Profesor Romli Atmasasmita, ahli hukum pidana Universitas Padjadjaran dan bekas Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Kehakiman dan HAM itu memuji vonis Mahkamah Agung, 22 Desember lalu, yang melepaskannya dari segala tuntutan hukum (ontslaag) dalam perkara Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). ‘’Tak boleh ada lagi dakwaan dan tuntutan yang penuh dengan rekayasa,’’ katanya kepada wartawan. Rekayasa? Dari semula perkara ini dilansir Kejaksaan Agung memang sudah terdengar bisik-bisik tentang rekayasa di baliknya. Konon kasus ini ada kaitannya dengan perseteruan antara Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dengan mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Hubungannya dengan Kejaksaan Agung? Sudi berteman dekat dengan Jaksa Agung (pada waktu itu) Hendarman Supanji, selain menjadi ‘’anak buah’’ Presiden SBY yang paling loyal. Korban pertama adalah Profesor Romli. Ia sempat mendekam di penjara dan dihukum 2 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hukumannya kemudian dikorting jadi 1 tahun oleh Pengadilan Tinggi (aneh juga: orang yang katanya terbukti korupsi kok dihukum cuma setahun?). Untunglah Mahkamah Agung membebaskannya. Korban lainnya adalah Zulkarnaen Yunus dan Syamsuddin Manan Sinaga, keduanya juga bekas Dirjen di departemen yang sama. Zulkarnaen Yunus sudah dihukum 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, awal Desember lalu, sedang Syamsuddin Manan Sinaga telah divonis 1 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Selanjutnya, Kejaksaan Agung mengintip Profesor Yusril Ihza Mahendra, target yang sesungguhnya. Yusril dalam tahap pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung. Tapi dengan bebasnya Profesor Romli sebenarnya Kejaksaan Agung sudah kehilangan arah. Dalam amar keputusannya Mahkamah Agung menegaskan bahwa tak ditemukan kerugian negara dalam perkara itu. Malah dengan Sisminbakum negara diuntungkan. Lagi pula kalau Sisminbakum itu salah, berarti Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Presiden SBY, harus diadili. Karena proyek Sisminbakum itu telah melewati persetujuan Presiden. Pada kenyataannya Kejaksaan Agung tak pernah menjadikan mereka terdakwa. Malah diperiksa saja pun mereka tak pernah. Belum lagi sejumlah menteri yang menggantikan Yusril Ihza, seperti Baharuddin Lopa, Marsilam Simanjuntak, Hamid Awaluddin, Mahfud MD, dan Andi Mattalata. Mestinya mereka juga menjadi terdakwa karena Sisminbakum masih terus berjalan ketika mereka menjadi menteri. Siminbakum adalah sistem pendataan administratif terhadap perusahaan di Departemen Kehakiman dan HAM tapi dengan biaya perusahaan yang mendaftar, dengan dalih pemerintah waktu itu tak memiliki anggaran. Pelaksana sistem itu adalah pemerintah bekerja sama dengan perusahaan swasta. Sekarang proyek itu telah dihentikan. Dengan semua itu, sulit untuk mengatakan perkara ini bukan politis, tapi murni hukum. Apalagi sudah menjadi preseden di negara berkembang, hukum selalu digunakan untuk kepentingan politik penguasa. Hukum juga digunakan sebagai alat membalaskan dendam dari orang yang berkuasa. Dalam kesempatan ini Suara Islam melakukan wawancara khusus dengan Yusril Ihza Mahendra, pendiri dan Ketua Umum yang pertama Partai Bulan Bintang (PBB). PBB dan Partai Demokrat pertama kali mencalonkan SBY menjadi Presiden dalam Pemilihan Presiden 2004, dan sukses. Tapi kemudian Yusril dan SBY tak lagi sejalan. Melalui wawancara dengan Yusril kami berusaha sedapat mungkin untuk membuat jelas perkara ini. Berikut kami sajikan petikan wawancara itu:
SUARA ISLAM: Ketika menjatuhkan vonis bebas dari tuntutan hukum kepada Profesor Romli Atmasasmita, Mahkamah Agung menyebut tak ada kerugian negara dalam perkara itu. Menurut Anda, kalau sudah begitu kenapa Kejaksaan Agung masih ngotot meneruskan perkara Anda?
Yusril: Putusan Kasasi Romli Atmasasmita menegaskan bahwa Sisminbakum adalah kebijakan pemerintah secara keseluruhan yang diputuskan dalam rapat kabinet yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid. Kebijakan itu diawali dengan kesepakatan Pemerintah dengan IMF untuk mempercepat proses pengesahan perseroan terbatas (PT). Namun kesepakatan itu tak didukung oleh anggaran negara. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyarankan alternatif untuk mengundang swasta berinvestasi dalam Sisminbakum. Saran tersebut diterima Presiden Gus Dur. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril kemudian mengeluarkan tiga aturan kebijakan, yakni Keputusan Menteri tentang pemberlakuan Sisminbakum, Keputusan Menteri selaku Pembina Koperasi menunjuk Koperasi Pengayoman bekerjasama dengan PT SRD (PT Sarana Rekatama Dinamika) untuk membangun dan mengoperasikan Sisminbakum, dan Keputusan Menteri tentang Tatacara Pendaftaran Perseroan melalui Sisminbakum. Seluruh kebijakan Pemerintah dan Menteri Kehakiman di atas, menurut keputusan MA adalah sah. Kemudian biaya akses Sisminbakum bukanlah PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) , karena Presiden baru menerbitkan PP tentang PNBP biaya akses itu di tahun 2009. Karena itu, uang biaya akses Sisminbakum bukanlah uang negara. Dengan demikian, Sisminbakum tak merugikan keuangan negara dan tak melanggar aturan hukum. Pelayanan publik dengan Sisminbakum berjalan baik dengan lancarnya pendafrataran perseroan. Atas dasar itu maka Romli "dilepaskan dari segala tuntutan hukum" (ontslaag van allei rechtsbevolging).Dengan pertimbangan hukum seperti di atas dan diktum putusan seperti itu, maka kebijakan saya mengenai Sisminbakum dibenarkan Mahkamah Agung. Biaya akses Sisminbakum yang selama ini dituduh Kejagung sebagai korupsi yang merugikan negara Rp 420 milyar ditolak oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian, tak ada alasan hukum apa pun Kejaksaan Agung meneruskan menuntut saya ke pengadilan, kecuali mereka sengaja berbuat zalim.
SUARA ISLAM: Apa yang Anda lakukan setelah diperlakukan seperti ini?
Yusril: Kalau Kejagung ngeyel terus, saya akan lawan sampai kapan pun. Kalau tak bisa lagi menggunakan saluran hukum di dalam negeri, saya akan membawa masalah ini ke Dewan HAM PBB, melalui prosedur "individual complaint" yang disampaikan melalui mekanisme "Universal Periodic Report". Kalau laporan saya dianggap beralasan dan cukup bukti, Pemerintah Indonesia akan "diadili" oleh Dewan HAM, dan kalau kalah akan mendapatkan sanksi PBB. Saya yakin argumen saya akan mampu meyakinkan panel di Dewan HAM. Saya sebenarnya tak suka melakukan ini. Sepanjang hidup saya, saya selalu membela Pemerintah RI dalam sidang-sidang Dewan HAM, yang dulu dilakukan oleh Komisaris Tinggi PBB Urusan HAM. Berulangkali saya berdebat dengan Mary Robinson, mantan Presiden Findlandia, yang selalu memojokkan RI di forum ini. Ada juga sejarah debat panjang saya dengan Menlu AS Madeline Albright di New York menjelang sidang Dewan Keamanan PBB yang berencana mengeluarkan resolusi pembentukan International Tribunal for East Timor paska-jajak pendapat. Ada serangkaian pembicaraan saya dengan PM India Vajpayee di New Delhi membahas masalah ini. Namun kalau manusia-manusia kerdil yang tak tahu sejarah pembelaan saya terhadap masalah HAM di tanah air, terus menerus mau menzalimi saya, apa boleh buat, kalau tak ada jalan lain lagi, saya terpaksa membawa masalah ini ke Dewan HAM PBB. Bukan maksud saya sengaja ingin mempermalukan Pemerintah RI. Tapi tolong juga mareka jangan sewenang-wenang memaksakan kehendak kepada saya.
SUARA ISLAM: Sebagai Presiden, apakah menurut Anda SBY harusnya diajukan sebagai terdakwa bersama Anda? Bukankah SBY tahu ada dana Sisminbakum tapi ia tak memerintahkan atau memutuskan agar dana itu dijadikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)?
Yusril: Kalau Kejaksaan mau adil dan fair, coba periksa SBY tentang 4 Peraturan Pemerintah tentang PNBP yang berlaku di Kementerian Kehakiman dan HAM, yang semuanya tak pernah memasukkan biaya akses Sisminbakum sebagai PNBP. Menetapkan sesuatu itu PNBP atau bukan, bukan kewenangan Menteri Kehakiman, tetapi Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No 20 tahun 1997 tentang PNBP. Jadi, kalau Kejagung ngotot menyalahkan saya tak memasukkan biaya akses Sisminbakum sebagai PNBP, mestinya yang mereka adili SBY, bukan saya. Masak sesuatu yang menjadi kewenangan Presiden harus saya yang bertanggungjawab.
SUARA ISLAM: Selama kurun 2000 – 2008 ada lima orang menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, tapi mereka tak satu pun yang didakwa Kejaksaan Agung seperti Anda. Apa sebenarnya dendam Kejaksaan Agung kepada Anda?
Yusril: Jelas saya menjadi target politik untuk diadili. Johanes Woworuntu (Direktur Utama PT SRD, pelaksana Sisminbakum) itu didakwa melakukan perbuatan korupsi secara berlanjut dalam kurun 2000-2008 bersama saya. Emang saya menjadi Menkeh HAM delapan tahun? Harusnya dia didakwa bersama-sama saya, Baharuddin Lopa, Marsilam Simanjuntak, Mahfud MD, Hamid Awaluddin dan Andi Mattalata. Tapi nama mereka, jangankan dijadikan tersangka, diperiksa saja tidak. Kejaksaan bermain politik dengan menggunakan jubah hukum. Konon ada pesanan dari pihak lain, yang tergolong ring satu Istana agar saya diadili, ada bukti atau tidak, biar diadili, nanti terserah hakim yang memutuskan.
SUARA ISLAM: Ada yang mengatakan ada aliran dana dari Sisminbakum ke rekening perusahaan yang ternyata milik Hartono Tanusoedibjo dan Hary Tanusoedibjo. Benarkah itu? Kenapa Hary Tanusoedibjo tak jadi terdakwa? Apa karena ia teman Presiden SBY?
Yusril: PT SRD yang mengelola Sisminbakum itu ketika didirikan, pemegang sahamnya antara lain Hartono Tanusudibyo. Belakangan, konon, sebagian sahamnya diakuisisi PT Bhakti Investama. Saya tak mengetahui soal aliran dana tersebut karena prinsipnya bagi Departemen Kehakiman, selama segala pekerjaan yang menjadi kewajiban mereka dilaksanakan dengan baik maka tak masalah. Kemana uang PT SRD dialirkan, itu adalah urusan internal mereka dengan pihak ketiga. Apa hubungan antara PT Bhakti Investama dengan Harry Tanusudibyo, saya tak tahu detilnya, dan itu bukan urusan saya.
SUARA ISLAM: Selama reformasi ini banyak mantan pejabat dijadikan tersangka, malah dipenjarakan, tapi korupsi tambah merajalela dan meluas sampai ke daerah-daerah. Ada KPK yang suka menangkap orang. Nyatanya peringkat korupsi kita tetap saja parah, kalah jauh dibanding Malaysia atau Thailand. Kenapa korupsi takberkurang?
Yusril: Korupsi bukan sekedar urusan tangkap menangkap, karena masalahnya takkan pernah selesai sampai di situ. Selama sistim yang baik belum dibangun dan dilaksanakan selama itu pula korupsi akan merajalela. Kalau sistem yang dibangun memberi peluang atau mendorong prilaku koruptif, misalnya Pilkada-Pilkada langsung itu, maka seribu badan seperti KPK takkan mampu membendung korupsi. Hal lain yang perlu dikaji adalah defenisi korupsi itu sendiri apa? Di Malaysia dan Thailand suap itu bukan korupsi. Suap ya suap, dan diadili berdasarkan UU pidana biasa. Di negara kita, menyuap pejabat negara dan pejabat pemerintah adalah korupsi. Terang saja angka korupsinya melonjak. Coba Anda lihat mereka yang diadili di Pengadilan Tipikor, sekitar 80 persen adalah kasus suap. Kalau suap dianggap pidana biasa maka pengadilan Tipikor akan sepi.
SUARA ISLAM: Ada yang mengatakan di negara berkembang, isu korupsi lebih sering dipakai sebagai alat politik untuk menghancurkan lawan. Anda setuju? Anda beri contoh-contohnya di sini?
Yusril: Bisa jadi. Di zaman Soekarno, mereka yang melawan dituduh "kontra revolusi" dan ditangkapi tanpa proses peradilan. Di zaman Soeharto mereka yang melawan dituduh "subversi" atau PKI. Di zaman SBY mereka dituduh "korupsi". Kalau kontra revolusi dan subversi, bahkan PKI, adalah tuduhan yang benar-benar bersifat politik dan ideologi. Tapi kalau dituduh "korupsi" orang itu adalah penjahat. (Amran Nasution, Aru Syeiff Assadullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar