Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Minggu, 26 Agustus 2012

MS Ka'ban: Piagam Jakarta, Hak Hukum & Politik Umat Islam



JAKARTA (VoA-Islam) – Sangat disayangkan, jika generasi muda Islam saat ini telah melupakan sejarah Piagam Jakarta. Padahal Piagam Jakarta ini merupakan hasil dialog yang sangat ilmiah, tajam dan merupakan pemikiran dari beberapa dialektika pemikiran yang berkembang pada zamanya. Piagam Jakarta inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya negara Indonesia.
Betapa vital kedudukan Piagam Jakarta secara hukum. Orang sering mengaitkan Piagam Jakarta dengan negara Islam. Kini terkuak sudah, Piagam Jakarta ternyata merupakan Hak Hukum dan Politik Umat Islam.
“Kalau kita tidak menggali, menghayati kembali isi dari Piagam Jakarta, berarti kita mengabaikan hak kita sebagai umat Islam. Tegas, saya katakan, bahwa Piagam Jakarta adalah hak umat Islam, baik secara politik maupun hukum. Landasannya adalah ketika Dekrit Presiden -- diterbitkan pada 5 Juli 1959 – untuk kembali ke UUD 1945 yang ruhnya disemangati oleh Piagam Jakarta. Hak inilah yang harus dikembalikan,” kata Ka’ban.
Menurut Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini, kita tidak ingin membuka luka lama. Namun, umat Islam harus disegarkan kembali oleh fakta sejarah, bahwa Piagam Jakarta menyangkut hak umat Islam untuk mengatur dirinya. Karena itu, kewajiban menjalankan syariat Islam, bukanlah menyangkut masalah ibadah individu semata, tapi menyangkut peran negara, kekuasaan, pemerintah yang mengatur kehidupan, yang didalamnya, Islam ikut ditegakkan.
Pencoretan Tujuh Kata
Ka’ban menjelaskan, polemik seputar orang Jepang yang bernama Laks Maeda yang dikatakan menjumpai Mohammad Hatta, ternyata telah dibantahnya. Ia tidak hadir dan menemui Bung Hatta. Telah terungkap fakta, Piagam Jakarta itu sebuah kesepakatan. Rumusan Piagam Jakarta itu sudah disepakati oleh the founding fathers. Informasi yang tidak pernah dibuka adalah adanya Kelompok Perapatan Sepuluh. Siapa Kelompok Perapatan Sepuluh ini?
Ada beberapa titik krusial yang menjadi pertanyaan: Kenapa Bung Hatta begitu mudah dan cepat terpengaruh terhadap usulan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta? Ka’ban juga mengupas seputar yang hadir dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ternyata yang hadir, hanya  kelompok yang beragama Islam. Yang non-muslinya tidak muncul, karena mereka sudah tahu bahwa Proklamasi Kemerdekaan itu dijiwai oleh spirit Piagam Jakarta.
Memang Bung Hatta pernah mengatakan, “Sudahlah!’, kata-kata itu dihilangkan (pencoretan tujuh kata), setelah diadakan satu dialog yang dihadiri juga tokoh-tokoh (Islam). Dikatakan – versi Bung Hatta – tujuh kata itu menusuk umat Kristen. Dalam perundingan para tokoh itu, terdapat dua orang Kristen (bernama Hartati dan AA Maramis) yang terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang sangat panjang.
Jika kita rekonstruksi ulang bagaimana duduk soal lahirnya Piagam Jakarta dan pencoretan dari tujuh kata itu, ternyata itu hasil kesepakatan, hasil perdebatan yang panjang, dimana Bung Hatta mengatakan, kita merumuskan apa yang kita setujui dan apa yang kita sepakati bersama. Ini merupakan hasil kompromi politik yang telah disepakati sebagai dasar membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, syariat Islam dalam konteks kenegaraan, selalu aktual dan hadir sepanjang masa. “Kita perlu mengumandangkan kembali semangat Piagam Jakarta. Sebelum terwujud, berarti hak kita belum sampai.
Ka’ban ingin mengingatkan, jangan sampai syariat Islam disalahtafsirkan orang lain. Kalau Piagam Madina itu menjelaskan bagaimana Rasulullah membuat ketentuan-ketentuan operasional, sehingga orang-orang non muslim itu terjamin hidupnya.  Maka melalui Piagam Jakarta, Negara bertanggungjawab terhadap penegakan-penegakan hukum Islam kepada umat Islam itu sendiri tanpa mengorbankan umat-umat non muslim.
“Untuk itulah, di dalam proses memperjuangkan syariat Islam yang dilakukan oleh the founding fathers adalah perjuangan yang sangat konstitusional legal, bukan perjuangan syariat Islam dengan cara-cara underground dengan membuat kerusakan di atas permukaan bumi ini,” kata Ka’ban.
Perjuangan syariat Islam ini adalah perjuangan yang betul-betul damai, perjuangan yang membutuhkan dialog, perdebatan, argumentasi yang sangat kuat, sehingga memiliki bobot akuntabilitas yang kukuh dan abadi serta dapat dipahami oleh semua orang.
Ka’ban mengharapkan, hendaknya kita kembali bersemangat di dalam perjuangan menegakan syariat Islam dengan semangat Piagam Jakarta. “Kita tak perlu tabu, malu, dan minder, untuk memperjuangkan syariat Islam di NKRI, mengingat ruang yang tersedia sangat terbuka.” Desastian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar