Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 31 Januari 2011

Jangan Mau Menjadi “Negara Kacung”



  
Beberapa saat lalu media di Indonesia sontak riuh ramai dengan tragedi penganiayaan dan kematian TKW Indonesia di Arab Saudi. Kejadian yang memilukan hati itu telah mengusik ketenangan rakyat Indonesia. Kecaman dan cacian langsung ditujukan kepada pihak-pihak terkait. Pemerintah pun segera merespon dengan melakukan berbagai tindakan advokasi. Hal terakhir yang dijadikan solusi adalah pemerintah akan memberikan telepon seluler bagi para TKI/TKW. Sebuah solusi instan dan tidak menyentuh akar permasalahan kiranya.
 
Sejatinya, kemelut TKI adalah karena rakyat sudah tidak menjadi tuan di negerinya sendiri dan di negeri orang lain. Rakyat selalu diposisikan sebagai ‘babu’ dimanapun mereka berada. Hal ini bukan terjadi secara alamiah, namun hasil dari pemerintahan yang sejak awal selalu didikte oleh kapitalisme negara-negara super power.
 
Negara juga terlalu sibuk melayani keinginan kaum kapitalis untuk berbagi kue sumber daya alam dan manusia di Indonesia. Akhirnya negara ini menjadi negara kacung dari hulu hingga hilir, di negerinya sendiri maupun di negeri orang lain.Rakyat yang bodoh terus dibiarkan terbelakang, rakyat yang pintar terus membodohi rakyat dengan kelicikannya. Semua ini terjadi demi good service bagi kaum kapitalis. Karena baiknya pelayanan kapitalisme di Indonesia, sampai mereka  menganggap Indonesia  sebagai “hadiah yang terkaya bagi penjajah” di dunia.
 
Ironis memang, negara dengan sumber daya alam yang melimpah dan jumlah penduduk berkategori besar di kawasan asia bahkan dunia telah menjadi bahan eksploitasi tiada henti. Negara yang kaya akan sumber daya alam bahkan rakyatnya harus terlunta-lunta di negeri tetangga dengan memohon iba. Pemerintahnya pun sama, setiap APBN yang dianggarkan adalah hasil mengiba atau hasil pencekokan hutang oleh negara kreditur.
 
Sejarah penggembosan potensi negara Indonesia telah terjadi cukup panjang. Pengakuan  kemerdekaan  Indonesia  dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) terjadi setelah pemerintah Indonesia mau menanggung beban utang luar negeri yang dibuat oleh Hindia Belanda. Praktis sejak tahun 1950, pemerintah Indonesia serta merta memiliki utang yang terdiri dari utang luar negeri warisan Hindia Belanda senilai US$ 4 miliar dan utang luar negeri baru Rp 3,8 miliar.
 
Beban hutang yang ditimpakan kepada Indonesia telah serta-merta memposisikan Indonesia berada di bawah tekanan pihak pemberi hutang ketika harus membuat hutang baru. Dalam periode 1950-1956 pembuatan utang selalu diikuti dengan adanya intervensi dari pemberi utang (asing).
 
Tercatat pada tahun 1950, Indonesia harus rela menerima penundaan pencairan hutang dari pemerintah AS sebesar  US$100 juta setelah Indonesia tidak mau segera mengakui keberadaan pemerintahan Bao Dai di Vietnam.
 
Pada  era  pemerintahan  Soeharto,  selain  Indonesia diposisikan dalam kontrol  IMF  dan  Bank  Dunia,  kedua  jenis warisan utang  pada  masa  Soekarno  juga  disepakati  untuk dibayar. Utang luar negeri warisan Hindia Belanda disepakati untuk  dibayar  selama  35  tahun  terhitung  sejak  1968, sehingga  lunas  pada  2003.  Sedangkan  utang  luar  negeri warisan Soekarno disepakati untuk dibayar selama 30 tahun terhitung sejak 1970, dan bakal lunas pada 1999.
 
Namun demikian, para pemegang otoritas kebijakan ekonomi Indonesia era Orde Baru diisi oleh orang-orang yang dibina oleh pemerintah Amerika Serikat. Mereka membawa perekonomian Indonesia ke arah ekonomi pasar liberal. Alhasil, selain menunda pembayaran utang luar negeri selama beberapa tahun, para pejabat yang memegang kebijakan ekonomi juga menggalang pembuatan utang luar negeri baru, dan membuka pintu bagi masuknya investasi asing secara besar-besaran ke Indonesia.
 
Kegiatan ”Menjual negara” tidak hanya sampai era Orde Baru. Bahkan sampai saat ini hal itu masih berlanjut. IMF selalu mengawasi dengan ketat pelaksanaan Letter of Intent (LoI) dengan Indonesia. Banyak dari butir-butir dalam LoI yang merugikan bangsa Indonesia, antara lain ketika Menko EKUIN dijabat oleh Kwik Kian Gie. Waktu itu Kwik Kian Gie harus merelakan bea masuk untuk impor beras dan gula harus nol persen, sedangkan ketika itu produksi dalam negeri melimpah. Semua ini terjadi karena tekanan kapitalisme masih mencengkram Indonesia.
 
Kwik Kian Gie juga pernah mengatakan bahwa jumlah hutang Indonesia yang luar biasa besar adalah kesalahan negara-negara pemberi hutang yang sejak tahun 1967 menggerojok hutang kepada Indonesia melalui IGGI/CGI. Selaiknya, negara donor harus melihat kemampuan membayar hutang oleh Indonesia sebelum menggelontorkan hutang kepada Indonesia. Namun semua hutang yang mencekik perekonomian Indonesia terlihat dipaksakan agar Indonesia bersedia menyerahkan semua kekayaan alamnya kepada Neo-Imperialisme.
 
Saat ini Indonesia dikenal sebagai negara dengan upah buruh yang rendah. Selain itu sistem pendidikan di Indonesia lebih menekankan lulusan menjadi operator yang mumpuni di industri tetapi tidak menekankan pendidikan optimalisasi tata kelola kekayaan alam Indonesia secara independen. Semua ini masih diperparah dengan mahalnya biaya pendidikan, akhirnya hanya kalangan “beruntung” saja yang dapat menikmati pendidikan tinggi.
 
Sementara pembangunan ekonomi yang katanya agraris telah membabat habis ladang dan sawah milik rakyat untuk industri dan properti. Rakyat yang bodoh tak berdaya terhimpit kebutuhan ekonomi dan kian terhasut budaya konsumerisasi. Maka pelarian  menggiurkan adalah bekerja sebagai ‘babu’ di negeri orang.
 
Akhirnya rakyat menjadi “kacung”. Para sarja menjadi “kacung-kacung” para kapitalis di negeri sendiri. Sementara mereka yang tak bersekolah menjadi “kacung” di negeri orang. Pertanyaan besarnya, sampai kapan kita bisa menjadi Negara mandiri dan terhormat, yang mengirim rakyatnya ke negeri seberang hanya menjadi “kacung-kacung”?
 
*)Penulis adalah Dewan Pembina Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI) Periode 2010 - Sekarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar