PENDAPAT yang disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Prof Andi Hamzah pantas menjadi perhatian kita bersama. Bagaimana ilmu hukum yang dirumuskan secara ideal sebenarnya hidup di ruang-ruang kuliah Fakultas Hukum, namun gagal menjadi ilmu yang bisa dipraktikkan untuk membangun peradaban.
Keprihatinan itu kita yakini tidak hanya menghinggapi diri Prof Andi Hamzah. Para guru besar ilmu hukum lainnya pasti sedih melihat bagaimana ilmu yang mereka tekuni tidak mampu membantu menegakkan ketertiban hukum di negeri ini.
Seperti disampaikan Prof Yenti Ganarsih, kesalahan yang terjadi ini bukan terletak pada sisi ilmunya. Kesalahan itu terletak pada orang yang mengaplikasikan hukum tersebut. Kita semua ikut bertanggung jawab, karena penerapan hukum bukan hanya ditentukan di gedung pengadilan saja, tetapi mulai dari awal penyusunan undang-undang yang harus berkualitas di DPR, perguruan tinggi yang harus mampu menghasilkan sarjana hukum yang memiliki integritas, para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara yang harus kredibel, serta pemimpin nasional yang memiliki kemauan kuat untuk menjadikan hukum benar-benar bisa memberikan keadilan bagi rakyat.
Apa yang terutama dipertontonkan dari kasus Gayus Tambunan pantas membuat kita prihatin. Kita membiarkan hukum diinjak-injak tanpa ada penghormatan. Bahkan ketika kita tahu pun, kita tidak berupaya secara sungguh-sungguh untuk membuat terang benderang duduk perkara yang sebenarnya.
Bisa dibayangkan sulitnya para dosen ilmu hukum sekarang ini untuk bisa menjelaskan kepada para mahasiswa tentang bagaimana hukum seharusnya dipraktikkan . Semua teori-teori yang ada dijungkirbalikkan oleh ketidakprofesionalan polisi, jaksa, hakim, dan pengacara dalam mempraktikkan ilmu-ilmu yang dulu juga mereka pelajari di bangku kuliah.
Orang-orang yang mempraktikkan ilmu hukum tentunya diajari prinsip yang dulu disampaikan Plato yakni nemo prudens punit, quia pecatum, sed ne peccetur. Bahwa orang bijak tidak menghukum karena dilakukan dosa, tetapi agar tidak lagi terjadi dosa.
Ketika sekarang para penegak hukum berlagak pilon tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus Gayus, bukankah secara tidak langsung para penegak hukum tengah membiarkan negeri ini menjadi negeri para kriminal. Dengan hanya mencoba membatasi kasus ini sebagai kesalahan Gayus sendiri, berarti kita tengah membiarkan para kriminal lainnya untuk terus mengulangi kejahatannya.
Padahal Gayus di depan persidangan telah mengungkapkan begitu banyak nama yang menjadi bagian dari kejahatannya. Bahkan Gayus mengatakan bahwa mereka itu adalah "paus" dan "hiu" dari kasus yang sedang ia hadapi. Di sana ada pengusaha, ada jaksa, dan juga ada polisi yang sebenarnya ikut terlibat.
Kita memang dihadapkan kepada kesulitan besar ketika hukum harus menghukum para penegak hukum yang terlibat pelanggaran hukum. Bukan hukum yang tidak bisa melakukan itu, tetapi orang-orang yang melaksanakan hukum itulah yang tidak mau melakukannya, karena itu akan mengena kenapa dirinya atau setidaknya teman-teman penegak hukum itu sendiri.
Begitu jelas disebutkan nama-nama anggota polisi yang ikut menikmati uang hasil korupsi Gayus, namun hanya dua polisi rendahan yang dijebloskan ke dalam penjara yakni Komisaris Polisi Arafat Enanie dan Ajun Komisaris Polisi Sri Sumartini. Ada dua jaksa yang disebut-sebut merakayasa penuntutan hukum terhadap Gayus, namun hingga kini tetap jaksa itu tidak tersentuh.
Esais Jakob Sumardjo melihat bahwa apa yang sedang kita alami adalah hukum yang terbalik. Yang kerja keras tetap miskin, yang tak bekerja justru kaya; yang jujur selalu salah, yang tak jujur selalu benar; kejujuran adalah kebohongan, kebohongan adalah kejujuran; yang profesional tak dipakai, yang amatir justru berkuasa.
Negeri ini tidak akan bisa menjadi negeri yang memiliki peradaban apabila membiarkan semua itu terus terjadi. Bagaimana seorang guru besar yang telah pensiun sesudah mengabdikan diri mendidik para sarjana selama 40 tahun hanya mendapatkan pesangon pensiun sebesar Rp 34 juta dan uang pensiun setiap bulan Rp 2,5 juta. Sementara ada seorang pegawai pajak yang baru beberapa tahun bekerja berhasil merampok uang negara ratusan miliar dan akibat kesalahan itu hanya dihukum tujuh tahun penjara.
Begitu banyak absurditas yang terjadi di negeri ini, yang menurut Jakob Sumardjo membuat kriminal menjadi pahlawan bangsa, sementara pahlawan sejati menjadi kriminal. Negara ini sedang menjadi negara kaum kriminal, karena para kriminal bukan masuk penjara, tetapi menjadi pahlawan bangsa dengan berkedok menggunakan baju polisi dan juga jaksa.
Oleh karena itu, menurut Jakob Sumardjo, hukum terbalik ini harus dikembalikan menjadi hukum kewarasan. Caranya, yang ditindas menjadi penindas (ketidakbenaran), yang miskin menjadi kaya dan yang kaya (karena korupsi) dimiskinkan, yang profesional mengganti yang amatir, yang kriminal adalah kriminal dan yang pahlawan harus kita katakan pahlawan.
Di tengah ketidakmampuan penegak hukum untuk mengembalikan hukum kewarasan, maka yang harus tampil ke depan adalah pemimpin. Ia tidak bisa membiarkan kekacauan ini terus terjadi, tetapi tampil paling depan untuk menata kembali kehidupan sosial.
Kalau kita meminta pemimpin untuk tampil di depan, kita mengharapkan itu sungguh-sunguh dilakukan. Karena memang keadaannya sudah begitu memprihatinkan dan mereka yang dipercaya untuk memperbaiki semua ini, terbukti tidak mampu melakukan perintah yang sudah diberikan pemimpin.
Pendelegasian kepada Wakil Presiden sekali pun tidak akan bisa efektif, karena Wapres tidak memiliki kewenangan eksekutif. Wapres tidak mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan keputusan ataupun instruksi yang memiliki kekuatan hukum.
Kerusakan hukum yang kita hadapi tidak cukup lagi ditangani dengan cara mengawasi saja. Dibutuhkan tindakan yang tegas dan efektif agar kita bisa mengembalikan lagi hukum kewarasan di negeri ini.
Keprihatinan itu kita yakini tidak hanya menghinggapi diri Prof Andi Hamzah. Para guru besar ilmu hukum lainnya pasti sedih melihat bagaimana ilmu yang mereka tekuni tidak mampu membantu menegakkan ketertiban hukum di negeri ini.
Seperti disampaikan Prof Yenti Ganarsih, kesalahan yang terjadi ini bukan terletak pada sisi ilmunya. Kesalahan itu terletak pada orang yang mengaplikasikan hukum tersebut. Kita semua ikut bertanggung jawab, karena penerapan hukum bukan hanya ditentukan di gedung pengadilan saja, tetapi mulai dari awal penyusunan undang-undang yang harus berkualitas di DPR, perguruan tinggi yang harus mampu menghasilkan sarjana hukum yang memiliki integritas, para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara yang harus kredibel, serta pemimpin nasional yang memiliki kemauan kuat untuk menjadikan hukum benar-benar bisa memberikan keadilan bagi rakyat.
Apa yang terutama dipertontonkan dari kasus Gayus Tambunan pantas membuat kita prihatin. Kita membiarkan hukum diinjak-injak tanpa ada penghormatan. Bahkan ketika kita tahu pun, kita tidak berupaya secara sungguh-sungguh untuk membuat terang benderang duduk perkara yang sebenarnya.
Bisa dibayangkan sulitnya para dosen ilmu hukum sekarang ini untuk bisa menjelaskan kepada para mahasiswa tentang bagaimana hukum seharusnya dipraktikkan . Semua teori-teori yang ada dijungkirbalikkan oleh ketidakprofesionalan polisi, jaksa, hakim, dan pengacara dalam mempraktikkan ilmu-ilmu yang dulu juga mereka pelajari di bangku kuliah.
Orang-orang yang mempraktikkan ilmu hukum tentunya diajari prinsip yang dulu disampaikan Plato yakni nemo prudens punit, quia pecatum, sed ne peccetur. Bahwa orang bijak tidak menghukum karena dilakukan dosa, tetapi agar tidak lagi terjadi dosa.
Ketika sekarang para penegak hukum berlagak pilon tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus Gayus, bukankah secara tidak langsung para penegak hukum tengah membiarkan negeri ini menjadi negeri para kriminal. Dengan hanya mencoba membatasi kasus ini sebagai kesalahan Gayus sendiri, berarti kita tengah membiarkan para kriminal lainnya untuk terus mengulangi kejahatannya.
Padahal Gayus di depan persidangan telah mengungkapkan begitu banyak nama yang menjadi bagian dari kejahatannya. Bahkan Gayus mengatakan bahwa mereka itu adalah "paus" dan "hiu" dari kasus yang sedang ia hadapi. Di sana ada pengusaha, ada jaksa, dan juga ada polisi yang sebenarnya ikut terlibat.
Kita memang dihadapkan kepada kesulitan besar ketika hukum harus menghukum para penegak hukum yang terlibat pelanggaran hukum. Bukan hukum yang tidak bisa melakukan itu, tetapi orang-orang yang melaksanakan hukum itulah yang tidak mau melakukannya, karena itu akan mengena kenapa dirinya atau setidaknya teman-teman penegak hukum itu sendiri.
Begitu jelas disebutkan nama-nama anggota polisi yang ikut menikmati uang hasil korupsi Gayus, namun hanya dua polisi rendahan yang dijebloskan ke dalam penjara yakni Komisaris Polisi Arafat Enanie dan Ajun Komisaris Polisi Sri Sumartini. Ada dua jaksa yang disebut-sebut merakayasa penuntutan hukum terhadap Gayus, namun hingga kini tetap jaksa itu tidak tersentuh.
Esais Jakob Sumardjo melihat bahwa apa yang sedang kita alami adalah hukum yang terbalik. Yang kerja keras tetap miskin, yang tak bekerja justru kaya; yang jujur selalu salah, yang tak jujur selalu benar; kejujuran adalah kebohongan, kebohongan adalah kejujuran; yang profesional tak dipakai, yang amatir justru berkuasa.
Negeri ini tidak akan bisa menjadi negeri yang memiliki peradaban apabila membiarkan semua itu terus terjadi. Bagaimana seorang guru besar yang telah pensiun sesudah mengabdikan diri mendidik para sarjana selama 40 tahun hanya mendapatkan pesangon pensiun sebesar Rp 34 juta dan uang pensiun setiap bulan Rp 2,5 juta. Sementara ada seorang pegawai pajak yang baru beberapa tahun bekerja berhasil merampok uang negara ratusan miliar dan akibat kesalahan itu hanya dihukum tujuh tahun penjara.
Begitu banyak absurditas yang terjadi di negeri ini, yang menurut Jakob Sumardjo membuat kriminal menjadi pahlawan bangsa, sementara pahlawan sejati menjadi kriminal. Negara ini sedang menjadi negara kaum kriminal, karena para kriminal bukan masuk penjara, tetapi menjadi pahlawan bangsa dengan berkedok menggunakan baju polisi dan juga jaksa.
Oleh karena itu, menurut Jakob Sumardjo, hukum terbalik ini harus dikembalikan menjadi hukum kewarasan. Caranya, yang ditindas menjadi penindas (ketidakbenaran), yang miskin menjadi kaya dan yang kaya (karena korupsi) dimiskinkan, yang profesional mengganti yang amatir, yang kriminal adalah kriminal dan yang pahlawan harus kita katakan pahlawan.
Di tengah ketidakmampuan penegak hukum untuk mengembalikan hukum kewarasan, maka yang harus tampil ke depan adalah pemimpin. Ia tidak bisa membiarkan kekacauan ini terus terjadi, tetapi tampil paling depan untuk menata kembali kehidupan sosial.
Kalau kita meminta pemimpin untuk tampil di depan, kita mengharapkan itu sungguh-sunguh dilakukan. Karena memang keadaannya sudah begitu memprihatinkan dan mereka yang dipercaya untuk memperbaiki semua ini, terbukti tidak mampu melakukan perintah yang sudah diberikan pemimpin.
Pendelegasian kepada Wakil Presiden sekali pun tidak akan bisa efektif, karena Wapres tidak memiliki kewenangan eksekutif. Wapres tidak mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan keputusan ataupun instruksi yang memiliki kekuatan hukum.
Kerusakan hukum yang kita hadapi tidak cukup lagi ditangani dengan cara mengawasi saja. Dibutuhkan tindakan yang tegas dan efektif agar kita bisa mengembalikan lagi hukum kewarasan di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar