Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Minggu, 12 Juni 2011

Darurat Korupsi, Saatnya Revolusi


Satu per satu kasus korupsi di tubuh penguasa negeri ini terbuka. Borok-borok mereka secara perlahan tapi pasti terus menyeruak ke publik. Indonesia darurat korupsi.

“Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely”.
 Ungkapan sejarawan dan ahli pemerintahan Inggris Lord Acton (1834-1902) itu barangkali ada benarnya. Di negara liberal yang memisahkan urusan agama dengan persoalan publik (sekuler), kekuasaan memang cenderung korup. Kata Acton, makin absolut sebuah kekuasaan maka tingkat korupsinya semakin absolut pula. 

Untuk membuktikan tesis di atas marilah kita potret Indonesia. Negeri yang kaya raya, subur makmur, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Tetapi jumlah rakyat miskinnya pada tahun 2010 mencapai 31,2 juta jiwa atau 13,33 persen. Meskipun data itu dituding sejumlah kalangan sebagai data bohong. Karena data penerimaan beras rakyat miskin pada 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) mencapai 76,4 juta jiwa. Artinya, jumlah warga miskin di Indonesia harusnya dua kali lipat dari jumlah yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) itu.

Mirisnya di saat rakyat hidup dalam kemiskinan, sejumlah pejabat bagian dari penguasa negeri ini bergelimang kekayaan haram. Bisa dibayangkan di negeri ini ada seorang politisi muda, usia baru 33 tahun, anggota DPR, menjabat bendahara umum partai, menanganani proyek pemerintah senilai Rp. 48 trilyun dan dikabarkan menyumbang ke partainya Rp. 13 Milyar setiap tahunnya. Dialah M. Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat yang namanya mulai moncer pasca tertangkapnya Sekretaris Kemenpora Wafid Muharram dan Mindo Rosalina Manullang dalam kasus suap Wisma Atlet Palembang. Saking melimpahnya uang yang dimiliki, Nazarudin juga tersandung kasus pemberian gratifikasi kepada Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) Djanedri M. Gaffar uang senilai 120.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 800 juta.

Sebelumnya, santer diberitakan tentang kasus korupsi Kereta Rel Listrik (KRL) hibah dari Jepang  yang menyeret nama komisaris PT Kereta Api, Soemino Eko Saputro. Kasus ini berawal pada 2006-2007 ketika perusahaan asal Jepang, Sumitomo, menghibahkan 60 unit KRL bekas ke pemerintah Indonesia. KRL bekas tersebut terdiri atas 30 unit KRL tipe 5000 milik Tokyo Metro dan 30 unit KRL bekas tipe 1000 dari Tokyo Rapid Railway. Menurut perjanjian, biaya pengiriman KRL tersebut dibebankan pada penerima hibah, yakni pemerintah Indonesia. Nilai proyek mencapai Rp 48 miliar. Namun, terkait biaya pengiriman KRL itu, diduga telah terjadi penggelembungan harga hingga mencapai 9 juta Yen. Akibat mark up tersebut, negara mengalami kerugian sekitar Rp 11 miliar. Saat itu Menteri Perhubungan dijabat oleh Hatta Radjasa.

Belakangan kasus ini menyerat nama adik Hatta, Achmad Hafiz Tohir dan ipar Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Hartanto Edhie Wibowo. Karena mulai menyerempet keluarga penguasa inilah pengacara Soemino, Tumpal Hutabarat, kemudian dipecat. Kabarnya keluarga bekas Dirjen Perkeretapian Kemenhub itu sudah mulai tidak nyaman dengan sikap lantang Tumpal. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus korupsi Sesmenpora. Kamarudin Simanjutak, pengacara Mindo Rosalina Manullang akhirnya juga dipecat gara-gara bersuara lantang bahwa dibalik kasus itu terlibat mantan Bendum Partai Demokrat, M Nazaruddin. 

Menggurita

Korupsi di Indonesia memang telah merajalela bagai gurita. Korupsi telah ‘biasa’ dilakukan dari tingkat aparat paling redah, Ketua RT, hingga pejabat tinggi negara. Dua bulan lalu, Jumat (11/3/2011), dua harian Australia, The Age dan Sydney Morning Herald, memuat berita utama tentang penyalahgunaan kekuasaan (abused of power) oleh Presiden SBY dan istrinya, Ani Yudhoyono. Laporan harian itu berdasarkan kawat-kawat diplomatik rahasia Kedutaan Besar  Amerika Serikat (AS) di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks. MenurutWikiLeaks, kawat-kawat diplomatik tersebut menyebutkan SBY secara pribadi telah campur tangan untuk memengaruhi jaksa dan hakim demi melindungi tokoh-tokoh politik korup. SBY juga disebutkan menekan musuh-musuhnya serta menggunakan Badan Intelijen Negara (BIN) demi memata-matai saingan politik.

Dalam rangka menyelidiki kepentingan pribadi, politik, dan bisnis SBY, para diplomat Amerika mencatat dugaan hubungan antara SBY dan pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa, terutama Tomy Winata, yang diduga anggota "Geng Sembilan" atau "Sembilan Naga". Berdasarkan kawat-kawat itu, tahun 2006, Agung Laksono, yang sekarang menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, mengatakan kepada pejabat Kedutaan AS bahwa TB Silalahi, penasihat presiden di bidang politik, "berfungsi sebagai perantara, yang menyalurkan dana dari Tomy Winata ke Yudhoyono, (dan) melindungi SBY dari potensi kewajiban yang bisa muncul bila Yudhoyono berurusan langsung dengan Tomy."

Tomy Winata juga dilaporkan menggunakan pengusaha Muhammad Lutfi sebagai channel dana untuk SBY. SBY menunjuk Lutfi sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanam Modal (BKPM). Pada Juni 2006, salah seorang staf kepresidenan mengatakan kepada para pejabat kedutaan AS bahwa anggota keluarga Ibu Ani "secara khusus menyasar peluang keuangan yang terkait dengan perusahaan milik negara. "Staf itu menggambarkan Presiden, "dengan sengaja melakukan itu,  yang dijalankan operator terdekatnya, sedangkan Yudhoyono sendiri menjaga jarak sehingga ia tidak dapat terlibat."

Buah Liberalisme

Korupsi memang seolah telah membudaya. Akar masalahnya sejatinya terletak pada pandangan hidup masyarakat yang menilai segala sesuatu dari materi (materialisme). Standar kemanfaatan dan kebahagiaan selalu diukur dengan materi. Inilah prinsip yang lahir dari rahim Kapitalisme yang kemudian melahirkan gaya hidup sekulerisme dan liberalisme. Berapapun materi yang dimiliki seseorang tidak akan pernah bisa memenuhi keinginan. Intinya liberalisme memang sistem yang berpotensi membuat orang menjadi korup.

Korupsi juga dipicu oleh sistem pemerintahan. Pada sistem pemilihan kepala negara, kepala daerah dan anggota DPR secara langsung oleh rakyat, angka korupsi diduga akan terus meningkat. Padahal selama ini menurut lembaga survey Political & Economic Risk Consultancy (PERC)yang bermarkas di Hongkong,  Indonesia terus bertahan pada peringkat pertama negara terkorup di Asia dengan nilai nyaris sempurna, 9,07.

Ingin menjadi presiden, anggota DPR, gubernur, walikota maupun bupati semuanya membutuhkan dana yang sangat besar. Pasangan Pakde Karwo-Gus Ipul dalam kampanye pemilihan gubernur Jawa Timur 2008 lalu diberitakan  menghabiskan  lebih dari Rp. 1,3 triliyun untuk biaya kampanye. Untuk menjadi anggota DPR, seorang sumber Suara Islam (SI) di Pasuruan, Jawa Timur, yang pernah menjadi anggota tim sukses anggota DPR Misbakhun mengatakan bahwa aleg PKS itu menghabiskan dana setidaknya  Rp. 7 milyar.

Jika dihitung secara normal gaji yang didapat selama lima tahun menjabat dengan total biaya kampanye, tentu tidak akan mampu menutupi. Ambil contoh gaji gubernur. Manurut data yang dikeluarkan Bagian Anggaran Keuangan Kementerian Keuangan tertanggal 28 Januari 2005, gaji pokok seorang kepala daerah provinsi (gubernur) adalah Rp. 3.000.000.-, ditambah tunjangan jabatan Rp. 5.400.000.-. Total pendapatan gubernur per bulan cuma Rp. 8.400.000.- Jadi total pendapatan gaji selama lima tahun menjabat berjumlah Rp. 504.000.000.- Hanya setengah milyar saja. Nah, bila biaya untuk kampanye sampai ratusan milyar bahkan menembus trilyunan, lantas bagaimana cara untuk menutup modal awal kampanye itu?.

Langkah Revolusioner

Menurut Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH Muhammad Al Khaththath untuk menyelesaikan korupsi memang  diperlukan langkah-langkah revolusioner. Al Khaththath mengusulkan agar Presiden segera mengubah KPK menjadi Badan Revolusi Ganyang Korupsi (BRGK). “Badan itu langsung oleh presiden dengan pelaksana dari orang-orang KPK ditambah dengan para ulama, habaib, dan tokoh-tokoh pimpinan ormas Islam yang sudah terbukti integritasnya dan punya track recordtidak pernah menjabat struktur pemerintahan dan tidak terlibat KKN”, kata Al Khaththath. 

Hukuman setimpal juga diperlukan untuk memberantas korupsi. Terpenting adalah merubah paradigma tentang kehidupan. Bahwa materi bukanlah segalanya, dan bahwa kehidupan manusia akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. “Dengan pembiasaan hidup sehat dengan syariah, ketakwaan kepada Allah SWT, insya Allah Indonesia benar-benar akan menjadi negeri dan negara yang paling bersih di dunia, bersih dari segala penyakit korupsi dan kemaksiatan lainnya”, tegas Al Khaththath. (Shodiq Ramadhan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar