Politik adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia,
sekalipun bukansatu-satunya yang paling utama. Masih banyak bidang lain
dalam kehidupan manusia yang juga tidak kalah penting dibandingkan
dengan politik. Akan tetapi karena dalam praktiknya selalu penuh dengan
intrik dan melibatkan orang banya ksecara kolosal, politik menjadi
terlihat lebih menarik dan hingar bingar sehingga seolah-olah politik
merupakan segala-galanya dalam kehidupan manusia.
Hal
seperti itu wajar terjadi mengingat politik dalam kenyataan yang kita
saksikan berkait erat dengan kekuasaan. Para ahli bahkan menyebutnya
sebagai suatu fenomena
a constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial secarapaksa)
[1].
Sementara kekuasaan itu sendiri ada di mana, bahkan dalam diri setiap
orang. Ketika kekuasaan itu dipertemukan dengan kekuasaan lain, maka
terjadilah saling desak kekuasaan hingga terjadi negosiasi dan
kesepakatan siapa yang boleh menggunakan kekuasaannya—secara paksa—dan
siapa yang harus menerima dikuasai orang lain. Oleh sebab itu, tidak
heran apabila politik selalu akan ramai diperbincangkan.
Hal ini
pula yang dialami di kalangan gerakan dan ormas Islam. Masalah politik
selalu menjadi perbicangan “seru”, bahkan dapat sampai menimbulkan
dampak besar ke dalam bidang-bidang yang lain. Puncak perbincangan
politik paling seru biasanya akan terjadi saat ada momen-momen politik
besar seperti pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan presiden,
atau pemilihan anggota legislatif. Ada yang prodengan keterlibatan
gerakan Islam dalam hajat berkala itu. Ada pula yang menolak dengan
tegas dengan berbagai alasan. Ada yang menghalalkan, tidak sedikit pula
yang mengharamakan.
Setiap keputusan yang merupakan “produk
ijtihad” tentu saja ada manfaat dan madharatnya. Akan tetapi, banyak
umat Islam yang tidak terlalu mengerti sebetulnya dalam konteks sistem
politik demokrasi yang diberlakukan di Indonesia saat ini, apa yang
paling tepat dan paling baik dilakukan oleh umat Islam. Tulisan berikut
adalah semacam penjelasan idealisme politik apa yang ingin dicapai oleh
Islam, bagaimana realitas politik Indonesi saat ini, dan bagaimana
peluang umat Islam untuk mengubah politik Indonesia saat ini.
Esensi dan Idealisme Kekuasaan dalam Politik Islam
Kalau
ditanyakan tujuan apa yang ingin dicapai dengan berpolitik di dalam
Islam, jawaban normatif yang disepakati hampir semua ulama segera dapat
kita tulis. Tujuan tersebut adalah:
pertama, ingin menegakkan Islam (
himâyahal-dîn)
dan
kedua, mewujudkan kesejahteraan umat (
ri’âsahsyu’ûn al-ummah).
[2] Tujuan
politik dalam Islam sama sekali tidak memberi ruang bagi pragmatisme
pribadi dan kelompok. Politik digunakan bukan untuk menumpuk keuntungan
pribadi; juga bukan untuk menegakkan kepentingan kelompok (
‘ashabiyyah). Hanya dua yang boleh mendapatkan manfaat dari kegiatan politik, yaitu “agama”dan “rakyat”.
Oleh
sebab tujuan politik yang begitu mulia, Imam Ghazali menyebutnya para
pemegang kekuasaan ini sebagai orang yang mendapat nikmat yang besar.
Tidak ada nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. melebihi kenikmatan
memegang kekuasaan. Dengan kekuasaan politik yang dipegang, seseorang
dapat menjadi orang yang diutamakan oleh Allah Swt. untuk masuk surga.
Di mata Allah, para penguasa memiliki derajat yang mulia dan lebih
dicintai. Dikatakan oleh Rasulullah Swt.,
“Adilnya seorang raja dalam sehari lebih dicintai oleh Allah Swt. daripada ibadah tujuh puluh tahun.”[3]
Tentu
saja nikmat yang besar bagi para pemegang kekuasaan itu sepanjang ia
dapat berlaku adil. Pemimpin yang zhalim, justru ia akan berubah menjadi
musuh Allah Swt., bukan lagi kekasih-Nya. Musuh-musuh Allah Swt. adalah
mereka yang tidak mau mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Penguasa
yang tidak mensyukuri nikmatnya adalah penguasa yang zhalim dan korup.
Bagi mereka Allah menyediakan siksa yangamat berat.“Tidak ada seorang
hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati
dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah Swt.
mengharamkan surga baginya,” demikian sabda Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu).
Ini
menunjukkan bahwa wilayah politik adalah wilayah yang kedudukannya bisa
sangat mulia. Politik di dalam Islam menempati posisi yang penting,
asal politik dipergunakan sesuai track-nya, yaitu untuk menjaga
tegaknya agama dan menyejahterakan rakyat. Betapa tidak mulia. Para
politisi ini akan bekerja bukan untuk kepentingannya, melainkan untuk
kepentingan orang lain; dan terutama untukkepentingan agama Allah Swt.
Betapa mulianya orang yang memegang pekerjaan ini. Oleh sebab itu,
politisi yang tidak bekerja sesuai dengan akadnya sebagai politisi, dia
dinamakan “pengkhianat”. Dia mengkhianati amanah Allah Swt. dan amanah
rakyat sekaligus. Dosanya pun tidak kepalang tanggung, sama seperti
pahalanya.
Pentingnya posisi politik bahkan diletakkan hanya satu
garis di bawah kerasulan. Ketaatan kepada pemegang posisi politik
tertinggi (ulil-amri) harus diberikan setelah ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Nisâ’ [4]: 59). Sekalipun ketaatan ini
bersyarat, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan ketaatan padaAllah
dan rasul-Nya, namun pernyataan secara khusus tentang posisi ulil-amri ini
menyatakan bahwa politik adalah sesuatu yang amat penting dan memiliki
kedudukan yang tinggi. Oleh sebab itu pula, memisahkan Islam—sebagai
agama—dengan politik adalah perbuatan sia-sia. Selain amat mustahil,
juga tidaksesuai dengan karakter ajaran Islam yang syâmil-mutakâmil.
Selain
memuji sebagai pekerjaan yang sangat penting, Islam juga mengingatkan
bahwa memegang posisi politik adalah memegang posisi yang penuh fitnah.
Dalam sebuah hadis yang tercantum dalam
Sunan Al-Nasâ’i bab
Ittibâ’ Al-Shaid dariIbnu Abbas, Rasulullah Saw. pernah mengatakan,
“Siapa yang tinggal di huta ndia akan kering (dari informasi; kurang pergaulan
);
siapa yang mengikuti binatang buruan, dia akan lalai; dan siapa yang
mengikuti (dekat-dekat) penguasa, dia akan terkena fitnah.” Al-Suyûthi menyebut bahwa yang dimaksud
“terkena fitnah” dalam hadis tersebut adalah
“hilangnya agama” atau
“dikhawatirkan sudah tidak lagi memperhatikan agamanya, karena ingin mendapatkan keridhoan penguasa.”[4]
Berdekat-dekatan
dengan penguasa saja dapat menimbulkan fitnah yang besar, yaitu
hilangnya agama, apalagi menjadi penguasa. Menjadi penguasa secara
psikologis memang membuat orang cenderung merasa dirinya paling
segalanya sehingga tidak sedikit yang lupa daratan. Ini terlihat saat
yang bersangkutan kehilangan posisi dan kedudukannya. Tidak sedikit yang
mengidap penyakit kejiwaan yang sering disebut post power-syndrom. Oleh
sebab itu, tanpa bekal keimanan, keilmuan, dan mental baja, banyak
orang yang terjerumus dalam kubangan dunia politik. Mereka terjerumus
dalam lumpur dosa akibat mengkhianati amanah yang dipikulnya. Kesempatan
untuk berkhianat pada amanah sangat terbuka lebar bagi mereka yang
memegang kekuasaan. Tidak salah pula dalam konteks ini apabila politik
dikatakan sebagai suatu medan yang high risk high value.
Kekuasaan dalam Sistem Politik Indonesia Modern
Sistem
politik Indonesia pasca-kolonialisme mengalami perubahan yang cukup
signifikan. Bahkan sejak kemerdekaan hingga saat ini telah terjadi
perubahan-perubahan penting yang menyebabkan konstelasi sistemik politik
Indonesia terus berubah. Bahkan, setelah lepas reformasi terjadi pula
perubahan konstelasi politik yang penting untuk dicermati. Inilah yang
akan kita potret pada bagian ini. Ini menjadi penting mengingat konteks
politik yang tengah dihadapi di Indonesia adalah apa yang saat ini
tengah dihadapi.
Secara teori, politik adalah segala hal yang
berkenaan dengan kekuasaan. Pusat kekuasaan di suatu komunitas adalah
negara. Oleh sebab itu, ketika politik disebut secara tersendiri, maka
yang dimaksud adalah segala hal yang berkenaan dengan kekuasaan negara
dan derivatnya. Kekuasaan yang hidup secara sosiologis dalam diri setiap
orang bukan yang dimaksud dengan istilah tersebut, sekalipun kekuasaan
jenis ini menjadi sumber utama hadirnya kekuasaan negara yang efektif.
Dalam
konteks politik-kenegaraan, sejatinya negara adalah pemegang kedaulatan
(kekuasaan) tertinggi. Representasinya adalah “kepala negara”. Di masa
lalu, ketika kekuasaan belum dibagi-bagi, satu-satunya pemegang
kekuasaan adalah“kepala negara” yang sering disebut khalifah, raja,
sultan, atauistilah-istilah sejenisnya. Ulil-amri yang disebut
dalam Al-Quran adalahmereka. Saat diperkenalkan dan dipraktikkan
trias-politika di Eropa, mulailah kekuasaan dibagi-bagi. Ada kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan ada pula kekuasaan yudikatif.
Tujuannya adalah supaya tidak terjadi pemusatan kekuasaan yang mungkin
akan menimbulkan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Sekalipun, dalam praktiknya, division of power semacam
ini tidak selalu berdampak baik terhadap efektivitas penggunaan
kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan politik, apalagi dikaitkan dengan
pencapaian tujuan politik Islam. Bisa jadi pembagian kekuasaan justru
membuka pintu masuknya pengaruh atas satu bagian kekuasaan yang akan
merusak tujuan politik Islam.
Indonesia pernah mengalami fase
dipimpim oleh para raja yang berkuasa secara tunggal,dikuasai asing
(baca: Belanda) yang kekuasaannya pun absolut namunmenyengsarakan, dan
terakhir setelah kemerdekaan Indonesia belajar untuk memerintah sendiri
dengan pola division of power. Indonesia menganu ttrias politika
model Montesque. Kekuasaan tertinggi di atas kertas dipegang oleh kepala
negara (presiden). Sampai tahun 1967, kekuasaan ini dibagikan kepada
tiga pemegang kekuasaan yang berbeda. Ada penguasa legislatif (MPR/DPR)
yang dipilih melalui pemilihan umum; ada penguasa eksekutif yang
dipimpin oleh perdana menteri yang bertanggung-jawab kepada parlemen
(dan presiden); ada kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang mandiri. Sistem
ini disebut sistem parlementer.
Memasukiera Orde Baru, kekuasaan
berubah menjadi presidensial. Kali ini presiden,selain bertindak sebagai
kepala negara, juga menjalankan peran sebagai kepala eksekutif
(pemerintahan). Dalam sistem ini selama Orde Baru, eksekutif
denganposisinya demikian menjadi sangat powerfull dibandingkan
pemegangkekuasaan rekannya, yaitu DPR dan kehakiman. Kepala eksekutif
inheren didalamnya sebagai kepala negara sehingga posisinya menjadi
sangat penting danmenentukan. Semasa Suharto berkuasa sepanjang Orde
Baru, kekuasaannya dianggap“otoriter” hingga perlu dikoreksi.
Kritik
terhadap Orde Baru inilah yang akhirnya melahirkan Reformasi. Secara
politik ,gerakan Reformasi berhasil merombak pola pembagian kekuasaan
yang dianggap otoriter semasa Suharto. Kekuasaan presiden dipangkas.
Sekalipun masih tetap kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, namun
kekuasaannya untukmengeksekusi program-program harus disetujui oleh
DPR. Bila sebelumnya DPR tidak banyak memiliki kekuasaan, justru sejak
Reformasi bergulir DPR memiliki tambahan kewenangan yang membuatnya bisa
lebih berkuasa daripada sebelumnya. Bahkan, dalam hal-hal tertentu DPR
bisa lebih berkuasa dari kepala negara(presiden).
Model kenegaraan dengan sistem pembagian kekuasaan (division of power)
seperti ini diyakini merupakan alternatif terbaik untuk menampung
hak-hak politik dari warga negara. Seiring dengan diratifikasinya Bill of Right, kebebasan
bersuara dan berpendapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
pengambilan kebijakan politik-kenegaraan selepas Reformasi.
Otoritarianisme dianggap sebagai musuh yang harus dienyahkan karena
bertentangan dengan prinsip kebebasan individu ini. Kekuasaan yang lebih
besar diberikan kepada DPR pun tidak terlepas dari keinginan untuk
memberikan ruang aspirasi bagi rakyat yang secara individual memiliki
kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya. Sebab secara ideal, DPR
merupakan institusi yang memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan
aspirasi rakyat.
Kekuasaanyang telah terbagi-bagi inilah yang kemudian menjadi lahan pertarungan politikbaru di Indonesia pasca-Reformasi. Stage baru
ini tentu saja melahirkan tindakan-tindakan politik baru yang
sebelumnya tidak terjadi. Salah satunya adalah politik biaya tinggi (high cost politic).
Jangankan pada masa kerajaan-kerajaan masih ada, di zaman Orde Baru pun
fenomena ini tidak pernah muncul. Menjadi politisi di zaman itu,
sekalipun tetap harus ada biaya politik yang dikeluarkan, namun dalam
ukuran yang wajar. Umumnya, setiap calon pejabat politik dapat merogoh
kocek miliknya sendiri untuk membiayai ongkos politik yang dibutuhkan
tanpa harus melibatkan para pemilik modal (kapitalis).
Pada masa
Orde Baru, sekalipun para pemilikmodal tetap ingin mendapatkan akses
terhadap kekuasaan, mereka cenderung tetaployal pada penguasa. Bila
penguasa bervisi baik, para pemilik modal tidak dapatberkolusi dengan
penguasa. Akan tetapi, bila hasrat bermewah-mewah parapenguasa tidak
dapat dikendalikan, barulah para pemilik modal ini dapat menggunakan the power of money yang
dimilikinya untuk meraih keuntungandari kekuasaan. Saat itu, para
pemilik modal lebih senang berada di balik layar. Mereka yang duduk di
kursi kekuasaan adalah para teknokrat danorang-orang pintar yang
memiliki kapabilitas untuk mengelola negara. Pada zaman itu tidak
mengherankan bila mereka yang bersekolah tinggi dan berprestasi secara
akademik memiliki kesempatan lebih luas untuk diakses dalam lingkaran
kekuasaan.
Reformasitelah mengubah semua itu. Politik biaya tinggi
dan keterbukaan politik yang hampirtanpa batas telah menyebabkan
politik hanya ramah bagi mereka yang memilikimodal. Mereka yang tidak
bermodal besar, sekalipun memiliki segudang prestasijangan terlalu
bermimpi bisa berada di lingkaran kekuasaan. Ada satu dua yangmemiliki
modal sosial tinggi, tanpa modal uang banyak, dapat masuk dalamjejaring
kekuasaan; akan tetapi jumlahnya amat sedikit. Di antara mereka
adalahpara artis, kiai, dan selebritis lainnya. Itupun umumnya mereka
kurang memilikikecakapan baik dalam mengelola kekuasaan yang dimilikinya
karenalatar-belakangnya yang bukan politisi. Alhasil, keberadaannya
dalam lingkarankekuasaan tidak memberi efek besar.
Merekayang
berani maju dalam pertarungan politik dan berpotensi besar
memenangkannyaadalah “yang punya modal” atau “yang dimodali”. Mereka
yang memiliki modaluntuk maju sangat mulia apabila ia mempertaruhkan
semua modalnya untukkesejahteraan rakyat. Namun, pada kenyataannya yang
dilakukan sama sepertiperlakuannya terhadap modal untuk bisnisnya. Uang
yang dikeluarkannya haruskembali dalam jumlah yang lebih banyak sehingga
kekuasaan yang diraihnya hanya dijadikan kuda tunggangan untuk semakin
memuluskan jalannya menumpuk pundi-pundi uang. Sementara mereka “yang
dimodali” orang lain berpotensi hanya menjadi wayang. Dia diusung ke
atas kursi kekuasaan hanya untuk memberi stempel kepentingan-kepentingan
sang pemilik modal.
Dalam situasi politik seperti ini, sama
sekali tidak ada istilah “daulat rakyat”; yang ada hanyalah “daulat
uang” dan “daulat pemilik modal”. Ini terlihat darisemakin lemahnya
posisi negara terhadap para pemodal. Negara cenderung tidak bisa
mencegah tindakan-tindakan destruktif yang dilakukan para pemilik modal
seperti mengeruk tambang, menggunduli hutan, memangkas anggaran proyek,
dan sebagainya. Padahal, jelas-jelas yang dirugikan dari semua proses
seperti ituadalah rakyat. Negara tidak lagi sendirian memegang kendali
kekuasaan.Kekuasaan telah menjadi lahan “arisan” yang dipegang sahamnya
oleh banyak pihak yang bahkan sama sekali tidak ada kaitannya secara
struktural dan institusional dengan penguasa formal. Oleh sebab itu,
boleh juga dikatakan bahwa dalam sistem politik Indonesia saat ini ada
satu lagi “pembagi” kekuasaan yang tidak kasat mata di negeri ini, yaitu
pemilik modal (kaum kapitalis).
NGO Sebagai Fourth Power
Pertanyaanberikutnya
yang cukup penting, terutama dalam konteks gerakan organisasi
masa(ormas) seperti Muhammadiyah, NU, Persis, MUI, FUI, DDII adalah di
mana peran organisasi-organisasi non-pemerintah ini? Berikut penjelasan
mengenai masalah ini secara singkat.
Terdapat fenomena baru yang unik dalam institusi negara modern berkait dengan pembagian kekuasaan (
division of power). Rupanya pemegang kekuasaan bukan hanya mereka yang memegang jabatan-jabatan politik (
political society).
Dalam model demokrasi modern masyarakat dimungkinkan membentuk
kelompok-kelompokkepentingan untuk menyuarakan aspirasi dan harus diakui
serta diberi legitimasi oleh negara. Kelompok-kelompok kepentingan ini
pun boleh mengorganisasi diri sebagaimana halnya organisasi negara.
[5] Kelompok-kelompok inilah yang disebut sebagai
non-government organization (NGO) atau dikenal pula dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
[6]
Arbi
Sanit menyebut organisasi semacam ini sebagai salah satu wujud swadaya
kepolitikan masyarakat yang mungkin tidak tertampung aspirasinya oleh
kekuatan politik yang resmi berada di wilayah
political society seperti pemerintah dan
partai politik
. Melalui
NGO-NGO yang didirikan oleh masyarakat ini, masyarakat dimungkinkan
memiliki kekuatan politik yang harus diakui oleh negara. Kekuatan inilah
yang disebut sebagai
civil power.
[7]
Organisasi masa (ormas) dan organisasi gerakan Islam adalah bagian dari civil society dalam
sistem politik modern yang dianut Indonesia saat ini. Keberadaannya
diakui oleh negara sebagai kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan
ini sebagaimana NGO lainnya diperkenankan memiliki aspirasi politik dan
menyuarakannya, langsungataupun tidak. Bedanya kekuatan kelompok NGO ini
dibandingkan dengan aparat politik adalah tidak memiliki kewenangan
mengeksekusi langsung aspirasipolitiknya dengan alat-alat yang dimiliki
oleh negara. Akan tetapi, dibandingkan negara, NGO bisa langsung
berhubungan dengan masyarakat untukmemperjuangkan misinya tanpa harus
melalui alat-alat negara yang terkadang terlalu rigid.
Sekedar
mengambil contoh yang penulis ketahui dengan baik, kita ambil tujuan
ormas Persis. Tujuan didirikannya Persis sebagaimana tercantum dalam
QA/QD yang disepakati para anggotanya melalui Muktamar adalah untuk
mewujudkan syari’at Islam dalam segenap aspek kehidupan, terutama bagi
anggotanya. Ini adalahaspirasi Persis. Sebagai warga negara di negara
demokrasi, apa yang menjadi cita-cita Persis tidak boleh diberangus oleh
negara, karena secara prinsip tidak bertentangan dengan misi negara.
Negara harus membiarkannya hidup, sekalipun belum tentu aspirasi semacam
ini bisa ditampung oleh negara. Aspirasidan kepentingan para anggota
Persis ini dalam konteks sistem di negara modern masih boleh dipelihara
dalam kelompoknya. Persis boleh memperjuangkan apa yang menjadi misinya
melalui kelompok ini.
Sebagaikelompok kepentingan yang memiliki
kekuatan politik di negara modern, ada duahal yang bisa dilakukan
melalui organisasi ini. Pertama, secara sah,Persis sebagai
organisasi dapat mengusulkan apa yang menjadi aspirasinya kepadanegara
melalui saluran-saluran politik negara yang diakui seperti
pemerintah,birokrasi, atau anggota legislatif. Sepanjang daya tawar
politik yang dimilikioleh Persis kuat, apa yang menjadi aspirasinya
sangat mungkin segera akanditindaklanjuti oleh pemegang kekuasaan di
wilayahpolitical society. Kalaudaya tawar politiknya rendah, memang akan menyulitkan bagi Persis untuk dapatsecara kuat memaksakan aspirasinya.
Kedua, Persis
memiliki akses tanpa batas kepada jamaah dan anggotanyasecara langsung.
Aspirasi yang diembannya, sepanjang menyangkut kepentingan jamaah dan
anggotanya dapat langsung diterapkan tanpa harus menunggu kekuatan
negaraturut membantunya. Bahkan dari sisi ini, kekuatan political society tidak lebih kuat dibandingkan kekuatan yang dimiliki Persis. Persis akan dapat menghalangi masuknya akses political society kepada
jamaah dan anggotanya, bila kekuatan proteksi Persis efektif dan besar.
Pada bagian inilahkekuatan ormas lebih unggul dibandingkan organisasi
lain, bahkan dibandingkan organisasi politik (orpol). Oleh sebab itu,
tidak mengherankan apabila ormas (baca: NGO) tepat juga apabila disebut
sebagai kekuatan keempat (fourthpower) setelah kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kedua
hal di atas dapat juga dilakukan oleh organisasi dan gerakan Islam lain
seperti Muhammadiyah, NU, DDII, A-Irsyad Al-Islamiyyah, FUI, dan
gerakan-gerakan lainnya yang jumlahnya sangat banyak. Kalau
kekuatan-kekuatan ormas dan gerakan Islam ini dapat menyatukan langkah
untuk mencapai visi yang sama, maka daya tawar politiknya semakin
tinggi. Akan tetapi, amat disayangkan seringkali kekuatan politik ini
tidak disadari keberadaannya dan cenderung ditakuti oleh penguasa. Oleh
sebab itu, tidak heran apabila penguasa selalu berkepentingan untuk
membuat umat Islam menjadi tidak satu suara. Merujuk pada dua kekuatan
diatas, maka ormas-ormas dan gerakan Islam dapat melakukan dua hal
berikut dalam mempengaruhi politik negeri ini.
Pertama, kembali
kepada teori politik-kenegaraan modern yang dianut di Indonesia. Di
negeri ini kekuatan politik penentu kebijakan bukan hanya ada di
wilayah political society, melainkan ada pula secara efektif di wilayah civil society. Keduakekuatan ini secara bersama ikut menentukan terbentukanya suatu kebijakan. PemudaPersis adalah salah satu bagian dari civil society yang
keberadaan danhak-hak politikya diakui negara. Jadi, tanpa harus
menjadi parpol, bergabung dengan parpol tertentu, atau “menitipkan”
kadernya kepada parpol tertentu, secara inheren di dalam tubuh Pemuda
Persis ada kekuatan politik yang efektif dan dapat digunakan secara
langsung untuk ikut menentukan kebijakan negara.
Masalahnya adalah
bahwa posisi politik ini seringkali tidakdisadari keberadaannya
sehingga sangat jarang—kalaupun dikatakan tidakpernah—digunakan. Banyak
kebijakan yang sesungguhnya bisa diubah haluannyahanya berbekal nama
suatu ormas Islam atau gerakan tertentu. Misalnya saat ini tengah
digodog rancangan KUHP di DPR yang diusulkan pemerintah. Sebagai
bagiandari kekuatan civil society yang memiliki hak politik,
ormas dangerakan-gerakan Islam bisa saja datang ke DPR atau pemerintah
untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Kekuatan politik Ormas dan
gerakan-gerakan Islam akan semakin diperhitungkan apabila ditambah
dengan pengerahan masa. Kebijakan bisa berubah atas usul Ormas dan
gerakan-gerakan Islam. Akan tetapi, apakah di Ormasdan gerakan-gerakan
Islam ada kader yang siap mengkritisi RUU itu dengan argumentasi yang
tidak memalukan? Juga apakah di Ormas dan gerakan-gerakanIslam ada yang
memiliki kapasitas untuk memainkan peran politik ini? Jelas ini kembali
kepada keberhasilan kaderisasi di Ormas dan gerakan-gerakan Islam. Oleh
sebab itu, untuk saat ini sebetulnya tidak perlu terlalu takut Ormas
dangerakan-gerakan Islam tidak bisa mempengaruhi kebijakan politik
dengan tidak ikut bergabung dengan parpol.
Kedua, visi
politik itu bukan hanya sekedar memengaruhi kebijakan, tetapi juga pada
aspek implementasi kebijakan dan hukum di masyarakat (tanfîdz).
Pemerintahmemiliki perangkat untuk tujuan politik yang satu ini.
Perangkatnya disebut“aparat penegak hukum” seperti birokrasi, polisi,
pengadilan, jaksa, dan sebagainya. Akan tetapi, “badai uang” yang
melanda negeri ini telah melumpuhkan kekuatan aparat penegak hukum
sehingga berakibat law disobedience (ketidaktaatanpada hukum)
terjadi di mana-mana. Aparat tidak banyak yang bisa bertindaktegas.
Banyak peraturan perundangan yang akhirnya hanya jadi macan kertas.
Secara politik, ini adalah suatu bentuk kegagalan lain.
Ormas dan
gerakan-gerakan Islam adalah di antara sekian banyakNGO yang memiliki
akses kepada anggota, jamaah, dan simpatisannya yang bisajadi lebih
dipercayai dibanding kepercayaan mereka terhadap negara (baca: political society). Tentu
ini merupakan efek dari konsistensi Ormas dangerakan-gerakan Islam
dalam membina dan mendekati jamaah. Para pemimpin ormasdan
gerakan-gerakan Islam dipercayai dan ditaati karena kejujuran,
keihklasan, keilmuwan, dan kezuhudan mereka. Sementara para birokrat dan
politisi banyak yang tidak ditaati karena ketidakjujuran, pamrih, dan
kemewahan yang mereka kejar. Dibandingkan dengan aparatur negara,
kekuatan daya terap nasihat daripara pemimpin ormas dan gerakan-gerakan
Islam (yang juga umumnya ulama) lebih kuat dibandingkan para aparatur
politik. Ini adalah wilayah politik yang sebetulnya terbuka peluangnya
untuk digunakan seluas-luasnya bagi tegaknya misipolitik Islam, yaitu
tegaknya agama dan kesejahteraan umat.
Walaupun kedua wilayah
politik yang bisa dimanfaatkan oleh kader-kader Ormas dan
gerakan-gerakan Islam yang memang ingin berjuang dengan wasilah
“politik” nyata-nyata dan jelas adanya, namun seringkali tersamarkan
dengankenyataan bahwa kedua wilayah itu adalah wilayah yang “kering”.
Tidak ada gelimangan anggaran dan uang di sana. Akibatnya, daya tarinya
menjadi sangatrendah. Kalau ini memang yang menjadi alasan mengapa
fasilitas politik yang inheren di ormas dan gerakan-gerakan Islam tidak
dimanfaatkan, maka benarla hbila ada yang su’uzhan memprediksi bahwa orang-orang yang bertarung untuk masuk ke ruang-ruang politik di wilayah political society sama-samaseperti
yang lain hanya ingin berebut “kue politik” alias uang! Kalau memangitu
yang terjadi, apa artinya ada kader-kader Ormas dan gerakan-gerakan
Islam yangikut serta dalam pertarungan politik praktis negeri ini?
Wallâhu A’lam bi Al-Shawwâb.
[1] Lihat Goodin and Hens Dieter Klingemann (ed.).
A New Handbook of Political Sicence. (London: Oxford University Press, 1995) hal. 7
[2] Al-Mawardi menyebut tujuan kekuasaan dalam Islam adalah untuk menjaga urusan agama (
hirâsah al-dîn) dan mengelola urusan dunia (
siyâsahal-dunyâ) lihat :
Muhammad Rasyid Ridha.
Al-Khilâfah aw Al-ImâmahAl-‘Uzhmâ. (Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1994) hal. 35; lihat jugaShalah Al-Shawi.
Al-Wajîz fi Fiqh Al-Khilâfah. (Kairo: Dâr Al-I’lâmAl-Dauli, tt.) hal. 5.
[3] Abu Hamid Al-Ghazali.
Al-Tibr Al-Masbûk fî Nashîhah Al-Mulûk. (Kairo: Maktabah Al-Kulliyyah Al-Azhariyah, tt.) hal. 18
[4] Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi.
Syarh Sunan Al-Nasâ’i. (Beirut:Dâr Al-Ma’rifah, 2001) Jil. 6 hal. 50.
[5] S.P. Varma.
Teori Politik Modern. (Jakarta: Raja Grafindo,2007) hal. 225. Lihat juga Arbi Sanit.
Swadaya Politik Masyarakat. (Jakarta:Rajawali, 1985) hal. 35
[6] NGO
ini secara umum didefinisikan sebagai organisasi yang
memilikicirri-ciri: 1) bukan bagian dari pemerintah, birokrasi, maupun
negara; 2) tidak bertujuan memperoleh keuntungan materi (nirlaba); 3)
kegiatan dilakukan untukkepentingan masyarakat umum. Definisi ini adalah
definisi yang resmi dibuatoleh negara melalui Intruksi Menteri Dalam
Negeri (Inmendagri) No. 8/1990. Inimerupakan wujud dari pengakuan negara
atas keberadaan organisasi-organisasi non-pemerintah. Apabila RUU Ormas
jadi disahkan, maka bagian dari NGO yangkhusus, yaitu ormas, mendapat
legitimasi lebih kuat lagi keberadaannya olehnegara.
[7] Arbi Sanit.
Op. Cit. hal. 35
Disampaikan alam diskusi dwipekanan INSISTS 9 Jumadil Tsani 1434/21 April 2013