Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Selasa, 22 Mei 2012

UU Pemilu dan Ancaman Disintegrasi Bangsa

 Oleh : Samsudin (Pandu Nasional Laskar Hijau)

Mencermati perkembangan pembahasan revisi UU Pemilu yang terus berlarut-larut dan belum menghasilkan kesepakatan di DPR dan sepertinya menemui jalan buntu, menunjukkan lembaga Perwakilan Rakyat tersebut belum mampu melaksanakan fungsi secara efektif dan efesien. Pembahasan revisi UU Pemilu merupakan bentuk kesewenangan dan penuh dengan kepentingan kelompok dan bukan untuk kepentingan rakyat. Pemilihan Umum seharusnya menjadi ajang peningkatan kualitas demokrasi yang lebih baik dan bukan hanya sekedar kegiatan bagi-bagi kursi.
.Jika tujuannya untuk peningkatan kualitas maka seharusnya para anggota Dewan berpikir keras bagaimana melahirkan pasal-pasal yang mampu memperbaiki kualitas pemilu yang setiap lima tahun memiliki segudang kelemahan. Apa yang kita saksikan dalam perdebatan sekarang ini adalah bagaimana memperoleh kursi secara mudah bagi mereka yang telah duduk di Senayan. Untuk memenuhi “syahwat’ mereka maka dibuatlah pasal-pasal yang menguntungkan bagi kelompoknya dan menutup pintu bagi kelompok lain yang tidak duduk di lembaga legislative. Perilaku politik seperti ini bisa menimbulkan persoalan besar bagi kebhinekaan Indonesia yang menjadi pilar penting dalam kehidupan bernegra.
Ancaman bagi Bhinneka Tunggal Ika dan semangat Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai  bagian dari 4 Pilar bangsa dapat diprediksi dari pasal yang mengatur perubahan rumusan threshold. Jika Parliamentary Threshold dalam Pasal 202, diubah dari hanya di tingkat pusat (DPR RI) menjadi hingga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka  ini akan menimbulkan konflik horizontal karena banyak calon yang menang di daerah tetapi tidak dapat duduk bila perolehan suara di tingkat nasional tidak lolos. Pada Pemilu 2009 terdapat banyak kabupaten/kota atau provinsi yang didominasi parpol yang tidak lolos PT DPR RI. Bagaimana menjelaskan kepada pemilih bahwa suara mereka hangus disebabkan faktor ‘suara nasional’ yang tidak ada hubungannya dengan pilihan mereka?
Selain itu, pengalihan kursi kepada calon dari partai lain di daerah itu (yang partainya lolos secara nasional, meski suaranya di tempat itu mungkin sangat kecil) niscaya tidak akan diterima karena bertentangan dengan prinsip demokrasi dan nyata-nyata melecehkan pilihan rakyat. Apalagi parpol pengganti itu dapat saja sangat berbeda secara ideologis, agama, perilaku, dan kekhasan lainnya. Bagaimana bila (misalnya) calon dari sebuah partai Kristen digantikan calon dari partai Islam atau sebaliknya?
Persoalan lain yang juga mengancam bagi semangat kebhinekaan, disebabkan parpol-parpol berbasis agama atau etnis atau berciri lokal tidak akan eksis lagi. Partai berbasis agama selain Islam berkemungkinan tidak akan pernah terwakili di parlemen selamanya. Hasil Pemilu 2009 telah membuktikan hal itu, dan bila diberlakukan hingga tingkat DPRD, maka dapat dianggap sebagai pembinasaan secara sistematis terhadap keberagaman dan kemajemukan.
Indonesia dengan segala kemajemukan merupakan anugrah Tuhan dan para pendiri bangsa telah menyepakatinya dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang menjadi filosofi bernegara. Seharusnya anugrah dan amanah itu dijaga dan dijunjung tinggi oleh para anggota dewan yang terhormat karena dalam sumpah dan janjinya mereka akan taat dan patuh menjalankan Undang-Undang.Namun, apa yang disaksikan saat ini para wakili rakyat itu telah menginjak-injak filosofi bernegara dan mereka berdiri diatas kepentingan kelompoknya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar