“Ganti Rezim Ganti Sistem”. Kalimat itu tertulis dalam salah satu spanduk besar di pintu gerbang DPR Senayan Jakarta. Dalam berbagai diskusi dan perbincangan seruan tersebut muncul. Juga beredar via sms. Bagi aktivis pergerakan tentu kata-kata tersebut akan dijawab: “Siapa takut?”.
Namun yang lebih penting adalah penjabarannya. Mau diganti dengan rezim siapa dan system apa?.Tentu tidak mudah menjawabnya.
Sebagai contoh, seruan-seruan itu juga muncul dalam pernyataan nara sumber maupun celetukan peserta suatu diskusi yang menghubungkan terbitnya buku “Gurita Cikeas” dengan kemungkinan runtuhnya rezim SBY di TIM beberapa waktu lalu. Suasana revolusi dan semangat ganti system ganti rezim cukup kental. Namun para pembicara tidak memberikan gambaran yang jelas untuk jawaban pertanyaan saya di atas. Misalnya saja pernyataan Saurip Kadi bahwa TNI selama ini dikuasai para kapitalis, maka harus dikembalikan kepada demokrasi. Tentu ini menimbulkan pertanyaan. Sebab negara kapitalis terbesar di dunia sekarang ini, AS, adalah pengusung system demokrasi nomor wahid!
Walau terasa asing, saya yang hadir dalam diskusi yang didominasi kaum nasionalis dan sosialis tersebut ikut nimbrung mengapresiasi suasana revolusi diskusi tersebut. Saya menyampaikan pandangan revolusioner saya untuk mengakhiri korupsi akut laksana kanker stadium 4 di negeri ini. Saya katakan, pemimpin revolusi harus mengumumkan keadaan darurat dan mencekal seluruh pejabat dan mantan pejabat tinggi serta para konglomerat. Pemimpin revolusi mengumumkan agar mereka yang dicekal mengisi formulir isian harta milik mereka. Bilamana mereka memiliki harta yang lebih dari batas kepatutan jabatan mereka, maka mereka wajib mengembalikan harta tersebut kepada negara. Mereka yang mengembalikan harta yang terindikasi hasil korupsi itu langsung mendapat pengampunan tanpa proses hukum, mengingat proses hukum sudah tidak bisa dipercaya lagi. Bilamana dalam batas waktu tertentu mereka tidak mengembalikan harta kelebihan yang tidak wajar itu, maka akan diberlakukan hukum revolusi. Hukum yang efektif untuk itu adalah hukum syariat Islam, yakni para koruptor dihukum sesuai dengan jumlah harta yang dikorupsi. Bila kecil, cukup push up, dicambuk atau kerja paksa. Bila besar, bisa dipotong tangan. Namun bila besar sekali, bisa dipotong lehernya. Sesuai kebijaksanaan hakim revolusi. Revolusi Islam, jangan dikhawatirkan. Non muslim akan kami lindungi. Allahu Akbar!!!
Sayangnya Saurip Kadi, yang sejak awal diskusi tampak heroic, dan seolah-olah sudah siap menggulung rezim yang ada, justru menyatakan bahwa kondisi kita belum siap untuk revolusi! Mantan Aster KSAD itu mengatakan bahwa masalah-masalah yang ada ini harus dikembalikan kepada system pemerintahan demokrasi!
Di sinilah keraguan saya kepada slogan-slogan “revolusi”, “ganti rezim ganti system”, atau seruan-seruan yang lebih seru lainnya yang diteriakkan oleh pihak-pihak tertentu, maupun propaganda-propaganda gerakan yang seolah-olah betul-betul gerakan rakyat seperti “Glandes” atau yang sekarang sedang dirancang untuk aksi “besar-besaran” pada tanggal 28 Januari menyongsong 100 hari pemerintahan SBY.
Sebab, sesungguhnya antara mereka yang mau menjatuhkan dengan yang hendak dijatuhkan itu sama, yakni sama-sama sekuler dan anti Islam. Namun, riak-riak gerakan mereka dalam mengeksploitir kasus Century Gate ini juga menunjukkan bahwa sekalipun mereka sama, namun masing-masing beda kepentingan. Misalnya, pecahnya kongsi SBY dengan Budiono. Konon juga antara Budiono dengan grup Sri Mulyani. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syatta!
Bahwa rezim korup dan system bobrok ini harus diganti, tentu kita setuju. Sebab, rezim dan system yang ada ini tidak memenuhi tuntutan kewajaran dalam mengelola negera dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini. Rezim dan system pemerintahan menurut Imam Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyyah memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai pengawal agama (hiraasah ad diin) dan pemelihara urusan umat (siyasah ad dunya).
Rezim SBY ini tidak melindungi Dinul Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas warga negara dengan sikapnya tidak membubarkan Ahmadiyah. Terkesan justru melindungi aliran yang menodai Al Quran dan aqidah umat Islam itu dengan SKB yang diterbitkan. Akibatnya berbagai aliran sesat terus bermunculan di negeri ini. Sedangkan di pihak lain mereka yang dengan alasan gerakan pemberantasan korupsi sudah kebelet menurunkan rezim ini ternyata telah mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi untuk mencabut UU No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama yang merupakan payung hukum bagi pembubaran Ahmadiyah dan aliran penoda agama lainnya. Artinya, kalau MK mengabulkan permohonan mereka, berarti rezim dan system negara ini sudah tidak lagi melindungi Islam dari penodaan Ahmadiyah dan aliran penoda lainnya.
Rezim dan system ini juga tidak memiliki siyasah ad dunya yang brilian untuk mengelola bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya buat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rasulullah saw. bersabda: “Air, padang rumput, dan api (energi) adalah milik bersama umat”. Konsekuensi hukumnya, pengelolaannya harus oleh BUMN, tidak boleh diprivatisasi, apalagi diserahkan kepada perusahan asing seperti Freeport, Exxon, Caltex, Newmont, Danone, dll. Kasus Century 6.7T, BLBI 600T, dan jebakan utang yang membuat rakyat jadi sapi perahan selamanya karena harus menanggung beban bayar bunga 100T per tahun di APBN adalah contoh-contoh dari buruknya siyasah (pemeliharaan urusan umat).
Cukuplah bagi kita firman Allah SWT: Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah..(QS. Al Baqarah 276) untuk menyimpulkan bahwa system ini tidak layak untuk kita dan harus segera diganti. Siapa takut?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar