Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 31 Januari 2011

Kudeta Moral Agamawan

Politik niscaya mengusung nilai etis moral. Keadilan, kesejahteraan, kebaikan, dan kebenaran menjadi serangkaian nilai utama yang melandasi praktik politik (kekuasaan). Perilaku politik kekuasaan harus diletakkan di atas kerangka nilai fundamental ini. Ketiadaan basis etik menyebabkan kekuasaan kehilangan legitimasi moral. Dalam bahasa sederhana, kekuasaan dalam keadaan ini sebenarnya tidak ada! Itu salah satu pesan sentral yang terungkap dalam catatan kritis tokoh agama menyikapi penyelenggaraan kekuasaan rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada hari-hari awal tahun 2011 ini
Media Indonesia (21/1) menurunkan berita utama berkaitan dengan keteguhan sikap dan pendirian tokoh agama nasional. Meskipun mereka sudah melakukan dialog langsung dengan Presiden SBY beberapa hari lalu, sikap kritis mereka tidak akan berkurang. Tidak mereda. Bahkan, sikap kritis para tokoh agama akan semakin tajam jika rezim SBY tidak memberikan klarifikasi berupa langkah konkret menyelesaikan sekian banyak persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang mengancam kehidupan bersama sebagai bangsa. 

Mengatakan bahwa pemerintah tidak jujur dalam mengungkapkan pencapaian kerja memang menunjukkan indikasi kebohongan kekuasaan. Di situ ada permintaan kecil bahwa pemerintah sebaiknya bicara apa adanya! Barangkali itu lebih cocok! Kalau belum sepenuhnya berhasil, harus dikatakan secara terang benderang kepada rakyat kapan penyelesaian persoalan yang ada. Dan, jika janji tenggat waktu itu tidak terpenuhi, apa sanksi yang harus diberikan kepada institusi politik yang bertanggung jawab atas penyelesaian persoalan yang ada. Ambil contoh, janji-janji yang berseliweran berkaitan dengan pemberantasan mafia hukum dan korupsi selama ini, yang ternyata pada akhirnya lenyap tanpa bekas. Mau apa dengan semua janji kosong seperti itu! 

Komitmen 

Negara belum mampu mengadili ketimpangan politik dan ekonomi yang menempatkan rakyat pada posisi tidak menguntungkan. Kenyataan hilangnya sebuah pendirian politik untuk membela posisi rakyat di antara hantaman-hantaman ekonomi yang semakin tidak ramah merefleksikan negara yang terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Angka dalam data bisa menyebutkan kesejahteraan yang meningkat. Tingkat pengangguran yang mengalami penurunan. Kebebasan menyatakan pendapat yang semakin terbuka. Pemerintah bisa mengatakan semua itu secara leluasa, namun kondisi di lapangan, sering kali berbicara hal sebaliknya. 

Maka, meskipun pemerintah dengan sistematis menyampaikan data keberhasilan politik pembangunan, pandangan kritis tokoh agama tidak bisa disangkal juga. Bahwa data pemerintah belum tepat dan belum lengkap untuk menggambarkan kualitas kesejahteraan sosial yang semakin baik dan meningkat. Ini merupakan koreksi dan peringatan bahwa apa yang terungkap dalam data yang disampaikan pemerintah tidak sepenuhnya memiliki hubungan positif dengan keadaan nyata di tengah masyarakat. 

Dengan mudah argumentasi keberhasilan dalam sudut pandang pemerintah dapat dipatahkan karena para tokoh agama, yang berbicara tanpa sembunyi-sembunyi pada awal tahun 2011 ini, hidup di tengah masyarakat. Menjadi bagian dari masyarakat yang mengalami berbagai jenis kesengsaraan. Mulai dari harga kebutuhan pokok yang semakin tidak terjangkau, biaya kesehatan yang tidak kenal kompromi, biaya sekolah anak yang menguras isi dompet keluarga, keterhukuman sosial kelompok minoritas. Para tokoh agama juga berbicara berdasarkan data konkret. Melampaui deretan angka-angka statistik yang terpampang di atas lembaran-lembaran kertas yang rapuh. 

Michael Backman (1997), saat beberapa negara di Asia termasuk Indonesia sedang menghadapi kegilaan rezim kekuasaan yang sedang menuju keruntuhan, menulis sebuah buku kritis dengan judul The Asian Eclipse: Exposing the Dark Side of Business in Asia. Rezim Orde Baru pada waktu itu juga sedang gencar menutup sisi gelap penyelenggaraan kekuasaan. Banyak borok yang disembunyikan di belakang laporan keberhasilan pembangunan. Menyimpan kebohongan. Sisi gelap kekuasaan berusaha ditutup rapat-rapat agar tidak menjadi aib yang mengancam status quo rezim berkuasa! 

Dalam terang pemikiran ini, betapa tidak, kita sedang menghadapi ekspresi komitmen tokoh agama untuk menyentuh dan membongkar dark side praktik pembangunan sekarang ini. Usaha mereka terasa memiliki gaung yang kuat karena kelompok agamawan ini tidak memiliki afiliasi ke dalam kelas penguasa politik. Tidak terhindarkan bahwa para tokoh agama sedang merintis pekerjaan sulit dan penuh risiko. Menantang arus besar kekuasaan. Ini tidak ada hubungannya dengan sensasi politik selain pengungkapan tanggung jawab sosial agama mengoreksi perilaku kekuasaan yang cenderung menyimpang dari opsi fundamental memakmurkan rakyat. 

Dialektika 

Sebelum terjadi pertemuan antara tokoh agama dan rezim penguasa, di banyak media massa, banyak pejabat negara yang memberikan penjelasan kepada publik. Terlepas dari mekanisme pertahanan diri semacam ini, tentu yang dibutuhkan adalah keterbukaan menerima masukan dan kritikan. Menjauh dari kelompok kritis apalagi kekuatan yang tidak memiliki target politik praktis seperti para tokoh agama ini akan merugikan proses sipilisasi demokrasi di Indonesia. 

Para tokoh agama menyentuh soal paling sensitif. Menyampaikan kritikan terbuka kepada para penguasa yang lalai mempercepat datangnya kemakmuran sosial. Negara sedang terjebak dalam virus egoisme destruktif. Negara yang diam di hadapan ketidakadilan sosial. Negara yang membiarkan penindasan atas kelompok minoritas. Negara yang tidak hadir di tengah kekacauan sosial. 

Pada puncak ketidakberdayaannya, negara yang seharusnya memberikan garansi bagi terpenuhinya hak-hak sosial, ekonomi, dan politik seolah kehilangan momentum untuk menunjukkan kesungguhan membela rakyat. Economist (2/3/2002) dalam sebuah analisis menulis dengan judul menarik The Short Arms of The Law untuk melukiskan keterbatasan hukum dalam banyak kesempatan. Negara seperti kehilangan kekuatan saat berhadapan dengan para mafia hukum. Negara kehilangan manfaat sosial. 

Ironisnya, pada saat penguasa berusaha untuk 'membela diri' terhadap koreksi langsung dan tegas para tokoh agama, publik bisa dengan segera membenarkan sikap kritis para tokoh agama. Proses hukum Gayus dengan segala jaringan persoalannya menghadirkan sebuah olokan memalukan bagi proses hukum di Indonesia. Terlebih lagi bagaimana perlakuan hukum atas kasus Gayus yang menginjak rasa keadilan publik. 

Agaknya, dengan kejadian ini, penguasa politik kita, seharusnya lebih banyak membangun refleksi serius. Tidak perlu memberikan banyak klarifikasi verbalistik pada saat praktik hukum justru menjauh dari keindahan pidato dan janji di podium kekuasaan. Para tokoh agama tentu tidak sedang membangun permusuhan, selain proses dialektis konstruktif terhadap penyelenggaraan politik kekuasaan di Indonesia. Para tokoh agama sedang mengisi banyak kekurangan dan keterbatasan yang ada selama ini, ketika pemerintah belum memperhatikan nasib rakyat secara mendetail. Ini sisi positif yang harus dihargai dan dijaga penguasa. 

Konstruktif 

Sekarang, jelas terlihat juga bagaimana komunitas warga kehilangan daya politik untuk menandingi dominasi para penguasa politik dan ekonomi. Masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan kekuasaan. Kelakuan politik semacam ini serta-merta menghancurkan sumber daya demokrasi di negeri ini. Para tokoh agama menyadari kecenderungan jahat semacam ini. Suara kritis mereka dalam hari-hari ini telah menggedor kesadaran publik akan dark side politik kekuasaan. Serentak mengumpulkan keberanian politik untuk melakukan perlawanan sengit dan tanpa lelah atas gejala kelaliman atas nama demokrasi. 

Ini senada dengan gagasan Eduardo Canel bahwa demokrasi 'akar rumput' harus menjadi titik berangkat proses transformasi politik ke arah keadilan dan keadaban. Komitmen para tokoh agama bermanfaat untuk menyelamatkan sumber daya demokrasi dari kehancuran dan pembusukan akibat dominasi kelas penguasa. Ada peringatan keras akan penyimpangan moral penyelenggaraan kekuasaan. Para tokoh agama sedang melakukan kudeta moral atas rezim berkuasa. Ini menjadi energi konstruktif untuk kehidupan publik, sekaligus bisa menghancurkan kekuasaan, manakala pertobatan politik tidak kunjung datang!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar