PEMERINTAH memutuskan untuk menghapus semua bea masuk untuk produk pangan. Langkah tersebut dilakukan untuk menghindari terjadi krisis pangan menyusul ancaman kegagalan panen di beberapa sentra produksi yang bisa mempengaruhi stok pangan nasional.
Sepintas langkah itu baik untuk mencegah terjadinya krisis pangan. Namun kebijakan untuk membebaskan semua bea masuk produk pangan merupakan kebijakan bunuh diri. Memang kebijakan itu dalam jangka pendek bisa menyelamatkan kita dari krisis pangan, namun untuk jangka panjang mematikan pertanian di dalam negeri.
Pemerintah selalu keberatan dikatakan hanya mementingkan pencitraan. Namun banyak kebijakan yang dikeluarkan hanya berorientasi kepentingan jangka pendek dan tidak mempertimbangkan akibat buruk yang akan terjadi di masa depan.
Kebijakan penghapusan bea masuk produk pangan jelas merupakan langkah untuk mengendalikan angka inflasi. Pemerintah khawatir kalau inflasi sampai melonjak tinggi dianggap gagal mengelola perekonomian.
Dengan membuka keran impor memang diharapkan stok pangan mencukupi dan inflasi bisa dikendalikan. Dengan kebutuhan pokok yang melimpah serta harga yang terjangkau lalu seakan-akan kita bisa membohongi diri bahwa negeri ini sejahtera dan memiliki pangan yang melimpah.
Padahal di tengah bahan pangan yang melimpah dan harganya yang murah ada jutaan petani yang semakin menderita. Dengan harga pangan yang dikendalikan, sementara biaya sarana produksi mengikuti harga pasar, petani mempunyai margin yang sangat tipis.
Membanjirnya produk impor membuat harga jual petani akan semakin tertekan. Para pedagang perantara semakin leluasa untuk memainkan harga guna menekan petani, sementara Badan Urusan Logistik enggan untuk menyangga harga petani karena sudah memiliki stok yang mencukupi dan sudah mengantungi keuntungan besar dari produk pangan impor.
Sebagai seorang doktor pertanian, Presiden pasti tahu akan konsekuensi itu. Dengan masih begitu besarnya penduduk yang hidup dari sektor pertanian, seharusnya pemerintah memperhatikan kehidupan mereka dan mempertimbangkan betul akibat yang harus dihadapi kelompok petani dari setiap kebijakan yang akan dikeluarkan.
Kita memang pantas merasa prihatin dengan kehidupan saat ini. Pemerintah selalu muncul dengan angka-angka yang menyebutkan nilai tukar petani meningkat, namun kenyataannya kehidupan petani semakin menderita.
Pendapatan petani di Jawa Barat misalnya, setiap hari hanya sekitar Rp 2.000. Ini jauh di bawah pendapatan tukang ojek yang bisa mengantungi sampai Rp 25.000 dari kegiatannya sehari-hari.
Dengan kondisi seperti itu, tidak usah heran apabila banyak petani yang kemudian beralih profesi. Namun dengan kompetensi yang terbatas, mereka hanya bisa masuk ke dalam lapangan kerja yang informal.
Ini jelas memberikan kerugian ganda bagi kita sebagai bangsa karena kita harus kehilangan orang-orang terampil di sektor pertanian. Namun yang kedua, dengan terjun ke sektor informal, pertumbuhan ekonomi nasional kita semakin tidak sehat.
Celakalah bangsa ini kalau pemerintah tidak memahami kenyataan ini. Karena akibat selanjutnya yang seringkali terjadi adalah apa yang disebut sebagai double jeopardy. Di satu sisi nilai tukar petani terus menurun, tetapi di sisi lain harga kebutuhan pokok justru melambung.
Pemerintah harus bisa menjamin bahwa kebijakan ini hanya bersifat jangka pendek yakni tiga bulan saja. Selama tiga bulan ini pemerintah harus keluar dengan konsep perbaikan pembangunan pertanian yang bukan hanya berorientasi kepada peningkatan produksi, tetapi juga perbaikan pendapatan keluarga petani.
Tidak ada alasan bagi negeri ini tidak mampu menjadi negara pertanian yang unggul. Kita bukan hanya memiliki lahan yang begitu luas, tetapi iklim yang lebih baik dari negara-negara lain. Kita juga memiliki sumber daya manusia yang tidak kalah, termasuk ahli-ahli pertanian yang mumpuni.
Persoalan pada kita adalah ketidakmauan untuk mencanangkan diri sebagai negara pertanian yang unggul. Negara pertanian yang bukan hanya sekadar menghasilkan produk-produk primer, tetapi ditopang oleh industri yang mampu memberikan nilai tambah.
Pilihan sebagai negara industri yang berbasis pertanian dan energi sebenarnya merupakan pilihan terbaik bagi bangsa ini. Namun kita tidak pernah berani untuk menyatakan itu dan secara sungguh-sungguh menjadi itu.
Kita baru teringat akan apa yang sebenarnya menjadi kekuatan kita ketika terjadi ancaman krisis. Namun semua menjadi serba terlambat apalagi respons selalu reaktif yakni membuka keran impor dengan bea masuk nol persen. Kalau seperti ini pilihan kita, maka kita sedang menuju ke arah kehancuran. Kita sebenarnya sedang melakukan bunuh diri.
Sepintas langkah itu baik untuk mencegah terjadinya krisis pangan. Namun kebijakan untuk membebaskan semua bea masuk produk pangan merupakan kebijakan bunuh diri. Memang kebijakan itu dalam jangka pendek bisa menyelamatkan kita dari krisis pangan, namun untuk jangka panjang mematikan pertanian di dalam negeri.
Pemerintah selalu keberatan dikatakan hanya mementingkan pencitraan. Namun banyak kebijakan yang dikeluarkan hanya berorientasi kepentingan jangka pendek dan tidak mempertimbangkan akibat buruk yang akan terjadi di masa depan.
Kebijakan penghapusan bea masuk produk pangan jelas merupakan langkah untuk mengendalikan angka inflasi. Pemerintah khawatir kalau inflasi sampai melonjak tinggi dianggap gagal mengelola perekonomian.
Dengan membuka keran impor memang diharapkan stok pangan mencukupi dan inflasi bisa dikendalikan. Dengan kebutuhan pokok yang melimpah serta harga yang terjangkau lalu seakan-akan kita bisa membohongi diri bahwa negeri ini sejahtera dan memiliki pangan yang melimpah.
Padahal di tengah bahan pangan yang melimpah dan harganya yang murah ada jutaan petani yang semakin menderita. Dengan harga pangan yang dikendalikan, sementara biaya sarana produksi mengikuti harga pasar, petani mempunyai margin yang sangat tipis.
Membanjirnya produk impor membuat harga jual petani akan semakin tertekan. Para pedagang perantara semakin leluasa untuk memainkan harga guna menekan petani, sementara Badan Urusan Logistik enggan untuk menyangga harga petani karena sudah memiliki stok yang mencukupi dan sudah mengantungi keuntungan besar dari produk pangan impor.
Sebagai seorang doktor pertanian, Presiden pasti tahu akan konsekuensi itu. Dengan masih begitu besarnya penduduk yang hidup dari sektor pertanian, seharusnya pemerintah memperhatikan kehidupan mereka dan mempertimbangkan betul akibat yang harus dihadapi kelompok petani dari setiap kebijakan yang akan dikeluarkan.
Kita memang pantas merasa prihatin dengan kehidupan saat ini. Pemerintah selalu muncul dengan angka-angka yang menyebutkan nilai tukar petani meningkat, namun kenyataannya kehidupan petani semakin menderita.
Pendapatan petani di Jawa Barat misalnya, setiap hari hanya sekitar Rp 2.000. Ini jauh di bawah pendapatan tukang ojek yang bisa mengantungi sampai Rp 25.000 dari kegiatannya sehari-hari.
Dengan kondisi seperti itu, tidak usah heran apabila banyak petani yang kemudian beralih profesi. Namun dengan kompetensi yang terbatas, mereka hanya bisa masuk ke dalam lapangan kerja yang informal.
Ini jelas memberikan kerugian ganda bagi kita sebagai bangsa karena kita harus kehilangan orang-orang terampil di sektor pertanian. Namun yang kedua, dengan terjun ke sektor informal, pertumbuhan ekonomi nasional kita semakin tidak sehat.
Celakalah bangsa ini kalau pemerintah tidak memahami kenyataan ini. Karena akibat selanjutnya yang seringkali terjadi adalah apa yang disebut sebagai double jeopardy. Di satu sisi nilai tukar petani terus menurun, tetapi di sisi lain harga kebutuhan pokok justru melambung.
Pemerintah harus bisa menjamin bahwa kebijakan ini hanya bersifat jangka pendek yakni tiga bulan saja. Selama tiga bulan ini pemerintah harus keluar dengan konsep perbaikan pembangunan pertanian yang bukan hanya berorientasi kepada peningkatan produksi, tetapi juga perbaikan pendapatan keluarga petani.
Tidak ada alasan bagi negeri ini tidak mampu menjadi negara pertanian yang unggul. Kita bukan hanya memiliki lahan yang begitu luas, tetapi iklim yang lebih baik dari negara-negara lain. Kita juga memiliki sumber daya manusia yang tidak kalah, termasuk ahli-ahli pertanian yang mumpuni.
Persoalan pada kita adalah ketidakmauan untuk mencanangkan diri sebagai negara pertanian yang unggul. Negara pertanian yang bukan hanya sekadar menghasilkan produk-produk primer, tetapi ditopang oleh industri yang mampu memberikan nilai tambah.
Pilihan sebagai negara industri yang berbasis pertanian dan energi sebenarnya merupakan pilihan terbaik bagi bangsa ini. Namun kita tidak pernah berani untuk menyatakan itu dan secara sungguh-sungguh menjadi itu.
Kita baru teringat akan apa yang sebenarnya menjadi kekuatan kita ketika terjadi ancaman krisis. Namun semua menjadi serba terlambat apalagi respons selalu reaktif yakni membuka keran impor dengan bea masuk nol persen. Kalau seperti ini pilihan kita, maka kita sedang menuju ke arah kehancuran. Kita sebenarnya sedang melakukan bunuh diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar