya dan reevaluasi segala bentuk peraturan dan perundang- undangan yang disesuaikan dengan nilai-nilai moral bangsa serta berorientasi pada kepentingan nasional.

Nilai-nilai moral bangsa, yang sebenarnya telah ditetapkan sebagai landasan ideologi bangsa, yaitu Pancasila, sebagai komitmen nasional, serta Piagam Jakarta sebagai sumber inspirasi dari mukadimah UUD 45. Sumber inspirasi ini seharusnya menjadi ruhnya setiap kebijakan dan strategi pembangunan nasional. Maka, berdasakan latar belakang historis maupun kepentingan faktual masa depan, pemulihan Piagam Jakarta menjadi relevan diperjuangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar