JAKARTA, KOMPAS.com — Tersangka kasus dugaan korupsi pada biaya Sistem Administrasi Badan Hukum, Yusril Ihza Mahendra, baru-baru ini kembali berpolemik dengan Kejaksaan Agung terkait surat keputusan pencekalan terhadap dirinya. Awalnya, Jaksa Agung Basrief Arief mengeluarkan surat keputusan pencegahan dengan dasar hukum UU Nomor 9 Tahun 1992.
Saya akan hadapi habis-habisan, walaupun saya akan menghabiskan umur. Ini bisa menghabiskan waktu empat sampai lima tahun.
Padahal, undang-undang tersebut sudah tak berlaku sejak 5 Mei 2011 karena ada undang-undang baru yang menggantikannya, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2011. Akhirnya, setelah bersanggah-sanggahan di media, Kejaksaan Agung memperbaiki dan menerbitkan surat keputusanpencegahan yang baru.
Yusril menilai penanganan perkaranya lekat dengan unsur politik. Kepada Kompas.com, ia berbicara panjang lebar mengenai kasus yang menurutnya telah membuat keadaan ekonominya hancur lebur. Berikut petikan wawancara yang berlangsung di kantornya di bilangan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (3/7/2011).
Anda kecewa dengan keluarnya surat keputusan pencekalan?
Seharusnya Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar dan Jaksa Agung Basrief Arief teliti dan betul-betul mencermati perkembangan hukum di negara ini. Kalau ada Jaksa Agung yang mencegah orang pergi ke luar negeri dengan menggunakan undang-undang (UU) yang sudah tak berlaku lagi, ini kan sangat susah untuk diterima. Apalagi untuk UU yang baru itu, Patrialis sendiri yang menandatanganinya.
Saya memang sudah agak sabar menghadapi masalah ini. Tiga tahun saya diombang-ambingkan. Secara ekonomi, saya hancur lebur. Terasa sekali. Kantor saya juga berjalan tersendat-sendat akibat masalah ini. Kami mau kerja juga susah. Orang takut sama saya. Saya tidak bisa ke luar negeri. Terus,ngapain saya jadi orang di sini?
Maka dari itu, kalau ada Jaksa Agung serta Menteri Hukum dan HAM yang mencegah orang dengan undang-undang yang sudah mati, maaf, saya tak punya kata yang lebih tepat selain mengatakan bahwa Jaksa Agung serta Menteri Hukum dan HAM itu goblok.
Jaksa Agung Basrief Arief menandatangani surat keputusan cekal (SK cekal) untuk Yusril dengan landasan hukum UU Nomor 9 Tahun 1992 yang ternyata sudah tak berlaku sejak 5 Mei 2011. UU itu telah diganti dengan UU Nomor 6 Tahun 2011 yang diundangkan pada 5 Mei 2011. Surat pencegahan tersebut berlaku selama satu tahun. Belakangan, Jaksa Agung mengeluarkan surat pencegahan baru yang berlaku selama enam bulan, sejak 28 Juni 2011.
Anda akan tetap memerkarakan penerbitan SK ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)?
Perkara di PTUN sudah saya daftarkan sejak Senin (27/6/2011). PTUN mulai menyidangkannya pada Kamis depan. Memang ada mekanisme keberatan di dalam UU Nomor 6 Tahun 2011. Dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 disebutkan, orang yang dicekal dapat mengajukan keberatan kepada orang yang melakukan pencekalan sebelum membawa ke pengadilan. Namun, tidak ada ketentuan lainnya. Mekanisme keberatan ini belum diatur dalam peraturan pemerintahnya. Jadi, sekiranya saya mengajukan keberatan, bagaimana tata caranya? Kemudian, berapa lama mereka menjawab keberatan itu? Bagaimana setelah saya mengajukan keberatan, Jaksa Agung tidak menjawabnya sampai satu tahun?
Jadi, saya tetap mengajukan itu ke pengadilan. Ini bukan karena saya tak menghargai mekanisme keberatan itu, melainkan memang aturan pelaksanaannya belum ada sampai sekarang.
Apa PTUN dapat mengadili perkara yang tergugatnya sudah mengakui kesalahannya?
Apabila sesuatu sudah menjadi sengketa, apa dia (Jaksa Agung) bisa mencabut begitu saja? Mestinya, domainnya sudah menjadi wilayah pengadilan. Pengadilanlah yang nanti berwenang memutuskan apakah itu salah atau benar.
Ada kelemahan mendasar dari SK pencegahan yang baru?
Kelemahan ada di sisi pertimbangan dan dasar hukumnya. Dalam pertimbangan, dikatakan bahwa pencegahan dilakukan untuk kepentingan penyidikan. Sementara itu, sudah lama Kejaksaan mengatakan bahwa berkas saya lengkap (P21). Namun, belakangan Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan bahwa pemeriksaan sewaktu-waktu bisa diadakan lagi. Mengapa Kejaksaan bolak-balik tak jelas begini? Saat itu, mereka terburu-buru mengatakan berkas saya sudah lengkap. Soal dasar hukumnya, biarlah nanti saya jelaskan di pengadilan.
Sebelumnya, pada Januari 2011, Kejaksaan Agung menyatakan, berkas perkara tersangka Yusril Ihza Mahendra dan Hartono Tanoesudibyo dalam kasus korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) sudah lengkap sehingga telah memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan. Kejaksaan mengatakan telah melakukan gelar perkara atau ekspose kasus Sisminbakum di hadapan Jaksa Agung. Dalam gelar perkara itu, dihadirkan pula mantan pejabat kejaksaan yang ahli dalam penanganan perkara. Mantan pejabat itu juga dimintai masukan terkait penanganan perkara Sisminbakum.
Dugaan Anda, mengapa mereka terburu-buru?
Mungkin karena mereka khawatir harus memanggil Presiden SBY dan Megawati Soekarnoputri. Sekarang, setelah terpojok dengan pencekalan yang salah, mereka mengatakan, ini untuk penyidikan lagi. Kalau penyidikan selesai, untuk apa orang dicegah untuk penyidikan?
Darmono mengatakan, ini sah. Dia membandingkannya dengan Tommy Soeharto, yang dicekal sampai tingkat kasasi. Ya, waktu perkara Tommy, belum ada UU Nomor 6 Tahun 2011. Bahkan, Undang-Undang Kejaksaan belum ada. Lagi pula, salah Tommy sendiri yang tak mau melawan.
Selain itu, alasan Darmono tak masuk akal karena Tommy waktu itu sudah ditahan oleh pengadilan. Itu sebabnya Tommy tidak mempersoalkan. Lha, dia sudah ditahan di LP Nusa Kambangan. Mau dicegah atau tidak, sama saja. Dia mau ke luar Nusa Kambangan saja tidak bisa. Darmono kalau ngomongseperti anak kecil.
Pemahaman hukum orang Kejaksaan memalukan. Namun, orang kayak gitu bisa nahan orang,nangkap orang, bisa nuntut orang. Ngeri sekali kita tinggal di negara ini. Mestinya yang pintarsedikitlah.
Pada Desember 2010, Yusril mendesak Kejaksaan Agung menghadirkan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai saksi terkait kasusnya. Yusril mengatakan, kebijakan tentang pemberlakuan Sisminbakum dikuatkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan semua anggota DPR periode 2004-2009 dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Apa Anda sudah pernah meminta secara langsung kepada Presiden dan Ibu Mega untuk menjadi saksi?
Sudah berkali-kali saya sampaikan.
Tanggapannya?
Tidak tahu. Sampai sekarang mereka tidak ada inisiatif seperti Pak Jusuf Kalla dan Pak Kwik Kian Gie.
Ada desakan kasus Sisminbakum diambil alih KPK. Tanggapan Anda?
Pada 2007, Sisminbakum sudah ditangani KPK. Setahun mereka mempelajarinya. Akhirnya, KPK tutup kasus ini karena dikatakan tidak ada cukup bukti. Saat itu KPK meminta keterangan kepada BPK dan BPKP. Namun, mereka mengatakan tak ada kerugian negara. Lalu, tahun 2008, kasus ini diangkat Kejaksaan Agung.
Anda beberapa kali mengatakan, kasus Sisminbakum penuh rekayasa. Mengapa pemerintah begitu khawatir dengan potensi politik Anda?
Saya tidak tahu. Saya merasa seperti kucing saja. Namun kalau mereka menganggap saya ini harimau, salah mereka.
Yusril mengatakan, kasus Sisminbakum kembali ramai ketika dia mengatakan akan maju pada Pemilu Presiden 2009. Padahal, saat itu elektabilitasnya terus merangkak naik.
Sudah bisa memperkirakan ujung dari kasus Anda?
Saya sih fifty-fifty sekarang. Walaupun saya berkeyakinan, dari segi hukum, mereka akan kalah di pengadilan. Dan ini, untuk kesekian kalinya, akan mempermalukan Kejaksaan. Sudah dua kali Kejaksaan kalah sama saya, yaitu soal (masa jabatan) Hendarman Supandji dan surat pencegahan.
Namun, saya sudah siap dan mengantisipasi kemungkinan paling buruk, yaitu kalau mereka limpahkan perkara ini ke pengadilan. Melimpahkan berkas saya ke pengadilan ini lucu.
Maksudnya?
Mereka mendakwa Yusril melakukan korupsi, tidak memasukkan kas Sisminbakum ke kas negara. Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan bahwa sebelum 2009, itu bukan penerimaan negara bukan pajak sehingga tidak ada kerugian negara dan unsur melawan hukum. Jadi, gimana jaksa mau mendakwa seperti itu? Ini kontradiktif.
Pada Desember 2010, mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Kehakiman Romli Atmasasmita diputus lepas dari semua tuntutan hukum atau ontslag oleh MA. MA mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Romli, yang menjadi terdakwa kasus korupsi biaya akses Sisminbakum.
Padahal, pada September 2010, Romli dihukum dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis hakim saat itu menyatakan, ia terbukti melakukan korupsi biaya akses Sisminbakum dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana sehingga merugikan negara. Romli dilepaskan karena MA menilai tidak ada upaya melawan hukum dan tidak ada pula kerugian negara dalam hal ini.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch menilai, putusan kasasi terhadap Romli tidak harus dijadikan acuan untuk menghentikan penuntutan perkara Sisminbakum atas Yusril dan Hartono. Kejaksaan didorong untuk melimpahkan perkara ini ke pengadilan.
Meski Romli diputus bebas, Kejaksaan Agung tetap melanjutkan berkas Yusril. Kejaksaan berpendapat, Yusril tidak dapat langsung dibebaskan karena ada bukti lainnya yang menyeret mantan Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) Yohanes Waworuntu dan mantan Dirjen AHU Zulkarnain Yunus dalam perkara yang sama. Menurut Kejaksaan, tiap perkara unik, tidak bisa serta-merta disamakan.
Bagaimana jika berkas perkara Anda dilimpahkan ke pengadilan?
Saya akan melawan habis-habisan, walaupun saya akan menghabiskan umur. Ini bisa menghabiskan waktu empat sampai lima tahun. Lima tahun lagi, umur saya 60 tahun. Anda bayangkan, jika dibawa ke pengadilan negeri, maka ini akan menghabiskan sekitar 6 bulan. Jika diputus tidak salah, maka jaksa lalu banding. Proses banding bisa habis satu sampai satu setengah tahun. Jika diputus tak salah, maka jaksa akan kasasi. Ini bisa habis tiga tahun. Total 5 tahun. Waktu saya habis untuk sesuatu yang tak jelas. Namun, saya akan hadapi ini dengan perlawanan di pengadilan.
Akan tetapi, jika berkas saya dilimpahkan ke pengadilan, maka saya akan mengajukan tuntutan ke Dewan HAM PBB atas dasar pelanggaran berat HAM. Pemerintah telah mengadili orang untuk kepentingan politik. Ini pelanggaran HAM.
Ini bisa jadi serius. Namun, saya sudah tak peduli. Walaupun setelah itu akan ada sanksi PBB, saya tidak peduli lagi. Ini mekanisme baru di Dewan HAM setelah ada restrukturisasi PBB. Ini namanya mekanisme individual complaint. Jadi, saya berharap, begitu ini dilimpahkan ke pengadilan, maka mekanisme Dewan HAM PBB di Geneva juga berjalan. Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia juga akan diadili.
Saya juga akan meminta International Bar Association (IBA), organisasi praktisi hukum internasional yang didirikan sejak 1947, untuk mengamati pengadilan. Saya menganggap masalah ini sudah serius.
Yusril kembali menjelaskan bahwa kasus Sisminbakum bermuatan politis. Yusril mencontohkan kejanggalan dakwaan Direktur Utama PT SRD Yohanes Waworuntu. Dalam dakwaan tersebut, Yohanes disebut bersama Yusril melakukan korupsi berlanjut pada tahun 2000-2008. Padahal, menurutnya, dia sudah diberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Kehakiman dan HAM sebelum Sisminbakum berjalan, yakni 8 Februari 2001.
Sementara itu, Sisminbakum mulai beroperasi di bawah Menteri Kehakiman dan HAM Baharuddin Lopa pada 1 April 2001. Selama tahun 2000-2008, ada Yusril, Baharuddin, Marsilam Simanjuntak, Mahfud MD, Hamid Awaludin, dan Andi Mattalatta yang menjabat Menteri Kehakiman dan HAM atau Menteri Hukum dan HAM.
Anda beberapa kali mengoreksi administrasi ketatanegaraan yang keliru, seperti masa jabatan mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji dan juga dasar hukum. Apa masih ada kekeliruan administrasi ketatanegaraan yang belum mengemuka ke publik?
Saya banyak sekali dimintai pendapat, misalnya, divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara oleh Menteri Keuangan. Saya juga dimintai pendapat mengenai usulan amandemen kelima UUD 1945 oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Pendapat Anda mengenai pemberantasan korupsi di era kepemimpinan Presiden SBY?
Penegakan hukum tidak murni. Di belakangnya selalu ada motif kepentingan politik. Jadi, sekarang ini orang dituntut bukan karena salah dan ada bukti. Sekarang ini sistemnya target, orang ini kita kerjainapa enggak. Kalau sudah begitu, dicari-cari kesalahannya. Seperti sekarang ini kasus Panji Gumilang. Polisi mencari-cari kesalahannya. Akhirnya pemalsuan dokumen. Kan aneh.
Sebaliknya, orang yang terang-terangan salah, penanganannya tidak pernah jelas, misalnya kasus IT KPU. Hal tersebut berkaitan langsung dengan penguasa sekarang ini. Hal itu membuat rakyat lama-lama tidak percaya dengan pemerintah dan negara. Apalagi pemahaman hukum mereka ini payah sekali. Begitu banyak orang didakwa ke pengadilan, tak berdaya menghadapi kekuasaan. Menghadapi saya aja mereka kewalahan.
Pada 2014, Anda berencana maju dalam pemilu presiden?
Maju. Saya akan maju lagi kalau ada kesempatan.
Dengan Partai Bulan Bintang?
Dengan apa pun. Kita lihat saja nanti, ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar