Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 25 Juli 2011

YUSRIL PATAHKAN EKSEPSI JAKSA AGUNG DI PTUN JAKARTA


REPLIK  PENGGUGAT
ATAS JAWABAN DAN EKSEPSI TERGUGAT

DALAM PERKARA NO 124/G/2011/PTUN-JKT
DI
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA


ANTARA
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra (Penggugat)
MELAWAN
Jaksa Agung Republik Indonesia (Tergugat)

25 Juli 2011
====================



                                                                                                                                                                                                       Jakarta, 25 Juli 2011
Kepada Yang Mulia
Ketua Majelis Perkara No 124/G/2011/PTUN-JKT
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Di
Jakarta
Perihal: Replik Penggugat Atas Jawaban dan Eksepsi Tergugat

Dengan hormat,
Pertama-tama Penggugat menyampaikan ucapan terima kasih kepada Majelis Yang Mulia yang telah memberikan waktu selama satu minggu kepada Penggugat untuk membaca dan mempelajari Jawaban dan Eksepsi Tergugat dalam perkara ini, dalam sidang tanggal 18 Juli 2011 yang lalu. Setelah Penggugat mempelajari dengan seksama Jawaban dan Eksepsi Tergugat,  izinkanlah Penggugat menyampaikan Replik atas Jawaban dan Eksepsi Tergugat, sebagai berikut:
 
I. DALAM EKSEPSI MENGENAI KEWENANGAN ABSOLUT PENGADILAN     TATA USAHA NEGARA
  1. Bahwa Penggugat dengan tegas menyangkal jawaban dan eksepsi Tergugat melalui Jaksa Pengacara Negara sebagai kuasanya, yang disampaikan secara tertulis tanggal 18 Juli 2011, kecuali yang tegas-tegas Penggugat akui di dalam Replik  ini;
  2. Bahwa Penggugat mengakui adalah benar Keputusan Tergugat a quo sebagaimana disebutkan dalam angka I huruf d  Jawaban dan Ekspesi Tergugat, merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang Jaksa Agung dalam pencegahan dan penangkalan orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan. Namun Penggugat menyangkal Jawaban Tergugat  bahwa Keputusan Tergugat a quo “merupakan keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat hukum pidana”;
  3. Bahwa Penggugat berpendapat Putusan Tergugat a quo adalah murni putusan pejabat tata usaha negara di bidang hukum adminitrasi negara dan didasarkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara. Keputusan Tergugat a quo samasekali bukan dikeluarkan berdasarkan “ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf d Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana dikutip Tergugat dalam Jawaban Angka I huruf e;
  4. Bahwa masalah seseorang boleh masuk atau keluar wilayah suatu negara asal-muasalnya diatur  dalam hukum keimigrasian negara yang bersangkutan. Hukum keimigrasian adalah bagian dari hukum administrasi negara, dan bukan tergolong ke dalam ranah hukum pidana. Ketika KUHP diberlakukan tahun 1856 di zaman kolonial Hindia Belanda, belum dikenal istilah pencegahan dan penangkalan. Ketika KUHAP diberlakukan tanggal 31 Desember 1981, istilah itu juga belum dikenal samasekali. Sebab itu, ketika Pemerintah Orde Baru ingin melarang para penandatangan “Petisi 50” yang berseberangan politiknya dengan Pemerintah waktu itu untuk pergi ke luar negeri, Pemerintah kebingungan mencari landasan hukumnya. Akhirnya, mereka dilarang hanya atas permintaan Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN), Letjen Ali Moertopo, tanpa landasan hukum apapun. Istilah “mencegah” dan “melarang” (sekarang digunakan istilah “menangkal”) orang-orang tertentu masuk dan keluar wilayah RI baru pertama kali diperkenalkan  dalam Pasal 32 huruf g Undang-Undang  No 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Karena  kewenangan ini pada dasarnya adalah kewenangan imigrasi, maka penjelasan pasal tersebut mensyaratkan pelaksanaannya harus dikoordinasikan dengan instansi imigrasi tersebut.
  5. Bahwa kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan “karena keterlibatannya dalam perkara pidana” sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Tergugat a quo  didasarkan pada Pasal 36 huruf f Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Implementasi pasal ini harus dilaksanakan “sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Satu-satunya peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang terkait dengan pelaksanaan kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan hanyalah Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang  Keimigrasian, yang baru muncul setahun setelah disahkannya Undang-Undang No 9 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI (sebelum dirubah dengan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI). Belakangan, kewenangan pencegahan dan penangkalan disebutkan pula di dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun kedua undang-undang ini hanya mengatur kewenangan kedua lembaga itu untuk mencegah dan menangkal, sama halnya dengan kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Agung;
  6. Bahwa Penggugat menegaskan tidak ada satu pasalpun di dalam KUHP maupun KUHAP dan ketentuan-ketentuan pidana materil maupun formil lainnya, yang mengatur pencegahan dan penangkalan. Jika dikaitkan dengan kewenangan Jaksa Agung, sebagaimana telah Penggugat katakan dalam angka 4 di atas,  ketentuan tentang hal itu diatur dalam Pasal 35 huruf f dan Pasal 36 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Undang-undang ini jelas adalah undang-undang di bidang hukum administrasi negara dan samasekali bukan tergolong sebagai “peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 huruf d Undang-Undang No 9 Tahun 2004.
  7. Bahwa ketentuan lain mengenai pencegahan dan penangkalan ditemukan dalam  Bab III Pasal 11 sampai dengan Pasal 23 Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (yang kini telah dicabut) dan juga diatur dalam Bab IX Pasal 91 sampai dengan Pasal 103 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Undang-Undang Keimigrasian adalah juga undang-undang di bidang hukum administrasi negara, dan samasekali bukan peraturan perundang-undangan yang bersifat pidana;
  8. Bahwa demikian pula halnya Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pencegahan dan Penangkalan serta Peraturan Jaksa Agung No: PER-10/A/JA/01/2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa Agung Untuk Melakukan Pencegahan dan Penangkalan, yang dalam konsideran mengingatnya merujuk pada Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, samasekali tidak menunjukkan ciri-ciri suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat pidana;
  9. Bahwa  kosiderans “menimbang” dan “mengingat” Keputusan Tergugat a-quosesungguhnya telah menjadi bukti yang nyata bahwa tidak ada KUHP, KUHAP dan peraturan-peraturan lain yang bersifat pidana yang dijadikan sebagai dasar penerbitan Keputusan Tergugat a quo. Keputusan Tergugat a quo hanya menggunakan Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, PP No 30 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan dan Peraturan Jaksa Agung No PER-10/A/JA/01/2010, serta dua peraturan terkait dengan struktur organisasi dan tatakerja Kejaksaan RI, yang semuanya tidak satupun dari peraturan-peraturan itu yang dapat digolongkan sebagai peraturan yang bersifat pidana;
  10. Dari uraian angka 1 sampai dengan 9 di atas, jelas dan tegas bahwa dalil Tergugat dalam Jawabannya yang   mengatakan bahwa Keputusan Tergugat a quo tidaklah termasuk ke dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, adalah dalil yangabsurd, mengada-ada dan tidak mempunyai argumentasi akademik apapun juga;
  11. Oleh karena itu, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk secara tegas menolak  permohonan putusan sela yang dimohonkan Tergugat.

II. DALAM EKSEPSI LAIN DAN JAWABAN
  1. Bahwa Penggugat menolak seluruh dalil-dalil Penggugat dalam “Eksepsi Lain dan Jawaban” yang dikemukakan Tergugat, yang pada pokoknya mengatakan bahwa Keputusan Tergugat No Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana, tanggal 24 Juni 2011, yang menjadi obyek sengketa, telah dicabut tanggal 27 Juni 2011. Karena itu, Penggugat sudah tidak mempunyai kepentingan hukum dalam suatu sengketa Tata Usaha Negara. Hal-hal lain yang dikemukakan Tergugat dalam Eksepsi dan Jawaban justru membenarkan dalil Penggugat bahwa Keputusan Tergugata-quo adalah Keputusan yang salah karena menggunakan dasar hukum yang sudah dicabut dan tidak berlaku lagi;
  2. Bahwa Penggugat ingin mempertanyakan kepada Tergugat, benarkah Keputusan Tergugat a-quo dicabut pada tanggal 27 Juni 2011 sebagaimana dikatakan Tergugat dalam “Eksepsi Lain dan Jawaban”. Penggugat ingin menunjukkan bukti-bukti bahwa hal itu tidaklah mungkin. Sebagaimana telah Penggugat kemukakan dalam Surat Gugatan, gugatan ini Penggugat daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada hari Senin tanggal 27 Juni 2011, jam 9.00 pagi.  Pada hari Senin petang tanggal 27 Juni 2011 itu, Wakil Jaksa Agung Darmono masih mengatakan kepada pers bahwa gugatan Penggugat terhadap Tergugat “tidak berdasar”. Kejaksaan, kata  Wakil Jaksa Agung Darmono “menggunakan UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dikarenakan UU tersebut masih berlaku”. “Ya, tidak punya landasan hukum toh. Ya, apa yang kita lakukan tentu sudah berdasarkan ketentuan UU yang ada” kata Wakil Jaksa Agung Darmono. Bahkan Darmono mengatakan “UU No 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian yang baru belum berlaku” (Selengkapnya, lihat Bukti P-9 ). Bahwa pada hari Selasa tanggal 28 Juli 2011, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan kepada media, telah terjadi komunikasi antara dirinya dengan Jaksa Agung Basrief Arief pada Senin malam, bahwa pencegahan akan diubah” (Bukti P-10). Kalau pada tanggal 27 Juni malam hari Jaksa Agung baru berniat akan mengubah Keputusan Tergugat a-quo dan mendiskusikannya dengan Menteri Hukum dan HAM, maka apakah benar Keputusan itu telah ditandatangani tanggal 27 Juli itu. Bahwa Pejabat Imigrasi menerima permintaan pencegahan dari Kejaksaan Agung tanggal 28 Juli 2011. Transmissi elektronis itu dengan jelas menunjukkan tanggal, jam serta menit fax itu diterima. Berdasarkan pengalaman Penggugat yang pernah dua periode menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM, kalau keputusan pencegahan dibuat tanggal 27 Juni, maka mustahil keputusan itu baru difax ke Departemen Kehakiman dan HAM sehari sesudah itu. Keterlambatan semacam ini akan menimbulkan risiko besar yakni kecaman masyarakat, karena orang yang dicegah itu dengan mudah dapat meninggalkan tanah air, karena pencegahannya belum masuk dalam daftar cegah tangkal dalam komputer imigrasi di seluruh tanah air.  Dengan demikian, Penggugat ingin bertanya, tanggal berapakah pencabutan Keputusan Tergugat a quo dilakukan, tanggal 27 Juli atau 28 Juli? Jawaban ini penting untuk Penggugat ketahui untuk kepentingan Penggugat menentukan langkah-langkah selanjutnya, baik di bidang perdata maupun pidana, setelah selesainya pemeriksaan perkara ini;
  3. Bahwa Penggugat juga ingin bertanya kepada Tergugat, benarkah  Keputusan Pencabutan bernomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 yang dicantumkan tertanggal 27 Juli 2011 itu berlaku surut sejak tanggal 26 Juni 2011? Apa dasar hukum yang digunakan Tergugat untuk memberlakukan sebuah putusan tata usaha negara secara surut? Tidakkah Tergugat mengetahui, atau patut mengetahui, bahwa menerapkan keputusan yang berlaku surut, walaupun hanya satu hari saja,  dapat menimbulkan persoalan di bidang hak asasi manusia?
  4. Bahwa Penggugat dengan tegas menolak dalil Tergugat bahwa dengan dicabutnya Keputusan a-quo maka Penggugat “sudah tidak mempunyai kepentingan hukum dalam suatu sengketa tata usaha negara”.  Apa yang Penggugat kemukakan dalam angka 3 di atas, adalah salah satu dari kepentingan Penggugat. Ketika gugatan ini didaftarkan tanggal 27 Juli 2011 jam 9.00 pagi, belum ada pencabutan Keputusan Tergugata-quo. Kalau ketika gugatan didaftarkan Keputusan Tergugat a quo telah dicabut, maka untuk apa Wakil Jaksa Agung Darmono harus memberikan keterangan pers bahwa Putusan a quo sudah benar dan gugatan Penggugat tidak berdasar? Apakah Tergugat dengan sengaja dan melawan hukum mencantumkan tanggal palsu   dalam Putusan Tergugat Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011, sehingga dengan cara itu, Tergugat berusaha untuk menghindar dari gugatan Penggugat dengan alasan obyek yang disengketakan telah dicabut?
  5. Berdasarkan uraian-uraian di atas, Penggugat memohon kepada Majelis hakim agar menolak permohonan Tergugat  untuk  “memberikan putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima”.

III. DALAM POKOK PERKARA
  1. Sebelum menyampaikan Replik atas jawaban dan eksepsi Tergugat dalam Pokok Perkara, Penggugat ingin mengegaskan bahwa semua yang Penggugat kemukakan dalam Jawaban Terhadap Eksepsi dan Eksepsi Lain dan Jawaban, tetap dipertahankan dan dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Jawaban Dalam Pokok Perkara ini;
  2. Bahwa Tergugat dalam Jawabannya Dalam Pokok Perkara hanya meringkaskan dalil-dalil Penggugat dalam gugatan a quo. Meskpun Tergugat mengatakan “menanggapi dalil-dalil Pengggugat” dalam pokok perkara, namun tanggapan itu tidak ada dan tidak disampaikan dalam Jawaban Pokok Perkara tersebut.  Tergugat hanya mengatakan “gugatan Penggugat tidak berdasar dikarenakan Keputusan Tergugat a quo sudah dicabut dan oleh karenanya tidak ada lagi obyek sengketa sebagaimana telah Tergugat uraikan dalam eksepsi”. Tidak adanya tanggapan atas dalil-dalil Penggugat dalam pokok perkara, membuktikan bahwa Tergugat memang tidak mempunyai argumentasi hukum apapun juga yang dapat dikemukakan untuk menyangkal dalil-dalil yang Penggugat kemukakan dalam Pokok Perkara. Dengan demikian, secara implisit, Penggugat mengakui bahwa Keputusan Tergugat a-quo memang dibuat menggunakan dasar hukum yang salah, sehingga diktum keputusannya dengan sendirinya juga salah;
  3. Bahwa karena ketiadaan argumentasi, Tergugat memohon kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan adagium “point d’interet-point d’action” (bila ada kepentingan, maka di situ baru boleh berproses). Tergugat mengatakan bahwa dengan dicabutnya Keputusan Tergugat a-quo, maka  kepentingan tergugat sudah tidak ada lagi untuk berperkara, segingga dikatakan lagi “Berproses yang tidak ada tujuannya harus dihindarkan, tidak dibolehkan. Sebab dengan cara demikian itu bukan hal yang bermanfaat bagi kepentingan umum. Juga pihak pemerintah semestinya dapat lebih fokus kepada tugas pelayanan umumnya”. Bagi Tergugat, mungkin benar bahwa tidak ada kepentingannya berproses dalam perkara ini. Namun bagi Penggugat, kepentingan itu tetap ada, seperti sebagiannya telah kemukakan dalam angka II 3 dan akan diperkuat lagi dengan keterangan-keterangan di bawah ini;
  4. Bahwa meskipun Keputusan Tergugat a-quo telah dicabut, namun Penggugat tetap mempunyai kepentingan untuk meneruskan gugatan ini. Sebagai warganegara, Penggugat juga berkewajiban untuk mendorong tegaknya hukum dan pemerintahan yang berwibawa demi terujudnya “good governance” di Negara Hukum Republik Indonesia ini. Dalam Undang-Undang No 16 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan antara lain bahwa Kejaksaan berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan Pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat”. Penggugat faham betul jiwa dan semangat yang melandasi undang-undang ini, karena Penggugat adalah orang yang mewakili Presiden Republik Indonesia membahas Rancangan Undang-Undang ini dengan DPR RI untuk mendapat persetujuan bersama dan disahkan menjadi undang-undang. Keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara sejak tahun 1986 juga dimaksudkan untuk mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sehingga putusan-putusan yang dibuatnya dimaksudkan pula sebagai langkah koreksi terhadap tindakan aparatur pemerintah yang menyalahi undang-undang dan peraturan yang berlaku dan/atau melampaui batas  kewenangannya.
  5. Bahwa  secara akademis, Keputusan Tergugat a quo jelas-jelas salah dan keliru sehingga tidak mampu dipertahankan dan/atau dibela oleh Tergugat sebagaimana terlihat dalam Jawaban Tergugat. Namun, arogansi kekuasaan tanpa tedeng aling-aling dan malu-malu dikemukakan oleh Wakil Jaksa Agung Darmono kepada publik yang tidak pernah mau mengakui kesalahan. Kapuspenkum Kejaksaan Agung Noor Rachmad dengan enteng saja mengatakan kepada publik bahwa Keputusan Terugat  a quo “telah diperbaiki”, tanpa pernah mengakui bahwa mereka melakukan kesalahan fatal dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Malah Kapuspenkum Kejaksaan Agung merasa tersinggung dan mendesak Penggugat untuk meminta maaf karena telah mengatakan “Jaksa Agung Goblok”. Padahal, Penggugat sudah minta maaf sebelum mengatakan “Jaksa Agung Goblok” itu. Penggugat mengatakan bahwa seharusnya Jaksa Agung itu orang yang mengerti hukum. Kalau ada Jaksa Agung tidak mengerti hukum, dan mencegah orang menggunakan undang-undang yang sudah dicabut, maka Penggugat mohon maaf karena tidak punya istilah lain yang lebih tepat kecuali mengatakan Jaksa Agung itu “goblok”.
  6. Bahwa pada hemat Penggugat, justru Tergugat yang seharusnya meminta maaf kepada Penggugat dan kepada rakyat atas kesalahannya itu. Namun hal itu tidak pernah dilakukan, sehingga Penggugat tidak dapat berkata lain kecuali mengatakan ini adalah sebuah arogansi kekuasaan. Kalau di Australia dan di Jepang, Jaksa Agung seperti itu sudah meletakkan jabatan karena tidak sanggup menanggung malu. Atas dasar ini, Penggugat tetap mempunyai kepentingan, agar Pengadilan Tata Usaha Negara dapat mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan bahwa Keputusan  Tergugat a quodinyatakan batal, agar menjadi pelajaran bagi Jaksa Agung dan semua pejabat Kejaksaan Agung yang terlibat dalam proses pembuatan Keputusan Tergugat a quo.Selanjutnya, Penggugat mengharapkan agar Jaksa Agung, dengan putusan pengadilan ini, dapat melakukan koreksi, mawas diri dan agar menunaikan tugas dan wewenang dengan hati-hati;
  7. Bahwa adagium berbahasa Perancis sebagaimana dikemukakan Tergugat dan dikutipkan dalam angka 4 di atas, tidaklah ada artinya apa-apa jika dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang No 5 Tahun 1986 dan segala perubahannya. Kalau adagium itu begitu pentingnya, maka tentulah para perumus undang-undang pengadilan tata usaha negara akan memasukkannya ke dalam norma undang-undang.  Karena dia bukan norma, maka tidak dapat dijadikan sebagai dasar pengadilan mengambil keputusan, terkecuali ada kevakuman hukum atau ketidakjelasan norma undang-undang, sehingga adagium itu diperlukan untuk dijadikan sebagai landasan untuk memutus perkara. Kalau gugatan ini memang tidak berdasar seperti dikatakan Tergugat, maka  sesuai ketentuan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 1986, tentulah Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan wewenang dismissal  yang ada padanya  telah menyatakan gugatan ini tidak dapat diterima atau tidak berdasar. Tidak ada alasan yang dapat dijadikan sebagai landasan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau   tidak berdasar dengan alasan adagium yang dikemukakan Tergugat, karena norma Pasal 62 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 telah secara limitatif dan tegas mengatur alasan-alasan yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar;
  8. Bahwa permintaan Tergugat agar perkara ini dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar karena obyek sengketa telah dicabut, tidak ada dasarnya dalam hukum administrasi negara, apalagi dengan mengingat bahwa gugatan ini telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada hari Senin tanggal 27 Juli 2011 jam 9.00 pagi, sebelum obyek sengketa dicabut oleh Tergugat. Demikian pula tidak ada dasarnya untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar, apabila obyek sengketa dicabut pada saat sidang pemeriksaan perkara sedang berjalan. Tidak adanya norma yang mengatur hal ini di dalam hukum administrasi negara, termasuk Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara, adalah untuk mencegah prilaku arogan dan prilaku seenaknya sendiri (saenake dewe, bahasa Jawanya) pejabat tata usaha negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
  9. Bahwa bukanlah mustahil, ketika suatu keputusan diterbitkan dan kemudian ditolak oleh subyek hukum yang terkena keputusan, pejabat tata usaha negara itu akan dengan sombongnya berdalih bahwa keputusan mereka telah benar. Namun ketika subyek hukum itu menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan pejabat tata usaha negara itu menyadari bahwa  terdapat tanda-tanda bahwa dia akan dikalahkan oleh pengadilan, maka dia buru-buru mencabut keputusan itu. Kemudian setelah dicabut dengan arogannya pula mendesak majelis hakim menghentikan perkara karena obyek sengketa telah dicabut. Prilaku Wakil Jaksa Agung Darmono yang berkeras mengatakan Keputusan a quo sudah benar menggambarkan arogansi ini. Namun mungkin setelah membaca surat gugatan Penggugat, dan menyadari bahwa mereka kemungkinan akan  dikalahkan di pengadilan ini, maka Keputusan a quo buru-buru dicabut. Setelah Keputusan dicabut, maka Jaksa Agung Muda Intelejen Edwin Situmorang dengan arogan pula mengatakan kepada pers mendesak Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menghentikan pemeriksaan dalam sidang perkara ini, dengan alasan gugatan tidak berdasar karena obyek sengketa sudah dicabut; (Bukti P-11). Penggugat berpendapat, tidak cukup alasan untuk menghentikan persidangan ini sebagaimana dikehendaki Jamintel Kejaksaan Agung itu dan dikemukakan pula oleh Tergugat dalam Jawabannya dalam Pokok Perkara. Prilaku pejabat tata usaha negara sebagaimana ditunjukkan oleh Wakil Jaksa Agung Darmono dan Jamintel Kejagung Edwin Situmorang itu adalah jauh dari semangat aparatur negara yang tawaddhu’,  arif, berwibawa. Sikap mereka itu juga bertendensi meremehkan keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya;
  10. Bahwa Penggugat berpendapat, jika ada suatu keputusan tata usaha negara yang menimbulkan sengketa dan telah didaftarkan sebagai perkara untuk diputus oleh pengadilan yang berwenang, maka demi menghormati hukum dan hak warganegara untuk mengajukan perkara terhadap sesuatu keputusan yang dianggap merugikan dirinya, maka tidaklah etis bagi pejabat tata usaha negara yang bersangkutan untuk mencabut keputusannya yang dianggap merugikan itu. Penggugat menyadari bahwa memang peajabat tata usaha negara berwenang untuk mencabut keputusan yang dibuatnya sendiri, namun demi menghormati proses peradilan, adalah lebih baik menyerahkan kepada pengadilan tentang batal atau tidaknya, serta sah atau tidaknya keputusan yang dibuat itu;
  11. Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana dikemukakan dalam angka 1 sampai dengan 10 di atas, maka Penggugat memohon kepada Majelis untuk memutus:
           Dalam Eksepsi:
-         Menolak eksepsi tergugat untuk seluruhnya;
-         Menyatakan gugatan Penggugat dapat diterima;
          Dalam Pokok Perkara:
-         Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
           Demikianlah Replik Penggugat Atas Jawaban dan Eksepsi Terugat. Atas segala kearifan Majelis, Penggugat ucapkan terima kasih.
Hormat Penggugat,
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar