Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 20 Juni 2011

Ceramah Terakhir “Mas Ton” (I)



Disampaikan pada Semiloka “Penegakan Syari’at Islam Dalam Perspektif Hukum Perdata , Makassar 14 Juni 2003, sebelum beliau meninggal pada tanggal 15 Juni 2003, setelah sebelumnya pingsan pada sessi tanya jawab.
“Sejak 5 Juli 1959, Syari’at Islam Telah Berada Dalam Konstitusi NKRI”
 Assalamu ‘alaikum wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahim. (Usai menyampaikan kalimat pembuka). Bapak-bapak sekalian, saya ingin lebih dulu menghilangkan kesalahpahaman yang sudah terjadi di lingkungan masyarakat –bahkan di lingkungan pakar sekalipun. Dalam rangka menghilangkan kesalahpahaman ini, saya member judul agak panjang makalah saya ini, yaitu : “Hukum Nasional dan Implementasi Syari’at Islam,” dengan sub judul “Strategi Politik dalam Legislasi dan Implementasi Syari’at Islam dalam Bingkai UUD Negara Tahun 1945.
Penyebutan UUD Negara RI Tahun 1945 adalah penyebutan resmi berdasarkan amandemen UUD 1945. Selama ini kita hanya bicara UUD 1945, saya khawatir jika penyebutannya keliru seperti itu, nanti kita berfikir bahwa UUD 1945 yang sekarang berlaku adalah UUD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan berakhir keberlakuannya pada tanggal 27 Desember 1949 dengan berlakunya UUD RIS. Ini harus dibedakan pak.
UUD 1945 yang sekarang berlaku adalah UUD 1945 yang diberlakukannya berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian dikukuhkan oleh DPR hasil Pemilu 1955.  UUD 1945 yang pertama, yang disahkan pada Agustus 1945 dan berlaku sampai 27 Desember 1949, memang tidak terkait dengan Piagam Jakarta.
Sedangkan UUD 1945 yang diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan dikukuhkan oleh DPR hasil pemilu 1955, adalah UUD yang dengan tegas dinyatakan dijiwai oleh Piagam Jakarta dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta. Hal demikian ada dokumen dan bukti sejarahnya.
Jadi UUD 1945 yang ada saat ini merupakan UUD yang  telah dijiwai dan sekaligus satu rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta. Ini harus kita pahami betul. Karena itu ketika terjadi amandemen ke-4 UUD 1945 pada sidang MPR yang lalu yang saya ikut duduk pada salah satunya komisi sejarah itu dikukuhkan. Pada awal kalimat amandemen dikatakan bahwa UUD Negara 1945 yang diberlakukan adalah berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hal ini mohon Bapak dan Ibu pahami betul.
Oleh karena itu, saya mencermati betul semua peristiwa ini, bahkan ikut berproses di dalam memposisikannya, ingin berpesan bahwa sesungguhnya syari’at Islam itu secara konstitusional tidak lagi berada di luar konstitusi, tetapi sudah berada dalam konstitusi. Ini yang harus dipahami umat Islam sendiri.
Sebagian kita masih banyak menduga bahwa Syari’at Islam masih berada di luar konstitusi, sehingga perlu perjuangkan untuk memasukkannya dalam konstitusi. Padahal sejak 5 Juli 1959, Syari’at Islam telah berada dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesalahpahaman ini harus kita kikis, karena jika tidak, saat umat Islam mau melaksanakan syari’atnya, seakan-akan mengubah konstitusi. Menurut pandangan saya, itu tidak benar. Mengamalkan syari’at Silam berarti melaksanakan konstitusi UUD Negara RI 1945.
Mari kita buktikan. Ketika UUD 1945 periode I, yaitu 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, adakah suatu peraturan perundang-undangan yang lahir berdasarkan UUD itu, yang berkaitan dengan syari’at Islam ? Insya Allah jika Bapak cari, itu tidak akan ketemu.
Tetapi pada periode ke II, yakni sejak 5 Juli 1959, kita akan menemukan begitu banyak perundang-undangan yang lahir berdasarkan UUD tersebut yang berkaitan dengan Syari’at Islam.
Mungkin Bapak-Bapak guru besar yang ada disini lupa melihat bahwa menurut KUHP, penghinaan terhadap agama tidak termasuk tindak criminal. Bapak boleh cari, carilah pada pasal 156 KUHP, pasti tidak akan ketemu. Tetapi berdasarkan UUD 1945 yang sudah diberlakukan kembali dengan dijiwai dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta, keluarlah pasal 156 A KUHP yang menyatakan penghinaan terhadap agama merupakan perbuatan tindak pidana yang diancam dengan hukuman maksimal 5 tahun.
Ini realita fakta, bukti sejarah, bukti konstitusional. Lahirnya pasal 156 A adalah berdasarkan penetapan Presiden tahun 1965 No. 1 yang dimasukkan dalam KUHP. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar