Awal minggu ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam orasi di acara deklarasi Ormas Nasional Demokrat (Nasdem) Jawa Barat di Bandung, menyoroti pendekatan materi yang telah melunturkan nilai-nilai kejujuran dan moralitas bangsa. Sultan berbicara dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Nasdem. Katanya, "Uang kenyataannya mampu membeli martabat manusia sehingga pemimpin dan masyarakat hidup dalam kebohongan." Sambungnya, "Nasional Demokrat akan mengembalikan peradaban menjadi beradab. Kearifan lokal yang ditanamkan para leluhur sungguh-sungguh menjadi roh dalam kehidupan bangsa Indonesia."
Menilik kemelut yang kita hadapi sekarang, khususnya menyangkut kasus Gayus dan mafia-mafia hukum serta perpajakan--yang berlarut-larut hampir satu tahun--maupun korupsi yang merambah ke mana-mana, kita umumnya sepakat dengan pendapat tersebut, walaupun kita mendapat keterangan resmi yang serbapositif tentang situasi ekonomi, termasuk bahwa pertumbuhan ekonomi bagus dan angka kemiskinan menurun. Kenyataan yang kita hadapi sehari-hari membuat kita bertanya-tanya, mengapa harga-harga bahan pangan naik dan ketimpangan begitu mencolok. Itu tentunya yang mendorong 99 LSM dan Tokoh mendeklarasikan Tritura--Tiga Tuntutan Rakyat: Presiden harus memimpin sendiri usaha melawan korupsi; membersihkan lembaga-lembaga penegak hukum serta lembaga-lembaga negara lainnya, dari pejabat-pejabat yang menjadi bagian mafia hukum; KPK wajib menuntaskan kasus Gayus.
Yang kita khawatirkan, sesuai sifat hakiki manusia, dalam keadaan terdesak tidak ada kepentingan yang lebih tinggi dari kepentingan sendiri. Ini berlaku bagi individu, kelompok, maupun negara. Akibatnya, semua berkiprah dalam lingkaran setan dalam rangka mengutamakan kepentingan pribadi. Lacurnya, dalam gejolak yang ada sekarang masih ada saja yang siap menunggu kesempatan. Materialisme rupanya sedang bergerak secara kolosal untuk mencengkeram korban-korbannya.
Mengkaji kelemahan sendiri
Dalam kehidupan sosial kita di zaman ini, semua-semua menjadi komoditas. Jabatan menjadi komoditas. Wewenang menjadi komoditas. Ikut dengar menjadi komoditas. Apakah mungkin semua ini akibat limpahan konsep berdagang; dimungkinkan oleh orientasi bisnis dan pasar? Kesuksesan elite pedagang--pedagang murni--rupanya telah menimbulkan kecemburuan sosial. Banyak yang ingin mencapai sukses serupa, sekalipun profesinya bukan di sana. Ada pengaburan nilai-nilai. Kekuasaan dan prestise saja tidak lagi mencukupi. Untuk senang, perlu atribut tambahan. Mungkin itu yang menimbulkan tumbuhnya ide membuat segalanya menjadi komoditas.
Konsep kekayaan amat kompleks. Sesuai etika yang dipegang masing-masing, penafsiran mengenai yang disebut sumber-sumber kekayaan menjadi berbeda-beda. Tidak jelas lagi beda antara broker dan orang yang menjual wewenang, antara hadiah dan uang dengar. Namun ada yang mencoba melempar kesalahan pada ide materialisme yang menyebar ke benak masyarakat kita akibat pengaruh luar, yang tersalur lewat arus informasi. Sampai sekarang masih ada anggapan, negara-negara maju meningkatkan arus informasinya demi kepentingan ekonomi dan politiknya. Arus informasi dari mereka bisa mengarahkan pandangan dan jalan hidup kita, bisa membuat kita patuh pada norma-norma yang diinformasikan. Contohnya: penyebaran ide pasar bebas yang memberi persepsi lebih baik dari sistem ekonomi lainnya. Dalam konstelasi politik dan ekonomi dunia sekarang, tentu banyak di antara kita yang curiga. Kolonisasi berabad-abad, yang baru tuntas di abad-20, telah meninggalkan bekas yang terlalu dalam dan menyakitkan.
Konsep-konsep lain untuk pilihan
Sebenarnya ada anggapan bahwa, di bidang ekonomi, masyarakat dunia sedang mencapai persimpangan di jalan sejarah yang unik, yakni bahwa sistem perekonomian yang berjalan sekarang harus membuat pilihan pada akhirnya. Ralf Dahrendorf, ahli teori tahun 70-an, dalam karyanya The New Liberty menulis, "Di negara-negara maju, yang menganut ekonomi pasar, yang masyarakatnya terbuka dan menjalankan demokrasi, tema kemajuan dengan dimensi tertentu cenderung ditinggalkan. Tema yang baru bukan lagi ekspansi, tetapi apa yang saya namakan penyempurnaan--suatu pertumbuhan kualitatif, bukan kuantitatif."
Bukan pertama kali seorang sarjana ilmu soial mengemukakan pendapat atau keinginan bahwa pertumbuhan ekonomi hendaknya diganti dengan penyempurnaan kualitatif. Filosof Inggris John Stuart Mill (1806-1873), yang terkenal sebagai pembela HAM, menulis dalam Principles of Political Economy bahwa dia mengakui tidak pernah tertarik pada kehidupan ideal yang dicanangkan mereka yang mengira bahwa berjuang keras demi kemajuan adalah wajar; dan bahwa saling menindas, saling menghancurkan, saling menyikut dan saling menginjak--yang menjadi ciri kehidupan sosial yang ada sekarang--memang menjadi pilihan kita. Padahal menurut pendapat dia, manusia ada pada sifatnya yang terbaik bila: sementara tidak ada yang melarat di antara kita, namun juga tidak ada yang ingin menjadi lebih kaya, dan juga tidak ada alasan untuk merasa takut akan terdesak karena yang lain-lain ingin maju. Mill menambahkan, "Bahwa modal dan manusia tidak bergerak, bukan berarti manusia tidak mengalami perbaikan."
Pendapat John Stuart Mill jelas tidak sesuai dengan spirit yang populer di masa sekarang; namun selaras dengan ajaran ekonomi Buddha seperti yang diutarakan EF Schumacher dalam Small is Beautiful. Katanya, fungsi berkarya ada tiga: memberi kesempatan untuk memanfaatkan dan mengembangkan kemampuan; memungkinkan mengatasi sikap egosentris dengan saling bergabung demi tujuan bersama dan menghasilkan barang-barang dan jasa demi kehidupan yang layak. Lebih dari 2300 tahun sebelumnya, Plato (427-447 SM) maupun Aristoteles (384-322 SM) berpendapat senada, yakni bahwa besarnya kekayaan yang kita himpun jangan melebihi kebutuhan yang wajar. Jika lebih dari itu, usaha mengejar kekayaan tidak akan memberikan manfaat yang kita perlukan.
Terserah pada kita masing-masing sikap mana yang kita pilih. Kita bisa memetik pelajaran dari kehebohan yang ditimbulkan Gayus dan mafia hukum serta perpajakan. Seperti kata Aristoteles dalam Politics, "Orang yang baik akan mampu bertahan dalam kemiskinan, sakit, atau kemalangan lain; tetapi dia merasa hanya akan berbahagia kalau keadaannya sebaliknya....Ini yang membuat manusia berilusi bahwa kekayaan lahiriah merupakan sumber kebahagiaan."
Oleh Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Grou
p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar