TIGA hari kehebohan akibat munculnya fenomena lingkaran tanaman (crop circle) di Sleman terjadi, kita bukannya berhenti untuk berspekulasi, tetapi terus saja larut dengan analisis-analisis yang tidak berbobot. Tetap saja kita dipaksa untuk percaya bahwa ada benda angkasa misterius (UFO) yang mendarat di lokasi persawahan di Sleman.
Padahal Lembaga Penerbangan dan Antariksa sudah mengatakan bahwa tidak ada UFO yang mendarat di tempat itu. Rubuhnya sebagian tanaman padi yang terjadi dibuat oleh manusia, bukan karena ada UFO yang datang ke sana.
Media yang seharusnya ikut memberikan pengertian yang benar justru larut dengan keasyikan sendiri, sehingga meninggalkan rasionalitas. Kebiasaan masyarakat untuk menyukai hal-hal yang bersifat mistik maupun tahayul justru dieksploitasi demi kepentingan publikasi.
Tidak salah apabila dikatakan bangsa ini sedang sakit. Irasionalitas terjadi hampir di semua tingkatan. Semua seperti tidak peduli terhadap nilai-nilai kebajikan dan kebenaran. Semua larut dalam pragmatisme yang sangat tidak mencerahkan.
Bayangkan saja berhari-hari kita berbicara sesuatu yang tidak produktif. Orang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi di Sleman itu. Bahkan sempat dilaporkan satu orang tewas karena terjatuh ketika hendak menyaksikan fenomena yang dikatakan aneh itu dari ketinggian.
Padahal seharusnya kita membuat masyarakat untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif. Kalau pun ada pemikiran-pemikiran yang harus diperdebatkan haruslah pemikiran yang bernas. Pikiran-pikiran yang cemerlang dan memberikan kontribusi bagi pemecahan persoalan.
Kalau kita katakan pemikiran yang irasional itu terjadi pada semua tingkatan, karena bukan hanya masyarakat tingkat bawah yang berlaku seperti itu. Bahkan pada tingkat menteri sekali pun kita lihat tidak menunjukkan kematangan dan kenegarawanan.
Lihat saja bagaimana para menteri menanggapi kritikan yang disampaikan para tokoh lintas agama. Yang ramai dimunculkan adalah rasa tersinggung dan marah, bukan membahas substansi dari kritik yang disampaikan para tokoh lintas agama.
Persoalan digeser menjadi masalah personal. Seakan-akan ada permusuhan di antara para tokoh lintas agama dengan pemerintah. Bahkan dimunculkan dugaan adanya motif politik dan bahkan agenda untuk mengincar jabatan presiden.
Sikap kekanak-kanakan dari para menteri akhirnya hanya menimbulkan rasa saling curiga. Padahal seharusnya sebagai negarawan mereka membangun kebersamaan. Mereka merangkul semua komponen masyarakat untuk bekerja bersama pemerintah memajukan negeri ini.
Dengan pendekatan yang sekadar mencari menang sendiri, maka yang lebih menonjol pasti perbedaan. Apalagi fakta yang kita lihat sehari-hari adalah kesenjangan antara apa yang dikatakan pemerintah dengan realitas yang dihadapi rakyat.
Seharusnya para menteri itu mau menyadari bahwa negara ini bukan hanya milik para pejabat. Seluruh rakyat yang berjumlah 230 juta mempunyai hak untuk juga memiliki negeri ini dan juga memiliki tanggung jawab untuk memajukan bangsa dan negara ini.
Semua kritik yang dilakukan masyarakat, termasuk para tokoh lintas agama seharusnya dilihat sebagai bagian dari rasa tanggung jawab itu. Kalau 230 juta rakyat ini tidak peduli, maka mereka akan diam saja atas segala kekurangan yang kita hadapi sebagai bangsa.
Seharusnya pemerintah berterima kasih bahwa masyarakat mau peduli. Mereka mau menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk melihat apa yang terjadi di tingkat bawah. Apa yang dilihat dan dirasakan itulah yang disampaikan kepada pemerintah.
Bahwa apa yang disampaikan itu bentuknya dalam kritik, karena memang masyarakat hanya bisa bersuara dan kalau pun bertindak hanya pada tingkatan yang terbatas. Pemerintahlah yang mempunyai kewenangan untuk bertindak dan melakukan hal yang besar, karena pemerintah diberikan hak oleh konstitusi untuk melakukan itu.
Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mau mendengar. Kalau saja masukan masyarakat itu dilihat dari kaca mata yang positif, seharusnya ini bisa menjadi energi yang baik membangun kemajuan. Dengan itu bisa dibangun kebersamaan untuk memajukan negeri ini.
Daripada hanya sekadar tersinggung dan menimbulkan rasa curiga, seharusnya pemerintah menerima kritikan itu sambil melakukan verifikasi di lapangan. Sebab, tidak mungkin komponen masyarakat menyampaikan kritik kalau faktanya pembangunan ini berjalan baik. Kritik disampaikan karena apa yang terjadi di lapangan berbeda jauh dengan apa yang didengung-dengungkan pemerintah.
Presiden jangan mau dijerumuskan oleh para menterinya. Pembelaan membabi-buta yang dilakukan para menteri hanya sekadar cari muka, karena mereka tidak mau kehilangan jabatannya. Pengalaman menunjukkan bahwa Presiden lebih baik mendengarkan rakyatnya, karena rakyat selalu bicara dengan kejujuran dan tidak ada keinginan untuk mengamankan kursi jabatan.
Padahal Lembaga Penerbangan dan Antariksa sudah mengatakan bahwa tidak ada UFO yang mendarat di tempat itu. Rubuhnya sebagian tanaman padi yang terjadi dibuat oleh manusia, bukan karena ada UFO yang datang ke sana.
Media yang seharusnya ikut memberikan pengertian yang benar justru larut dengan keasyikan sendiri, sehingga meninggalkan rasionalitas. Kebiasaan masyarakat untuk menyukai hal-hal yang bersifat mistik maupun tahayul justru dieksploitasi demi kepentingan publikasi.
Tidak salah apabila dikatakan bangsa ini sedang sakit. Irasionalitas terjadi hampir di semua tingkatan. Semua seperti tidak peduli terhadap nilai-nilai kebajikan dan kebenaran. Semua larut dalam pragmatisme yang sangat tidak mencerahkan.
Bayangkan saja berhari-hari kita berbicara sesuatu yang tidak produktif. Orang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi di Sleman itu. Bahkan sempat dilaporkan satu orang tewas karena terjatuh ketika hendak menyaksikan fenomena yang dikatakan aneh itu dari ketinggian.
Padahal seharusnya kita membuat masyarakat untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif. Kalau pun ada pemikiran-pemikiran yang harus diperdebatkan haruslah pemikiran yang bernas. Pikiran-pikiran yang cemerlang dan memberikan kontribusi bagi pemecahan persoalan.
Kalau kita katakan pemikiran yang irasional itu terjadi pada semua tingkatan, karena bukan hanya masyarakat tingkat bawah yang berlaku seperti itu. Bahkan pada tingkat menteri sekali pun kita lihat tidak menunjukkan kematangan dan kenegarawanan.
Lihat saja bagaimana para menteri menanggapi kritikan yang disampaikan para tokoh lintas agama. Yang ramai dimunculkan adalah rasa tersinggung dan marah, bukan membahas substansi dari kritik yang disampaikan para tokoh lintas agama.
Persoalan digeser menjadi masalah personal. Seakan-akan ada permusuhan di antara para tokoh lintas agama dengan pemerintah. Bahkan dimunculkan dugaan adanya motif politik dan bahkan agenda untuk mengincar jabatan presiden.
Sikap kekanak-kanakan dari para menteri akhirnya hanya menimbulkan rasa saling curiga. Padahal seharusnya sebagai negarawan mereka membangun kebersamaan. Mereka merangkul semua komponen masyarakat untuk bekerja bersama pemerintah memajukan negeri ini.
Dengan pendekatan yang sekadar mencari menang sendiri, maka yang lebih menonjol pasti perbedaan. Apalagi fakta yang kita lihat sehari-hari adalah kesenjangan antara apa yang dikatakan pemerintah dengan realitas yang dihadapi rakyat.
Seharusnya para menteri itu mau menyadari bahwa negara ini bukan hanya milik para pejabat. Seluruh rakyat yang berjumlah 230 juta mempunyai hak untuk juga memiliki negeri ini dan juga memiliki tanggung jawab untuk memajukan bangsa dan negara ini.
Semua kritik yang dilakukan masyarakat, termasuk para tokoh lintas agama seharusnya dilihat sebagai bagian dari rasa tanggung jawab itu. Kalau 230 juta rakyat ini tidak peduli, maka mereka akan diam saja atas segala kekurangan yang kita hadapi sebagai bangsa.
Seharusnya pemerintah berterima kasih bahwa masyarakat mau peduli. Mereka mau menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk melihat apa yang terjadi di tingkat bawah. Apa yang dilihat dan dirasakan itulah yang disampaikan kepada pemerintah.
Bahwa apa yang disampaikan itu bentuknya dalam kritik, karena memang masyarakat hanya bisa bersuara dan kalau pun bertindak hanya pada tingkatan yang terbatas. Pemerintahlah yang mempunyai kewenangan untuk bertindak dan melakukan hal yang besar, karena pemerintah diberikan hak oleh konstitusi untuk melakukan itu.
Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mau mendengar. Kalau saja masukan masyarakat itu dilihat dari kaca mata yang positif, seharusnya ini bisa menjadi energi yang baik membangun kemajuan. Dengan itu bisa dibangun kebersamaan untuk memajukan negeri ini.
Daripada hanya sekadar tersinggung dan menimbulkan rasa curiga, seharusnya pemerintah menerima kritikan itu sambil melakukan verifikasi di lapangan. Sebab, tidak mungkin komponen masyarakat menyampaikan kritik kalau faktanya pembangunan ini berjalan baik. Kritik disampaikan karena apa yang terjadi di lapangan berbeda jauh dengan apa yang didengung-dengungkan pemerintah.
Presiden jangan mau dijerumuskan oleh para menterinya. Pembelaan membabi-buta yang dilakukan para menteri hanya sekadar cari muka, karena mereka tidak mau kehilangan jabatannya. Pengalaman menunjukkan bahwa Presiden lebih baik mendengarkan rakyatnya, karena rakyat selalu bicara dengan kejujuran dan tidak ada keinginan untuk mengamankan kursi jabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar