HM Aru Syeif Assadullah
Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam
Inilah lahan baru usaha di negeri ini : Industri Politik. Dunia politik dijadikan wahana dan sarana usaha setara dengan dunia industri. Trend setter baru ini marak diburu orang bersamaan bergulirnya era reformasi pasca tumbangnya rejim orde baru 1998. Pemburu sarana usaha ini bukan saja golongan awam dan miskin, tetapi hampir semua kalangan mengejarnya, termasuk para pengusaha kakap bahkan konglomerat ikut berebut di sini. Apa yang didapat dari “Industri” baru ini, khususnya bagi kemasylahatan bangsa? Yang didapat di ujungnya ternyata justru bencana demi bencana dan Indonesia mengalami kebangkrutan.
Barangkali istilah Industri Politik dianggap berlebihan, namun fakta di lapangan membenarkan fenomena ini dan tak terbantahkan. Dunia politik justru dikejar karena dianggap sebagai mesin pengumpul uang yang paling efektif di Indonesia. Pada awal reformasi, tatkala iklim kebebasan dibuka total, masyarakat luas sekadar demam masuk ke dunia politik dengan mendirikan puluhan partai politik. Pemilu Pertama era reformasi 1999 telah mengangkat wajah-wajah baru pemain politik melalui berbagai partai politik baru itu. Perilaku mereka ini sangat fenomenal sebagai penguasa baru baik di tingkat pusat sampai daerah melalui peranan di DPR-RI Pusat sampai DPRD di daerah. Dengan kekuasaan yang besar ini kemudian mereka melakukan korupsi “berjamaah”. Tercatat ratusan anggota DPRD juga DPR-RI terindikasi tindak korupsi dan dijebloskan ramai-ramai ke penjara. PDIP sebagai pemenang Pemilu 1999 tentu saja memiliki andil terbesar anggotanya terjeblos kasus korupsi “berjamaah” ini.---Partai lain juga sama terlibat---Ketika itu muncul istilah dan julukan koruptor dari anggota PDIP itu sebagai “Kere Munggah Bale” untuk menggambarkan anggota DPRD dari PDIP yang sebelumnya hanyalah preman-preman kecil di daerahnya, tiba-tiba naik derajad sangat berkuasa sebagai anggota DPRD mengenakan jas dan dasi. Dampak ikutannya bagi PDIP adalah “pembalasan” masyarakat luas pada Pemilu 2004, dengan ramai-ramai tidak lagi memilih PDIP. Suara PDIP beralih ke partai baru Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai figur yang dianggap teraniaya oleh rejim Megawati, dan membawa SBY naik tahta sebagai presiden menggantikan Megawati.
Dengan dijebloskannya ke penjara ratusan politisi itu, apakah kemudian dijadikan pelajaran oleh masyarakat luas ? Jawabannya adalah tidak! Mengapa ? Uang dan tarikan kemewahan juga kekuasaan ternyata lebih memikat semua orang. Apalagi kemudian ditunjang fakta sejumlah tokoh politik yang semula dikenal sebagai pribadi yang bersahaja bahkan miskin dan papa, tiba-tiba berubah menjadi orang yang sangat kaya- raya ditandai kini memiliki harta melimpah : rumah-rumah megah, mobil-mobil mewah puluhan buah sampai menyesaki rumahnya yang luas, ditambah kepemilikan puluhan perusahaan bisnis. Dan dengan kekayaannya itu ia menjadi tokoh yang sangat “terhormat” yang setiap hari dikerumuni orang banyak. Sebaliknya bagi yang naas terpaksa masuk penjara ternyata hukumannya diganjar sangat ringan. Hukuman hanya dijatuhkan beberapa tahun pun hanya dijalani setengahnya saja dipotong remisi-remisi. Selama dipenjara Sang Koruptor itu dengan mudah juga bisa keluar dari Lapas kemana suka dengan membayar sedikit uang.
Karena itu, berita mengenai kasus korupsi bukan reda malah menjadi-jadi. Hampir setiap minggu selalu muncul kasus korupsi. Catatan yang sering dikutip di rubrik ini adalah data lebih separuh gubernur sekitar 19 orang kini tersangkut masalah hukum sebagian sudah dijebloskaan ke penjara sebagian dalam proses dan ratusan bupati/walikota juga mengidap hal yang sama. Belum lagi sejumlah mantan menteri bahkan menteri yang masih aktif juga terindikasi korupsi. Yang menjadi ironis dengan terus terbongkarnya kasus-kasus Mega-korupsi seperti kasus korupsi pajak Gayus Tambunan, Skandal Bank Century, tapi skandal korupsi rakasasa itu tidak ada yang dituntaskan dengan proses hukum dan cenderung dibekukan. Tampak terbalik komitmen Presiden SBY yang gencar berkampanye akan memimpin sendiri di garis depan pemberantasan korupsi, tapi dalam kasus Century tidak berbuat apa-apa setelah DPR merekomendasikan agar Boediono (Wapres) dan Sri Mulyani Indrawati (Menkeu) diadili. Penjeblosan ratusan anggota DPRD juga bupati ke penjara, termasuk menteri dan sejumlah pejabat tinggi, justru diklaim pemerintah SBY sebagai komitmen mereka yang besar terhadap pemberantasan korupsi. Padahal tampak mencolok terjadi tebang pilih ketika kasus korupsi menimpa kelompok rejim yang berkuasa. Inilah yang terjadi dalam kasus Nazaruddin Bendahara Umum Partai Demokrat. Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng yang jelas terindikasi korupsi diamankan dari proses hukum. Begitu juga sebelumnya, Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani yang jelas-jelas terlibat kasus Century yang merugikan negara Rp 6,7 Trilyun sama sekali tidak disentuh hukum. Bahkan Sri Mulyani Agustus 2011 lalu diberi penghargaan Bintang Maha Putera.
Dunia politik pun dipandang amat mengkilap dan menjadi sektor bisnis yang bisa menghasilkan uang secara mendadak. Orang pun siap mempertaruhkan segalanya sebagai modal awal masuk ke dunia politik. Pada tingkat individu, orang dengan mudah masuk ke partai politik bahkan berpindah-pindah dari satu partai ke partai lain. Ketika seseorang ini maju selangkah lagi ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPRD-DPR RI, apalagi menjadi bupati dan gubernur, maka Politik Biaya Tinggi pun berlaku. Sudah menjadi pengetahuan bersama penguasa partai politik mematok harga amat sangat tinggi jabatan-jabatan strategis itu. Menjadi anggota DPRD bisa mencapai RP 1 M apalagi anggota DPR-RI Pusat. Menjadi bupati/walikota akan dihitung, di daerah/kota mana. Jika kota/daerah strategis misalnya Bengkalis penghasil minyak maka “uang setorannya” pun sangat tinggi. Ingat kasus calon Gubernur Jawa Timur yang yang berkampanye menghabiskan dana Rp 1 Trilyun. Untuk kampanye saja menghabiskan dana yang amat fantastis, belum lagi “setoran” kepada partai yang mengusungnya. Ihwal inilah yang menjadi muara korupsi di Indonesia dan kemudian makin menggurita kendati KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terus mengumumkan tak henti-henti tangkapan barunya. Korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik, yang niscaya tak mungkin dihentikan walau KPK ditambah lagi dengan KPK-KPK hingga puluhan jumlahnya, sementara sistem politik yang kapitalis-liberalistik yang yang menjadi biang-kerok korupsi ini tidak di-retool alias dimusnahkan.
Menuju Bangkrut
Sistem politik yang amat gamblang menjadi sumber korupsi dan pada ujungnya membawa kehancuran bangsa ini, jika tidak dihentikan dan diubah, niscaya tinggal menunggu waktu saja. Ungkapan Ganti Rezim Ganti Sistem yang pertamakali dimunculkan oleh Forum Umat Islam (FUI) niscaya jawaban yang tepat. Tapi kini situasainya lebih mengerikan lagi ketika kaum pengusaha justru ikut bermain di dalam sistem yang menghancurkan ini dan menganggap politik sebagai industri baru. Seorang pengusaha terbesar di daerahnya kini berani membiayai tokoh tertentu di daerah itu untuk mencalonkan diri sebagai bupati/walikota sampai gubernur. Harapannya semua proyek di daerah itu akan dikangkanginya ketika calon yang dibiayai memenangkan Pilkada. Inilah korupsi yang justru “direstui” sistem politik yang kini berlaku di Indonesia. Karena menguasai partai politik Golkar, misalnya Abu Rizal Bakrie, maka rezim yang berkuasa pun ikut melindungi kelompok bisnis Bakrie dalam kasus Lapindo yang seharusnya memberikan ganti rugi kepada rakyat yang terkena dampak secara total bahkan juga kerugian kepada negara. Itulah yang juga dilakukan penguasaha Siti Murdhaya dan suaminya Poo. Yang terakhir ini loncat dari PDIP kini mengabdi di tubuh Partai Demokrat.
Indonesia menuju bangkrut ? Sebenarnya Indonesia sudah mengalami kebangkrutan itu. Fakta dan data menunjukkan seluruh asset negara dan bangsa Indonesia kini dijarah habis-habisan. Pemerintah SBY, melalui UU No.25 2007 bahkan memberikan kebebasan pihak asing bisa mengeksploitasi sumber alam di negeri ini sampai hampir 100 tahun. Padahal di era Soeharto saja, asing hanya boleh beroperasi tak lebih 30 tahun saja.Melalui rubrik ini pernah digelar data, semua sektor strategis : perbankan, property, pertambangan, perkebunan dan semua sektor kini telah dimiliki dan dijarah oleh asing. Bangsa Indonesia tinggal menjadi kuli di negaranya sendiri.Inilah maknanya sebagai negeri dengan sumber alam paling melimpah di dunia tetapi menjadi tragis justru sebagai negara miskin di dunia yang mengimpor garam, gula, kedelai, beras, minyak bumi dan gas. Kini 85% kekayaan minyak dan gas itu dkuasai asing, belum data yang tidak masuk karena dicuri. Kekayaan batubara 75% dikuasai asing, sementara kekayaan perkebunan dan hutan lebih 50% dikuasai asing yang hasilnya 90% diekspor dan dinikmati negara-negara asing penjarah negeri ini.
Itulah makna bangkrutnya negeri ini. Dan akan makin terbuka transparan kebangkrutan itu ketika menelaah hutang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ayang kini mencapai Rp 1.700 Trilyun, yang di antaranya Rp 500 Trilyun, dibuat oleh Rejim SBY dengan operatornya Menkeu Sri Mulyani yang bekas pegawai Bank Dunia itu. Apalagi jika membaca APBN tahun ini yang mencapai Rp 1400-an Trilyun yang sebagian besar justru untuk membayar hutang dan bunga-bunganya serta belanja rutin pegawai. Alhasil rakyat Indonesia tak kebagian pembangunan apapun. Jangankan pembangunan, bahkan untuk menjaga infrastruktur yang ada pun bahkan vital, seperti jalan-jalan raya, jembatan sudah nihil. Rakyat terus saja diperas membayar pajak, yang kini diketahui uang pajak itu telah dikemplang oleh koruptor lebih 40%. Penguasa asing yang beroperasi di Indonesia berperan besar mengemplang pajak. Lengkap sudah data kebangkrutan negeri ini yang juga dijarah oleh elit penguasanya sendiri. Sepak-terjang Nazaruddin sebagai operator penguasa untuk menjarah kekayaan rakyat Indonesia sungguh sangat mengerikan. Dengan perusahaan-perusahaan “abal-abal” itu Nazaruddin bergerilya di hampir semua departemen yang kini disebut kementerian. Hasilnya telah diumumkan KPK, Nazaruddin terlibat di sejumlah kementerian dengan nilai korupsi mencapau Rp 6 Trilyun lebih. Semua hasil korupsi ini untuk membiayai Partai Demokrat yang kini berkuasa. Inilah skandal yang mengerikan dan terbongkar habis. Tidak berlebihan kiranya, komentar mantan Menkeu Dr. Fuad Bawazier, seharusnya Partai Demokrat tidak punya hak hidup lagi di Indonesia alias dibubarkan.
Wallahua'lam bisshawab!
Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam
Inilah lahan baru usaha di negeri ini : Industri Politik. Dunia politik dijadikan wahana dan sarana usaha setara dengan dunia industri. Trend setter baru ini marak diburu orang bersamaan bergulirnya era reformasi pasca tumbangnya rejim orde baru 1998. Pemburu sarana usaha ini bukan saja golongan awam dan miskin, tetapi hampir semua kalangan mengejarnya, termasuk para pengusaha kakap bahkan konglomerat ikut berebut di sini. Apa yang didapat dari “Industri” baru ini, khususnya bagi kemasylahatan bangsa? Yang didapat di ujungnya ternyata justru bencana demi bencana dan Indonesia mengalami kebangkrutan.
Barangkali istilah Industri Politik dianggap berlebihan, namun fakta di lapangan membenarkan fenomena ini dan tak terbantahkan. Dunia politik justru dikejar karena dianggap sebagai mesin pengumpul uang yang paling efektif di Indonesia. Pada awal reformasi, tatkala iklim kebebasan dibuka total, masyarakat luas sekadar demam masuk ke dunia politik dengan mendirikan puluhan partai politik. Pemilu Pertama era reformasi 1999 telah mengangkat wajah-wajah baru pemain politik melalui berbagai partai politik baru itu. Perilaku mereka ini sangat fenomenal sebagai penguasa baru baik di tingkat pusat sampai daerah melalui peranan di DPR-RI Pusat sampai DPRD di daerah. Dengan kekuasaan yang besar ini kemudian mereka melakukan korupsi “berjamaah”. Tercatat ratusan anggota DPRD juga DPR-RI terindikasi tindak korupsi dan dijebloskan ramai-ramai ke penjara. PDIP sebagai pemenang Pemilu 1999 tentu saja memiliki andil terbesar anggotanya terjeblos kasus korupsi “berjamaah” ini.---Partai lain juga sama terlibat---Ketika itu muncul istilah dan julukan koruptor dari anggota PDIP itu sebagai “Kere Munggah Bale” untuk menggambarkan anggota DPRD dari PDIP yang sebelumnya hanyalah preman-preman kecil di daerahnya, tiba-tiba naik derajad sangat berkuasa sebagai anggota DPRD mengenakan jas dan dasi. Dampak ikutannya bagi PDIP adalah “pembalasan” masyarakat luas pada Pemilu 2004, dengan ramai-ramai tidak lagi memilih PDIP. Suara PDIP beralih ke partai baru Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai figur yang dianggap teraniaya oleh rejim Megawati, dan membawa SBY naik tahta sebagai presiden menggantikan Megawati.
Dengan dijebloskannya ke penjara ratusan politisi itu, apakah kemudian dijadikan pelajaran oleh masyarakat luas ? Jawabannya adalah tidak! Mengapa ? Uang dan tarikan kemewahan juga kekuasaan ternyata lebih memikat semua orang. Apalagi kemudian ditunjang fakta sejumlah tokoh politik yang semula dikenal sebagai pribadi yang bersahaja bahkan miskin dan papa, tiba-tiba berubah menjadi orang yang sangat kaya- raya ditandai kini memiliki harta melimpah : rumah-rumah megah, mobil-mobil mewah puluhan buah sampai menyesaki rumahnya yang luas, ditambah kepemilikan puluhan perusahaan bisnis. Dan dengan kekayaannya itu ia menjadi tokoh yang sangat “terhormat” yang setiap hari dikerumuni orang banyak. Sebaliknya bagi yang naas terpaksa masuk penjara ternyata hukumannya diganjar sangat ringan. Hukuman hanya dijatuhkan beberapa tahun pun hanya dijalani setengahnya saja dipotong remisi-remisi. Selama dipenjara Sang Koruptor itu dengan mudah juga bisa keluar dari Lapas kemana suka dengan membayar sedikit uang.
Karena itu, berita mengenai kasus korupsi bukan reda malah menjadi-jadi. Hampir setiap minggu selalu muncul kasus korupsi. Catatan yang sering dikutip di rubrik ini adalah data lebih separuh gubernur sekitar 19 orang kini tersangkut masalah hukum sebagian sudah dijebloskaan ke penjara sebagian dalam proses dan ratusan bupati/walikota juga mengidap hal yang sama. Belum lagi sejumlah mantan menteri bahkan menteri yang masih aktif juga terindikasi korupsi. Yang menjadi ironis dengan terus terbongkarnya kasus-kasus Mega-korupsi seperti kasus korupsi pajak Gayus Tambunan, Skandal Bank Century, tapi skandal korupsi rakasasa itu tidak ada yang dituntaskan dengan proses hukum dan cenderung dibekukan. Tampak terbalik komitmen Presiden SBY yang gencar berkampanye akan memimpin sendiri di garis depan pemberantasan korupsi, tapi dalam kasus Century tidak berbuat apa-apa setelah DPR merekomendasikan agar Boediono (Wapres) dan Sri Mulyani Indrawati (Menkeu) diadili. Penjeblosan ratusan anggota DPRD juga bupati ke penjara, termasuk menteri dan sejumlah pejabat tinggi, justru diklaim pemerintah SBY sebagai komitmen mereka yang besar terhadap pemberantasan korupsi. Padahal tampak mencolok terjadi tebang pilih ketika kasus korupsi menimpa kelompok rejim yang berkuasa. Inilah yang terjadi dalam kasus Nazaruddin Bendahara Umum Partai Demokrat. Anas Urbaningrum dan Andi Malarangeng yang jelas terindikasi korupsi diamankan dari proses hukum. Begitu juga sebelumnya, Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani yang jelas-jelas terlibat kasus Century yang merugikan negara Rp 6,7 Trilyun sama sekali tidak disentuh hukum. Bahkan Sri Mulyani Agustus 2011 lalu diberi penghargaan Bintang Maha Putera.
Dunia politik pun dipandang amat mengkilap dan menjadi sektor bisnis yang bisa menghasilkan uang secara mendadak. Orang pun siap mempertaruhkan segalanya sebagai modal awal masuk ke dunia politik. Pada tingkat individu, orang dengan mudah masuk ke partai politik bahkan berpindah-pindah dari satu partai ke partai lain. Ketika seseorang ini maju selangkah lagi ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPRD-DPR RI, apalagi menjadi bupati dan gubernur, maka Politik Biaya Tinggi pun berlaku. Sudah menjadi pengetahuan bersama penguasa partai politik mematok harga amat sangat tinggi jabatan-jabatan strategis itu. Menjadi anggota DPRD bisa mencapai RP 1 M apalagi anggota DPR-RI Pusat. Menjadi bupati/walikota akan dihitung, di daerah/kota mana. Jika kota/daerah strategis misalnya Bengkalis penghasil minyak maka “uang setorannya” pun sangat tinggi. Ingat kasus calon Gubernur Jawa Timur yang yang berkampanye menghabiskan dana Rp 1 Trilyun. Untuk kampanye saja menghabiskan dana yang amat fantastis, belum lagi “setoran” kepada partai yang mengusungnya. Ihwal inilah yang menjadi muara korupsi di Indonesia dan kemudian makin menggurita kendati KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terus mengumumkan tak henti-henti tangkapan barunya. Korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik, yang niscaya tak mungkin dihentikan walau KPK ditambah lagi dengan KPK-KPK hingga puluhan jumlahnya, sementara sistem politik yang kapitalis-liberalistik yang yang menjadi biang-kerok korupsi ini tidak di-retool alias dimusnahkan.
Menuju Bangkrut
Sistem politik yang amat gamblang menjadi sumber korupsi dan pada ujungnya membawa kehancuran bangsa ini, jika tidak dihentikan dan diubah, niscaya tinggal menunggu waktu saja. Ungkapan Ganti Rezim Ganti Sistem yang pertamakali dimunculkan oleh Forum Umat Islam (FUI) niscaya jawaban yang tepat. Tapi kini situasainya lebih mengerikan lagi ketika kaum pengusaha justru ikut bermain di dalam sistem yang menghancurkan ini dan menganggap politik sebagai industri baru. Seorang pengusaha terbesar di daerahnya kini berani membiayai tokoh tertentu di daerah itu untuk mencalonkan diri sebagai bupati/walikota sampai gubernur. Harapannya semua proyek di daerah itu akan dikangkanginya ketika calon yang dibiayai memenangkan Pilkada. Inilah korupsi yang justru “direstui” sistem politik yang kini berlaku di Indonesia. Karena menguasai partai politik Golkar, misalnya Abu Rizal Bakrie, maka rezim yang berkuasa pun ikut melindungi kelompok bisnis Bakrie dalam kasus Lapindo yang seharusnya memberikan ganti rugi kepada rakyat yang terkena dampak secara total bahkan juga kerugian kepada negara. Itulah yang juga dilakukan penguasaha Siti Murdhaya dan suaminya Poo. Yang terakhir ini loncat dari PDIP kini mengabdi di tubuh Partai Demokrat.
Indonesia menuju bangkrut ? Sebenarnya Indonesia sudah mengalami kebangkrutan itu. Fakta dan data menunjukkan seluruh asset negara dan bangsa Indonesia kini dijarah habis-habisan. Pemerintah SBY, melalui UU No.25 2007 bahkan memberikan kebebasan pihak asing bisa mengeksploitasi sumber alam di negeri ini sampai hampir 100 tahun. Padahal di era Soeharto saja, asing hanya boleh beroperasi tak lebih 30 tahun saja.Melalui rubrik ini pernah digelar data, semua sektor strategis : perbankan, property, pertambangan, perkebunan dan semua sektor kini telah dimiliki dan dijarah oleh asing. Bangsa Indonesia tinggal menjadi kuli di negaranya sendiri.Inilah maknanya sebagai negeri dengan sumber alam paling melimpah di dunia tetapi menjadi tragis justru sebagai negara miskin di dunia yang mengimpor garam, gula, kedelai, beras, minyak bumi dan gas. Kini 85% kekayaan minyak dan gas itu dkuasai asing, belum data yang tidak masuk karena dicuri. Kekayaan batubara 75% dikuasai asing, sementara kekayaan perkebunan dan hutan lebih 50% dikuasai asing yang hasilnya 90% diekspor dan dinikmati negara-negara asing penjarah negeri ini.
Itulah makna bangkrutnya negeri ini. Dan akan makin terbuka transparan kebangkrutan itu ketika menelaah hutang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ayang kini mencapai Rp 1.700 Trilyun, yang di antaranya Rp 500 Trilyun, dibuat oleh Rejim SBY dengan operatornya Menkeu Sri Mulyani yang bekas pegawai Bank Dunia itu. Apalagi jika membaca APBN tahun ini yang mencapai Rp 1400-an Trilyun yang sebagian besar justru untuk membayar hutang dan bunga-bunganya serta belanja rutin pegawai. Alhasil rakyat Indonesia tak kebagian pembangunan apapun. Jangankan pembangunan, bahkan untuk menjaga infrastruktur yang ada pun bahkan vital, seperti jalan-jalan raya, jembatan sudah nihil. Rakyat terus saja diperas membayar pajak, yang kini diketahui uang pajak itu telah dikemplang oleh koruptor lebih 40%. Penguasa asing yang beroperasi di Indonesia berperan besar mengemplang pajak. Lengkap sudah data kebangkrutan negeri ini yang juga dijarah oleh elit penguasanya sendiri. Sepak-terjang Nazaruddin sebagai operator penguasa untuk menjarah kekayaan rakyat Indonesia sungguh sangat mengerikan. Dengan perusahaan-perusahaan “abal-abal” itu Nazaruddin bergerilya di hampir semua departemen yang kini disebut kementerian. Hasilnya telah diumumkan KPK, Nazaruddin terlibat di sejumlah kementerian dengan nilai korupsi mencapau Rp 6 Trilyun lebih. Semua hasil korupsi ini untuk membiayai Partai Demokrat yang kini berkuasa. Inilah skandal yang mengerikan dan terbongkar habis. Tidak berlebihan kiranya, komentar mantan Menkeu Dr. Fuad Bawazier, seharusnya Partai Demokrat tidak punya hak hidup lagi di Indonesia alias dibubarkan.
Wallahua'lam bisshawab!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar