JAKARTA (Voa-Islam) – Kehadiran ormas yang ada hendaknya tidak menjadi komparador asing. Mengingat, orientasi LSM komparador asing bukan untuk kemajuan bangsa, melainkan hendak mengacaukan stabilitas keamanan di Indonesia. Karenanya, komparador asing itu harus dilarang.
Demikian pandangan Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH. Muhammad Al Khaththath dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Pansus RUU Ormas beberapa waktu lalu di Gedung DPR.
"Apa perlu ada ormas asing, karena kerjaannya bukan untuk kemajuan bangsa Indonesia, tapi hanya grecokin saja. Setiap ormas harus bekerja untuk kemajuan bangsa dan rakyat Indonesia, bukan untuk merongrong kedaulatan NKRI,” ujar Al Khaththath.
Dalam RDP tersebut, DPR mengundang sejumlah ormas, seperti Forum Umat Islam (KH. Muhammad Al Khaththath),GARIS, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Pangestu, Subud, dan Majelis Mujahidin Indonesia. Semua ormas memberi pendapatnya,kecuali MMI yang tidak hadir siang itu.
Seperti diketahui, FUI yang merupakan wadah berhimpun dari berbagai ormas Islam yang ada, termasuk JAT, FPI, MMI, Garis dan DDII. Tentang pertanyaan, apakah LSM, Paguyuban & Organsisasi Sosial merupakan lembaga yang dapat dikategorikan sebagai ormas? Sekjen FUI itu tidak mempersoalkan istilah ormas dengan istilah paguyuban, perkumpulan, perhimpunan, atau ormas itu sendiri. Ini menunjukkan adanya keberagaman di Indonesia, terpenting keberadaan ormas itu harus berorientasi unutk kemajuan bangsa dan rakyat Indonesia.
Ormas Bukan Musuh Negara
Al Khaththath mengatakan, relasi atau hubungan ormas dengan pemerintah, memang seharusnya bersinergis. Keberadaan ormas seyogianya dipandang sebagai bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia. Jangan diposisikan sebagai lawan atau musuh. “Saya kira, rakyat atau ormas tak perlu diawasi. Sebaiknya, bukan pengawasan, tapi pembinaan.”
Sangat disayangkan, jika aparat intel malah memetakan ormas tertentu dengan istilah radikal kanan ataupun radikal kiri, bahkan sampai mencap sebagai musuh negara. Tapi giliran NGO atau LSM komparador asing malah dibiarkan. Jelas ini keliru.
Al Khaththath setuju jika pemerintah menindak tegas terhadap ormas yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Kalau ini baru bisa dipandang sebagai musuh. Jadi, siapa yang berhubungan dengan orang asing, yang tujuannya ingin menghabisi harta kekayan kita, atau melemahkan kekuatan unsur negara kita, seperti di Freeport, New Mont dan sebagainya, maka harus ditindak tegas. “Intel-intel sebaiknya menginteli kedubes-kedubes di negeri ini. Bukan menginteli FPI ataupun FUI,” tandasnya.
Tentang apakah setiap ormas wajib melakukan pendaftaran kepada pemerintah? Menurut Al Khaththath, sebaiknya mekanisme pendaftaran ormas disederhanakan saja, tak perlu birokrasi yang rumit. Soal pengawasan audit keuangan terhadap ormas, hendaknya tidak perlu diaudit, namun jika ada ormas berbadan hukum, silahkan saja untuk diaudit. Begitu juga, ormas, LSM atau NGO yang mendapatkan bantuan asing, memang seharusnya diaudit. Sudah saatnya ormas harus mandiri, tak perlu bantuan asing.
“Perlu diketahui, dana yang diperoleh FUI untuk melakukan kegiatan berasal dari swadaya anggota ormas islam yang tergabung dalam wadah FUI. Dan kebanyakan penyumbangnya bersifat lillahita’ala, dan hanya menyebut dirinya dari hamba Allah,” tukas Al Khaththath.
Ihwal sanksi bagi ormas yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan per-undang-undangan, khususnya gangguan terhadap ketertiban umum, Ustadz Al Khaththath mengatakan, hendaknya dilakukan sesuai mekanisme hukum yang ada. Siapa yang melanggar hukum harus dihukum. Tapi jika sudah melalui mekanisme hukum, tak perlu dihukum dua kali dengan sanksi pembubaran ormas. Sebab, nanti kalau ada polisi dan tentara melakukan tindakan kriminal, bisa-bisa ada tuntutan yang sama agar institusi polisi dan TNI dibubarkan.
“Atau jika ada pendukung parpol yang merusak instansi pemerintah, maka bisa ada tuntutan partainya harus dibubarkan. Karena itu, lebih baik tidak ada pembubaran ormas, kecuali dibubarkan oleh anggota ormas itu sendiri, berdasarkan musyawarah dengan para anggotanya. Kalau ormas dibubarkan oleh pemerintah berdasarkan laporan masyarakat, nanti semua bisa melapor. Yang direpotkan pasti ya polisi dan pengadilan,” kata Al Khaththath.
Terkait RUU Ormas yang hendak menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, FUI secara tegas menolak. Biarlah ormas-ormas yang ada memiliki keragaman asasnya, baik yang berasaskan Islam, Kristen, Hindu, Budha dan sebagainya. Namun, kita tidak mentolerir, jika ada ormas yang berasaskan komunisme dan liberalisme. Tentu ini sangat bertentangan dengan Pancasila. “Kami umat Islam, tak ingin Rezim Orde Baru terlahir kembali. Trauma di masa lalu itu hendaknya tidak diulangi lagi.”
Dikatakan Al Khaththat, biarlah Pancasila menjadi asas negara kita, karena Pancasila tidak bertentangan dengan Islam atau sebaliknya. Justru kerap terjadi, pelaksanaan oleh negera telah bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Sebagai contoh, Kepprres tentang muniman beralkohol, jelas memperbolehkan untuk produksi, distribusi dan jual beli miras, padahal ini sangat bertentangan dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu DPR harus menggagas UU anti miras. Desastian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar