Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 31 Januari 2011

Salah Paham dan Salah Memahami

PERNYATAAN tokoh lintas agama tentang kebohongan pemerintah belum lama ini memang terasa mengagetkan. Pernyataan itu, serta kontroversi yang kemudian mengikutinya, sempat menjadi berita utama di berbagai media cetak dan elektronik selama berhari-hari. Suasana pun menjadi agak gerah dan rakyat lagi-lagi harus menyaksikan sebuah 'konflik' yang sebetulnya tidak perlu terjadi. 
Sekarang tiba waktunya kita duduk tenang sebentar dan berpikir dengan kepala dingin di tengah hiruk pikuk ini. Dengan demikian, secara proporsional dapat kita tempatkan substansi persoalan serta solusi yang dapat ditemukan. Juga agar kita semua dapat menarik hikmah dari kejadian ini sehingga dapat dihindari di masa-masa mendatang.

Reaksi pemerintah terhadap pernyataan para tokoh agama merupakan sesuatu yang wajar. Individu, komunitas masyarakat, dan kelompok sosial mana pun niscaya akan segera memberikan jawaban dan tanggapan jika dianggap telah berbohong. Apalagi pemerintah, sebuah otoritas yang menerima mandat langsung dari puluhan juta warga negara dan bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kedamaian mereka. Jika pernyataan itu tidak ditanggapi dengan semestinya oleh pemerintah, justru akan menjadi wacana yang tidak sehat dan melahirkan rasa saling curiga di tengah-tengah publik. Karena itu, janganlah reaksi dan tanggapan dari pemerintah itu diartikan sebagai sikap defensif, tidak tahan kritik, ataupun enggan melakukan introspeksi. Memberikan tanggapan dan jawaban adalah kewajiban sekaligus hak pemerintah dalam menanggapi tuduhan saat ini. Melakukan intropeksi dan evaluasi adalah langkah konkret berikutnya, yang juga tak kalah pentingnya.

Di sisi lain, pernyataan para tokoh agama, terlepas dari cara penyampaian, merupakan sesuatu yang tetap perlu dipertimbangkan. Tuduhan bohong terlontar manakala sesuatu yang dianggap telah dijanjikan pemerintah dalam kenyataannya belum terealisasi di tengah masyarakat. Jika dilihat dari sudut pandang ini, kelirukah para tokoh agama? Tidak sepenuhnya keliru, selama angle yang dijadikan pijakan adalah orientasi pada hasil, sekarang, yang dapat dilihat, dirasakan, disentuh, detik ini. Meskipun ada konotasi-konotasi lain dalam kata 'bohong', itu tidak penting untuk ditelusuri lebih lanjut. Pemerintah berpikiran positif bahwa para tokoh agama itu tidak bergerak berdasarkan logika dan kepentingan politik yang tersirat. Jadi, cukup kita menganalisis hal-hal yang telah tersurat saja. Kalaupun ada kepentingan-kepentingan lain di balik ini, biarlah publik sendiri yang menilai. Yang jelas, rakyat yang dahaga, haus akan terpenuhinya kebutuhan mereka, menginginkan pemerintah mengisi cawan-cawan mereka sepenuh mungkin, seperti yang diharapkan kita semua, termasuk para tokoh lintas agama itu.

Namun di sisi lain, salahkah pemerintah saat membantah bahwa mereka tidak berbohong dan tidak pernah sejumput pun punya niat membohongi rakyat yang telah memilih dan memercayai mereka tujuh belas bulan yang lalu? Bahwa pemerintah senantiasa bekerja keras dan ingin selalu memberikan kepada rakyat, khususnya kepada yang miskin, apa yang mereka harapkan bagi keluarga dan anak-anak mereka? Tentu tidak salah. Pemerintah melihat dari sudut bahwa segala sesuatu sedang berproses, bergerak, berubah, dan bergeser. Ada proses yang lambat dan ada proses yang cepat. Ada proses yang berpacu dengan kecepatan 85 km/jam, ada proses yang beringsut pelan akibat beban persoalan yang menumpuk berkarat sekian puluh tahun tak terselesaikan. Ada proses perbaikan yang cukup melibatkan satu kementerian saja, tetapi ada juga proses yang harus melibatkan hampir 18 instansi sekaligus. Ada proses yang hanya perlu melibatkan sekelompok kecil orang dengan sumber daya prima, tetapi kebanyakan proses, suka tidak suka, harus mengikutsertakan begitu banyak sumber daya yang mungkin saja terbatas kualitas, pengalaman, dan pengetahuannya, meski punya cukup niat baik di dalam nurani.

Bagi sebagian kalangan yang sudah telanjur skeptis, bahkan apriori dan penuh prasangka, hal yang saya sampaikan itu bisa saja dianggap sebagai bentuk upaya justifikasi atau mencari pembenaran. Saya tidak berpretensi untuk mengubah pemikiran itu, apalagi memaksakan cara pandangan saya. Pemerintah percaya masih sangat jauh lebih banyak unsur masyarakat yang mampu bersikap objektif, adil, dan proporsional, menilai mana yang kurang, mengkritisi secara sehat apa yang belum terwujud, dan mengapesiasi hal-hal yang telah berjalan, meskipun mungkin juga tidak sempurna. Bukankah kesempurnaan hanya milik Tuhan?

Karena hidup adalah pilihan, kita semua, termasuk para tokoh agama, juga dapat memilih. Apakah akan memfokuskan diri, perhatian, dan tenaga sekadar melulu pada aspek-aspek negatif dari pemerintah dan pekerjaannya, atau mencoba menemukan ruang-ruang tempat kita semua bisa terlibat dalam proses perubahan tanpa kehilangan daya kritis, independensi, dan keberpihakan kita pada yang miskin.

Setiap pilihan akan membawa konsekuensi. Pilihan pertama bisa jadi akan membawa kita pada situasi kecurigaan dan prasangka yang konstan, yang akan menyedot energi positif yang sesungguhnya bisa dipakai untuk memerbaiki apa yang timpang dan belum tegak. Lagi pula, jika situasi itu yang terus-menerus dilakoni, siapa lagi yang akan menanggung akibatnya paling duluan jika bukan masyarakat bawah?

Demokrasi yang telah kita pilih sebagai jalan politik Republik dengan royal telah menyediakan ruang bagi berbagai aspirasi dan keinginan. Media massa yang kian terbuka juga cepat menangkap berbagai gejolak di tengah publik, di mana pun, sekecil apa pun gejolak itu. Kesediaan untuk mengapresiasi secara adil dan mengkritik secara sehat bukankah merupakan keseimbangan yang sangat dimungkinkan dalam alam demokrasi semacam ini? Pada titik itulah pilihan kedua tampil sebagai strategi yang jauh lebih produktif bagi masyarakat, jika dibandingkan dengan yang lainnya. Lagi pula, setiap hal di bumi ini selalu punya dua sisi: hitam–putih, halus–kasar, negatif–positif, dan baik-buruk. Hanya orang-orang yang penuh prasangka dan sikap pesimistislah yang mengibarkan satu sisi tinggi-tinggi dengan pengabaian total pada sisi sebelahnya. Pemerintah yakin bahwa masyarakat Indonesia tidak berpikir seperti itu.

Sesungguhnya segala kegerahan ini tidak perlu terjadi. Mari mencari titik tengah, titik singgung tempat tuntutan para tokoh agama dan kerja keras pemerintah dapat ditempatkan secara proporsional. Mari kita berorientasi pada proses sekaligus hasil jangka pendek yang dapat terlihat dan terukur. Mari kita bersama-sama menghindari situasi-situasi yang justru menjauhkan kita semua dari proses yang sehat dan hasil yang membahagiakan. Jika cawan itu baru terisi setengahnya, janganlah ditumpahkan. Lebih baik kita terlusuri cara paling cepat untuk mengisinya penuh, agar kehausan sebagian rakyat akan hidup yang lebih baik bisa terpuaskan.

Pesan yang ingin disampaikan telah diterima dengan baik oleh pemerintah dan untuk itu, pemerintah dengan besar hati mengucapkan terima kasih atas setiap masukan. Kami sadar setiap individu dapat memiliki sudut pandang masing-masing. Bukankah di situlah keindahan dan tantangan demokrasi, yang telah kita pilih sebagai jalan hidup Republik kita?

Tantangan di hadapan kita sungguh besar. Bergandengan tangan selalu lebih baik daripada berjuang sendirian. Pemerintah akan melanjutkan pekerjaan rumah dengan berikhtiar lebih kuat lagi. Kami percaya, pengalaman-pengalaman yang sulit justru akan semakin memperkuat bangsa dan pemerintah ini. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menilai dan membuat keputusan: menjatuhkan vonis atau melimpahkan pujian.
 

Kudeta Moral Agamawan

Politik niscaya mengusung nilai etis moral. Keadilan, kesejahteraan, kebaikan, dan kebenaran menjadi serangkaian nilai utama yang melandasi praktik politik (kekuasaan). Perilaku politik kekuasaan harus diletakkan di atas kerangka nilai fundamental ini. Ketiadaan basis etik menyebabkan kekuasaan kehilangan legitimasi moral. Dalam bahasa sederhana, kekuasaan dalam keadaan ini sebenarnya tidak ada! Itu salah satu pesan sentral yang terungkap dalam catatan kritis tokoh agama menyikapi penyelenggaraan kekuasaan rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada hari-hari awal tahun 2011 ini
Media Indonesia (21/1) menurunkan berita utama berkaitan dengan keteguhan sikap dan pendirian tokoh agama nasional. Meskipun mereka sudah melakukan dialog langsung dengan Presiden SBY beberapa hari lalu, sikap kritis mereka tidak akan berkurang. Tidak mereda. Bahkan, sikap kritis para tokoh agama akan semakin tajam jika rezim SBY tidak memberikan klarifikasi berupa langkah konkret menyelesaikan sekian banyak persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang mengancam kehidupan bersama sebagai bangsa. 

Mengatakan bahwa pemerintah tidak jujur dalam mengungkapkan pencapaian kerja memang menunjukkan indikasi kebohongan kekuasaan. Di situ ada permintaan kecil bahwa pemerintah sebaiknya bicara apa adanya! Barangkali itu lebih cocok! Kalau belum sepenuhnya berhasil, harus dikatakan secara terang benderang kepada rakyat kapan penyelesaian persoalan yang ada. Dan, jika janji tenggat waktu itu tidak terpenuhi, apa sanksi yang harus diberikan kepada institusi politik yang bertanggung jawab atas penyelesaian persoalan yang ada. Ambil contoh, janji-janji yang berseliweran berkaitan dengan pemberantasan mafia hukum dan korupsi selama ini, yang ternyata pada akhirnya lenyap tanpa bekas. Mau apa dengan semua janji kosong seperti itu! 

Komitmen 

Negara belum mampu mengadili ketimpangan politik dan ekonomi yang menempatkan rakyat pada posisi tidak menguntungkan. Kenyataan hilangnya sebuah pendirian politik untuk membela posisi rakyat di antara hantaman-hantaman ekonomi yang semakin tidak ramah merefleksikan negara yang terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Angka dalam data bisa menyebutkan kesejahteraan yang meningkat. Tingkat pengangguran yang mengalami penurunan. Kebebasan menyatakan pendapat yang semakin terbuka. Pemerintah bisa mengatakan semua itu secara leluasa, namun kondisi di lapangan, sering kali berbicara hal sebaliknya. 

Maka, meskipun pemerintah dengan sistematis menyampaikan data keberhasilan politik pembangunan, pandangan kritis tokoh agama tidak bisa disangkal juga. Bahwa data pemerintah belum tepat dan belum lengkap untuk menggambarkan kualitas kesejahteraan sosial yang semakin baik dan meningkat. Ini merupakan koreksi dan peringatan bahwa apa yang terungkap dalam data yang disampaikan pemerintah tidak sepenuhnya memiliki hubungan positif dengan keadaan nyata di tengah masyarakat. 

Dengan mudah argumentasi keberhasilan dalam sudut pandang pemerintah dapat dipatahkan karena para tokoh agama, yang berbicara tanpa sembunyi-sembunyi pada awal tahun 2011 ini, hidup di tengah masyarakat. Menjadi bagian dari masyarakat yang mengalami berbagai jenis kesengsaraan. Mulai dari harga kebutuhan pokok yang semakin tidak terjangkau, biaya kesehatan yang tidak kenal kompromi, biaya sekolah anak yang menguras isi dompet keluarga, keterhukuman sosial kelompok minoritas. Para tokoh agama juga berbicara berdasarkan data konkret. Melampaui deretan angka-angka statistik yang terpampang di atas lembaran-lembaran kertas yang rapuh. 

Michael Backman (1997), saat beberapa negara di Asia termasuk Indonesia sedang menghadapi kegilaan rezim kekuasaan yang sedang menuju keruntuhan, menulis sebuah buku kritis dengan judul The Asian Eclipse: Exposing the Dark Side of Business in Asia. Rezim Orde Baru pada waktu itu juga sedang gencar menutup sisi gelap penyelenggaraan kekuasaan. Banyak borok yang disembunyikan di belakang laporan keberhasilan pembangunan. Menyimpan kebohongan. Sisi gelap kekuasaan berusaha ditutup rapat-rapat agar tidak menjadi aib yang mengancam status quo rezim berkuasa! 

Dalam terang pemikiran ini, betapa tidak, kita sedang menghadapi ekspresi komitmen tokoh agama untuk menyentuh dan membongkar dark side praktik pembangunan sekarang ini. Usaha mereka terasa memiliki gaung yang kuat karena kelompok agamawan ini tidak memiliki afiliasi ke dalam kelas penguasa politik. Tidak terhindarkan bahwa para tokoh agama sedang merintis pekerjaan sulit dan penuh risiko. Menantang arus besar kekuasaan. Ini tidak ada hubungannya dengan sensasi politik selain pengungkapan tanggung jawab sosial agama mengoreksi perilaku kekuasaan yang cenderung menyimpang dari opsi fundamental memakmurkan rakyat. 

Dialektika 

Sebelum terjadi pertemuan antara tokoh agama dan rezim penguasa, di banyak media massa, banyak pejabat negara yang memberikan penjelasan kepada publik. Terlepas dari mekanisme pertahanan diri semacam ini, tentu yang dibutuhkan adalah keterbukaan menerima masukan dan kritikan. Menjauh dari kelompok kritis apalagi kekuatan yang tidak memiliki target politik praktis seperti para tokoh agama ini akan merugikan proses sipilisasi demokrasi di Indonesia. 

Para tokoh agama menyentuh soal paling sensitif. Menyampaikan kritikan terbuka kepada para penguasa yang lalai mempercepat datangnya kemakmuran sosial. Negara sedang terjebak dalam virus egoisme destruktif. Negara yang diam di hadapan ketidakadilan sosial. Negara yang membiarkan penindasan atas kelompok minoritas. Negara yang tidak hadir di tengah kekacauan sosial. 

Pada puncak ketidakberdayaannya, negara yang seharusnya memberikan garansi bagi terpenuhinya hak-hak sosial, ekonomi, dan politik seolah kehilangan momentum untuk menunjukkan kesungguhan membela rakyat. Economist (2/3/2002) dalam sebuah analisis menulis dengan judul menarik The Short Arms of The Law untuk melukiskan keterbatasan hukum dalam banyak kesempatan. Negara seperti kehilangan kekuatan saat berhadapan dengan para mafia hukum. Negara kehilangan manfaat sosial. 

Ironisnya, pada saat penguasa berusaha untuk 'membela diri' terhadap koreksi langsung dan tegas para tokoh agama, publik bisa dengan segera membenarkan sikap kritis para tokoh agama. Proses hukum Gayus dengan segala jaringan persoalannya menghadirkan sebuah olokan memalukan bagi proses hukum di Indonesia. Terlebih lagi bagaimana perlakuan hukum atas kasus Gayus yang menginjak rasa keadilan publik. 

Agaknya, dengan kejadian ini, penguasa politik kita, seharusnya lebih banyak membangun refleksi serius. Tidak perlu memberikan banyak klarifikasi verbalistik pada saat praktik hukum justru menjauh dari keindahan pidato dan janji di podium kekuasaan. Para tokoh agama tentu tidak sedang membangun permusuhan, selain proses dialektis konstruktif terhadap penyelenggaraan politik kekuasaan di Indonesia. Para tokoh agama sedang mengisi banyak kekurangan dan keterbatasan yang ada selama ini, ketika pemerintah belum memperhatikan nasib rakyat secara mendetail. Ini sisi positif yang harus dihargai dan dijaga penguasa. 

Konstruktif 

Sekarang, jelas terlihat juga bagaimana komunitas warga kehilangan daya politik untuk menandingi dominasi para penguasa politik dan ekonomi. Masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan kekuasaan. Kelakuan politik semacam ini serta-merta menghancurkan sumber daya demokrasi di negeri ini. Para tokoh agama menyadari kecenderungan jahat semacam ini. Suara kritis mereka dalam hari-hari ini telah menggedor kesadaran publik akan dark side politik kekuasaan. Serentak mengumpulkan keberanian politik untuk melakukan perlawanan sengit dan tanpa lelah atas gejala kelaliman atas nama demokrasi. 

Ini senada dengan gagasan Eduardo Canel bahwa demokrasi 'akar rumput' harus menjadi titik berangkat proses transformasi politik ke arah keadilan dan keadaban. Komitmen para tokoh agama bermanfaat untuk menyelamatkan sumber daya demokrasi dari kehancuran dan pembusukan akibat dominasi kelas penguasa. Ada peringatan keras akan penyimpangan moral penyelenggaraan kekuasaan. Para tokoh agama sedang melakukan kudeta moral atas rezim berkuasa. Ini menjadi energi konstruktif untuk kehidupan publik, sekaligus bisa menghancurkan kekuasaan, manakala pertobatan politik tidak kunjung datang!
 

Materialisme Menyandera Kita

Awal minggu ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam orasi di acara deklarasi Ormas Nasional Demokrat (Nasdem) Jawa Barat di Bandung, menyoroti pendekatan materi yang telah melunturkan nilai-nilai kejujuran dan moralitas bangsa. Sultan berbicara dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Nasdem. Katanya, "Uang kenyataannya mampu membeli martabat manusia sehingga pemimpin dan masyarakat hidup dalam kebohongan." Sambungnya, "Nasional Demokrat akan mengembalikan peradaban menjadi beradab. Kearifan lokal yang ditanamkan para leluhur sungguh-sungguh menjadi roh dalam kehidupan bangsa Indonesia." 

Menilik kemelut yang kita hadapi sekarang, khususnya menyangkut kasus Gayus dan mafia-mafia hukum serta perpajakan--yang berlarut-larut hampir satu tahun--maupun korupsi yang merambah ke mana-mana, kita umumnya sepakat dengan pendapat tersebut, walaupun kita mendapat keterangan resmi yang serbapositif tentang situasi ekonomi, termasuk bahwa pertumbuhan ekonomi bagus dan angka kemiskinan menurun. Kenyataan yang kita hadapi sehari-hari membuat kita bertanya-tanya, mengapa harga-harga bahan pangan naik dan ketimpangan begitu mencolok. Itu tentunya yang mendorong 99 LSM dan Tokoh mendeklarasikan Tritura--Tiga Tuntutan Rakyat: Presiden harus memimpin sendiri usaha melawan korupsi; membersihkan lembaga-lembaga penegak hukum serta lembaga-lembaga negara lainnya, dari pejabat-pejabat yang menjadi bagian mafia hukum; KPK wajib menuntaskan kasus Gayus.

Yang kita khawatirkan, sesuai sifat hakiki manusia, dalam keadaan terdesak tidak ada kepentingan yang lebih tinggi dari kepentingan sendiri. Ini berlaku bagi individu, kelompok, maupun negara. Akibatnya, semua berkiprah dalam lingkaran setan dalam rangka mengutamakan kepentingan pribadi. Lacurnya, dalam gejolak yang ada sekarang masih ada saja yang siap menunggu kesempatan. Materialisme rupanya sedang bergerak secara kolosal untuk mencengkeram korban-korbannya.

Mengkaji kelemahan sendiri

Dalam kehidupan sosial kita di zaman ini, semua-semua menjadi komoditas. Jabatan menjadi komoditas. Wewenang menjadi komoditas. Ikut dengar menjadi komoditas. Apakah mungkin semua ini akibat limpahan konsep berdagang; dimungkinkan oleh orientasi bisnis dan pasar? Kesuksesan elite pedagang--pedagang murni--rupanya telah menimbulkan kecemburuan sosial. Banyak yang ingin mencapai sukses serupa, sekalipun profesinya bukan di sana. Ada pengaburan nilai-nilai. Kekuasaan dan prestise saja tidak lagi mencukupi. Untuk senang, perlu atribut tambahan. Mungkin itu yang menimbulkan tumbuhnya ide membuat segalanya menjadi komoditas.

Konsep kekayaan amat kompleks. Sesuai etika yang dipegang masing-masing, penafsiran mengenai yang disebut sumber-sumber kekayaan menjadi berbeda-beda. Tidak jelas lagi beda antara broker dan orang yang menjual wewenang, antara hadiah dan uang dengar. Namun ada yang mencoba melempar kesalahan pada ide materialisme yang menyebar ke benak masyarakat kita akibat pengaruh luar, yang tersalur lewat arus informasi. Sampai sekarang masih ada anggapan, negara-negara maju meningkatkan arus informasinya demi kepentingan ekonomi dan politiknya. Arus informasi dari mereka bisa mengarahkan pandangan dan jalan hidup kita, bisa membuat kita patuh pada norma-norma yang diinformasikan. Contohnya: penyebaran ide pasar bebas yang memberi persepsi lebih baik dari sistem ekonomi lainnya. Dalam konstelasi politik dan ekonomi dunia sekarang, tentu banyak di antara kita yang curiga. Kolonisasi berabad-abad, yang baru tuntas di abad-20, telah meninggalkan bekas yang terlalu dalam dan menyakitkan.

Konsep-konsep lain untuk pilihan

Sebenarnya ada anggapan bahwa, di bidang ekonomi, masyarakat dunia sedang mencapai persimpangan di jalan sejarah yang unik, yakni bahwa sistem perekonomian yang berjalan sekarang harus membuat pilihan pada akhirnya. Ralf Dahrendorf, ahli teori tahun 70-an, dalam karyanya The New Liberty menulis, "Di negara-negara maju, yang menganut ekonomi pasar, yang masyarakatnya terbuka dan menjalankan demokrasi, tema kemajuan dengan dimensi tertentu cenderung ditinggalkan. Tema yang baru bukan lagi ekspansi, tetapi apa yang saya namakan penyempurnaan--suatu pertumbuhan kualitatif, bukan kuantitatif."

Bukan pertama kali seorang sarjana ilmu soial mengemukakan pendapat atau keinginan bahwa pertumbuhan ekonomi hendaknya diganti dengan penyempurnaan kualitatif. Filosof Inggris John Stuart Mill (1806-1873), yang terkenal sebagai pembela HAM, menulis dalam Principles of Political Economy bahwa dia mengakui tidak pernah tertarik pada kehidupan ideal yang dicanangkan mereka yang mengira bahwa berjuang keras demi kemajuan adalah wajar; dan bahwa saling menindas, saling menghancurkan, saling menyikut dan saling menginjak--yang menjadi ciri kehidupan sosial yang ada sekarang--memang menjadi pilihan kita. Padahal menurut pendapat dia, manusia ada pada sifatnya yang terbaik bila: sementara tidak ada yang melarat di antara kita, namun juga tidak ada yang ingin menjadi lebih kaya, dan juga tidak ada alasan untuk merasa takut akan terdesak karena yang lain-lain ingin maju. Mill menambahkan, "Bahwa modal dan manusia tidak bergerak, bukan berarti manusia tidak mengalami perbaikan."

Pendapat John Stuart Mill jelas tidak sesuai dengan spirit yang populer di masa sekarang; namun selaras dengan ajaran ekonomi Buddha seperti yang diutarakan EF Schumacher dalam Small is Beautiful. Katanya, fungsi berkarya ada tiga: memberi kesempatan untuk memanfaatkan dan mengembangkan kemampuan; memungkinkan mengatasi sikap egosentris dengan saling bergabung demi tujuan bersama dan menghasilkan barang-barang dan jasa demi kehidupan yang layak. Lebih dari 2300 tahun sebelumnya, Plato (427-447 SM) maupun Aristoteles (384-322 SM) berpendapat senada, yakni bahwa besarnya kekayaan yang kita himpun jangan melebihi kebutuhan yang wajar. Jika lebih dari itu, usaha mengejar kekayaan tidak akan memberikan manfaat yang kita perlukan.

Terserah pada kita masing-masing sikap mana yang kita pilih. Kita bisa memetik pelajaran dari kehebohan yang ditimbulkan Gayus dan mafia hukum serta perpajakan. Seperti kata Aristoteles dalam Politics, "Orang yang baik akan mampu bertahan dalam kemiskinan, sakit, atau kemalangan lain; tetapi dia merasa hanya akan berbahagia kalau keadaannya sebaliknya....Ini yang membuat manusia berilusi bahwa kekayaan lahiriah merupakan sumber kebahagiaan."

Oleh Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Grou
p

Memilih Kebijakan Bunuh Diri


PEMERINTAH memutuskan untuk menghapus semua bea masuk untuk produk pangan. Langkah tersebut dilakukan untuk menghindari terjadi krisis pangan menyusul ancaman kegagalan panen di beberapa sentra produksi yang bisa mempengaruhi stok pangan nasional.

Sepintas langkah itu baik untuk mencegah terjadinya krisis pangan. Namun kebijakan untuk membebaskan semua bea masuk produk pangan merupakan kebijakan bunuh diri. Memang kebijakan itu dalam jangka pendek bisa menyelamatkan kita dari krisis pangan, namun untuk jangka panjang mematikan pertanian di dalam negeri.

Pemerintah selalu keberatan dikatakan hanya mementingkan pencitraan. Namun banyak kebijakan yang dikeluarkan hanya berorientasi kepentingan jangka pendek dan tidak mempertimbangkan akibat buruk yang akan terjadi di masa depan.

Kebijakan penghapusan bea masuk produk pangan jelas merupakan langkah untuk mengendalikan angka inflasi. Pemerintah khawatir kalau inflasi sampai melonjak tinggi dianggap gagal mengelola perekonomian.

Dengan membuka keran impor memang diharapkan stok pangan mencukupi dan inflasi bisa dikendalikan. Dengan kebutuhan pokok yang melimpah serta harga yang terjangkau lalu seakan-akan kita bisa membohongi diri bahwa negeri ini sejahtera dan memiliki pangan yang melimpah.

Padahal di tengah bahan pangan yang melimpah dan harganya yang murah ada jutaan petani yang semakin menderita. Dengan harga pangan yang dikendalikan, sementara biaya sarana produksi mengikuti harga pasar, petani mempunyai margin yang sangat tipis.

Membanjirnya produk impor membuat harga jual petani akan semakin tertekan. Para pedagang perantara semakin leluasa untuk memainkan harga guna menekan petani, sementara Badan Urusan Logistik enggan untuk menyangga harga petani karena sudah memiliki stok yang mencukupi dan sudah mengantungi keuntungan besar dari produk pangan impor.

Sebagai seorang doktor pertanian, Presiden pasti tahu akan konsekuensi itu. Dengan masih begitu besarnya penduduk yang hidup dari sektor pertanian, seharusnya pemerintah memperhatikan kehidupan mereka dan mempertimbangkan betul akibat yang harus dihadapi kelompok petani dari setiap kebijakan yang akan dikeluarkan.

Kita memang pantas merasa prihatin dengan kehidupan saat ini. Pemerintah selalu muncul dengan angka-angka yang menyebutkan nilai tukar petani meningkat, namun kenyataannya kehidupan petani semakin menderita.

Pendapatan petani di Jawa Barat misalnya, setiap hari hanya sekitar Rp 2.000. Ini jauh di bawah pendapatan tukang ojek yang bisa mengantungi sampai Rp 25.000 dari kegiatannya sehari-hari.

Dengan kondisi seperti itu, tidak usah heran apabila banyak petani yang kemudian beralih profesi. Namun dengan kompetensi yang terbatas, mereka hanya bisa masuk ke dalam lapangan kerja yang informal.

Ini jelas memberikan kerugian ganda bagi kita sebagai bangsa karena kita harus kehilangan orang-orang terampil di sektor pertanian. Namun yang kedua, dengan terjun ke sektor informal, pertumbuhan ekonomi nasional kita semakin tidak sehat.

Celakalah bangsa ini kalau pemerintah tidak memahami kenyataan ini. Karena akibat selanjutnya yang seringkali terjadi adalah apa yang disebut sebagai double jeopardy. Di satu sisi nilai tukar petani terus menurun, tetapi di sisi lain harga kebutuhan pokok justru melambung.

Pemerintah harus bisa menjamin bahwa kebijakan ini hanya bersifat jangka pendek yakni tiga bulan saja. Selama tiga bulan ini pemerintah harus keluar dengan konsep perbaikan pembangunan pertanian yang bukan hanya berorientasi kepada peningkatan produksi, tetapi juga perbaikan pendapatan keluarga petani.

Tidak ada alasan bagi negeri ini tidak mampu menjadi negara pertanian yang unggul. Kita bukan hanya memiliki lahan yang begitu luas, tetapi iklim yang lebih baik dari negara-negara lain. Kita juga memiliki sumber daya manusia yang tidak kalah, termasuk ahli-ahli pertanian yang mumpuni.

Persoalan pada kita adalah ketidakmauan untuk mencanangkan diri sebagai negara pertanian yang unggul. Negara pertanian yang bukan hanya sekadar menghasilkan produk-produk primer, tetapi ditopang oleh industri yang mampu memberikan nilai tambah.

Pilihan sebagai negara industri yang berbasis pertanian dan energi sebenarnya merupakan pilihan terbaik bagi bangsa ini. Namun kita tidak pernah berani untuk menyatakan itu dan secara sungguh-sungguh menjadi itu.

Kita baru teringat akan apa yang sebenarnya menjadi kekuatan kita ketika terjadi ancaman krisis. Namun semua menjadi serba terlambat apalagi respons selalu reaktif yakni membuka keran impor dengan bea masuk nol persen. Kalau seperti ini pilihan kita, maka kita sedang menuju ke arah kehancuran. Kita sebenarnya sedang melakukan bunuh diri.

Hukum Hanya di Ruang Kuliah


PENDAPAT yang disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Prof Andi Hamzah pantas menjadi perhatian kita bersama. Bagaimana ilmu hukum yang dirumuskan secara ideal sebenarnya hidup di ruang-ruang kuliah Fakultas Hukum, namun gagal menjadi ilmu yang bisa dipraktikkan untuk membangun peradaban.

Keprihatinan itu kita yakini tidak hanya menghinggapi diri Prof Andi Hamzah. Para guru besar ilmu hukum lainnya pasti sedih melihat bagaimana ilmu yang mereka tekuni tidak mampu membantu menegakkan ketertiban hukum di negeri ini.

Seperti disampaikan Prof Yenti Ganarsih, kesalahan yang terjadi ini bukan terletak pada sisi ilmunya. Kesalahan itu terletak pada orang yang mengaplikasikan hukum tersebut. Kita semua ikut bertanggung jawab, karena penerapan hukum bukan hanya ditentukan di gedung pengadilan saja, tetapi mulai dari awal penyusunan undang-undang yang harus berkualitas di DPR, perguruan tinggi yang harus mampu menghasilkan sarjana hukum yang memiliki integritas, para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara yang harus kredibel, serta pemimpin nasional yang memiliki kemauan kuat untuk menjadikan hukum benar-benar bisa memberikan keadilan bagi rakyat.

Apa yang terutama dipertontonkan dari kasus Gayus Tambunan pantas membuat kita prihatin. Kita membiarkan hukum diinjak-injak tanpa ada penghormatan. Bahkan ketika kita tahu pun, kita tidak berupaya secara sungguh-sungguh untuk membuat terang benderang duduk perkara yang sebenarnya.

Bisa dibayangkan sulitnya para dosen ilmu hukum sekarang ini untuk bisa menjelaskan kepada para mahasiswa tentang bagaimana hukum seharusnya dipraktikkan . Semua teori-teori yang ada dijungkirbalikkan oleh ketidakprofesionalan polisi, jaksa, hakim, dan pengacara dalam mempraktikkan ilmu-ilmu yang dulu juga mereka pelajari di bangku kuliah.

Orang-orang yang mempraktikkan ilmu hukum tentunya diajari prinsip yang dulu disampaikan Plato yakni  nemo prudens punit, quia pecatum, sed ne peccetur. Bahwa  orang bijak tidak menghukum karena dilakukan dosa, tetapi agar tidak lagi terjadi dosa.

Ketika sekarang para penegak hukum berlagak pilon tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus Gayus, bukankah secara tidak langsung para penegak hukum tengah membiarkan negeri ini menjadi negeri para kriminal. Dengan hanya mencoba membatasi kasus ini sebagai kesalahan Gayus sendiri, berarti kita tengah membiarkan para kriminal lainnya untuk terus mengulangi kejahatannya.

Padahal Gayus di depan persidangan telah mengungkapkan begitu banyak nama yang menjadi bagian dari kejahatannya. Bahkan Gayus mengatakan bahwa mereka itu adalah "paus" dan "hiu" dari kasus yang sedang ia hadapi. Di sana ada pengusaha, ada jaksa, dan juga ada polisi yang sebenarnya ikut terlibat.

Kita memang dihadapkan kepada kesulitan besar ketika hukum harus menghukum para penegak hukum yang terlibat pelanggaran hukum. Bukan hukum yang tidak bisa melakukan itu, tetapi orang-orang yang melaksanakan hukum itulah yang tidak mau melakukannya, karena itu akan mengena kenapa dirinya atau setidaknya teman-teman penegak hukum itu sendiri.

Begitu jelas disebutkan nama-nama anggota polisi yang ikut menikmati uang hasil korupsi Gayus, namun hanya dua polisi rendahan yang dijebloskan ke dalam penjara yakni Komisaris Polisi Arafat Enanie dan Ajun Komisaris Polisi Sri Sumartini. Ada dua jaksa yang disebut-sebut merakayasa penuntutan hukum terhadap Gayus, namun hingga kini tetap jaksa itu tidak tersentuh.

Esais Jakob Sumardjo melihat bahwa apa yang sedang kita alami adalah hukum yang terbalik. Yang kerja keras tetap miskin, yang tak bekerja justru kaya; yang jujur selalu salah, yang tak jujur selalu benar; kejujuran adalah kebohongan, kebohongan adalah kejujuran; yang profesional tak dipakai, yang amatir justru berkuasa.

Negeri ini tidak akan bisa menjadi negeri yang memiliki peradaban apabila membiarkan semua itu terus terjadi. Bagaimana seorang guru besar yang telah pensiun sesudah mengabdikan diri mendidik para sarjana selama 40 tahun hanya mendapatkan pesangon pensiun sebesar Rp 34 juta dan uang pensiun setiap bulan Rp 2,5 juta. Sementara ada seorang pegawai pajak yang baru beberapa tahun bekerja berhasil merampok uang negara ratusan miliar dan akibat kesalahan itu hanya dihukum tujuh tahun penjara.

Begitu banyak absurditas yang terjadi di negeri ini, yang menurut Jakob Sumardjo membuat kriminal menjadi pahlawan bangsa, sementara pahlawan sejati menjadi kriminal. Negara ini sedang menjadi negara kaum kriminal, karena para kriminal bukan masuk penjara, tetapi menjadi pahlawan bangsa dengan berkedok menggunakan baju polisi dan juga jaksa.

Oleh karena itu, menurut Jakob Sumardjo, hukum terbalik ini harus dikembalikan menjadi hukum kewarasan. Caranya, yang ditindas menjadi penindas (ketidakbenaran), yang miskin menjadi kaya dan yang kaya (karena korupsi) dimiskinkan, yang profesional mengganti yang amatir, yang kriminal adalah kriminal dan yang pahlawan harus kita katakan pahlawan.

Di tengah ketidakmampuan penegak hukum untuk mengembalikan hukum kewarasan, maka yang harus tampil ke depan adalah pemimpin. Ia tidak bisa membiarkan kekacauan ini terus terjadi, tetapi tampil paling depan untuk menata kembali kehidupan sosial.

Kalau kita meminta pemimpin untuk tampil di depan, kita mengharapkan itu sungguh-sunguh dilakukan. Karena memang keadaannya sudah begitu memprihatinkan dan mereka yang dipercaya untuk memperbaiki semua ini, terbukti tidak mampu melakukan perintah yang sudah diberikan pemimpin.

Pendelegasian kepada Wakil Presiden sekali pun tidak akan bisa efektif, karena Wapres tidak memiliki kewenangan eksekutif. Wapres tidak mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan keputusan ataupun instruksi yang memiliki kekuatan hukum.

Kerusakan hukum yang kita hadapi tidak cukup lagi ditangani dengan cara mengawasi saja. Dibutuhkan tindakan yang tegas dan efektif agar kita bisa mengembalikan lagi hukum kewarasan di negeri ini.

Bangsa Yang Sedang Sakit


TIGA hari kehebohan akibat munculnya fenomena lingkaran tanaman (crop circle) di Sleman terjadi, kita bukannya berhenti untuk berspekulasi, tetapi terus saja larut dengan analisis-analisis yang tidak berbobot. Tetap saja kita dipaksa untuk percaya bahwa ada benda angkasa misterius (UFO) yang mendarat di lokasi persawahan di Sleman.

Padahal Lembaga Penerbangan dan Antariksa sudah mengatakan bahwa tidak ada UFO yang mendarat di tempat itu. Rubuhnya sebagian tanaman padi yang terjadi dibuat oleh manusia, bukan karena ada UFO yang datang ke sana.

Media yang seharusnya ikut memberikan pengertian yang benar justru larut dengan keasyikan sendiri, sehingga meninggalkan rasionalitas. Kebiasaan masyarakat untuk menyukai hal-hal yang bersifat mistik maupun tahayul justru dieksploitasi demi kepentingan publikasi.

Tidak salah apabila dikatakan bangsa ini sedang sakit. Irasionalitas terjadi hampir di semua tingkatan. Semua seperti tidak peduli terhadap nilai-nilai kebajikan dan kebenaran. Semua larut dalam pragmatisme yang sangat tidak mencerahkan.
   
Bayangkan saja berhari-hari kita berbicara sesuatu yang tidak produktif. Orang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi di Sleman itu. Bahkan sempat dilaporkan satu orang tewas karena terjatuh ketika hendak menyaksikan fenomena yang dikatakan aneh itu dari ketinggian.

Padahal seharusnya kita membuat masyarakat untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif. Kalau pun ada pemikiran-pemikiran yang harus diperdebatkan haruslah pemikiran yang bernas. Pikiran-pikiran yang cemerlang dan memberikan kontribusi bagi pemecahan persoalan.

Kalau kita katakan pemikiran yang irasional itu terjadi pada semua tingkatan, karena bukan hanya masyarakat tingkat bawah yang berlaku seperti itu. Bahkan pada tingkat menteri sekali pun kita lihat tidak menunjukkan kematangan dan kenegarawanan.

Lihat saja bagaimana para menteri menanggapi kritikan yang disampaikan para tokoh lintas agama. Yang ramai dimunculkan adalah rasa tersinggung dan marah, bukan membahas substansi dari kritik yang disampaikan para tokoh lintas agama.

Persoalan digeser menjadi masalah personal. Seakan-akan ada permusuhan di antara para tokoh lintas agama dengan pemerintah. Bahkan dimunculkan dugaan adanya motif politik dan bahkan agenda untuk mengincar jabatan presiden.

Sikap kekanak-kanakan dari para menteri akhirnya hanya menimbulkan rasa saling curiga. Padahal seharusnya sebagai negarawan mereka membangun kebersamaan. Mereka merangkul semua komponen masyarakat untuk bekerja bersama pemerintah memajukan negeri ini.

Dengan pendekatan yang sekadar mencari menang sendiri, maka yang lebih menonjol pasti perbedaan. Apalagi fakta yang kita lihat sehari-hari adalah kesenjangan antara apa yang dikatakan pemerintah dengan realitas yang dihadapi rakyat.

Seharusnya para menteri itu mau menyadari bahwa negara ini bukan hanya milik para pejabat. Seluruh rakyat yang berjumlah 230 juta mempunyai hak untuk juga memiliki negeri ini dan juga memiliki tanggung jawab untuk memajukan bangsa dan negara ini.

Semua kritik yang dilakukan masyarakat, termasuk para tokoh lintas agama seharusnya dilihat sebagai bagian dari rasa tanggung jawab itu. Kalau 230 juta rakyat ini tidak peduli, maka mereka akan diam saja atas segala kekurangan yang kita hadapi sebagai bangsa.

Seharusnya pemerintah berterima kasih bahwa masyarakat mau peduli. Mereka mau menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk melihat apa yang terjadi di tingkat bawah. Apa yang dilihat dan dirasakan itulah yang disampaikan kepada pemerintah.

Bahwa apa yang disampaikan itu bentuknya dalam kritik, karena memang masyarakat hanya bisa bersuara dan kalau pun bertindak hanya pada tingkatan yang terbatas. Pemerintahlah yang mempunyai kewenangan untuk bertindak dan melakukan hal yang besar, karena pemerintah diberikan hak oleh konstitusi untuk melakukan itu.

Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mau mendengar. Kalau saja masukan masyarakat itu dilihat dari kaca mata yang positif, seharusnya ini bisa menjadi energi yang baik membangun kemajuan. Dengan itu bisa dibangun kebersamaan untuk memajukan negeri ini.

Daripada hanya sekadar tersinggung dan menimbulkan rasa curiga, seharusnya pemerintah menerima kritikan itu sambil melakukan verifikasi di lapangan. Sebab, tidak mungkin komponen masyarakat menyampaikan kritik kalau faktanya pembangunan ini berjalan baik. Kritik disampaikan karena apa yang terjadi di lapangan berbeda jauh dengan apa yang didengung-dengungkan pemerintah.

Presiden jangan mau dijerumuskan oleh para menterinya. Pembelaan membabi-buta yang dilakukan para menteri hanya sekadar cari muka, karena mereka tidak mau kehilangan jabatannya. Pengalaman menunjukkan bahwa Presiden lebih baik mendengarkan rakyatnya, karena rakyat selalu bicara dengan kejujuran dan tidak ada keinginan untuk mengamankan kursi jabatan.
Bookmark and Share

Hukum Bukan Balas Dendam


Senin, 31 Januari 2011 20:10 WIB
SEMBILAN belas anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menerima cek perjalanan saat memilih Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Mereka harus mendekam di dalam rumah tahanan sampai proses peradilan kepada mereka selesai dijalankan.

Beberapa nama besar yang masuk di antara 19 orang yang ditahan itu antara lain mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta dan politisi senior Panda Nababan. Sebelumnya empat anggota DPR lainnya sudah divonis hukuman penjara untuk kasus yang sama.

Hukum memang tidak boleh pandang bulu. Semua orang sama di muka hukum. Siapa yang melakukan kesalahan, maka ia harus menerima hukuman atas kesalahan yang ia perbuat agar kemudian bisa memberikan efek jera kepada orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

Dalam upaya memberantas korupsi, kita tentunya mendukung langkah tanpa pandang bulu yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Meski yang harus dihadapi nama-nama besar, KPK harus menegak hukum seperti apa adanya.

Hanya saja wajar apabila kemudian KPK juga mendapat kritik tajam. Dalam kasus suap tidak mungkin dilakukan oleh satu pihak. Kalau anggota DPR itu dituduh disuap, tentunya harus ada penyuapnya.

Di sinilah KPK dianggap tidak bertindak adil. Meski mereka sudah memenjarakan empat anggota DPR, namun KPK tidak pernah bisa menemukan penyuapnya. Beberapa nama yang disebut seperti Miranda Goeltom dan Nunun Nurbaetie masih dibiarkan bebas.

Bahkan Nunun tidak pernah dicek oleh KPK apakah benar ia dalam kondisi sakit dan lupa atas segala yang telah ia lakukan. Kita tidak melihat keseriusan KPK untuk misalnya mengirim tim guna memantau apa yang dilakukan Nunun, yang kini tinggal di Singapura.

Tanpa ada kesungguhan dari KPK, maka wajar apabila lembaga itu dituduh melakukan tebang pilih. Apalagi banyak kasus korupsi yang lain, namun tidak pernah diungkap secara tuntas karena melibatkan anggota partai yang sedang berkuasa.

Di sinilah KPK harus bisa bersikap lebih profesional. Mereka harus menjelaskan secara terbuka kendala yang dihadapi apabila mereka tidak mampu mengungkap kasus yang menjadi sorotan masyarakat. Jangan biarkan persepsi masyarakat berkembang menjadi kebenaran.

Sebab ketika hal itu masuk ke dalam ranah politik, maka yang bisa terjadi adalah politisasi. KPK bisa dituduh sedang bermain politik juga dan hanya digunakan sebagai alat kepentingan politik. Dan itulah yang sedang dihadapi KPK sekarang ini.

Penolakan yang dilakukan anggota Komisi III DPR atas kehadiran dua anggota KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah saat rapat kerja tidak bisa dilepaskan dari faktor itu. Anggota DPR menggunakan rapat kerja sebagai ajang balas dendam terhadap dua anggota DPR yang kebetulan sempat dituduh melakukan korupsi.

Kondisi seperti ini tentu tidak sehat bagi penegakan hukum. Bagaimana pun hukum tidak bisa dipakai untuk kepentingan negosiasi apalagi sebagai ajang balas dendam. Hukum harus diterapkan apa adanya untuk mencegah kehidupan bangsa ini dikuasai oleh kelompok orang-orang yang mempunyai niat jahat dan merugikan negara.

Untuk itulah kita mengharapkan KPK kembali kepada tugas utamanya. Yakni memberantas praktik korupsi dan tidak pernah memberi ampun kepada siapa pun yang melakukan tindakan yang merugikan negara.

Begitu banyak kasus korupsi yang telah terjadi dan masyarakat melihat dengan saksama bagaimana kita menyelesaikan kasus-kasus itu. Sedikit saja ada ketidakadilan, maka masyarakat akan berteriak. Bahkan bukan hanya berteriak, tetapi mengecam ketidakadilan yang terjadi.

Terutama untuk kasus-kasus besar, KPK tidak boleh main-main. Seperti dalam kasus Bank Century, KPK harus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengungkapnya. Apalagi sudah ada rekomendasi dari DPR atas kasus yang berpotensi merugikan keuangan negara Rp 6,7 triliun.

KPK jangan hanya sibuk untuk urusan yang kecil-kecil, namun tidak peduli dengan kasus yang besar. Rasa keadilan masyarakat tidak bisa dibungkam dan mereka sangat kritis terhadap segala hal yang dianggap tidak sesuai dengan logika mereka.

Pengacara Yusril: Amari Hanya Mencari-Cari Kesalahan Yusril

JAKARTA--MICOM: Pernyataan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) M Amari terkait dengan putusan kasasi Mahkamah Agung yang melepaskan Romli Atmasasmita dan tidak berpengaruh oleh tersangka lain, yakni Yusril Ihza Mahendra, langsung dibantah tim penasihat hukum Yusril. 
"Sebaiknya, Amari membaca dengan terlebih dahulu dengan saksama putusan tersebut sebelum membuat pernyataan," tegas Jamaluddin Karim selaku pengacara Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Kamis (27/1).

Sebelumnya, Amari menegaskan, meskipun Kejagung telah menerima putusan kasasi MA yang melepaskan Romli dari segala tuntutan hukum, putusan itu tak berpengaruh terhadap tersangka yang lain, Yusril dan Hartono Tanoesoedibjo.

"Kejagung seharusnya lebih jernih melihat putusan ini, jangan langsung memberikan pernyataan tanpa terlebih dahulu meneliti putusan itu," tegasnya.

Sementara, dalam kasus Samsudin, dia (Samsudin) didakwa sendirian, tidak bersama-sama dengan Yusril. Dalam pertimbangan hukumnya, sejauh mengenai biaya akses Sisminbakum, putusan MA adalah sama dengan putusan Romli. Biaya akses Sisminbakum bukanlah PNBP dan karenanya tidak ada kerugian negara Rp420 milyar seperti dakwaan jaksa.

Namun, MA menghukum Samsudin bukan karena masalah PNBP, melainkan karena terbukti menggunakan biaya akses fee Sisminbakum yang diterima Ditjen Administrasi Hukum Umum untuk kepentingan pribadinya. Samsudin juga mengembalikan uang yang dipergunakannya itu kepada penyidik Kejagung, ketika dia dinyatakan sebagai tersangka.

"Kalau Samsuddin menggunakan uang Ditjen AHU untuk kepentingannya sendiri, ya apa kaitannya sama Yusril? Apalagi Samsudin menjadi dirjen di bawah Menhuk dan HAM Andi Mattalata. Amari hanya mencari-cari kesalahan Yusril, dengan argumen yang tidak logis," tutup Jamal. (*/OL-11)
 

Kalau Tidak Cukup Alat Bukti, Kasus Yusril Harus Dihentikan

Senin, 31 Januari 2011 20:04 WIB     
JAKARTA--MICOM: Mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Suhandoyo mengatakan bahwa Kejagung sebaiknya menyikapi terlebih dahulu kasus Yusril Ihza Mahendra terkait dugaan korupsi pada Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan HAM.

"Jika menunda-nunda kebijakan, akan menambah sederetan penilaian masyarakat bahwa kejaksaan itu tidak profesional," ujar Suhandoyo yang dilansir dari situs Yusril Ihza Mahendra, Senin (31/1).

Lebih lanjut, dirinya juga mengharapkan agar Jaksa Agung segera memberdayakan fungsi intelijen dengan segera memerintahkan Jaksa Agung Muda Intelijen untuk melakukan telaahan, analisis dan perkiraan intelijen dalam kasus tersebut.

"Jamintel bekerja sama dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)," katanya.

Dikatakan, putusan bebas oleh majelis kasasi di Mahkamah Agung terhadap Romli Atmasasmita, mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM dalam kasus Sisminbakum, harus dijadikan pengalaman yang berharga bagi jaksa penyidik dan penuntut umum dalam menangani kasus Yusril.

"Bahwa seorang jaksa harus cerdas, cermat, cerdik dan cekatan dalam menghadapi hakim, penasihat hukum, apalagi terhadap saksi dan terdakwa dari mulai proses penyidikan, penuntutan sampai pengadilan," katanya.

Dampak dari produk penyidikan penyusunan dakwaan, tuntutan yang tidak berkualitas ditambah analisa dan perkiraan intelijen yang dangkal maka penuntut umum gagal di pengadilan. "Karena itu, kasus Yusril harus tuntas, bila memang tidak cukup alat bukti dan tidak ada kerugian negara, jaksa agung harus memilih kebijakan yang berpihak pada rasa keadilan dan kepastian hukum, yaitu menghentikan penyidikan," katanya. (*/OL-2)

Bookmark and Share  

Mendiknas Bersikeras tidak Mau Tarik Buku SBY


Mendiknas Bersikeras tidak Mau Tarik Buku SBY
JAKARTA--MICOM:
Menteri Pendidikan Nasional M Nuh menegaskan pihaknya tidak akan menarik buku-buku mengenai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kini beredar di Tegal, Jawa Tengah. Menurut Nuh, buku itu bukan buku haram dan najis. Prosedur pengadaan buku-buku itu sudah tepat. Itu dikatakan Nuh di kantor Presiden seusai rapat terbatas, Senin (31/1). 
MI/Ramdani/rj
Ia menambahkan, sudah bukan zamannya lagi tarik-menarik buku seperti era pujangga Pramoedya Ananta Toer. "Apakah sekarang zamannya tarik-menarik seolah buku itu haram? Biarkan buku itu selama prosedur pengadaannya sudah benar. Kalau buku itu untuk pengayaan silahkan," kata Nuh.

"Ini jadi rumit karena ditarik ke wilayah lain. Padahal, siapa pun yang punya pemikiran untuk buku-buku silahkan. Jadi, kami tidak akan menarik karena bukan buku haram. Buku ini juga bukan buku najis. Statusnya sama dengan buku-buku lain. Kalau anak-anak kita boleh baca buku-buku kepala negara lain, kenapa dari kepala negara sendiri tidak boleh?" tegasnya. (Nav/OL-8).

Jangan Mau Menjadi “Negara Kacung”



  
Beberapa saat lalu media di Indonesia sontak riuh ramai dengan tragedi penganiayaan dan kematian TKW Indonesia di Arab Saudi. Kejadian yang memilukan hati itu telah mengusik ketenangan rakyat Indonesia. Kecaman dan cacian langsung ditujukan kepada pihak-pihak terkait. Pemerintah pun segera merespon dengan melakukan berbagai tindakan advokasi. Hal terakhir yang dijadikan solusi adalah pemerintah akan memberikan telepon seluler bagi para TKI/TKW. Sebuah solusi instan dan tidak menyentuh akar permasalahan kiranya.
 
Sejatinya, kemelut TKI adalah karena rakyat sudah tidak menjadi tuan di negerinya sendiri dan di negeri orang lain. Rakyat selalu diposisikan sebagai ‘babu’ dimanapun mereka berada. Hal ini bukan terjadi secara alamiah, namun hasil dari pemerintahan yang sejak awal selalu didikte oleh kapitalisme negara-negara super power.
 
Negara juga terlalu sibuk melayani keinginan kaum kapitalis untuk berbagi kue sumber daya alam dan manusia di Indonesia. Akhirnya negara ini menjadi negara kacung dari hulu hingga hilir, di negerinya sendiri maupun di negeri orang lain.Rakyat yang bodoh terus dibiarkan terbelakang, rakyat yang pintar terus membodohi rakyat dengan kelicikannya. Semua ini terjadi demi good service bagi kaum kapitalis. Karena baiknya pelayanan kapitalisme di Indonesia, sampai mereka  menganggap Indonesia  sebagai “hadiah yang terkaya bagi penjajah” di dunia.
 
Ironis memang, negara dengan sumber daya alam yang melimpah dan jumlah penduduk berkategori besar di kawasan asia bahkan dunia telah menjadi bahan eksploitasi tiada henti. Negara yang kaya akan sumber daya alam bahkan rakyatnya harus terlunta-lunta di negeri tetangga dengan memohon iba. Pemerintahnya pun sama, setiap APBN yang dianggarkan adalah hasil mengiba atau hasil pencekokan hutang oleh negara kreditur.
 
Sejarah penggembosan potensi negara Indonesia telah terjadi cukup panjang. Pengakuan  kemerdekaan  Indonesia  dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) terjadi setelah pemerintah Indonesia mau menanggung beban utang luar negeri yang dibuat oleh Hindia Belanda. Praktis sejak tahun 1950, pemerintah Indonesia serta merta memiliki utang yang terdiri dari utang luar negeri warisan Hindia Belanda senilai US$ 4 miliar dan utang luar negeri baru Rp 3,8 miliar.
 
Beban hutang yang ditimpakan kepada Indonesia telah serta-merta memposisikan Indonesia berada di bawah tekanan pihak pemberi hutang ketika harus membuat hutang baru. Dalam periode 1950-1956 pembuatan utang selalu diikuti dengan adanya intervensi dari pemberi utang (asing).
 
Tercatat pada tahun 1950, Indonesia harus rela menerima penundaan pencairan hutang dari pemerintah AS sebesar  US$100 juta setelah Indonesia tidak mau segera mengakui keberadaan pemerintahan Bao Dai di Vietnam.
 
Pada  era  pemerintahan  Soeharto,  selain  Indonesia diposisikan dalam kontrol  IMF  dan  Bank  Dunia,  kedua  jenis warisan utang  pada  masa  Soekarno  juga  disepakati  untuk dibayar. Utang luar negeri warisan Hindia Belanda disepakati untuk  dibayar  selama  35  tahun  terhitung  sejak  1968, sehingga  lunas  pada  2003.  Sedangkan  utang  luar  negeri warisan Soekarno disepakati untuk dibayar selama 30 tahun terhitung sejak 1970, dan bakal lunas pada 1999.
 
Namun demikian, para pemegang otoritas kebijakan ekonomi Indonesia era Orde Baru diisi oleh orang-orang yang dibina oleh pemerintah Amerika Serikat. Mereka membawa perekonomian Indonesia ke arah ekonomi pasar liberal. Alhasil, selain menunda pembayaran utang luar negeri selama beberapa tahun, para pejabat yang memegang kebijakan ekonomi juga menggalang pembuatan utang luar negeri baru, dan membuka pintu bagi masuknya investasi asing secara besar-besaran ke Indonesia.
 
Kegiatan ”Menjual negara” tidak hanya sampai era Orde Baru. Bahkan sampai saat ini hal itu masih berlanjut. IMF selalu mengawasi dengan ketat pelaksanaan Letter of Intent (LoI) dengan Indonesia. Banyak dari butir-butir dalam LoI yang merugikan bangsa Indonesia, antara lain ketika Menko EKUIN dijabat oleh Kwik Kian Gie. Waktu itu Kwik Kian Gie harus merelakan bea masuk untuk impor beras dan gula harus nol persen, sedangkan ketika itu produksi dalam negeri melimpah. Semua ini terjadi karena tekanan kapitalisme masih mencengkram Indonesia.
 
Kwik Kian Gie juga pernah mengatakan bahwa jumlah hutang Indonesia yang luar biasa besar adalah kesalahan negara-negara pemberi hutang yang sejak tahun 1967 menggerojok hutang kepada Indonesia melalui IGGI/CGI. Selaiknya, negara donor harus melihat kemampuan membayar hutang oleh Indonesia sebelum menggelontorkan hutang kepada Indonesia. Namun semua hutang yang mencekik perekonomian Indonesia terlihat dipaksakan agar Indonesia bersedia menyerahkan semua kekayaan alamnya kepada Neo-Imperialisme.
 
Saat ini Indonesia dikenal sebagai negara dengan upah buruh yang rendah. Selain itu sistem pendidikan di Indonesia lebih menekankan lulusan menjadi operator yang mumpuni di industri tetapi tidak menekankan pendidikan optimalisasi tata kelola kekayaan alam Indonesia secara independen. Semua ini masih diperparah dengan mahalnya biaya pendidikan, akhirnya hanya kalangan “beruntung” saja yang dapat menikmati pendidikan tinggi.
 
Sementara pembangunan ekonomi yang katanya agraris telah membabat habis ladang dan sawah milik rakyat untuk industri dan properti. Rakyat yang bodoh tak berdaya terhimpit kebutuhan ekonomi dan kian terhasut budaya konsumerisasi. Maka pelarian  menggiurkan adalah bekerja sebagai ‘babu’ di negeri orang.
 
Akhirnya rakyat menjadi “kacung”. Para sarja menjadi “kacung-kacung” para kapitalis di negeri sendiri. Sementara mereka yang tak bersekolah menjadi “kacung” di negeri orang. Pertanyaan besarnya, sampai kapan kita bisa menjadi Negara mandiri dan terhormat, yang mengirim rakyatnya ke negeri seberang hanya menjadi “kacung-kacung”?
 
*)Penulis adalah Dewan Pembina Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI) Periode 2010 - Sekarang

Jangan Ada Bohong di antara Kita!



 
Oleh M. Anwar Djaelani

“Tokoh Lintas Agama Kritik SBY”. Itulah judul berita menarik di koran Jawa Pos, 11 Januari 2011. Intinya, sejumlah tokoh lintas agama bertemu pada (10/1/2011), lalu mencanangkan tahun ini sebagai tahun perlawanan terhadap kebohongan dan pengkhianatan.

Din Syamsuddin --seorang dari delapan tokoh lintas agama yang menyatakan sikap secara kolektif itu-- menegaskan bahwa aksi antikebohongan itu dirasa perlu dilakukan agar "Jangan sampai ada kesenjangan antara pernyataan dan kenyataan" (hidayatullah.com, 18/1/2011).

Ada apa sebenarnya? Bagaimana perspektif Islam tentang bohong?

Ada Kesenjangan

Para tokoh lintas agama yang bertemu pada (10/1/2011) itu berpendapat bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan. Menurut mereka, ada beberapa kebohongan -antara lain- di bidang pemberantasan kemiskinan dan penegakan hukum.

Di pertemuan (10/1/2011) itu, Din Syamsuddin menyatakan bahwa penguasa telah melakukan banyak kebohongan publik. Padahal –papar Din- para pembohong merupakan orang munafik. Jika kebohongan dilakukan oleh penguasa, akan timbul kehancuran sistimatis (Jawa Pos, 11/1/2011).

Din Syamsuddin tentu saja tak asal bunyi. Sebab, Islam telah secara tegas melarang kita berperilaku bohong, terutama saat seseorang menyandang status sebagai raja atau penguasa/pemerintah. Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga golongan manusia, di mana pada hari kiamat Allah tidak akan memandang mereka dengan rahmat-Nya, bahkan mereka itu akan memeroleh siksaan yang menyakitkan, yaitu: Orang tua yang berbuat zina, raja atau penguasa / pemerintah yang berdusta, dan orang melarat yang sombong.” (HR Muslim).

Adakah perkembangan positif menyusul munculnya pernyataan kritis dari tokoh-tokoh lintas agama pada yang diadakan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan sejumlah tokoh lintas agama?

Kompas (18/1), “Pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan para pemuka dan tokoh lintas agama belum menghasilkan hal yang konkret. Keprihatinan para pemuka dan tokoh agama masih direspons oleh pemerintah dengan cara memberikan janji-janji yang baru.”

Jangan Lakukan!

Larangan agar kita tak (suka) berbohong jelas dasar hukumnya, antara lain: \"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.\"(QS An-Nahl [16]: 105).

Nabi Muhammad SAW memasukkan perilaku bohong sebagai salah satu ciri orang munafik. Tanda orang-orang munafik itu ada tiga. Pertama, jika berkata-kata ia bohong atau dusta. Kedua, bila berjanji ia mengingkari. Ketiga, saat diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya (HR Bukhari dan Muslim).

Sungguh, jangan (suka) bohong, agar kita tak celaka dunia-akhirat! Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa (QS Al-Jaatsiyah [45]: 7).

Jauhilah sifat senang bohong sebab Allah mengutuk orang yang banyak berbohong. Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta (QS Adz-Dzaariyaat [51]: 10).

Tinggalkanlah sikap (suka) bohong, sebab jika itu kita lakukan, siksa yang pedih di neraka menanti. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (QS Al-Baqarah [2]: 10). Hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga. Selama seorang benar dan selalu memilih kebenaran dia tercatat di sisi Allah seorang yang benar (jujur). Hati-hatilah terhadap dusta. Sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Selama seorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta / pembohong (HR Bukhari).

Suka berbohong bukanlah sifat seorang Mukmin. Jadi, jauhilah! Seseorang yang membohongi temannya (atau, jika seseorang itu sedang berstatus sebagai penguasa maka yang dibohongi adalah rakyatnya) adalah pengkhianat besar. Suatu khianat besar bila kamu berbicara kepada kawanmu dan dia memercayai kamu sepenuhnya, padahal dalam pembicaraan itu kamu berbohong kepadanya. (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Memang, di dalam keadaan tertentu (khusus) ada perkecualian yaitu boleh berbohong. Berdasar HR Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud kita tahu bahwa bohong itu diperkenankan hanya dalam tiga hal yaitu bohong untuk mendamaikan perselisihan di antara manusia, bohong dalam (menyimpan strategi) perang, dan bohong demi menguatkan keharmonisan pasangan suami-istri.

Sebagai contoh, perhatikanlah riwayat berikut ini: Pada suatu ketika, ada seseorang yang sedang mencari-cari musuhnya dan berniat akan berkelahi dengannya. Kebetulan, dia berpapasan dengan Nabi Muhammad SAW yang sedang berdiri di sebuah tempat.

Bertanyalah orang itu kepada Nabi SAW, bahwa apakah Nabi SAW melihat seseorang lewat di situ? Sebelum menjawab pertanyaan itu, Nabi SAW menggeser posisi tempat berdirinya, dan barulah berkata bahwa, “Sejak saya berdiri di sini, saya belum pernah melihat orang lain selain Anda.”

Tentu saja, apa yang disampaikan Nabi SAW itu memang benar secara faktual! Bukankah sejak Nabi SAW berdiri di posisinya yang baru itu beliau memang belum melihat orang lain selain orang yang bertanya itu?

Jadi, agar selamat dunia-akhirat, janganlah sekali-kali kita berbohong kecuali dalam konteks tiga hal yang diperbolehkan seperti yang dijelaskan di atas.

 Terakhir, mari praktikkan secara bersama-sama sebagaimana yang pernah diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,  "Jangan ada dusta di antara kita." []  

Potret Negara Gagal Mengatasi Gizi



Oleh: Andi Perdana Gumilang
SETIAP tanggal 25 Januari Indonesia memperingati hari gizi nasional. Hari di mana seharusnya, tidak ada lagi warga di seluruh Indonesia yang kekurangan gizi karena orangtuanya tidak mampu memberikan asupan makanan yang layak.
Namun ironisnya ternyata masih ada balita maupun anak-anak yang menderita gizi buruk dan busung lapar karena kurangnya kepedulian pemerintah terhadap pelayanan kesehatan, kita pantas prihatin karena pasokan gizi yang diperoleh rakyat kecil masih sangat terbatas. Mereka mengalami penyakit akibat kebutuhan gizi yang diperlukan tubuh tidak terpenuhi.
Contoh yang bisa jadi pelajaran adalah kasus yang dialami oleh Adita. Balita berusia 1 tahun 11 (23 bulan) bulan ini hanya bisa merangkak di lantai rumahnya. Dengan berat badan 6,9 kilogram putri pasangan Arip Budiman, 26, dan Sabrina, 32, divonis gizi buruk setelah kedua orang tuanya tidak mampu memberikan asupan makanan yang bergizi lantaran didera kemiskinan. Kondisinya diperparah dengan HIV/AIDS yang diderita. (poskota online, 25/1/2011)
Peristiwa yang dialami Adita membuktikan bahwa program pengentasan kemiskian dan bantuan mengatasi permasalahan gizi oleh pemerintah tidak menyentuh ke masyarakat.
Program yang dirancang ternyata hanya meyelesaikan warga miskin menengah saja. Lebih dari itu warga paling miskin yang pada umumnya tinggal di kolong jembatan, pemukiman kumuh serta yang ada di perkampungan illegal yang diduga terdapat warga yang kekurangan gizi ironisnya tidak diakui oleh pemerintah. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya penggusuran yang dilakukan pemerintah, mereka seolah diberangus dengan program penggusuran sehingga menimbulkan kemiskinan baru.
Hal ini seharusnya menjadi pengingat kita bahwa janji mewujudkan kesejahteraan rakyat yang selalu digemakan setiap rezim di negeri ini dalam sistem demokrasi kapitalis sekuler ternyata pada faktanya berjalan semakin terjal bahkan janji tersebut hanya sekedar janji kosong yang tidak dirasakan oleh rakyat.
Hingga kini jumlah penduduk miskin masih sangat banyak. Menurut ukuran pemerintah jumlahnya sekitar 30 juta orang. Namun bila angka kemiskinan memakai ukuran Bank Dunia, jumlahnya menjadi tiga kali lebih besar, yaitu sekitar 100 juta jiwa. Di atas kertas, ekonomi memang tumbuh. Namun, pada faktanya, pertumbuhan tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan.
Kondisi negara ini sungguh memperihatinkan di tengah kian menjauhnya jalan menuju kesejahteraan, rakyat bawah yang jumlahnya mayoritas malah dihimpit beban yang semakin berat bahkan kini tengah terjadi krisis pangan, harga kebutuhan pokok meroket, daya beli rakyat menurun, ekonomi makin sulit serta adanya rencana pembatasan BBM bersubsidi menjadi rangkaian penambah beban berat masyarakat.
Seremonial
Hari gizi nasional yang diperingati setahun sekali pada 25 Januari 2011 nampaknya hanya sekadar seremonial belaka tanpa aksi nyata untuk menanggulangi masalah gizi buruk yang terjadi selama ini.
Hal ini terbukti ada sebanyak 4 juta anak Indonesia kurang gizi. Rakyat terpaksa berutang, mengurangi makan atau makan seadanya seperti nasi tiwul (yang telah mengakibatkan 6 orang meninggal) atau bunuh diri. Kejadian ini hendaklah menjadi catatan pemerintah untuk berbenah dan mengevaluasi pemimpin dan sistem yang diterapkan.
Karena itu, kini saatnya tak perlu alergi melirik sistem yang baik dan membuang sistem gagal. Sebagai gantinya adalah sistem yang bersumber dari Dzat Yang Maha Benar, dari yang Maha Tahu. Tak ada salahnya jika menghadirkan pemimpin yang baik, yang mau tunduk pada wahyu. Yang memimpin dengan penuh amanah yang mau peduli terhadap rakyat sehingga Indonesia menjadi lebih baik.
Penulis adalah alumni IPB dan Kontributor Redaksi Website LDK BKIM   
Keterangan: Derita gizi buruk menimpa Rafi, korban Tsunami/detikcom 

Partai Bulan Bintang : Hukuman Ariel Tidak Selesaikan Masalahnya



 
Senin, 31 Januari 2011 
Hidayatullah.com--Vonis  3,5 tahun dan denda Rp 250 juta kepada Azriel Ilham atau Ariel Paterpan dinilai tidak menyelesaikan masalah. Sebab, apa yang dilakukan pelaku adalah perbuatan zina. Sementara hukum zina dalam Islam tak bisa dinegoisasikan.
"Bila Ariel benar melakukan perbuatan zina, maka berapapun lama hukuman penjara, tidak akan menghapus perbuaran dosanya. Jenis hukuman zina dalam Islam telah ditentukan dan termasuk yang tidak dapat dinegosiasi. Bagi yang dihukum dengan cara lain, maka di akhirat akan diadili ulang, " demikian rilis yang disampaikan Sekjen DPP Partai Bulan Bintang (PBB), BM Wibowo kepada hidayatullah.com, Senin (31/1) siang.
Menurut Bowo, orang bebas memilih apakah perkara zinanya akan diselesaikan dengan cara duniawi atau sekaligus ukhrawi. Orang juga boleh berfantasi untuk mengatur cara menghukum perbuatan zina, tetapi hendaklah ingat bahwa jenis ini merupakan domain Tuhan. Orang lain tidak diuntungkan dan dirugikan secara langsung oleh perbuatan ini.
Menurut PBB, bisa saja orang menganggap hukuman pada Ariel terlalu ringan atau terlalu berat. Namun dalam kasus perbuatan zina, harus diingat bagi si pelaku, berapapun hukuman penjara, tidak akan menghapus perbuaran dosanya karena di akherat akan diminta pertanggungjawaban. *

Hidayatullah.com - PBB: Hukuman Ariel Tidak Selesaikan Masalahnya

Hidayatullah.com - PBB: Hukuman Ariel Tidak Selesaikan Masalahnya

Abu Bakar Ba'asyir Diadili di Pengadilan Jakarta


Sesudah menjalani perawatan yang cukup lama di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, akibat penyakit katarak, ulama dan pemimpin Jamaah Ansharut Thauhid, akhirnya diputuskan tempat sidangnya akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta.

Abu Bakar Ba'asyir yang sudah pernah dipenjara dengan tuduhan terlibat dalam tindak terorisme dan menjadi Amir Jamaah Islamiyah, kini ulama yang sudah lanjut usia akan menjalani lagi sidang  di Pengadilan Jakarta. "Sidang di pengadilan," ucap Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, M Yusuf, kepada Kompas.com, Rabu (26/1), ketika ditanya kepastian lokasi sidang.
Mengenai berkas dakwaan Baasyir, kata Yusuf, hingga saat ini masih disusun oleh tim jaksa penuntut umum (JPU). Dia belum dapat memastikan kapan perkara dilimpahkan ke pengadilan. "Sekarang sudah tahap finalisasi," kata Yusuf.
Seperti diberitakan, Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan telah beberapa kali berkoordinasi untuk menentukan lokasi sidang demi keamanan. Pada kasus Baasyir tahun 2004, sidang digelar di Auditorium Departemen Pertanian dengan alasan keamanan.
Kini, Amir Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) itu dijerat dengan sangkaan terlibat pelatihan militer kelompok terorisme di pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar. Menurut Polri, Baasyir memiliki peran besar, yakni perencana dan pendana. Sementara itu, Baasyir menuding adanya rekayasa terkait kasusnya.
Abu Bakar Ba'asyir ditangkap Densus 88, di daerah Ciamis, saat akan kembali ke Solo, sesudah menghadiri pengajian di kota itu. Penangkapan Abu Bakar Ba'asyir itu, terjadi saat menjelang kedatangan Presiden AS Barack Obama ke Jakarta. (mn/kps)

Dedengkot PDIP Ditangkap KPK



Dedengkot PDIP, Panda Nababan di jemput paksa oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bandara Soekarno Hatta. Hal itu dibenarkan oleh Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait tentang penjemputan paksa itu. Nampaknya, KPK akan memenjarakan para anggota DPR yang sudah makan 'travelers check', saat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Gultom.
"Ya Pak Panda dijemput paksa oleh KPK sekitar dua jam yang lalu di Bandara Soekarno Hatta. Beliau rencananya mau berangkat ke Rakornas PDIP di Batam. Kan nanti malam kita ada acara Rakornas di sana," jelasnya Maruarar Sirait kepada wartawan.
Maruarar yang akrab dipanggil Ara mengaku mendengar kepastian informasi tersebut dari pihak KPK. "Saya tadi sudah menghubungi pihak KPK, dan betul," katanyanya.
Menurut Ara, PDIP menghormati langkah KPK dan menghormati proses hukum yang berjalan di KPK. "Kita hormati KPK, kita hormati hukum," tegasnya.
Namun, imbuh Ara, PDIP minta kepada KPK agar menuntaskan semua kasus yang menjadi perhatian publik. "Kita minta kepada KPK di bawah kepemimpinan Pak Bursyro agar menuntaskan semua kasus yang menjadi perhatian publik, seperti pemilihan deputi senior gubernur BI, Century, dan Gayus," pintanya.
Ara menegaskan PDIP sampai saat ini tetap konsisten tetap berada di jalur oposisi meski ada tekanan dari pihak manapun. "Kami konsisten jadi oposisi. Kami tidak akan tunduk pada tekanan-tekanan dari pihak manapun," tutupnya.
Sebelumnya politisi senior PDIP Panda Nababan, dijemput paksa oleh KPK dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Panda dijemput paksa untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus cek pelawatan dalam pemilihan Deputi Dewan Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom. Panda bersama 26 orang mantan dan anggota DPR RI menjadi tersangka, mereka akan menjadi penghuni bui. Konon, Panda mendapatkan Rp 1,4 miliar dari pemilihan Miranda Gultom itu.
Langkah-langkah KPKini merupakan tindak lanjut keputusan lembaga penegak hukum itu, yang sudah menetapkan 26 orang anggota DPR yang menjadi tersangka. Tak ada yang dapat menolong mereka.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menahan 13 tersangka anggota DPR Komisi IX 1999-2004 terkait kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom.
Saat dikonfirmasi terkait rencana ini, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar hanya menjawab singkat pertanyaan wartawan. "Insya Allah," jawab Haryono melalui pesan singkat kepada wartawan di KPK, Jakarta, Jumat (28/1).
Hari ini KPK sudah memeriksa 13 orang tersangka, dari 26 tersangka yang diagendakan diperiksa hari ini. Bahkan KPK sempat menjemput paksa salah satu tersangka Panda Nababan dari Bandara Soekarno-Hatta.
Saat dijemput, Panda ingin terbang ke Batam untuk mengikuti acara Rapimnas DPP Parati Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyatakan akan menahan 13 tersangka anggota DPR Komisi IX 1999-2004, terkait kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom.
Saat dikonfirmasi terkait rencana ini, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar hanya menjawab singkat pertanyaan wartawan. "Insya Allah," jawab Haryono melalui pesan singkat kepada wartawan di KPK, Jakarta, Jumat (28/1). (m/ilh)