UU Pemilu N0 : 10 Tahun 2008 telah selesai direvisi DPR RI beberapa
hari yang lalu. Itu merupakan suatu prestasi DPR yang berhasil membuat
UU baru. Semestinya pengaturan Penyelenggaraan Pemilu yang
diselenggarakan secara rutin setiap lima tahun, cukup diatur dalam suatu
UU yang berlaku relatif permanen, misalnya berlaku minimal untuk 3-5
kali Pemilu, bukan seolah-olah pembuatan UU itu sebagai suatu proyek,
sehingga setiap menghadapi Pemilu harus selalu direvisi dahulu
Undang-Undangnya.
Ada kecerdasan, kecerdikan dan kelicikan DPR dan Pemerintah dalam penyusunan revisi terhadap UU tersebut. Kecerdasannya dapat dilihat dalam bagian konsideransi Revisi UU Pemilu terutama pada butir a dan b. Pada butir a dan b itu dapat disebut sebagai tujuan penyelenggaraan pemilu anggota Legislatif, baik DPR dan DPRD maupun DPD. Bunyi butir a : “ bahwa untuk memilih anggota DPR, DPRD dan DPD, pemilihan umum sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat adalah untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas dan bertanggungjawab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Sedangkan butit b berbunyi : “Bahwa Pemilihan Umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan-rumusan konsideransi itu menunjukkan DPR sampai dengan tarap itu masih terlihat perkembangan akal budinya, begitu masuk pada ketentuan umum, pasal-pasal dan ayat-ayat dari UU tersebut, kecerdasan, ketajaman akal budi mereka, mulai mengalami degradasi menjadi cerdik dan bahkan cenderung licik.
Kepentingan nasional bangsa yang pluralistik yang mestinya menjadi acuan pertimbangan sosiologis bersama mulai dikesampingkan, mereka lebih mengedepankan kepentingan golongan dan partainya. Kenyataan ini dengan cepat dapat dilihat, DPR dan Pemerintah lebih menunjukkan bahwa mereka panjang akal ( cerdik), licik, licin dan cenderung menipu. Hal ini juga telah ditunjukkan mereka pada saat membuat UU RAPBNP-Tahun 2012 Pada pasal 7 ayat 6a UU RAPBNP Tahun 2012 .
Ayat Setan Pertama
Kembali ke UU Pemilu, begitu kita baca rumusan pada BAB I, Ketentuan Umum, Pasal 1, butir 31 tampak jelas mulai dimasukkan apa yang disebut ayat-ayat setan itu. Bunyi butir 31 adalah “Bilangan Pembagi Pemilihan bagi Kursi DPR, selanjutnya disebut BPP DPR, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas tertentu dari suara sah nasional dari satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik peserta Pemilu”.
Bunyi anak kalimat yang memenuhi ambang batas tertentu dari suara sah nasional, menggambarkan adanya pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat, suara rakyat dan itu bermakna menyangkal demokrasi.
Pengaturan anak kalimat seperti itu mendegradasi demokrasi sebagai demokrasi amoral. Ia juga paradoks dengan konsideransi butir a yaitu menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif. Ini berarti wakil rakyat yang mendapat suara terbanyak di suatu daerah pemilihan yang sejatinya berhak mendapatkan kursi di Parlemen (DPR) ditorpedo oleh anak kalimat tersebut sehingga kursinya dirampok oleh calon legislator dari partai lain yang suaranya lebih sedikit. Bukanlah hal ini merupakan mafia politik berjubah Undang-Undang ? Padahal pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten /Kota dilaksanakan dengan sistim proporsional terbuka (suara terbanyak).
Hal ini tentu paradoks pula dengan hak-hak asasi manusia/calon Legislatif. Jadi bunyi anak kalimat yang disebut di atas sebagai salah satu yang kami sebut sebagai ayat setan pertama. Demikian pula butir 32.
Ayat Setan Kedua
Kecerdasan dan kelicikan lain yang juga merupakan ayat-ayat setan itu terdapat pada Pasal 8 yang tidak saja menabrak UUD RI 1945 Pasal 22-E ayat 3 yang di copy paste secara cerdas oleh DPR yang diletakkan pada pasal 7 UU Pemilu Hasil Revisi UU Nomor : 10 Tahun 2008 yang berbunyi : “Peserta Pemilu Untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota adalah Partai Politik”. Dengan begitu baik Partai politik peserta pemilu 2009, maupun partai politik baru yang sudah mendapatkan status Badan Hukum dari Kementrian Hukum dan HAM sejatinya otomatis menjadi peserta pemilu berikutnya. Karena itu pasal 8 ayat (1) dan (2) yang mengatur lebih lanjut tentang persyaratan kepesertaan Pemilu sebagaimana rumusan yang ada menjadi ayat-ayat setan yang menghantarkan pemilu berikutnya sebagai perwujudan demokrasi amoral. Agar pemilu menjadi demokratis dan tidak diskriminatif, maka Pasal 8 ayat (1) berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah nasional, ditetapkan sebagai partai politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya” selayaknya dielips/dihapus. Demikian pula Pasal 8 ayat (2) secara keseluruhan dihapus, kecuali butir h yaitu mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU, sehingga Pasal 8 berubah menjadi :
Partai Politik Peserta Pemilu terakhir dan Partai Politik baru yang telah berbadan Hukum menjadi peserta pemilu berikutnya dengan mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
Ayat Setan Ketiga
Pasal dan ayat-ayat setan lainnya yang menyangkal demokrasi, mengkhianati aspirasi rakyat sepatutnya dihapus karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Termasuk di sini adalah pasal 208 yang berbunyi partai peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota “sepatutnya diganti dengan untuk diikutkan dalam pembentukan fraksi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, karena itu yang digunakan adalah fractional Treshold dan bukan Parlemen treshold (PT) karena jika diberlakukan PT, maka akan terjadi suara rakyat pada pemilu berikutnya yang diperkirakan hangus sekitar lebih dari 22%. Hal itu berarti Pemilu di Indonesia benar-benar memberhangus atau menyangkal demokrasi dan melahirkan Pseudo Democratie (Demokrasi Semu).
Selanjutnya, jika pasal 208 ini tetap diberlakukan untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka dapat dibayangkan bagi calon legislator yang sesuai aspirasi rakyat di daerah pemilihannya masing-masing (dengan suara mayoritas) maka mereka akan melakukan pesta dengan menyembelih hewan berupa sapi, kambing dan atau babi untuk merayakan pesta kemenangannya. Dan jika kemenangan mereka dibatalkan demi Undang-Undang yang merampas hak asasinya dan menabrak UUD 1945, bukanlah tidak mungkin mereka akan mengalihkan penyembelihan hewan kepada penyembelihan massal sesama manusia secara serentak sekitar Juli-Agustus 2014 yang akan datang. Apakah presiden dan DPR mau bertanggung jawab terhadap bom waktu yang akan menimbulkan konflik horizontal-nasional yang diperkirakan dapat terjadi demi mempertahankan hak asasi para calon legislator peraih suara terbanyak ? Semestinya aturan permainan untuk setiap kompetisi (termasuk Pemilu) diatur secara fair dan hasilnya diterima apa adanya. Ibarat SEA Games, maka juara umum Kontingen Indonesia dengan menggondol berbagai medali ( emas, perak dan perunggu) sebagai juara umum, tidak membatalkan medali Kontingen negara lain, meski suatu negara lain hanya merebut juara pada satu cabang olahraga saja. Itu berarti tidak ada “dosa warisan” dan dosa rembesan”. Memang ayat-ayat setan itu sesat, menyesatkan dan mengorbankan. Karena itu patut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi kalau ada Yudicial Review, atau Presiden tidak perlu mensyahkannya agar tidak dianggap melanggar lagi konstitusi dan menyemukan demokrasi (Pseudo Democratie).
Wallahua’lamu bi al-shawwab.
Ada kecerdasan, kecerdikan dan kelicikan DPR dan Pemerintah dalam penyusunan revisi terhadap UU tersebut. Kecerdasannya dapat dilihat dalam bagian konsideransi Revisi UU Pemilu terutama pada butir a dan b. Pada butir a dan b itu dapat disebut sebagai tujuan penyelenggaraan pemilu anggota Legislatif, baik DPR dan DPRD maupun DPD. Bunyi butir a : “ bahwa untuk memilih anggota DPR, DPRD dan DPD, pemilihan umum sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat adalah untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas dan bertanggungjawab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Sedangkan butit b berbunyi : “Bahwa Pemilihan Umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan-rumusan konsideransi itu menunjukkan DPR sampai dengan tarap itu masih terlihat perkembangan akal budinya, begitu masuk pada ketentuan umum, pasal-pasal dan ayat-ayat dari UU tersebut, kecerdasan, ketajaman akal budi mereka, mulai mengalami degradasi menjadi cerdik dan bahkan cenderung licik.
Kepentingan nasional bangsa yang pluralistik yang mestinya menjadi acuan pertimbangan sosiologis bersama mulai dikesampingkan, mereka lebih mengedepankan kepentingan golongan dan partainya. Kenyataan ini dengan cepat dapat dilihat, DPR dan Pemerintah lebih menunjukkan bahwa mereka panjang akal ( cerdik), licik, licin dan cenderung menipu. Hal ini juga telah ditunjukkan mereka pada saat membuat UU RAPBNP-Tahun 2012 Pada pasal 7 ayat 6a UU RAPBNP Tahun 2012 .
Ayat Setan Pertama
Kembali ke UU Pemilu, begitu kita baca rumusan pada BAB I, Ketentuan Umum, Pasal 1, butir 31 tampak jelas mulai dimasukkan apa yang disebut ayat-ayat setan itu. Bunyi butir 31 adalah “Bilangan Pembagi Pemilihan bagi Kursi DPR, selanjutnya disebut BPP DPR, adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas tertentu dari suara sah nasional dari satu daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi Partai Politik peserta Pemilu”.
Bunyi anak kalimat yang memenuhi ambang batas tertentu dari suara sah nasional, menggambarkan adanya pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat, suara rakyat dan itu bermakna menyangkal demokrasi.
Pengaturan anak kalimat seperti itu mendegradasi demokrasi sebagai demokrasi amoral. Ia juga paradoks dengan konsideransi butir a yaitu menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif. Ini berarti wakil rakyat yang mendapat suara terbanyak di suatu daerah pemilihan yang sejatinya berhak mendapatkan kursi di Parlemen (DPR) ditorpedo oleh anak kalimat tersebut sehingga kursinya dirampok oleh calon legislator dari partai lain yang suaranya lebih sedikit. Bukanlah hal ini merupakan mafia politik berjubah Undang-Undang ? Padahal pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten /Kota dilaksanakan dengan sistim proporsional terbuka (suara terbanyak).
Hal ini tentu paradoks pula dengan hak-hak asasi manusia/calon Legislatif. Jadi bunyi anak kalimat yang disebut di atas sebagai salah satu yang kami sebut sebagai ayat setan pertama. Demikian pula butir 32.
Ayat Setan Kedua
Kecerdasan dan kelicikan lain yang juga merupakan ayat-ayat setan itu terdapat pada Pasal 8 yang tidak saja menabrak UUD RI 1945 Pasal 22-E ayat 3 yang di copy paste secara cerdas oleh DPR yang diletakkan pada pasal 7 UU Pemilu Hasil Revisi UU Nomor : 10 Tahun 2008 yang berbunyi : “Peserta Pemilu Untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota adalah Partai Politik”. Dengan begitu baik Partai politik peserta pemilu 2009, maupun partai politik baru yang sudah mendapatkan status Badan Hukum dari Kementrian Hukum dan HAM sejatinya otomatis menjadi peserta pemilu berikutnya. Karena itu pasal 8 ayat (1) dan (2) yang mengatur lebih lanjut tentang persyaratan kepesertaan Pemilu sebagaimana rumusan yang ada menjadi ayat-ayat setan yang menghantarkan pemilu berikutnya sebagai perwujudan demokrasi amoral. Agar pemilu menjadi demokratis dan tidak diskriminatif, maka Pasal 8 ayat (1) berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah nasional, ditetapkan sebagai partai politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya” selayaknya dielips/dihapus. Demikian pula Pasal 8 ayat (2) secara keseluruhan dihapus, kecuali butir h yaitu mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU, sehingga Pasal 8 berubah menjadi :
Partai Politik Peserta Pemilu terakhir dan Partai Politik baru yang telah berbadan Hukum menjadi peserta pemilu berikutnya dengan mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
Ayat Setan Ketiga
Pasal dan ayat-ayat setan lainnya yang menyangkal demokrasi, mengkhianati aspirasi rakyat sepatutnya dihapus karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Termasuk di sini adalah pasal 208 yang berbunyi partai peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota “sepatutnya diganti dengan untuk diikutkan dalam pembentukan fraksi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, karena itu yang digunakan adalah fractional Treshold dan bukan Parlemen treshold (PT) karena jika diberlakukan PT, maka akan terjadi suara rakyat pada pemilu berikutnya yang diperkirakan hangus sekitar lebih dari 22%. Hal itu berarti Pemilu di Indonesia benar-benar memberhangus atau menyangkal demokrasi dan melahirkan Pseudo Democratie (Demokrasi Semu).
Selanjutnya, jika pasal 208 ini tetap diberlakukan untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka dapat dibayangkan bagi calon legislator yang sesuai aspirasi rakyat di daerah pemilihannya masing-masing (dengan suara mayoritas) maka mereka akan melakukan pesta dengan menyembelih hewan berupa sapi, kambing dan atau babi untuk merayakan pesta kemenangannya. Dan jika kemenangan mereka dibatalkan demi Undang-Undang yang merampas hak asasinya dan menabrak UUD 1945, bukanlah tidak mungkin mereka akan mengalihkan penyembelihan hewan kepada penyembelihan massal sesama manusia secara serentak sekitar Juli-Agustus 2014 yang akan datang. Apakah presiden dan DPR mau bertanggung jawab terhadap bom waktu yang akan menimbulkan konflik horizontal-nasional yang diperkirakan dapat terjadi demi mempertahankan hak asasi para calon legislator peraih suara terbanyak ? Semestinya aturan permainan untuk setiap kompetisi (termasuk Pemilu) diatur secara fair dan hasilnya diterima apa adanya. Ibarat SEA Games, maka juara umum Kontingen Indonesia dengan menggondol berbagai medali ( emas, perak dan perunggu) sebagai juara umum, tidak membatalkan medali Kontingen negara lain, meski suatu negara lain hanya merebut juara pada satu cabang olahraga saja. Itu berarti tidak ada “dosa warisan” dan dosa rembesan”. Memang ayat-ayat setan itu sesat, menyesatkan dan mengorbankan. Karena itu patut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi kalau ada Yudicial Review, atau Presiden tidak perlu mensyahkannya agar tidak dianggap melanggar lagi konstitusi dan menyemukan demokrasi (Pseudo Democratie).
Wallahua’lamu bi al-shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar