Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 12 Oktober 2011

Kerusuhan Massa: Cermin Rapuhnya Ikatan Sosial Masyarakat

Ahad lalu (11/9), kota Ambon dilanda kerusuhan. Menurut laporan sejumlah media massa, kerusuhan dipicu kesalahpahaman warga setelah kematian seorang warga bernama Darfin Saimen (32), tukang ojek asal Waihong, Nusaniwe pada Sabtu (10/9/2011). Pihak kepolisian menyatakan bahwa Darfin meninggal karena kecelakaan. Namun pihak warga dan keluarga menduga Darfin dibunuh. Tampak dari dari luka-luka yang ada pada tubuhnya. Kabar yang simpang siur ditambah adanya ulah provokator akhirnya menyulut emosi warga yang berujung pada konflik horisontal.
Sebelumnya konflik juga terjadi di Kendari pada 8 September lalu. Pada awal Agustus lalu, terjadi bentrokan massa Forum Betawi Rempug (FBR) dengan pengikut Pemuda Pancasila (PP) di kawasan Depok. (lihat, liputan6.com,1/8). Juga terjadi terjadi bentrokan antara dua kelompok massa sebuah organisasi kepemudaan di Medan. Sebelumnya konflik horisontal juga terjadi di Ilaga kabupaten Puncak, Papua yang dipicu karena ketidakpuasan terhadap proses pilkada. Bentrokan pun juga kerap terjadi antar mahasiswa dan pelajar.
Rapuhnya Ikatan Sosial
Tingginya jumlah kerusuhan massa di tanah air adalah cermin buruknya kehidupan sosial masyarakat. Ikatan antar anggota masyarakat amat rapuh dan sikap menghormati sesama amat rendah. Warga gampang tersulut amarah dan mudah melakukan anarkisme bahkan pembunuhan. Masalah sepele saja bisa memicu konflik antar warga. Saling ejek, saling senggol, bahkan masalah perempuan bisa menyulut bentrokan. Dua kelompok anak muda di Ciledug, Tangerang, Banten, bentrok pada akhir Agustus lalu gara-gara saling ejek. Sementara di Cirebon, warga dua kampung terlibat tawuran karena masalah perempuan (news.okezone.com, 23/8).
Sering pecahnya konflik massa itu menunjukkan bahwa kohesi sosial yang diperlukan dalam integrasi sosial itu tidak terjadi. Artinya, di tengah-tengah masyarakat terjadi disintegrasi sosial. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa nilai-nilai dan sistem sekuler kapitalisme demokrasi yang eksis saat ini telah gagal melebur masyarakat dan membangun integrasi sosial.
Bukan Dominasi Isu Agama
Dari fakta berbagai kerusuhan dan konflik massa yang terjadi berikut faktor pemicunya ternyata bukanlah didominasi isu agama. Bisa dikatakan isu agama amat jarang menjadi pemicu konflik. Fakta yang ada menunjukkan faktor agama lebih sering dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Konflik yang terjadi justru kebanyakan disebabkan faktor lain selain faktor agama. Faktor solidaritis kelompok secara buta, premanisme, kepentingan politik atau ekonomi, ketidakadilan, perasaan terpinggirkan, ketimpangan ekonomi, dll, kerap menjadi pemicu meletusnya bentrok massa. Premanisme termasuk faktor yang sering menjadi pemicu, berjalinan dengan kepentingan ekonomi, kutipan “uang keamanan”, perebutan wilayah, seperti rebutan lahan parkir, dsb. Keterlibatan para preman hampir saja selalu tercium dalam setiap kerusuhan dan bentrokan yang terjadi. Celakanya premanisme itu terkesan dipelihara keberadaannya agar bisa “digunakan” untuk kepentingan tertentu. Hal itu terlihat dari tidak adanya tindakan tegas terhadap para preman dan keberadaan kelompok-kelompok preman yang terus saja ada dan terkesan dilindungi.
Faktor lain adalah faktor depresi karena tingginya tekanan hidup akibat himpitan ekonomi. Begitu pula adanya kesenjangan ekonomi, munculnya perasaan terpinggirkan dan adanya ketidakadilan. Masyarakat pun mudah terpancing emosi dan amarahnya. Semua perasaan itu terakumulasi. Ketika terpicu, semua itu dilampiaskan kepada pihak-pihak yang mereka anggap meminggirkan dan merugikan mereka dan meletus dalam bentuk kerusuhan sosial sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah dan kalangan ekonomi mapan.
Potensi konflik itu diperparah lagi dengan makin suburnya ikatan primordialisme, kepentingan dan kelompok di negeri ini. Parahnya lagi proses demokrasi, pemilihan langsung dan proses politik menciptakan kubu-kubu dan kelompok-kelompok yang saling bersaing, mengikis kohesi sosial yang ada di masyarakat. Bahkan dalam beberapa konflik justru dipicu langsung oleh proses demokrasi khususnya pilkada.

Pentingnya Kesadaran Politik
Dalam konflik yang terjadi pada akhirnya masyarakatlah yang dirugikan dan harus menanggung derita. Sayangnya, konflik-konflik tak jarang dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Atau setidaknya menguntungkan bagi kepentingan politik kelompok tertentu. Bahkan tidak jarang konflik terjadi demi kepentingan asing. Tentu bukan sebuah kebetulan kalau di beberapa daerah yang kerap mengalami kerusuhan terdapat kelompok-kolompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, seperti di Papua dan Maluku.
Dalam berbagai kasus , umat Islam sering kali justru mengalami diskriminasi . Meskipun menjadi korban, justru umat Islam kerap disalahkan dan dijadikan kambing hitam. Umat Islam harus mengerti bahwa seperti inilah situasi yang akan terus dialami umat Islam bila hidup di dalam sistem sekuler terutama di daerah-daerah yang secara demografis relatif sama dengan non Muslim.
Oleh karena itu sangat penting bagi umat memiliki kesadaran politik dan ideologi agar tidak termakan oleh provokasi dan rekayasa yang mengantarkan pada terjadinya konflik di masyarakat. Kesadaran semacam itu hanya akan dimiliki umat ketika umat menjadikan Islam sebagai ideologinya dan menjadikan politik Islam yang berporos pada pemeliharaan urusan umat sebagai tolok ukur dalam menilai dan memandang perpolitikan yang ada.
Hanya saja kalau umat Islam itu diserang, itu persoalan lain. Kalau hal itu yang terjadi tentu saja tidak ada pilihan lain bagi umat Islam kecuali umat Islam harus mempertahankan diri dengan jihad seperti halnya yang pernah terjadi pada tahun 1999 di Ambon .
Solusi Islam
Berbagai kerusuhan massa dan konflik sosial yang terjadi membuktikan bahwa sistem yang ada telah gagal melindungi masyarakat dan membangun integrasi sosial.
Hanya sistem Islamlah yang mampu melakukan hal itu. Telah terbukti dalam sejarah Islam mampu melebur masyarakat dan membangun intergrasi sosial dalam masyarakat yang heterogen.
Dalam membangun integrasi sosial, diantaranya Islam telah menghilangkan sekat perbedaan di antara manusia karena ikatan primordial, ashabiyah, suku bangsa, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, dsb. Islam memandang bahwa ikatan semacam itu adalah ikatan jahiliyah yang menyebabkan kesengsaraan bagi umat manusia dan harus ditanggalkan.
Sebagai gantinya, Islam menempatkan akidah sebagai pemersatu umat manusia. Dari sinilah terbangun ikatan ukhuwah Islamiyah dengan landasan keimanan. Perwujudan dari ukhuwah Islamiyah itu adalah adanya syariat untuk menjaga kehormatan dan keamanan sesama muslim. Haram hukumnya bagi muslim untuk menyebarkan fitnah, menghasut apalagi menyerang dan merusak harta dan jiwa saudaranya. Mengancam keselamatan sesama muslim apalagi sampai membunuhnya adalah perbuatan yang tercela. Oleh karena itu konflik horisontal yang sekarang kerap terjadi di antara sesama muslim, adalah sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Islam dan tidak boleh terjadi.
Ikatan Islam ini tidak saja menjaga kehormatan sesama muslim, tapi juga melindungi non muslim yang bergabung dalam masyarakat Islam sebagai kafir dzimmi. Kaedah syara’ mengatakan bahwa kafir dzimmi memiliki hak dan kewajiban setara dengan kaum muslim secara adil. Bahkan Nabi saw. mengancam siapa saja yang menyakiti seorang kafir dzimmi. Sabda beliau:
« أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
Siapa yang menzalimi muahid atau tidak adil tehadapnya atau membebaninya diatas kemampuannya atau mengambil sesuatu tanpa kerelaannya maka aku akan memperkarakannya pada hari Kiamat (HR. Abu Dawud)
Disamping itu Islam memperlakukan semua warga sama di depan hukum. Islam juga mengharuskan ketegasan dan keadilan dalam menerapkan hukum. Karena perlakuan tak sama di depan hukum akan menghancurkan masyarakat. Rasul bersabda:
« فَإِنَّمَا أَهْلَكَ النَّاسَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا »
Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian karena jika orang mulia ditengah mereka mencuri, mereka biarkan, sebaliknya jika orang lemah mencuri, mereka terapkan hukuman atasnya. Demi Zat yang jiwa Muhammad di tanganNya, andai Fathimah binti Muhammad mencuri sungguh aku potong tangannya (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Islam juga akan mengelola kekayaan dan mendistribusikannya secara adil kepada semua individu rakyat baik muslim maupun non muslim. Setiap individu rakyat akan mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokoknya baik sandang, pangan dan papan, dan juga kebutuhan dasarnya baik pendidikan, pelayanan kesehatan dan keamanan. Semua orang juga akan bisa mendapatkan pelayanan yang sama. Dengan begitu, depresi akibat himpitan ekonomi hanya akan tinggal sejarah. Kekecewaan dan perasaan terpinggirkan juga tidak akan muncul.
Wahai kaum muslimin
Nyatalah bahwa hanya Islam yang mampu membangun intergasi sosial. Hanya di bawah sistem Islam sajalah masyarakat terlindungi dan integrasi sosial terbangun, yaitu terbentuk masyarakat heterogen yang damai, adil dan sejahtera. Maka saatnya memupus terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat kita dengan jalan menerapkan syaraih Islam dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar