Liberalisasi pemikiran menghasilkan kekacauan penafsiran Al Quran dan berkembangnya aliran sesat. Liberalisasi ekonomi menghasilkan sistem ekonomi neolib yang merampas harta milik umum rakyat. Liberalisasi politik menghasilkan demokrasi biaya tinggi alias biang korupsi.
Adahkah sistem yang bebas dari korupsi? Sering orang bertanya, sistem pemerintahan dalam Islam itu yang mana, sistem model Republik Islam Iran ataukah sistem model Kerajaan Arab Saudi? Ataukah yang mana lagi?. Padahal sistem Negara Republik Islam Iran adalah sistem pemerintahan republik yang mengadopsi dari sistem Barat, namun di dalamnya terdapat wilayatul fakih dimana para ulama Syiah Iran atau terkenal dengan istillah Ayatullah memiliki kedudukan untuk memberikan arah hukum dari pemerintahan Iran. Sedangkan dalam sistem Kerajaan Arab Saudi, kekuasaan dipegang oleh keluarga Ibnu Saud yang menerapkan hukum Syariah dengan dukungan penuh dari dinasti ulama keturunan Muhammad bin Abdul Wahab, atau terkenal dengan ulama Wahabi. Para pengamat politik Islam mengkategorikan kedua model tersebut sebagai model Negara Islam yang masih dikatakan belum sepenuhnya. Sistem Pemerintihan Islam Dalam literatur warisan khazanah Islam sistem pemerintahan Islam dikenal dengan sistem Imamah atau Khilafah, dimana penguasa tertinggi disebut Khalifah atau Imam Al A’zham. Namun umumnya mereka dipanggil dengan Amirul Mukminin. Secara ringkas prinsip-prinsip dalam sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut: (1) Kedaulatan di tangan syariah; (2) Kekuasaan di tangan umat; (3) Mengangkat seorang Khalifah hukumnya fardlu bagi kaum muslimin; (4) Adopsi hukum syariah menjadi undang-undang merupakan hak Khalifah. Prinsip pertama, kedaulatan ada di tangan syariah, maknanya bahwa dalam sistem pemerintahan Islam, kedaulatan (sovereignty) atau pengendali aspirasi umat atau rakyat bukan di tangan umat sendiri, tetapi di tangan syariah. Aspirasi umat tidak keluar dari koridor syariat Allah SWT. Oleh karena itu, Al Quran dan As Sunnah sebagai sumber hukum syariah merupakan sumber aspirasi dan kedaulatan umat. Ketaatan rakyat kepada penguasa tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah yang merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (lihat QS. An Nisa 59 dan 65). Dalam sistem pemerintahan Islam ini, umat Islam akan berdaulat secara penuh karena Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw sebagai sumber hukum, batas kekuasaan para penguasa, adalah sumber inspirasi umat karena umat yang telah terdidik untuk cinta kepada Allah dan Rasul-Nya akan membaca Al Quran dan Sunnah Nabi Saw setiap hari dalam rangka pendekatan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan pengenalan dan cinta kepada Nabi-Nya. Prinsip kedua, kekuasaan (authority) di tangan umat. Prinsip ini diambil berdasarkan fakta sejarah bahwa Rasulullah saw diangkat menjadi penguasa kota Madinah dengan dibaiat oleh 75 orang wakil-wakil suku Aus dan Khazraj yang berkuasa atas kota Yatsrib (Madinah). Demikian juga pengganti Beliau saw., Khalifah Abu Bakar r.a diangkat dengan baiat dari para pimpinan kaum Anshar dan Muhajirin yang sempat berdebat selama dua hari tiga malam untuk menentukan siapa yang menjadi pengganti Rasulullah saw Khalifah Umar r.a diangkat dengan baiat kaum muslimin di kota Madinah setelah sebelumnya dimufakati dalam musyawarah oleh Khalifah Abu Bakar dan para sahabat Nabi Saw tentang siapa yang akan menggantikan Khalifah Abu Bakar yang sedang sakit. Baiat adalah akad pengangkatan seseorang menjadi khalifah. Sebagaimana akad-akad yang lain, maka ada ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan) yang dicapai berdasarkan kerelaan dan pilihan rakyat. Oleh karena itu, tatkala Abdurrahman bin Auf menyampaikan ijab hendak membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Umar dengan catatan agar mengambil pendapat-pendapat hukum yang sudah diadopsi dua khalifah sebelumnya, Ali bin Abi Thalib menolak, maka ijab dibatalkan karena Ali tidak menerima dan selanjutkan diserahkan kepada Utsman yang menerima persyaratan umat. Disinilah dapat kita fahami bahwa kekuasaan di tangan umat. Meskipun dalam hal ini, aspirasi umat yang bersumber dari Islam tidak harus diaktualisasikan oleh semua orang, bisa perwakilan saja, seperti pemilihan khalifah oleh penduduk ibu kota, atau oleh apa yang disebut ahlul halli wal aqd., yakni perwakilan umat yang terdiri dari para ulama dan tokoh umat. Prinsip Ketiga, mengangkat seorang Khalifah hukumnya fardlu bagi kaum muslimin. Rasulullah saw telah mewajibkan adanya baiat pada pundak setiap muslim, artinya harus ada seorang khalifah yang memimpin pemerintahan kaum muslimin dari masa ke masa. Tidak boleh ada masa vakum, kecuali yang telah disepakati para sahabat yaitu dua hari tiga malam. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang mati dalam keadaan di pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan seperti mati jahiliyyah” (HR. Muslim). Prinsip ini menunjukkan bahwa negara Islam adalah negara kesatuan. Prinsip Keempat, adopsi hukum syariah menjadi undang-undang merupakan hak Khalifah. Khalifah sebagai pihak yang berwenang menjadi satu-satunya pihak yang berhak meangadopsi hukum syara’ untuk ditetapkan sebagai undang-undang yang berlaku. Adopsi hukum syara’ ini perlu ketika untuk satu masalah ada sejumlah pendapat hukum dari sejumlah ahli hukum Islam (mujtahidin), sehingga masyarakat mengerti makna pendapat hukum yang diamalkan secara praktis dan mengikat seluruh warga Negara dan mana yang sekedar pendapat hukum. Ada kaidah ushul fikih : Amrul Imam yarfa’ul khilaf yang artinya perintah Imam menghilangkan perbedaan. Juga kadiah: Amrul imam nafidz yang artinya perintah Imam harus dilaksanakan. Dengan keempat prinsip pemerintahan Islam di atas jelaslah bahwa dalam sistem pemerintahan Islam, tidak terdapat sebaran kekuasaan yang terlalu luas seperti dalam demokrasi liberal. Tidak perlu ada pilpres, pilgu, pilkada, apalagi pilkades. Namun ada pemilihan majelis umat untuk tingkat daerah, tingkat propinsi, dan tingkat pusat yang berfungsi memberikan masukan kepada pemerintah baik itu berkenaan dengan pendapat hukum, maupun politik, dan pengaduan dari rakyat tentang pejabat pemerintah. Pemilihan anggota majelis umat yang merupakan wakil rakyat dilakukan secara independen, artinya pencalonan wakil rakyat tidak dimonopoli oleh partai politik. Sistem yang Mencegah KorupsiTugas seorang khalifah menurut Al Mawardi dalam Ahkam Sulthaniyyah adalah menjaga dinul Islam (hirasatut diin) dan memelihara urusan umat (siyasatud dunya). Menjaga dinul Islam secara praktis adalah dengan menerapkan syariat Islam (tathbiq ahkamis syar’i) dalam seluruh sistem: yakni sistem pemerintahan (nizhamul hukm fil Islam), sistem ekonomi (An Nizham al Iqtishady fil Islam), sistem sosial (an nizham al ijtima’iy fil islam), politik pendidik (Siyasatut Ta’lim fil Islam), politik luar negeri (as Siyasah al Kharijiyyah fil Islam). Selama kelima pilar sistem tersebut diterapkan oleh Negara dan kondisi masyarakat kaum muslimin memiliki kesadaran tentangnya, sesuai dengan peranan ulama dan parpol Islam di atas, dan efisiensi dalam pembentukan pemerintahan yang terpusat kepada khalifah yang dibatasi kekuasaannya oleh hukum syariat, maka sulit terjadi korupsi di tengah-tengah birokrasi. Adapun memelihara urusan umat adalah dengan menerapkan hukum syariah secara praktis. Khalifah wajib menjaga agar kebutuhan perindividu rakyat, seperti sandang, pangan, papan, bisa terpenuhi dengan mewajibkan tiap angkatan kerja bekerja dan pemerintah harus membuka lapangan kerja dan memberikan kemudahan kepada para pengusaha untuk membuka lapangan kerja dengan sistem administrasi bebas biaya. Masalah produktivitas warga Negara menjadi fokus pemerintah. Untuk mendukung prinsip produktivitas, pemerintah wajib menyediakan secara gratis sarana pendidikan, kesehatan, dan keamanan sehingga kualitas SDM rakyat betul-betul meningkat pesat sehingga layak mendapat predikat umat terbaik (QS. Ali Imran 110). Rakyat yang berkualitas menjadi sumber bagi lahirnya para pemimpin berkualitas. Pemimpin berkualitas akan menjaga seluruh kemaslahatan bagi rakyatnya. Nabi Muhammad saw adalah kepala Negara (haakim) atas seluruh wilayah Jazirah Arab yang beribukota di Madinah. Beliau mengangkat langsung wali negeri (pejabat setingkat gubernur) dan atau wali kota kepala daerah, serta para pejabat negara lainnya. Suatu ketika beliau memberikan taushiyyah antara lain bahwa siapa saja yang diangkat oleh Negara atas suatu jabatan, lalu menyembunyikan harta Negara baik besar atau kecil, walu cuma sebatang jarum, maka itu adalah harta korupsi yang akan dipikulnya pada hari kiamat. Ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu…(QS. Ali Imran 161). Kontan saja salah seorang pejabat dari kalangan Anshar yang sedang diberi taushiyah itu langsung menyerahkan jabatan yang diamanahkan kepadanya kepada baginda Rasulullah Saw lantaran khawatir terlibat korupsi nantinya (lihat Sahih Ibnu Hibban Juz 4/53). Sistem pemerintahan Islam inilah yang pernah berhasil membangkitkan bangsa Arab yang buta huruf, bahkan menyatukan berbagai bangsa dalam satu kesatuan daulah dan umat Islam sehingga bisa mengungguli dua negara adi daya pada waktu itu, yakni Romawi dan Persia, dan menjadi negara adi daya selama berabad-abad. Apakah NKRI yang kita cintai dan sedang carut marut dilanda wabah korupsi akibat virus liberalisasi politik demokrasi ini tidak layak mencobanya untuk mencari jalan keselamatan?. Wallahua’lam bisshawab!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar