PERNYATAAN tokoh lintas agama tentang kebohongan pemerintah belum lama ini memang terasa mengagetkan. Pernyataan itu, serta kontroversi yang kemudian mengikutinya, sempat menjadi berita utama di berbagai media cetak dan elektronik selama berhari-hari. Suasana pun menjadi agak gerah dan rakyat lagi-lagi harus menyaksikan sebuah 'konflik' yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
Sekarang tiba waktunya kita duduk tenang sebentar dan berpikir dengan kepala dingin di tengah hiruk pikuk ini. Dengan demikian, secara proporsional dapat kita tempatkan substansi persoalan serta solusi yang dapat ditemukan. Juga agar kita semua dapat menarik hikmah dari kejadian ini sehingga dapat dihindari di masa-masa mendatang.
Reaksi pemerintah terhadap pernyataan para tokoh agama merupakan sesuatu yang wajar. Individu, komunitas masyarakat, dan kelompok sosial mana pun niscaya akan segera memberikan jawaban dan tanggapan jika dianggap telah berbohong. Apalagi pemerintah, sebuah otoritas yang menerima mandat langsung dari puluhan juta warga negara dan bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kedamaian mereka. Jika pernyataan itu tidak ditanggapi dengan semestinya oleh pemerintah, justru akan menjadi wacana yang tidak sehat dan melahirkan rasa saling curiga di tengah-tengah publik. Karena itu, janganlah reaksi dan tanggapan dari pemerintah itu diartikan sebagai sikap defensif, tidak tahan kritik, ataupun enggan melakukan introspeksi. Memberikan tanggapan dan jawaban adalah kewajiban sekaligus hak pemerintah dalam menanggapi tuduhan saat ini. Melakukan intropeksi dan evaluasi adalah langkah konkret berikutnya, yang juga tak kalah pentingnya.
Di sisi lain, pernyataan para tokoh agama, terlepas dari cara penyampaian, merupakan sesuatu yang tetap perlu dipertimbangkan. Tuduhan bohong terlontar manakala sesuatu yang dianggap telah dijanjikan pemerintah dalam kenyataannya belum terealisasi di tengah masyarakat. Jika dilihat dari sudut pandang ini, kelirukah para tokoh agama? Tidak sepenuhnya keliru, selama angle yang dijadikan pijakan adalah orientasi pada hasil, sekarang, yang dapat dilihat, dirasakan, disentuh, detik ini. Meskipun ada konotasi-konotasi lain dalam kata 'bohong', itu tidak penting untuk ditelusuri lebih lanjut. Pemerintah berpikiran positif bahwa para tokoh agama itu tidak bergerak berdasarkan logika dan kepentingan politik yang tersirat. Jadi, cukup kita menganalisis hal-hal yang telah tersurat saja. Kalaupun ada kepentingan-kepentingan lain di balik ini, biarlah publik sendiri yang menilai. Yang jelas, rakyat yang dahaga, haus akan terpenuhinya kebutuhan mereka, menginginkan pemerintah mengisi cawan-cawan mereka sepenuh mungkin, seperti yang diharapkan kita semua, termasuk para tokoh lintas agama itu.
Namun di sisi lain, salahkah pemerintah saat membantah bahwa mereka tidak berbohong dan tidak pernah sejumput pun punya niat membohongi rakyat yang telah memilih dan memercayai mereka tujuh belas bulan yang lalu? Bahwa pemerintah senantiasa bekerja keras dan ingin selalu memberikan kepada rakyat, khususnya kepada yang miskin, apa yang mereka harapkan bagi keluarga dan anak-anak mereka? Tentu tidak salah. Pemerintah melihat dari sudut bahwa segala sesuatu sedang berproses, bergerak, berubah, dan bergeser. Ada proses yang lambat dan ada proses yang cepat. Ada proses yang berpacu dengan kecepatan 85 km/jam, ada proses yang beringsut pelan akibat beban persoalan yang menumpuk berkarat sekian puluh tahun tak terselesaikan. Ada proses perbaikan yang cukup melibatkan satu kementerian saja, tetapi ada juga proses yang harus melibatkan hampir 18 instansi sekaligus. Ada proses yang hanya perlu melibatkan sekelompok kecil orang dengan sumber daya prima, tetapi kebanyakan proses, suka tidak suka, harus mengikutsertakan begitu banyak sumber daya yang mungkin saja terbatas kualitas, pengalaman, dan pengetahuannya, meski punya cukup niat baik di dalam nurani.
Bagi sebagian kalangan yang sudah telanjur skeptis, bahkan apriori dan penuh prasangka, hal yang saya sampaikan itu bisa saja dianggap sebagai bentuk upaya justifikasi atau mencari pembenaran. Saya tidak berpretensi untuk mengubah pemikiran itu, apalagi memaksakan cara pandangan saya. Pemerintah percaya masih sangat jauh lebih banyak unsur masyarakat yang mampu bersikap objektif, adil, dan proporsional, menilai mana yang kurang, mengkritisi secara sehat apa yang belum terwujud, dan mengapesiasi hal-hal yang telah berjalan, meskipun mungkin juga tidak sempurna. Bukankah kesempurnaan hanya milik Tuhan?
Karena hidup adalah pilihan, kita semua, termasuk para tokoh agama, juga dapat memilih. Apakah akan memfokuskan diri, perhatian, dan tenaga sekadar melulu pada aspek-aspek negatif dari pemerintah dan pekerjaannya, atau mencoba menemukan ruang-ruang tempat kita semua bisa terlibat dalam proses perubahan tanpa kehilangan daya kritis, independensi, dan keberpihakan kita pada yang miskin.
Setiap pilihan akan membawa konsekuensi. Pilihan pertama bisa jadi akan membawa kita pada situasi kecurigaan dan prasangka yang konstan, yang akan menyedot energi positif yang sesungguhnya bisa dipakai untuk memerbaiki apa yang timpang dan belum tegak. Lagi pula, jika situasi itu yang terus-menerus dilakoni, siapa lagi yang akan menanggung akibatnya paling duluan jika bukan masyarakat bawah?
Demokrasi yang telah kita pilih sebagai jalan politik Republik dengan royal telah menyediakan ruang bagi berbagai aspirasi dan keinginan. Media massa yang kian terbuka juga cepat menangkap berbagai gejolak di tengah publik, di mana pun, sekecil apa pun gejolak itu. Kesediaan untuk mengapresiasi secara adil dan mengkritik secara sehat bukankah merupakan keseimbangan yang sangat dimungkinkan dalam alam demokrasi semacam ini? Pada titik itulah pilihan kedua tampil sebagai strategi yang jauh lebih produktif bagi masyarakat, jika dibandingkan dengan yang lainnya. Lagi pula, setiap hal di bumi ini selalu punya dua sisi: hitam–putih, halus–kasar, negatif–positif, dan baik-buruk. Hanya orang-orang yang penuh prasangka dan sikap pesimistislah yang mengibarkan satu sisi tinggi-tinggi dengan pengabaian total pada sisi sebelahnya. Pemerintah yakin bahwa masyarakat Indonesia tidak berpikir seperti itu.
Sesungguhnya segala kegerahan ini tidak perlu terjadi. Mari mencari titik tengah, titik singgung tempat tuntutan para tokoh agama dan kerja keras pemerintah dapat ditempatkan secara proporsional. Mari kita berorientasi pada proses sekaligus hasil jangka pendek yang dapat terlihat dan terukur. Mari kita bersama-sama menghindari situasi-situasi yang justru menjauhkan kita semua dari proses yang sehat dan hasil yang membahagiakan. Jika cawan itu baru terisi setengahnya, janganlah ditumpahkan. Lebih baik kita terlusuri cara paling cepat untuk mengisinya penuh, agar kehausan sebagian rakyat akan hidup yang lebih baik bisa terpuaskan.
Pesan yang ingin disampaikan telah diterima dengan baik oleh pemerintah dan untuk itu, pemerintah dengan besar hati mengucapkan terima kasih atas setiap masukan. Kami sadar setiap individu dapat memiliki sudut pandang masing-masing. Bukankah di situlah keindahan dan tantangan demokrasi, yang telah kita pilih sebagai jalan hidup Republik kita?
Tantangan di hadapan kita sungguh besar. Bergandengan tangan selalu lebih baik daripada berjuang sendirian. Pemerintah akan melanjutkan pekerjaan rumah dengan berikhtiar lebih kuat lagi. Kami percaya, pengalaman-pengalaman yang sulit justru akan semakin memperkuat bangsa dan pemerintah ini. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menilai dan membuat keputusan: menjatuhkan vonis atau melimpahkan pujian.
Reaksi pemerintah terhadap pernyataan para tokoh agama merupakan sesuatu yang wajar. Individu, komunitas masyarakat, dan kelompok sosial mana pun niscaya akan segera memberikan jawaban dan tanggapan jika dianggap telah berbohong. Apalagi pemerintah, sebuah otoritas yang menerima mandat langsung dari puluhan juta warga negara dan bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kedamaian mereka. Jika pernyataan itu tidak ditanggapi dengan semestinya oleh pemerintah, justru akan menjadi wacana yang tidak sehat dan melahirkan rasa saling curiga di tengah-tengah publik. Karena itu, janganlah reaksi dan tanggapan dari pemerintah itu diartikan sebagai sikap defensif, tidak tahan kritik, ataupun enggan melakukan introspeksi. Memberikan tanggapan dan jawaban adalah kewajiban sekaligus hak pemerintah dalam menanggapi tuduhan saat ini. Melakukan intropeksi dan evaluasi adalah langkah konkret berikutnya, yang juga tak kalah pentingnya.
Di sisi lain, pernyataan para tokoh agama, terlepas dari cara penyampaian, merupakan sesuatu yang tetap perlu dipertimbangkan. Tuduhan bohong terlontar manakala sesuatu yang dianggap telah dijanjikan pemerintah dalam kenyataannya belum terealisasi di tengah masyarakat. Jika dilihat dari sudut pandang ini, kelirukah para tokoh agama? Tidak sepenuhnya keliru, selama angle yang dijadikan pijakan adalah orientasi pada hasil, sekarang, yang dapat dilihat, dirasakan, disentuh, detik ini. Meskipun ada konotasi-konotasi lain dalam kata 'bohong', itu tidak penting untuk ditelusuri lebih lanjut. Pemerintah berpikiran positif bahwa para tokoh agama itu tidak bergerak berdasarkan logika dan kepentingan politik yang tersirat. Jadi, cukup kita menganalisis hal-hal yang telah tersurat saja. Kalaupun ada kepentingan-kepentingan lain di balik ini, biarlah publik sendiri yang menilai. Yang jelas, rakyat yang dahaga, haus akan terpenuhinya kebutuhan mereka, menginginkan pemerintah mengisi cawan-cawan mereka sepenuh mungkin, seperti yang diharapkan kita semua, termasuk para tokoh lintas agama itu.
Namun di sisi lain, salahkah pemerintah saat membantah bahwa mereka tidak berbohong dan tidak pernah sejumput pun punya niat membohongi rakyat yang telah memilih dan memercayai mereka tujuh belas bulan yang lalu? Bahwa pemerintah senantiasa bekerja keras dan ingin selalu memberikan kepada rakyat, khususnya kepada yang miskin, apa yang mereka harapkan bagi keluarga dan anak-anak mereka? Tentu tidak salah. Pemerintah melihat dari sudut bahwa segala sesuatu sedang berproses, bergerak, berubah, dan bergeser. Ada proses yang lambat dan ada proses yang cepat. Ada proses yang berpacu dengan kecepatan 85 km/jam, ada proses yang beringsut pelan akibat beban persoalan yang menumpuk berkarat sekian puluh tahun tak terselesaikan. Ada proses perbaikan yang cukup melibatkan satu kementerian saja, tetapi ada juga proses yang harus melibatkan hampir 18 instansi sekaligus. Ada proses yang hanya perlu melibatkan sekelompok kecil orang dengan sumber daya prima, tetapi kebanyakan proses, suka tidak suka, harus mengikutsertakan begitu banyak sumber daya yang mungkin saja terbatas kualitas, pengalaman, dan pengetahuannya, meski punya cukup niat baik di dalam nurani.
Bagi sebagian kalangan yang sudah telanjur skeptis, bahkan apriori dan penuh prasangka, hal yang saya sampaikan itu bisa saja dianggap sebagai bentuk upaya justifikasi atau mencari pembenaran. Saya tidak berpretensi untuk mengubah pemikiran itu, apalagi memaksakan cara pandangan saya. Pemerintah percaya masih sangat jauh lebih banyak unsur masyarakat yang mampu bersikap objektif, adil, dan proporsional, menilai mana yang kurang, mengkritisi secara sehat apa yang belum terwujud, dan mengapesiasi hal-hal yang telah berjalan, meskipun mungkin juga tidak sempurna. Bukankah kesempurnaan hanya milik Tuhan?
Karena hidup adalah pilihan, kita semua, termasuk para tokoh agama, juga dapat memilih. Apakah akan memfokuskan diri, perhatian, dan tenaga sekadar melulu pada aspek-aspek negatif dari pemerintah dan pekerjaannya, atau mencoba menemukan ruang-ruang tempat kita semua bisa terlibat dalam proses perubahan tanpa kehilangan daya kritis, independensi, dan keberpihakan kita pada yang miskin.
Setiap pilihan akan membawa konsekuensi. Pilihan pertama bisa jadi akan membawa kita pada situasi kecurigaan dan prasangka yang konstan, yang akan menyedot energi positif yang sesungguhnya bisa dipakai untuk memerbaiki apa yang timpang dan belum tegak. Lagi pula, jika situasi itu yang terus-menerus dilakoni, siapa lagi yang akan menanggung akibatnya paling duluan jika bukan masyarakat bawah?
Demokrasi yang telah kita pilih sebagai jalan politik Republik dengan royal telah menyediakan ruang bagi berbagai aspirasi dan keinginan. Media massa yang kian terbuka juga cepat menangkap berbagai gejolak di tengah publik, di mana pun, sekecil apa pun gejolak itu. Kesediaan untuk mengapresiasi secara adil dan mengkritik secara sehat bukankah merupakan keseimbangan yang sangat dimungkinkan dalam alam demokrasi semacam ini? Pada titik itulah pilihan kedua tampil sebagai strategi yang jauh lebih produktif bagi masyarakat, jika dibandingkan dengan yang lainnya. Lagi pula, setiap hal di bumi ini selalu punya dua sisi: hitam–putih, halus–kasar, negatif–positif, dan baik-buruk. Hanya orang-orang yang penuh prasangka dan sikap pesimistislah yang mengibarkan satu sisi tinggi-tinggi dengan pengabaian total pada sisi sebelahnya. Pemerintah yakin bahwa masyarakat Indonesia tidak berpikir seperti itu.
Sesungguhnya segala kegerahan ini tidak perlu terjadi. Mari mencari titik tengah, titik singgung tempat tuntutan para tokoh agama dan kerja keras pemerintah dapat ditempatkan secara proporsional. Mari kita berorientasi pada proses sekaligus hasil jangka pendek yang dapat terlihat dan terukur. Mari kita bersama-sama menghindari situasi-situasi yang justru menjauhkan kita semua dari proses yang sehat dan hasil yang membahagiakan. Jika cawan itu baru terisi setengahnya, janganlah ditumpahkan. Lebih baik kita terlusuri cara paling cepat untuk mengisinya penuh, agar kehausan sebagian rakyat akan hidup yang lebih baik bisa terpuaskan.
Pesan yang ingin disampaikan telah diterima dengan baik oleh pemerintah dan untuk itu, pemerintah dengan besar hati mengucapkan terima kasih atas setiap masukan. Kami sadar setiap individu dapat memiliki sudut pandang masing-masing. Bukankah di situlah keindahan dan tantangan demokrasi, yang telah kita pilih sebagai jalan hidup Republik kita?
Tantangan di hadapan kita sungguh besar. Bergandengan tangan selalu lebih baik daripada berjuang sendirian. Pemerintah akan melanjutkan pekerjaan rumah dengan berikhtiar lebih kuat lagi. Kami percaya, pengalaman-pengalaman yang sulit justru akan semakin memperkuat bangsa dan pemerintah ini. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menilai dan membuat keputusan: menjatuhkan vonis atau melimpahkan pujian.