KH Hasyim Muzadi
Mantan Ketua Umum PBNU
Mantan Ketua Umum PBNU
Sebagaimana pernah dikatakan budayawan dan wartawan kawakan Mochtar Lubis, sesungguhnya korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya. Padahal pernyataan itu dilontarkannya pada tahun 1970-an di era Orde Baru. Sementara di era reformasi ini korupsi justru semakin menjadi-jadi. Diibaratkan kalau dulu orang korupsi masih malu-malu sehingga memberikannya selalu di bawah meja, sekarang sudah tidak malu lagi dengan memberikannya di atas meja bahkan mejanya dikorupsi sekalian.
Meski telah ada KPK sejak tahun 2003 lalu, namun korupsi di Indonesia bukannya berkurang malah semakin membesar. Problematika banyaknya korupsi di Indonesia sekarang adalah selain kepemimpinan Presiden SBY yang lemah dan peragu, juga tidak adanya satu kesatuan antara kata dan perbuatan dari pemimpin bangsa. Presiden SBY pernah mengatakan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi, tetapi kenyataannya KPK justru melakukan tebang pilih dan ketika pejabat partainya melakukan korupsi justru dilindunginya sehingga kabur ke Singapura, seperti dalam kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.
Berikut ini wawancara Tabloid Suara Islam dengan mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi seputar KPK, Pemberantasan Korupsi dan Kepemimpinan SBY yang lemah.
Suara Islam: Meski sudah ada KPK, mengapa korupsi justru semakin menjadi-jadi bahkan melebihi era Orde baru ?
KH Hasyim Muzadi: Sebenarnya korupsi baru bisa diberantas kalau ada gerakan nasional pemberantasan korupsi, jadi tidak cukup dengan komisi. Kalau komisi sifatnya parsial, karena masih harus berhadapan dengan polisi dan kejaksaan yang berada di bawah eksekutif. Kalau KPK mempunyai perbedaan kepentingan dengan kekuasaan, maka posisinya menjadi sulit, sebab proses pembentukan KPK melalui proses politik di DPR dan panselnya oleh pemerintah, jadi kooptasinya cukup kuat secara sistemik.
Sewaktu ada pertemuan antara NU dan Muhammadiyah tentang gerakan moral anti korupsi, kita usulkan korupsi menjadi gerakan nasional bukan hanya komisi. Tetapi UU nya kemudian melahirkan komisi, maka terjadilah baik melalui proses maupun penataan institusi hukum sulit untuk integratif antara KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan alat politik seperti DPR. Adapun yang terjadi kemudian adalah komisi.
Menurut ushul fiqh, dimana ada kaidah yang mengatakan: “Yang tidak dapat kita capai semua jangan ditinggalkan semua.” Jadi apa adanya komisi diterima, tetapi bagaimana diefektifkan. Memang upaya mengefektifkan tidak gampang. Pertama, dengan adanya anggota DPR yang ditangkap, maka DPR juga ragu-ragu untuk lebih mengefektifkan lagi posisi KPK sekarang. Kedua, ternyata KPK membentuk ke semua arah termasuk polisi, istri mantan jenderal polisi, maka polisinya sewot. Juga para jaksa yang diurus KPK seperti Cyrus Sinaga, sehingga menimbulkan conflict of interest antar lembaga penegak hukum.
Suara Islam: Bagaimana seharusnya peran Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam memberantas korupsi?
KH Hasyim Muzadi: Sebenarnya korupsi baru bisa diberantas kalau ada gerakan nasional pemberantasan korupsi, jadi tidak cukup dengan komisi. Kalau komisi sifatnya parsial, karena masih harus berhadapan dengan polisi dan kejaksaan yang berada di bawah eksekutif. Kalau KPK mempunyai perbedaan kepentingan dengan kekuasaan, maka posisinya menjadi sulit, sebab proses pembentukan KPK melalui proses politik di DPR dan panselnya oleh pemerintah, jadi kooptasinya cukup kuat secara sistemik.
Sewaktu ada pertemuan antara NU dan Muhammadiyah tentang gerakan moral anti korupsi, kita usulkan korupsi menjadi gerakan nasional bukan hanya komisi. Tetapi UU nya kemudian melahirkan komisi, maka terjadilah baik melalui proses maupun penataan institusi hukum sulit untuk integratif antara KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan alat politik seperti DPR. Adapun yang terjadi kemudian adalah komisi.
Menurut ushul fiqh, dimana ada kaidah yang mengatakan: “Yang tidak dapat kita capai semua jangan ditinggalkan semua.” Jadi apa adanya komisi diterima, tetapi bagaimana diefektifkan. Memang upaya mengefektifkan tidak gampang. Pertama, dengan adanya anggota DPR yang ditangkap, maka DPR juga ragu-ragu untuk lebih mengefektifkan lagi posisi KPK sekarang. Kedua, ternyata KPK membentuk ke semua arah termasuk polisi, istri mantan jenderal polisi, maka polisinya sewot. Juga para jaksa yang diurus KPK seperti Cyrus Sinaga, sehingga menimbulkan conflict of interest antar lembaga penegak hukum.
Suara Islam: Bagaimana seharusnya peran Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam memberantas korupsi?
KH Hasyim Muzadi: Seharusnya yang melakukan pemberesan korupsi adalah Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, karena dia yang membawahi kejaksaan dan kepolisian plus DPR yang mengatur proses KPK. Tetapi ternyata tidak ada keinginan untuk penguatan KPK yang signifikan, sehingga UU Tipikor terus molor dan DPR ingin mereduksi beberapa pasal ketajaman KPK. Ini kesulitan KPK secara sistemik.
Selain itu juga kesulitan KPK secara politis, karena kekuatan belum seimbang antara yang berada di dalam KPK dan di luar KPK, sehingga kekuasan dan politik mengambil pengaruh peran sehingga terjadi tebang pilih oleh KPK. Hal itu juga disebabkan oleh dua faktor. Pertama, karena banyaknya koruptor maka tidak mungkin diambil semua mesti dicicil sehingga menjadi tebang pilih. Kedua, arah moncong KPK dipengaruhi oleh siapa yang memberi input dari kontennya. Mungkin ICW atau oknum yang ada di pemerintahan.
Selain itu juga kesulitan KPK secara politis, karena kekuatan belum seimbang antara yang berada di dalam KPK dan di luar KPK, sehingga kekuasan dan politik mengambil pengaruh peran sehingga terjadi tebang pilih oleh KPK. Hal itu juga disebabkan oleh dua faktor. Pertama, karena banyaknya koruptor maka tidak mungkin diambil semua mesti dicicil sehingga menjadi tebang pilih. Kedua, arah moncong KPK dipengaruhi oleh siapa yang memberi input dari kontennya. Mungkin ICW atau oknum yang ada di pemerintahan.
Ibarat KPK itu senjata, moncongnya diarahkan ke mana-mana. Akhirnya diarahkan kepada orang luar seperti mantan pejabat dan menteri, atau orang partai diluar kekuasaan seperti PDIP. Karena kekuasaan di Indonesia campur, suatu kali moncong KPK liar dan saling balas membalas. Sekali pun larangan, kalau ada bagian pemerintahan ternyata sulit juga karena ada kekuatan invisible hand dalam pemerintahan. Seperti kasus Nazaruddin yang baru dicekal setelah pergi ke Singapura. Juga Nurbaiti dan koruptor BLBI dimana pasti ada proteksi kekuasaan. Inilah problem pemberantaan korupsi secara sistemik dan politis.
Suara Islam: Apa yang menjadikan faktor korupsi semakin merajalela?
KH Hasyim Muzadi: Korupsi semakin merajalela karena 5 tahun ini sebenarnya perekonomian kita terus menurun, dimana impor terus naik dan ekspor turun. Dengan adanya impor terus membengkak, mengakibatkan perekonomian merosot. Kapitalisme absolute yang menguasai Indonesia yang mengakibatkan perekonomian kelas menengah terus menurun menjadi ekonomi kelas bawah sementara potensinya tersedot ke atas. Seperti pasar tradisionil kalah bersaing dengan mall yang menjual pakaian impor dari China, sementara kelompok menengah seperti home industry banyak yang jatuh bangkrut sehingga turun menjadi kelompok bawah, sedangkan kapitalisme membengkak kekayaannya. Sehinga terdapat dua golongan yang sangat kaya dan sangat miskin. Kemiskinan pasti akan menimbulkan kejahatan sebelum menjauhkan kekufuran dengan mengancam aqidah. Masyarakat miskin pikirannya gampang dibeli, maka demokrasi telah menjadi industri dan transaksional karena yang satu mempunyai uang dan yang lain butuh uang, sehingga hukum dan politik semuanya di bawah uang.
Selain itu perbedaan ini mengakibatkan tumbuhnya sifat hedonisme di mana orang bermewah-mewahan di tengah-tengah kemiskinan rakyat. Apa yang terjadi setelah itu adalah rusaknya moral bangsa. Dalam kondisi seperti ini maka korupsi akan membesar di mana yang miskin terpaksa harus mencuri, merampok dan menjambret karena miskin. Hedonisme tidak puas-puasnya terhadap kekayaan yang dimilikinya, akibatnya terus menumpuk kekayaan karena faktor yang terbatas. Sehingga ada ‘aji mumpung’ menjadi anggota DPR atau Menteri cuma gajinya berapa, padahal dia hidup bertahun-tahun. Sehingga korupsi secara multi efek akan ikut membesar.
Suara Islam: Apakah faktor budaya juga berpengaruh dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?
KH Hasyim Muzadi: Ya, faktor budaya kurang menguntungkan dalam pemberantasan korupsi, yakni budaya masyarakat Indonesia yang biasa hidup diatas kemampuan sendiri. Bagaimana seorang PNS dengan gaji Rp 3 juta perbulan mempunyai 4 mobil, dapat dipastikan menggunakan fasilitas negara. Sehingga korupsi justru menjadi bagian dari gerakan demokrasi dan kebudayaan. Kalau negara kita mau memberantas korupsi, harus menjadikannya sebagai gerakan nasional yang memimpin kepala negara. Tetapi faktanya kepala negara sering berbenturan kepentingan dengan pemberantasan korupsi itu sendiri. Di Indonesia, rakyat dibawah dililit dengan kemiskinan sedangkan yang diatas dililit dengan kemunafikan.
Suara Islam: Bagaimana perbenturan kepentingan tersebut?
KH Hasyim Muzadi: Perbenturannya kepentingannya adalah karena presiden sebagai kepala negara tetapi juga pendiri dan ketua dewan pertimbangan partai. Kalau anggota partainya terkena kasus korupsi dan itu dibiarkan, maka sistemnya akan kena kemana-mana, maka dia harus dipotong. Tetapi sebagai kepala negara wajib ngomong anti korupsi. Di satu sisi dia memerlukan citra, tetapi di sisi lain memerlukan suatu kekuatan yang harus dilindungi dan itu korup.
Suara Islam: Apa yang menjadikan faktor korupsi semakin merajalela?
KH Hasyim Muzadi: Korupsi semakin merajalela karena 5 tahun ini sebenarnya perekonomian kita terus menurun, dimana impor terus naik dan ekspor turun. Dengan adanya impor terus membengkak, mengakibatkan perekonomian merosot. Kapitalisme absolute yang menguasai Indonesia yang mengakibatkan perekonomian kelas menengah terus menurun menjadi ekonomi kelas bawah sementara potensinya tersedot ke atas. Seperti pasar tradisionil kalah bersaing dengan mall yang menjual pakaian impor dari China, sementara kelompok menengah seperti home industry banyak yang jatuh bangkrut sehingga turun menjadi kelompok bawah, sedangkan kapitalisme membengkak kekayaannya. Sehinga terdapat dua golongan yang sangat kaya dan sangat miskin. Kemiskinan pasti akan menimbulkan kejahatan sebelum menjauhkan kekufuran dengan mengancam aqidah. Masyarakat miskin pikirannya gampang dibeli, maka demokrasi telah menjadi industri dan transaksional karena yang satu mempunyai uang dan yang lain butuh uang, sehingga hukum dan politik semuanya di bawah uang.
Selain itu perbedaan ini mengakibatkan tumbuhnya sifat hedonisme di mana orang bermewah-mewahan di tengah-tengah kemiskinan rakyat. Apa yang terjadi setelah itu adalah rusaknya moral bangsa. Dalam kondisi seperti ini maka korupsi akan membesar di mana yang miskin terpaksa harus mencuri, merampok dan menjambret karena miskin. Hedonisme tidak puas-puasnya terhadap kekayaan yang dimilikinya, akibatnya terus menumpuk kekayaan karena faktor yang terbatas. Sehingga ada ‘aji mumpung’ menjadi anggota DPR atau Menteri cuma gajinya berapa, padahal dia hidup bertahun-tahun. Sehingga korupsi secara multi efek akan ikut membesar.
Suara Islam: Apakah faktor budaya juga berpengaruh dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?
KH Hasyim Muzadi: Ya, faktor budaya kurang menguntungkan dalam pemberantasan korupsi, yakni budaya masyarakat Indonesia yang biasa hidup diatas kemampuan sendiri. Bagaimana seorang PNS dengan gaji Rp 3 juta perbulan mempunyai 4 mobil, dapat dipastikan menggunakan fasilitas negara. Sehingga korupsi justru menjadi bagian dari gerakan demokrasi dan kebudayaan. Kalau negara kita mau memberantas korupsi, harus menjadikannya sebagai gerakan nasional yang memimpin kepala negara. Tetapi faktanya kepala negara sering berbenturan kepentingan dengan pemberantasan korupsi itu sendiri. Di Indonesia, rakyat dibawah dililit dengan kemiskinan sedangkan yang diatas dililit dengan kemunafikan.
Suara Islam: Bagaimana perbenturan kepentingan tersebut?
KH Hasyim Muzadi: Perbenturannya kepentingannya adalah karena presiden sebagai kepala negara tetapi juga pendiri dan ketua dewan pertimbangan partai. Kalau anggota partainya terkena kasus korupsi dan itu dibiarkan, maka sistemnya akan kena kemana-mana, maka dia harus dipotong. Tetapi sebagai kepala negara wajib ngomong anti korupsi. Di satu sisi dia memerlukan citra, tetapi di sisi lain memerlukan suatu kekuatan yang harus dilindungi dan itu korup.
Ini semua menunjukkan baik sistem politik, ekonomi dan budaya yang kita punyai sekarang belum bisa dikatakan menunjang pemberantasan korupsi. Seperti kasus Nazaruddin, memang dia dipecat dari Bendahara Umum PD, sebab kalau tidak yang lain tidak akan selamat. Tetapi bagaimana pun dia juga diselamatkan.
Suara Islam: Beberapa waktu lalu Pak Kyai bersama Pak Din Syamsuddin dan para tokoh lintas agama mengkritik permasalahan korupsi, tetapi mengapa justru dituduh memiliki tujuan politik tertentu?
KH Hasyim Muzadi: Sebenarnya semua mengucapkan anti korupsi, tetapi mereka berkepentingan secara praktis untuk melindungi lingkungannya yang korup. Sehingga kalau dikritisi yang salah justru yang mengkritik. Sebenarnya para tokoh lintas agama yang menyampaikannya kepada Presiden itu jangan dituduh dulu, perlu dikaji benar atau tidak. Kalau benar ya diterima, kalau salah ya tidak diterima, bukannya diserang karena dia mengkritik pemerintah. Saya kira para tokoh lintas agama itu tidak mempunyai maksud politik tertentu. Mereka kan orang-orang tua, mau jadi apa? mau jadi DPR ya tidak pantas, mau jadi menteri ya ketuaan.
Suara Islam: Dalam suatu seminar di Jakarta, pak Kyai bilang sebenarnya hukum Islam sudah berlaku di Indonesia yang dicerminkan dalam UU Anti Korupsi. Bagaimana penjelasannya?-
KH Hasyim Muzadi: Hukum formal yang diberlakukan di dalam UU, belum berarti signifikan dan landing dalam kenyataan, sebab itu memang sifat dari hukum. Seperti UU Anti Korupsi dan UU Anti Pornografi, masih memerlukan perjuangan yang panjang agar bangsa ini tidak korup dan tidak porno. Jadi tidak berarti begitu UU ada maka semuanya selesai, ini kesalahan berfikir kita. Jadi hukum Fiqhiyah masih memerlukan perjuangan panjang awal waqiahnya (menjadi kenyataan). Jadi hukum legal formal tidak bisa berdiri sendiri kecuali ada kekuatan politik, ekonomi, budaya dan baru ada penegakan hukum. Jadi UU Anti Korupsi sudah sesuai dengan syariat Islam. Perjuangan umat Islam Indonesia itu mengefektifkan apa yang sudah ada. Kalau bangunannya yang diubah belum kita sempat merubahnya, sudah diributin seluruh bangsa ini. Maka secara siasat dan taktis, kita malah gagal.
Seperti sekarang ada kompilasi hukum Islam. Kita punya hukum lewat Kementerian Agama, kemudian masuknya ke negara lewat UU dengan bahasa dan argumentasi apapun. Kemudian UU Peradilan Agama (UUPA), dimana UU secara umum selain tidak bertentangan dengan hukum Islam juga menyokong tasyrik. Namun menyokong ini tidak bisa lafdhiyyah atau tekstual, karena kita tidak bisa menafikan orang non muslim disini.
Selain itu orang Islam sendiri yang aqidahnya amburadul masih banyak, sehingga gerakan agama yang kaffah total dilakukan ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU dan sebagainya. Sehingga secara personal umat Islam bisa mengisi teksnya di ormas Islam dan substansinya di negara, asal instrumennya kita pakai optimal. Juga akhlak para aktivis gerakan Islam apakah mampu sebagai uswatun hasanah. Kalau jadi Menteri atau anggota DPR selalu membawa bendera Islam, tetapi justru terlena di bidang duniawiyah seperti hubbul maal dan hubbul syahwat, kan itu sama saja dengan mereka. Disini dapat mengakibatkan keputusasaan masyarakat Islam.
Suara Islam: Bagaimana nasehat Anda kepada para pemimpin bangsa supaya korupsi bisa diberantas secara tuntas di negara dengan umat Islam terbesar di dunia ini?
KH Hasyim Muzadi: Pertama, sistem reformasi yang kita punyai harus dirapikan, sebab sistem yang kita pakai lebih longgar dari kebutuhan. Kelebihan itulah yang masuk angin baik ideologi, politik, ekonomi, budaya dan pendidikan.
Kedua, harus ada kepemimpinan yang kuat. Leadership ini ada hubungan timbal balik dengan sistem. Sistem yang amburadul akan melahirkan pemimpin yang amburadul. Amburadulnya pemimpin juga mempengaruhi semakin amburadulnya sistem. Sekarang kepemimpinan ini tidak kuat padahal problem bangsa semakin besar.
Suara Islam: Beberapa waktu lalu Pak Kyai bersama Pak Din Syamsuddin dan para tokoh lintas agama mengkritik permasalahan korupsi, tetapi mengapa justru dituduh memiliki tujuan politik tertentu?
KH Hasyim Muzadi: Sebenarnya semua mengucapkan anti korupsi, tetapi mereka berkepentingan secara praktis untuk melindungi lingkungannya yang korup. Sehingga kalau dikritisi yang salah justru yang mengkritik. Sebenarnya para tokoh lintas agama yang menyampaikannya kepada Presiden itu jangan dituduh dulu, perlu dikaji benar atau tidak. Kalau benar ya diterima, kalau salah ya tidak diterima, bukannya diserang karena dia mengkritik pemerintah. Saya kira para tokoh lintas agama itu tidak mempunyai maksud politik tertentu. Mereka kan orang-orang tua, mau jadi apa? mau jadi DPR ya tidak pantas, mau jadi menteri ya ketuaan.
Suara Islam: Dalam suatu seminar di Jakarta, pak Kyai bilang sebenarnya hukum Islam sudah berlaku di Indonesia yang dicerminkan dalam UU Anti Korupsi. Bagaimana penjelasannya?-
KH Hasyim Muzadi: Hukum formal yang diberlakukan di dalam UU, belum berarti signifikan dan landing dalam kenyataan, sebab itu memang sifat dari hukum. Seperti UU Anti Korupsi dan UU Anti Pornografi, masih memerlukan perjuangan yang panjang agar bangsa ini tidak korup dan tidak porno. Jadi tidak berarti begitu UU ada maka semuanya selesai, ini kesalahan berfikir kita. Jadi hukum Fiqhiyah masih memerlukan perjuangan panjang awal waqiahnya (menjadi kenyataan). Jadi hukum legal formal tidak bisa berdiri sendiri kecuali ada kekuatan politik, ekonomi, budaya dan baru ada penegakan hukum. Jadi UU Anti Korupsi sudah sesuai dengan syariat Islam. Perjuangan umat Islam Indonesia itu mengefektifkan apa yang sudah ada. Kalau bangunannya yang diubah belum kita sempat merubahnya, sudah diributin seluruh bangsa ini. Maka secara siasat dan taktis, kita malah gagal.
Seperti sekarang ada kompilasi hukum Islam. Kita punya hukum lewat Kementerian Agama, kemudian masuknya ke negara lewat UU dengan bahasa dan argumentasi apapun. Kemudian UU Peradilan Agama (UUPA), dimana UU secara umum selain tidak bertentangan dengan hukum Islam juga menyokong tasyrik. Namun menyokong ini tidak bisa lafdhiyyah atau tekstual, karena kita tidak bisa menafikan orang non muslim disini.
Selain itu orang Islam sendiri yang aqidahnya amburadul masih banyak, sehingga gerakan agama yang kaffah total dilakukan ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU dan sebagainya. Sehingga secara personal umat Islam bisa mengisi teksnya di ormas Islam dan substansinya di negara, asal instrumennya kita pakai optimal. Juga akhlak para aktivis gerakan Islam apakah mampu sebagai uswatun hasanah. Kalau jadi Menteri atau anggota DPR selalu membawa bendera Islam, tetapi justru terlena di bidang duniawiyah seperti hubbul maal dan hubbul syahwat, kan itu sama saja dengan mereka. Disini dapat mengakibatkan keputusasaan masyarakat Islam.
Suara Islam: Bagaimana nasehat Anda kepada para pemimpin bangsa supaya korupsi bisa diberantas secara tuntas di negara dengan umat Islam terbesar di dunia ini?
KH Hasyim Muzadi: Pertama, sistem reformasi yang kita punyai harus dirapikan, sebab sistem yang kita pakai lebih longgar dari kebutuhan. Kelebihan itulah yang masuk angin baik ideologi, politik, ekonomi, budaya dan pendidikan.
Kedua, harus ada kepemimpinan yang kuat. Leadership ini ada hubungan timbal balik dengan sistem. Sistem yang amburadul akan melahirkan pemimpin yang amburadul. Amburadulnya pemimpin juga mempengaruhi semakin amburadulnya sistem. Sekarang kepemimpinan ini tidak kuat padahal problem bangsa semakin besar.
Ketiga, masalah keteladanan dan kesungguhan, supaya pemberantasan korupsi menjadi gerakan nasional. Bagaimana supaya ada penguatan terhadap ekonomi rakyat kecil dan menekan hedonisme orang atas. Selama itu tidak dijalankan, hukum kalah dengan nafsu. Aturan perundangan akan jebol dengan nafsu hedonisme dan kemiskinan.
Juga pendidikan baik agama maupun umum, harus menyertakan masalah tholabul halal atau mencari yang halal. Kelemahan kita umat Islam sangat memperhatikan aqidah dan syariah tetapi tidak memperhatikan tholabul halal, dimana halal dan haram diterjang semua. Padahal pemberantasan korupsi itu kuncinya adalah pendidikan tholabul halal.
(Abdul Halim)
Juga pendidikan baik agama maupun umum, harus menyertakan masalah tholabul halal atau mencari yang halal. Kelemahan kita umat Islam sangat memperhatikan aqidah dan syariah tetapi tidak memperhatikan tholabul halal, dimana halal dan haram diterjang semua. Padahal pemberantasan korupsi itu kuncinya adalah pendidikan tholabul halal.
(Abdul Halim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar