Saya ingin menulis tentang syari'ah karena, hal itu sering ditanyakan
kepada saya dan tampaknya banyak yang salah paham tentang hal itu.
Kata syari'ah dalam Bahasa Arab artinya jalan yang lebar, sementara
kata thariq artinya jalan yang sempit. Ibnu Taymiyyah mengartikan
keseluruhan ajaran Islam adalah syari'ah, karena ia adalah jalan yang
lebar menuju keridaan Allah dan
kemaslahatan bagi umat manusia di muka bumi maupun di akhirat kelak.
Sementara thariq atau thariqah adalah jalan yang sempit dan berliku yang
ditempuh oleh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam kajian hukum, pengertian syari'ah dibatasi hanya pada
ajaran-ajaran Islam yang terkait dengan norma atau kaidah hukum.
Norma-norma hukum itu ditemukan di dalam al-Qur'an dan hadits Nabi
Muhammad s.a.w., yang merupakan dua sumber utama ajaran Islam. Ayat-ayat
al-Qur'an yang mengandung norma hukum disebut dengan istilah ayat-ayat
hukum atau ayat-ayat ahkam. Begitu pula hadits-hadits yang jumlahnya
ribuan itu, jika mengandung norma hukum, maka hadits-hadits tersebut
dinamakan dengan istilah hadits-hadits hukum.
Jumlah ayat-ayat
hukum di dalam al-Qur'an relatif tidak banyak dibanding ayat-ayat yang
membahas masalah-masalah lainnya. Demikian pula hadits-hadits hukum.
Abdul Wahhab al-Khallaf menyebutkan bahwa ada sekitar 3 persen dari
seluruh ayat-ayat al-Qur'an yang dapat digolongkan sebagai ayat-ayat
hukum. Jumlah 3 persen itu di luar ayat-ayat hukum yang mengatur bidang
peribadatan seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya. Jumlah 3 persen
itu berisikan norma-norma hukum yang terkait dengan norma hukum privat
dan hukum publik.
Corak perumusan norma hukum dalam ayat-ayat
al-Qur'an maupun hadits umumnya bersifat singkat, tidak rinci dan tidak
dirumuskan dengan sistematik. Karena itu, meskipun al-Qur'an mengandung
norma hukum, namun al-Qur'an bukanlah sebuah kitab hukum, apalagi
kodifikasi hokum. Kitab-kitab hadits pun bukan pula kitab-kitab hukum,
karena ia berisi himpunan hadits yang mencakup semua hal yang dicatat
dari perkataan, perbuatan dan sikap diam Nabi Muhammad s.a.w., semasa
hidup beliau.
Al-Qur'an memang bukan sebuah kitab hukum, karena
fungsinya adalah sebagai petunjuk, penjelasan dan pembeda antara
kebenaran dengan kesalahan. Dalam konteks itu maka kita memahami bahwa
di bidang hukum, fungsi al-Qur'an adalah petunjuk, penjelasan dan
pembeda dalam merumuskan norma hukum. Demikian pula fungsi hadits adalah
memberikan petunjuk dan arahan dalam merumuskan norma-norma hokum.
Karena fungsi al-Qur'an dan hadits adalah demikian, maka lebih tepat
kita katakan bahwa syari'ah, yakni ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits
hukum adalah sumber hukum, yakni sumber tempat kita menggali dan
merumuskan norma hukum untuk digunakan dalam ruang dan waktu tertentu.
Rumusan norma hukum yang singkat, tidak rinci dan tidak sistematik di
dalam syari'ah itu memang sengaja dirumuskan demikian mengingat
kehidupan umat manusia yang bersifat dinamis sehingga kebutuhan hukum
mereka tumbuh dan berkembang sesuai perkembangan zaman. Hanya dua bidang
hukum yang dirumuskan rinci dalam syari'ah, yakni hukum perkawinan dan
hukum kewarisan. Hukum perkawinan dan kewarisan itu pun masih memerlukan
sistematisasi untuk memberlakukannya, juga mempertimbangkan
perkembangan zaman.
Pengertian 'akil baligh yang menentukan
batas usia untuk menikah bagi perempuan yang disebutkan dalam syari'ah
misalnya, penerapannya ke dalam usia yang kongkret dikaitkan dengan
kedewasaan untuk menikah, bisa berbeda antara satu kelompok umat Islam
dengan umat Islam yang lain. Begitu pula kedudukan ahli waris pengganti,
penerapannya bisa berbeda antara sistem kekerabatan patrilineal,
matrilineal dan bilateral.
Karena syari'ah adalah sumber hukum,
maka dalam perjalanan sejarah, muncullah ribuan kitab-kita yang
membahas hukum dari para ulama dan fuqaha. Para fuqaha itu telah
berusaha keras merumuskan filosofi, metodologi, tafsir dan bahkan
merumuskan norma-norma hukum yang bersifat terapan. Kajian-kajian hukum
itu tidak berhenti sampai sekarang, mengingat dinamika masyarakat di
mana saja di dunia ini. Mengingat perbedaan ruang dan waktu, timbullah
aneka pendapat dan aliran dalam hukum, yang disebut dengan istilah
mazhab-mazhab hukum dalam Islam.
Perbedaan pendekatan dalam
memahami dan merumuskan norma-norma hukum yang mengacu kepad syari'ah
sebagai sumber hukum adalah lumrah dalam dunia ilmu. Ketika umat Islam
mendirikan Negara-negara, syari'ah itu menjadi acuan utama dalam
pembentukan hukum positif di zaman mereka. Seiring dengan hal itu
lahirlah sistem hukum yang dinamakan dengan istilah Sistem Hukum Islam,
lengkap dengan sistem peradilannya. Sistem Hukum Islam itu diakui dunia
sebagai salah satu sistem hukum yang hidup dan berkembang di dunia ini,
disamping sistem hukum yang lain seperti hukum Eropa Kontinental yang
berasal dari Hukum Romawi, Hukum Anglo Saxon dari Inggris dan Hukum Asia
Timur yang berasal dari Cina.
Hukum Islam sebagai sebuah
sistem hukum itu berkembang dari ajaran Islam, karena itu terkait erat
dengan ajaran agama. Meskipun terkait dengan ajaran agama, rumusan
normanya bisa bersifat universal dan mempengaruhi hukum privat dan
publik internasional. Hukum Perbankan Islam itu digunakan oleh banyak
bank di Negara-negara Eropa dan Asia, meski mereka bukan pemeluk Islam.
Senat Philipina, misalnya, mensahkan Republic Act on establishment of
the Islamic Bank of Philippine yang menggunakan hukum perbankan Islam.
Padahal konsitusi Philipina secara tegas menyebutkan bahwa Philipina
adalah sebuah Republik Sekuler yang memisahkan agama dengan Negara.
Muchtar Kusumaatmadja mengakui bahwa sumbangan terbesar hukum Islam
kepada hukum intnasional publik adalah hukum perang dan damai. Sebagian
besar konvensi hukum perang internasional yang sekarang berlaku diadopsi
dari hukum Islam, karena syari'ah mengatur hal itu. Sementara bagi
bangsa Romawi, di mana pengertian perang adalah bumi hangus, tidak ada
hukum dalam perang, yang ada adalah kemenangan atau kekalahan.
Hal yang sering menimbulkan kesalahpahaman adalah syari'ah adalah norma
hukum dalam ajaran Islam yang kemudian membentuk sistem hukum dunia.
Masalahnya tidak semua agama mempunyai norma hukum seperti syari'ah,
apalagi membentuk sistem hukum yang berdiri sejajar dengan hukum dunia
yang lain. Hanya agama Islam, Yahudi dan Hindu yang membentuk sistem
hukum. Di antara ketiganya, hukum Islam yang paling berpengaruh sampai
kini. Makanya mata kuliah Hukum Islam diajarkan di mana saja di fakultas
hukum, termasuk di Eropa, Amerika dan Amerika Latin. Sementara agama
Kristen, Buddha dan Shinto tidak mengandung norma hukum dan tidak
melahirkan sistem hukum selama perkembangan sejarahnya.
Sistem
Hukum Kristen, misalnya, memang tidak ada di dunia ini. Jesus sendiri
mengacu dan mentaati hukum Taurat seperti disebutkan dalam al-Kitab.
Meskipun agama Kristen tidak membentuk sistem hukum, namun setelah
Imperium Romawi memeluk Kristen, doktrin Kristen memengaruhi Romawi.
Doktrin dalam berbagai konsili itu dinamakan Hukum Kanonik Gereja
Katolik. Namun seiring dengan renaissance pengaruh itu kian berkurang.
Proses sekularisasi Eropa mendorong sekularisasi di bidang hukum,
pengaruh gereja dalam pembentukan norma hukum makin memudar. Di fakultas
hukum manapun di dunia ini tidak diajarkan hukum Kristen, Hukum Budha
atau Hukum Shinto. Agama-agama tersebut tidak membentuk sistem hukum.
Secara sosiologis dan historis, hukum Islam tetap memengaruhi para
pemeluknya dari dulu sampai sekarang. Hukum Islam adalah the living law.
Bagaimanakah hukum Islam di Indonesia?
Sejak kedatangan Islam
pengaruh hukum Islam itu cukup besar kepada masyarakat suku di
Nusantara. Di tingkat yang paling awal, pengaruh hukum Islam itu
terletak di bidang peribadatan dan hukum kekeluargaan. Ketika terbentuk
kerajaan-kearjaan Islam Nusantara, pengaruh hukum Islam makin besar
karena dijadikan sebagai rujukan utama pembentukan hokum. Pengaruh itu
terasa di bidang hukum tatanegara, hukum pidana, perdata dan publik
lainnya. Transformasi syari'ah ke dalam hukum kerajaan-kerajaan
Nusantara dilakukan melalui kitab-kitab fiqih yang dijadikan pegangan
oleh para ulama. Sebagian lagi ditransformasikan langsung ke dalam hukum
positif kerajaan tersebut dalam bentuk Qanun, yang selanjutnya
membentuk sistem peradilan.
Dalam melakukan transformasi itu,
kaidah-kaidah hukum kebiasaan atau hukum adat juga dijadikan sebagai
sumber rujukan pembentukan norma hukum. Raja Melaka yang memeluk Islam,
Parameswara, membentuk hukum laut yang sangat menarik. Namanya Qanun
Laut Kesultanan Melaka. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu sangat menarik,
mengingat posisi Melaka sebagai negara yang bertanggung jawab atas
keamanan Selat Melaka. Qanun yang diciptakan oleh kerajaan-kerajaan
Islam Nusantara itu sangat banyak, belum terhimpun dengan baik, walau
sudah ada beberapa riset tentang hal itu. Kesultanan Cirebon, misalnya,
mempunyai Pepakem yang berisi hukum positif kesultanan itu. Hukum
tatanegara pasti berlaku di kesultanan-kesultanan itu, mulai dari
Kesultanan Ternate dan Tidore, Buton, Goa Tallo dan Makassar.
Penelitian tentang ketatanegaraan Demak, Pajang dan Mataram Islam juga
belum banyak dilakukan. Namun pasti norma-norma hukum Islam di bidang
perkawinan berlaku di Mataram Islam, juga hukum jual beli. Ketika VOC
mulai menguasai tanah Jawa, mereka meminta Prof. De Friejer untuk
menghimpun hukum yang berlaku di tanah Jawa. Prof. Friejer menerbitkan
kompilasinya tahun 1660 yang ternyata kompediumnya itu berisi hukum
Islam yang disana sini mengadopsi hukum adat Jawa.
Dari
berbagai ilustrasi tadi saya ingin menunjukkan bahwa sejak ratusan tahun
yang lalu, syari'ah itu telah menjadi sumber hukum dan rujukan dalam
pembentukan hukum dalam sejarah hukum di tanah air kita. Pertanyaannya
kini adalah, “setelah kita merdeka dan membentuk sebuah republik yang
demokratis, dimanakah posisi syari'ah itu?”
Kemerdekaan kita
sebagai sebuah bangsa belum banyak mengubah wajah hukum kita. Dari sudut
pandang hukum, negara RI adalah penerus Hindia Belanda. Semua peraturan
kolonial, kita nyatakan masih berlaku sebelum diadakan aturan yang baru
menurut UUD ‘45. Itu diatur dalam pasal Peralihan UUD ’45. Meski
demikian, Hindia Belanda dahulu mengakui keberlakuan hukum Islam walau
terbatas pada hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Sementara hukum
Islam di bidang peribadatan tidak dicampuri pemerintah kolonial. Bidang
ini mereka anggap sensitif kalau diintervensi. Sementara untuk bidang
hukum publik, pemerintah kolonial merumuskan norma hukum berdasarkan
konstitusi Belanda.
Di bidang hukum privat pemerintah kolonial
membagi pendudik Hindia Belanda dalam 3 golongan. Golongan Eropa tunduk
pada BW dan aturan-aturan lainnya; Golongan Timur Asing tunduk pada
hukum adat mereka, kecuali mereka sukarela menundukkan diri pada hukum
gol Eropa; dan Golongan Inlander atau bumiputra mereka tunduk pada hukum
adat mereka masing-masing.
Pemerintah Hindia Belanda katakan
bahwa Golongan Inlander tunduk pada hukum adatnya, bukan tunduk pada
hukum Islam, meskipun mereka taat kepada agama Islam. Kebijakan Belanda
tersebut terkait erat dengan politik Devide et Impera untuk memecah
belah kaum bumiputra. Belanda tidak mengakui hukum Islam berlaku, karena
jika hukum Islam berlaku akan menyatukan semua suku bangsa yang
beragama Islam. Dengan mendukung hukum adat, maka Belanda mudah memecah
belah mereka.
Sejak awal abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda
mengikuti teori-teori van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje yang
mengatakan bahwa yang berlaku di kalangan Inlander bukanlah hukum Islam
melainkan hukum adat. Hukum Islam baru berlaku apabila telah diterima
atau "direcipier" oleh hukum adat. Pendapat-pendapat seperti itu di
alam kemerdekaan dibantah oleh para ahli hukum adat sendiri seperti
Prof. Hazairin. Beliau mengatakan sebaliknya. Hukum Adat baru berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal itu disadari oleh
orang Islam.
Secara faktual hukum Islam adalah hukum yang hidup
atau the living law dalam masyarakat Indonesia. Sebagai the living law,
hukum Islam itu menjadi bagian dari kesadaran hukum rakyat yang tidak
bisa diabaikan. Sebagai kesadaran hukum, maka negara demokratis manapun
di dunia ini tidak dapat mengabaikan kesadaran hukum itu. Karena itu,
Republik Philipina yang konstitusinya menyatakan dirinya sebagai negara
sekular, belum lama ini mencabut UU Kontrasepsi. Sebab apa? Sebab
mayoritas penduduk yang beragama Katolik menentang kontrasepsi sesuai
doktrin gereja yang diyakini mayoritas rakyat.
Tugas negara
dalam merumuskan kaidah hukum adalah mengangkat kesadaran hukum yang
hidup di kalangan rakyatnya sendiri menjadi hukum positif. Dengan
demikian, negara tidak melawan kesadaran hukum rakyatnya sendiri,
apalagi negara itu menganut kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam
konteks seperti itu jugalah hendaknya negara RI. Negara adalah
satu-satunya institusi yang diberi wewenang untuk memformulasikan norma
hukum.
Karena itu, almarhum Ismail Saleh mengatakan sumber
hukum dalam pembentukan hukum nasional kita adalah hukum Islam
(syari'ah), hukum adat, Hukum eks kolonial Hindia Belanda yang telah
diterima oleh masyarakat Indonesia, serta konvensi-konvensi
internasional yang sudah kita ratifikasi.
Kebijakan
pembangunan norma hukum di negara kita ini haruslah mempertimbangkan
kemajemukan bangsa kita. Karena itu di bidang hukum privat, khususnya
hukum kekeluargaan, kita harus memberlakukan berbagai jenis hukum sesuai
kemajemukan tersebut. Hukum Perkawinan dan Kewarisan, misalnya,
mustahil untuk dapat disatukan dan diberlakukan kepada semua orang. Maka
biarlah ada kemajemukan. Bagi orang Islam, negara memberlakukan hukum
perkawinan dan kewarisan Islam yang harus dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Begitu juga negara dapat mengangkat hukum kewarisan adat
bagi komunitas adat tertentu, sesuai kesadaran hukum mereka.
Sejalan dengan konsep negara kesatuan, di bidang hukum publik, sejauh
mungkin negara merumuskan satu jenis hukum yang belaku buat semua orang.
Hukum Lalu Lintas misalnya tidak mungkin ada beberapa jenis hukum yang
diberlakukan secara bersamaan. Begitu pula di bidang hukum pidana dan
hukum administrasi negara harus ada satu jenis hukum yang berlaku bagi
semua orang. Dengan demikian, di bidang hukum publik kita memberlakukan
unifikasi hukum. Sedang di bidang hukum privat kita hormati kemajemukan.
Dalam konteks merumuskan norma hukum publik yang bersifat unifikasi
itu, kita merujuk kepada sumber-sumber hukum, yakni syari'ah, hukum
adat, Hukum eks kolonial yang sudah diterima dan konvensi-konvensi
internasional yang sudah kita ratifikasi. Ketika sudah disahkan menjadi
undang-undnag, maka yang berlaku itu tidak lagi disebut syari'ah, hukum
adat atau hukum eks kolonial, tetapi UU Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia itulah hukum positif yang berlaku di
negara ini yang asalnya digali dari sumber-sumber hukum dengan mengingat
kebutuhan hukum.
Pertanyaannya, “Apakah dengan berlakunya
hukum Islam di bidang privat dan transformasi asas-asas syari'ah ke
dalam hukum publik, Indonesia kemudian menjadi sebuah "negara Islam"?
Bagi saya tidak! Negara ini tetaplah Negara RI dengan landasan falsafah
bernegara Pancasila.
Sama halnya dengan dijadikannya hukum adat
di bidang privat dan ditransformasikanya hukum adat ke dalam hukum
publik, tidaklah menjadikan Negara RI ini berubah menjadi Negara Adat.
Negara ini tetaplah Negara RI dengan Pancasila sebagai landasan falsafah
bernegaranya. Selama ini kita gunakan KUHP yang asalnya adalah Code
Penal Napoleon yang diadopsi oleh Belanda dan diberlakukan di sini. Toh,
negara kita tidak pernah berubah menjadi Negara Napoleon. Tetap saja
negara kita Negara RI.
Inilah penjelasan saya tentang syari'ah dalam konteks pembangunan hukum nasional di negara kita. Semoga ada manfaatnya.