Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 23 Mei 2012

Hukum Carut-Marut

Oleh: Drs. Tumpal Daniel  S, SPdI, MSi (Ketua DPP Partai Bulan Bintang)


Banyak UU yang berlaku dan yang akan disyahkan DPR dan Pemerintah berpotensi menjauhkan rasa keadilan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Masih  hangat dibincangkan  tentang lolosnya Pasal 7 ayat (6a) UU APBNP 2012, sebagai muslihat parpol di parlemen untuk tidak menaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) pada 30 April 2012 karena takut kecaman masyarakat, namun Pemerintah diberi tiket untuk kapan saja menaikan harga BBM setelah itu,meskipun dengan sedikit syarat. Seminggu setelah drama tidak lucu itu, lahir lagi UU tentang Pemilu yang mengatur secara diskriminatif (Pasal 8 ayat (1) Perubahan UU No.10 tahun 2008), dinyatakan dalam Pasal tersebut bahwa Parpol yang ada di parlemen saat ini langsung  sebagai peserta pemilu berikutnya (2014), sementara yang lain wajib verifikasi dengan ketentuan sangat berat dan mustahil dipenuhi. Beginikah cara-cara Pemerintah dan mereka yang sedang memegang kekuasaan dan memiliki otoritas dalam pembuatan UU? Alih-alih membangun bangsa yang berkemajuan dan membawa kemakmuran rakyat, nyatanya yang diberikan hanya setumpuk persoalan dan berpotensi menyuburkan konflik tak berkesudahan. Tidakkah praktik semacam ini adalah bentuk kekerasan Negara kepada rakyatnya sendiri. Mestikah dibiarkan?
84 UU Bermasalah di Daerah
Dewan Perwakilan Daerah mencatat setidaknya terdapat 84 undang-undang yang bermasalah saat ini, terutama UU yang terkait dengan persoalan di daerah. Ketua Panitia Perancang UU DPD I Wayan Sudirta mengatakan, 84 UU ini malah dinilai merugikan sejumlah daerah. Wayan mencontohkan, UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Menurut dia, UU tersebut tidak bersifat implementatif di seluruh wilayah pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia, misalnya di pertambangan timah di Provinsi Bangka Belitung (Babel). Kepentingan Babel sebagai penghasil timah tidak diakomodasi.
Sejumlah UU lain yang dinilai bermasalah adalah UU No 39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, UU No 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
84 UU bermasalah ini kini akan ditambah dengan rencana DPR dan Pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang  Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS)  menjadi Undang-Undang. Sejumlah kalangan menilai RUU ini mengandung cacat dan masalah. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, misalnya, mengkritik klausul pemberian kewenangan  kepada kepala daerah untuk mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menangani konflik sosial.
Direktur Program Imparsial Al A’raf menilai  RUU PKS masih prematur dan terkesan terburu-buru untuk dibawa keparipurna. Menurut Aal, sapaan akrab Al Araf, pasal 34  RUU PKS bertentangan dengan konstitusi dan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Kewenangan kepala daerah mengerahkan TNI bentuk pengambilalihan kewenangan presiden. Pasal 34 RUU PKS pada intinya menegaskan kepala daerah berwenang meminta pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI melalui forum koordinasi pimpinan daerah kabupaten/kota.
Proses pembahasan RUU PKS juga dinilai belum sepenuhnya mendengar aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat, Aal menduga, sangat minim. Ia menengarai proses pembahasan sering dilakukan diam-diam. “Tapi malah memanipulasi dan diam-diam dibahas,” ujarnya.
Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat DPR tidak perlu membentuk RUU PKS. DPR dan Pemerintah cukup merevisi UU Darurat No.23 Tahun 1959. Kalaupun harus dibentuk regulasi baru, sebaiknya regulasi yang berpihak pada korban. “Bukan RUU PKS yang justru menuai pasal-pasal bermasalah. Kami menolak RUU PKS dan mendesak agar tidak disahkan dan ditolak,” tandasnya.
Koordinator Kontras, Haris Azhar,menilai RUU PKS dinilai liberal. Menurut dia dengan disahkannya RUU PKS menjadi UU akan berbahaya. Penanganan konflik sosial melalui pendekatan militeristik. Dia khawatir pengesahan RUU PKS akan berdampak pada profesionalitas TNI yang seharusnya berfungsi melakukan pengamanan di luar. Sebaliknya pengamanan dalam negeri tetap ditangani oleh Polri. “Kalau dipaksakan, TNI membuka satu kubangan baru,” ujarnya
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Dja’far mengamini pendapat Haris dan Aal. Menurut Wahyudi kelahiran RUU PKS akibat banyaknya keluhan dari kalangan pengusaha. Sebagaimana diketahui, banyaknya konflik pertanahan di daerah berimbas pada kerugian bagi kalangan pengusaha. Lebih jauh dia berpandangan RUU PKS menihilkan upaya penegakan hukum Pasalnya penyelesaian konflik dapat dilakukan di luar jalur hukum.
Persoalan krusial, RUU PKS banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Kalaupun tetap disahkan RUU PKS menjadi UU akan menjadi persoalan baru.  Pasal 7 UU TNI mengamanatkan tugas pokok tentara meliputi operasi militer perang dan militer selain perang. Dia khawatir dengan dapat dikerahkannya TNI oleh kepala daerah dalam penanganan konflik sosial akan berdampak luas.
Pasal 16,17,18,19, dan 20 RUU PKSjuga dipandang bertentangan dengan konstitusi dan UU No.23 tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.  Penetapan keadaan darurat  menjadi kewenangan presiden. Pemberian kewenangan kepada kepala daerah akan berdampak akibat hukum dan politik yang timbul dikemudian hari. “Harus ada singkronisasi dengan UU sebelumnya,” ujar Wahyudi.
Koordinator Reformasi Sektor Keadilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Alex Argo Hernowo menilai semestinya pemerintah memaksimalkan UU sebelumnya. Sebaliknya jika dipandang tidak maksimal, maka dapat direvisi UU yang ada, bukan sebaliknya membuat RUU PKS yang dinilai banyak kelemahan. “DPR harusnya fokus dan memaksimalkan UU yang ada. UU ini  adanya pesanan tersendiri untuk memaksimalkan TNI untuk menangani konflik,” pungkasnya.
Masih di bulan April 2012 di saat momentum peringatan Hari Kartini, DPR juga mau menghasilkan UU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender), dengan  bungkus modernitas dan mengangkat harkat martabat wanita Indonesia, namun memuat pasal-pasal karet yang sensitive  dari sudut pandang agama, seperti soal perkawinan dan pilihan pasangan hidup.
Rawan Pelanggaran HAM
Selain  UU yang mengoyak rasa keadilan dan kepentingan daerah, cenderung menguntungkan kelompok tertentu dan asing, yang  sering disebut beraroma neolib (neo liberal), masih banyak UU yang juga berpotensi melanggar HAM.
UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen yang dipaksakan pada Oktober 2011, telah menyisakan banyak permasalahan substansial, akibat materinya yang masih terlalu prematur.
Beberapa Pasal dalam UU No. 17 Tahun 2011 ini telah melahirkan sejumlah ancaman bagi jaminan kebebasan sipil, perlindungan hak asasi manusia, dan kebebasan pers.
“Terdapat 16 ketentuan bermasalah, yang potensial akan merugikan hak-hak konstitusional warga negara, karena materinya yang tak sejalan dengan hak asasi dan konstitusi,” kata, Wahyudi Djafar, Program Officer Policy Monitoring pada Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM) yang menjadi koordinator penggugat.
Keenambelas ketentuan bermasalah antara lain terdapat pada Pasal 1 ayat (4), ayat (8), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “dan/atau Pihak Lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.  Ketentuan di dalam beberapa pasal tersebut telah melahirkan sejumlah definisi yang karet mengenai ancaman, keamanan, kepentingan nasional, dan pihak lawan, sehingga potensial untuk disalahgunakan oleh penyelenggara intelijen negara maupun atau kepentingan kekuasaan, untuk melakukan tindakan-tindakan represif terhadap warga negara atau kelompok yang tidak sejalan dengan kepentingan kekuasaan.
Ketentuan ini memberikan ancaman serius terhadap warga negara, karena setiap orang yang dianggap melakukan pembocoran rahasia intelijen, baik sengaja maupun tidak diancam dengan hukuman pidana yang berat. Ketentuan ini berpotensi disalahgunakan.  Koalisi Advokasi Undang-Undang Intelijen Negara meminta agar Mahkamah Konstitusi menerima dan mengabulkan permohonan Judicial review tersebut, demi kepentingan kebebasan sipil warga negara, penegakan HAM, dan tegaknya konstitusi itu sendiri.
Demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri masih bermasalah, karena mengandung ketidakpastian, ketidakefektipan, penempatan yang tidak memihak pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI) dan pelaksana penempatan TKI (PPTKI), serta mendorong *human trafficking* (perdagangan manusia). ujar guru besar hukum ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Aloysius Uwiyono.
Indonesia membutuhkan sebuah UU yang melindungi TKI di luar negeri yang diperkuat oleh ratifikasi Konvensi Migran 1990. UU yang berlaku sekarang tidak sekadar diskriminatif terhadap TKI tapi juga terhadap perempuan. Padahal, 75% pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di luar negeri berkelamin perempuan.
Gerakan Judicial Review Semua UU
Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Sudjito, S.H., mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) RI untuk secara aktif melakukan judivicial review terhadap semua peraturan perundang-undangan yang ditengarai bermasalah dan tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Menurutnya, MK tidak harus menunggu gugatan dari masyarakat untuk dapat melakukan judivicial review. “Selama ini, MK lebih banyak menunggu, terlalu pasif. Lebih aktif, tidak cukup hanya menunggu jika ada gugatan,” kata Sudjito kepada wartawan di kantor Pusat Studi Pancasila, Rabu (28/9).
Pernyataan itu dikemukakan Sudjito dalam rangka kegiatan Seminar ‘Pancasila, Konstitusi, dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi’, yang berlangsung di MM UGM, 30 September-1 Oktober 2011. Sudjito sempat menyinggung tentang carut-marut berbagai kasus hukum yang mencuat belakang ini karena kondisi para aparat penegak hukum yang tidak profesional dalam menjalankan perannya. “Tidak menutup kemungkinan ada yang bermain-main dengan hukum, yang ditunjukkan dengan sikap aparat penegak hukum kurang profesional dan jauh dari moralitas,” tambahnya.
Ketua Tim Ahli Pusat Studi Pancasila, Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K), menuturkan permasalahan bidang hukum yang terjadi saat ini disebabkan oleh banyak produk hukum yang lahir tidak berlandaskan pada filosofis Pancasila. Sementara itu, Heri Santoso, S.S., M.Hum., peneliti PSP lainnya, mengatakan banyak peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden yang dianggap bermasalah. Ia mengutip hasil penelitian yang disampaikan dalam Kongres Pancasila II yang berlangsung di Bali pada 2010 lalu, yakni bahwa dari 80 UU yang diteliti, sekitar 60 UU atau 80 persen hanya menyebut Pancasila dan UUD 1945 secara langsung pada alinea pembukaan. Namun, belum pada pasal per pasal. “Dari jumlah itu, 19 UU atau 21 persennya sama sekali tidak menyebut Pancasila dan UUD 1945,” katanya.
Judicial Review per Undang-Undangan tidak saja membutuhkan kepakaran dan itikad yang baik untuk perbaikan per UU yang ada, tapi lebih ditujukan untuk pembelaan rakyat yang terzhalimi, dan juga mengganggu harmonisasi pemerintahan baik di pusat dan daerah. Kepedulian ini  memerlukan keseriusan dan kesungguhan dan memiliki track record dalam memahami seluk beluk per Undang-Undangan, secara filosopi,substansi,dan struktur hukum di Indonesia. Tidaklah berlebihan kalau warga Bulan Bintang menyatakan diri sebagai warga Partai  yang memiliki kader dan sosok pimpinan yang mumpuni di bidang hukum dan per Undang-Undangan. Bila kini hukum carut marut mestikah kita berpangku tangan?
UU Pertambangan, Mineral dan Batubara, UU Migas, UU Kelistrikan, UU Kawasan Ekonomi Khusus, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Badan Hukum Pendidikan, UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Penanggulangan Bencana, UU APBNP 2012, UU Parpol,UU Penyelenggara Pemilu, UU Pemilu, UU TKI, UU Intelijen,  UU Perbankan, UUPenanaman Modal Asing, UUPendidikan Nasional, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar