Mencermati perkembangan pembahasan revisi UU Pemilu yang terus
berlarut-larut dan belum menghasilkan kesepakatan di DPR dan sepertinya
menemui jalan buntu, menunjukkan lembaga Perwakilan Rakyat tersebut
belum mampu melaksanakan fungsi secara efektif dan efesien. Pembahasan
revisi UU Pemilu merupakan bentuk kesewenangan dan penuh dengan
kepentingan kelompok dan bukan untuk kepentingan rakyat. Pemilihan Umum
seharusnya menjadi ajang peningkatan kualitas demokrasi yang lebih baik
dan bukan hanya sekedar kegiatan bagi-bagi kursi.
.Jika tujuannya untuk peningkatan kualitas maka seharusnya para
anggota Dewan berpikir keras bagaimana melahirkan pasal-pasal yang mampu
memperbaiki kualitas pemilu yang setiap lima tahun memiliki segudang
kelemahan. Apa yang kita saksikan dalam perdebatan sekarang ini adalah
bagaimana memperoleh kursi secara mudah bagi mereka yang telah duduk di
Senayan. Untuk memenuhi “syahwat’ mereka maka dibuatlah pasal-pasal yang
menguntungkan bagi kelompoknya dan menutup pintu bagi kelompok lain
yang tidak duduk di lembaga legislative. Perilaku politik seperti ini
bisa menimbulkan persoalan besar bagi kebhinekaan Indonesia yang menjadi
pilar penting dalam kehidupan bernegra.
Ancaman bagi Bhinneka Tunggal Ika dan semangat Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sebagai bagian dari 4 Pilar bangsa dapat
diprediksi dari pasal yang mengatur perubahan rumusan threshold. Jika
Parliamentary Threshold dalam Pasal 202, diubah dari hanya di tingkat
pusat (DPR RI) menjadi hingga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka
ini akan menimbulkan konflik horizontal karena banyak calon yang menang
di daerah tetapi tidak dapat duduk bila perolehan suara di tingkat
nasional tidak lolos. Pada Pemilu 2009 terdapat banyak kabupaten/kota
atau provinsi yang didominasi parpol yang tidak lolos PT DPR RI.
Bagaimana menjelaskan kepada pemilih bahwa suara mereka hangus
disebabkan faktor ‘suara nasional’ yang tidak ada hubungannya dengan
pilihan mereka?
Selain itu, pengalihan kursi kepada calon dari partai lain di daerah
itu (yang partainya lolos secara nasional, meski suaranya di tempat itu
mungkin sangat kecil) niscaya tidak akan diterima karena bertentangan
dengan prinsip demokrasi dan nyata-nyata melecehkan pilihan rakyat.
Apalagi parpol pengganti itu dapat saja sangat berbeda secara ideologis,
agama, perilaku, dan kekhasan lainnya. Bagaimana bila (misalnya) calon
dari sebuah partai Kristen digantikan calon dari partai Islam atau
sebaliknya?
Persoalan lain yang juga mengancam bagi semangat kebhinekaan,
disebabkan parpol-parpol berbasis agama atau etnis atau berciri lokal
tidak akan eksis lagi. Partai berbasis agama selain Islam berkemungkinan
tidak akan pernah terwakili di parlemen selamanya. Hasil Pemilu 2009
telah membuktikan hal itu, dan bila diberlakukan hingga tingkat DPRD,
maka dapat dianggap sebagai pembinasaan secara sistematis terhadap
keberagaman dan kemajemukan.
Indonesia dengan segala kemajemukan merupakan anugrah Tuhan dan para
pendiri bangsa telah menyepakatinya dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
yang menjadi filosofi bernegara. Seharusnya anugrah dan amanah itu
dijaga dan dijunjung tinggi oleh para anggota dewan yang terhormat
karena dalam sumpah dan janjinya mereka akan taat dan patuh menjalankan
Undang-Undang.Namun, apa yang disaksikan saat ini para wakili rakyat itu
telah menginjak-injak filosofi bernegara dan mereka berdiri diatas
kepentingan kelompoknya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar