Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut
Mukaddimah
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah. Semoga karunia dan keselamatan senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW.
Diwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Kenabian berada di tengah Anda selama yang dikehendaki Allah, kemudian Allah mengangkat kenabian itu manakala Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian berlaku kekhalifahan sesuai manhaj kenabian dan ia ada selama yang dikehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian muncul raja-raja yang menggigit selama yang dikehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian muncul raja-raja yang diktator selama yang dikehendaki Allah, kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian muncul kekhalifahan menurut jalan kenabian.” Kemudian beliau diam.”
Bukhari dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Kiamat tidak terjadi sebelum umat Islam memerangi umat Yahudi. Umat Islam membunuh mereka hingga orang-orang Yahudi bersembunyi di belakang batu dan pohon, lalu batu dan pohon itu berkata, ‘Hai muslim, hai hamba Allah, ini ada orang yahudi di belakangku. Kemarilah, lalu bunuhlah ia.’ Kecuali pohon Gharqad, karena ia termasuk pohonnya Yahudi.”
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW sabda, “Yang tersisa dari kalian akan memerangi Dajjal di sungai Yordania. Kalian berada di timur dan mereka di barat.” Ibnu Dharim, perawi hadits ini berkata, “Saya tidak tahu dimana Yordania pada waktu tiu.”
Jelas bahwa kembali kepada Islam merupakan hal yang dipastikan Allah dan Nabi-Nya SAW pun telah mengabarkannya. Secara sederhana, kembalinya umat kepada Islam itu dimulai dari keberadaan individu muslim yang komitmen terhadap agamanya, kemudian keluarga muslim, kemudian masyarakat muslim dan daulah muslim dan yang terkahir adalah umat muslim sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Ali ‘Imran [3]: 110) Kalian menjadi saksi atas mereka, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah.
Kira sekarang berada di era raja-raja diktator sejak Ataturk melakukan kudeta terhadap kekhalifahan Utsmaniyyah pada permulaan abad 20. Selama satu abad ini umat Isalm diperintah secara paksa dengan tank, mortar dan roket. Militer menguasai para ulama, pemikir, da’i dan pemimpin sosial. Militer bertindak layaknya Fir’aun, hingga menjadikan bangsa mereka sebagai sapi perahan bagi diri mereka sendiri, para algojo mereka dan anak-anak mereka. Mereka menjadikan bangsa mereka sendiri sebagai pelayan bagi mereka dan tuan-tuan mereka, yaitu musuh-musuh umat Islam yang memupuk subur dan mendukung diktatorisme ini, meskipun Barat mengklaim sebagai penanggungjawab atas demokrasi dan hak asasi manusia.
Para penguasa yang diktator itu telah menanamkan sifat rendah dan hina di hati umat Islam, hingga bangsa Israel berlaku sewenang-wenang dan merampas kiblat pertama dan tanah haram ketiga bagi umat Islam dan mengusir penduduknya yang Arab-muslim. Orang-orang Yahudi berkumpul dari segenap penjuru dunia untuk bercokol di Palestina, jantung dunia Islam, untuk merelasikan janji Allah dan Rasul-Nya dan agar nantinya umat Islam memerangi dan mengalahkan mereka, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits shahih dan barangkali hal tersebut sudah dekat masanya.
Bagaimana mungkin umat Islam mengalahkan Yahudi, sedangkan Yahudi hari ini menguasai dunia? Kemenangan itu tidak mungkin terjadi kecuali umat Islam kembali kepada Islam mereka, mengimplementasikannya dalam kehidupan mereka dan menjadikan syari‘at Allah sebagai hukum yang berlaku bagi hamba-hamba Allah di manapun mereka berada. Pada saat itulah umat Islam kembali menjadi umat terkuat yang pernah dikenal sejarah—sebagaimana dahulu kala—dan akan mengalahkan Yahudi.
Ketika hukum yang berlaku kembali seperti yang dijanjikan Rasulullah SAW, yaitu “kekhalifahan menurut jalan kenabian,” maka rezim diktator tersebut akan berakhir dan sistem pemerintahan kembali kepada sistem syura—sebagaimana yang terjadi pada masa kenabian dan Khulafa’ Rasyidun. Dalam perjalanan umat Isalm kepada sistem syura itu, mereka akan melewati sistem demokrasi sebagai fase transisi menuju sistem syura—Allah Mahatahu. Nilai kebaikan yang besar dalam sistem demokrasi yang hakiki adalah penghargaan terhadap keinginan bangsa dan ketika keinginan bangsa kita dihormati, maka mereka tidak akan menerima sebuah alternatif dari Islam. Tentu saja setelah pendidikan politik menyentuh semua lapisan masyarakat dan mereka meyakini bahwa politik adalah bagian dari fondasi Islam.
Sebagian negara Islam seperti Indonesia, Malaysia, Aljazaid, Turki dan selainnya telah mulai menggeliat dari cengkraman pemerintahan diktator dan bergerak menuju iklim kebebasan setelah seabad lebih berada di bawah pemerintahan yang diktator. Banyak penguasa yang memahami hal itu, sehingga mau menuruti sebagian keinginan rakyat mereka. Mereka pura-pura berdemokrasi di hadapan mereka, sesudah dunia internet telah menghapus sekat-sekat ruang bagi warna dunia dan setelah masyarakat di negara-negara yang diktator itu bisa mendengar apa yang terjadi di dunia pada hari tu juga. Mayoritas negara di dunai para hari ini menerapkan sistem demokrasi, sehingga para penguasa yang diktator itu pun memakai kedok demokrasi.
Banyak negara yang berafiliasi kepada Islam pada hari ini mulai mengikuti sistem demokrasi formalistik, agar tampak bahwa mereka itu bukan diktator. Banyak diselenggarakan pemili di negara-negara Islam, dimana pemilu merupakan simbol demokrasi. Biasanya, warga muslim diundang untuk mengikuti pemilu, tetapi ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya; apakah ia berpartisipasi dalam pemilu, atau memboikotnya? Apabila ia ikut pemilu, maka siapa yang akan dipilihnya? Mengapa ia memilih si A bukan si B? Ada banyak lagi pertanyaan yang diajukan kepada setiap warna muslim, namun ia tidak memperoleh jawabannya. Para ulama yang enggan mengajari warga muslim mengenai hukum pemilu. Bahkan mereka tidak mau mendekatinya karena pemilu adalah politik dan politik itu haram bagi mereka, halal bagi orang-orang sekuler. Umat Islam terlantar sehingga tidak mengetahui halal dan haram dalam perkara pemilu. Masing-masing bertindak sesuai seleranya, atau kepentingan duniawinya, atau sesuai instruksi keluarga atau partainya.
Harakah Islamiyyah merupakan pergerakan reformis. Ia ingin memperbaiki keadaan umat Islam dan menerapkan syari‘at Islam dalam kehidupan mereka. Karena itu, harakah Islamiyyah melihat sejak awal abad 20 melihat bahwa parlemen merupakan mimbar yang tepat untuk menyerupakan reformasi bagi umat Islam dan penerapan syari‘at Islam. Dan pada kurun-kurun terakhir dari abad 20, terlihat jelas bahwa perjuangan politik dan informasi merupakan sarana yang legal dan tersedia bagi harakah Islamiyyah. Karena itu, harakah Islamiyyah menuntut sistem demokrasi yang mengharuskan memperkenankan seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan perjuangan politik, informasi dan pendidikan. Dengan demikian, harakah Islamiyyah berusaha untuk mencapai tujuan yang telah digariskan, yaitu memperbaiki kondisi umat Islam dan menerapkan syari‘at Islam dalam kehidupan mereka.
Ada banyak harakah Islamiyyah yang duduk di parlemen-parlemen melalui pemilu sejak tahun 50-an di beberapa negara. Misalnya adalah Suria, Mesir, Yordania, Turki, Kuwait, Pakistan, Malaysia, Aljazaid, Sudan, Yaman dan lain-lain, serta berpartisipasi dalam berbagai pemilihan legislatif.
Karena itu, saya melihat bahwa di antara kewajiban terpenting bagi peneliti muslim pada hari ini adalah menjelaskan kepada umat Islam tentang hukum pemilu dalam Islam, kapan seorang muslim boleh terlibat di dalamnya dan kapan tidak boleh, serta bagaimana cara ia terlibat di dalamnya. Juga mengingatkan kepada umat Islam bahwa pemilu merupakan amanah yang harus diberikan kepada yang berhak, kesaksian yang harus dikemukakan sesuai caranya yang syar‘i, pernyataan loyalitas kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, serta pernyataan disloyalitas terhadap musuh-musuh Allah, orang-orang munafik dan kaum sekuler.
Inilah alasan kami menulis kajian ini yang diuraikan dalam mukadimah ini, lima pasal dan penutup. Pada pasal pertama kami berusaha menegaskan kepada umat Islam bahwa politik merupakan bagian dari agama Islam. Pada pasal kedua, kami mengupas pemilu antara demokrasi dan syura. Pada pasal ketiga kami menjelaskan bahwa pemilu adalah amanah dan Allah memerintahkan kita untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak. Pada pasal keempat kami menjelaskan bahwa pemilu merupakan kesaksian dan saya mengingatkan kepada umat Islam agar tidak bersaksi palsu. Pada pasal kelima saya jelaskan bahwa pemilu itu merupakan sarana ekspresi loyalitas dan disloyalitas; ia terkait dengan akidah. Kemudian kajian ini ditutup dengan rangkuman dan pesan-pesan. Hanya kepada Allah saya memohon semoga Dia mengilhamkan kebenaran padaku dan menjauhkanku dari kesalahan, menerima amalku pada hari ketika harta, kedudukan dan keturunan tidak berguna dan semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orangtuaku serta melipat-gandakan pahala bagi keduanya. Karena keduanya-lah yang menyekolahkanku dalam kondisi yang serba berkekurangan dan sesudah saya belajar di rumah. Kedua-lah yang mengajariku membaca dan menulis. Ibuku—semoga Allah merahmatinya—berusah payah untuk melakukannya. Ya Allah, ampunilah setiap orang yang mengajariku dan menunjukkan kepadaku jalan Islam, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan Doa.
Khalid Ahmad asy-Syantut Medio Rabi’ul Awwal, Cet. I
Setelah cetakan pertama terbit, beberapa saudaraku yang mulia mengkritik sikapku terhadap memilih perempuan karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi. Karena itu, dalam cetakan ini saya melakukan koreksi dan menambahkan apa yang pada zaman kita ini diistilahkan dengan “fikih realitas”. Maksud saya, harakah Islamiyyah menempuh jalur pemilu dengan kapabilitas yang bisa mengantarnya menuju parlemen dan darinya harakah Islamiyyah dapat berusaha mengimplementasikan syari‘at Islam di negara-negara umat Islam. Karena itu, saya berharap dapat menyinggung fiqih ushul ketika harakah Islamiyyah membuat undang-undang pemilu dan fiqih realitas ketika harakah Islamiyyah mengikuti pemilu sesuai undang-undang yang dibuat orang lain.
Saya juga berharap bisa memberi tekanan apa yang saya maksud dari kesaksian dan itulah yang menjadi penyebab perbedaan antara lak dan perempuan dalam pemilu. Seorang laki-laki bisa berinteraksi secara intens dengan laki-laki lain dan mengenal mereka, sehingga ia bisa memberi kesaksian terhadap mereka. Sementara bagi perempuan, interaksi yang demikian itu dilarang dalam syari‘at.
Setelah itu semua, saya berharap semoga saudara-saudaraku itu bisa menerima saya dengan lapang dada dan mempersilakan saya untuk mengungkapkan apa yang saya anggap benar—hanya Allah yang Maha Memberi taufiq. Saya memohon kepada Allah semoga memberkahi amal ini dan menulisnya dalam cacatan amal baikku di hari Kiamat.
Segala puji bagi Allah Tuhan Pemilik jagat raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar