Safril Mubah -
Jakarta Di tengah terjangan arus globalisasi yang semakin kencang, Indonesia tampak semakin tertatih-tatih dalam mengarungi kompetisi global.
Dihadapkan pada persaingan bebas melintasi batas-batas negara, kita tampak kewalahan dalam mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju yang mendapatkan banyak keuntungan dari proses globalisasi.
Ketika negara-negara maju semakin kaya, Indonesia justru terus dibelit problem kemiskinan yang melanda 32,53 juta rakyat negeri ini.
Jika diamati, globalisasi memang melahirkan ketimpangan antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Buktinya terlihat dari laporan tahunan Bank Dunia yang menunjukkan bahwa Gross National Product (GNP) per kapita negara-negara berkembang ternyata 20 kali lebih rendah dari negara-negara maju.
Semangat globalisasi untuk melakukan homogenisasi sistem secara universal sepertinya berhasil dimanfaatkan oleh negara-negara maju untuk mengekspor nilai-nilai ekonomi liberalnya ke seluruh dunia.
Karena negara-negara tersebut memiliki daya kompetitif tinggi, nilai-nilai liberalisasi dagang yang mereka anut akhirnya menjadi nilai-nilai global yang mampu menerobos proteksi negara-negara berkembang.
Globalisasi telah mendorong Indonesia terlibat perdagangan bebas dan memaksakan diri bergabung dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) meskipun banyak pengusaha yang belum siap berkompetisi secara bebas.
Persoalannya, dalam menghadapi perdagangan bebas itu, negara kita tampaknya tidak berbuat banyak.
Negara lalai dalam menyiapkan infrastruktur yang mampu memperkuat produsen-produsen dalam negeri untuk meningkatkan kualitas produksinya supaya komoditas yang dihasilkan bisa bersaing di pasar internasional.
Negara juga tidak mengatur regulasi untuk menyiasati perdagangan bebas dengan mengerem serbuan produk impor agar tidak langsung bersaing dengan produk lokal maupun nasional.
Akibatnya, komoditas perusahaan-perusahaan kita kalah bersaing dengan komoditas korporasi-korporasi global yang terbukti lebih berkualitas namun tetap terjangkau kocek masyarakat.
Gurita Korporasi Global
Globalisasi pada dasarnya merupakan pengintegrasian perekonomian nasional ke dalam sistem ekonomi global.
Dalam integrasi itu, sistem proteksionis dihapuskan oleh perjanjian perdagangan yang melegalkan setiap arus masuk-keluar komoditas melintasi batas-batas negara.
Terwujudnya aturan itu merupakan hasil perjuangan korporasi-korporasi global untuk memengaruhi negara dalam melegalisasi aturan perdagangan bebas yang menguntungkan mereka.
Dalam kondisi demikian, negara sebenarnya menggadaikan kedaulatannya ke tangan korporasi global. Tak heran apabila jumlah korporasi global tidak hanya meningkat pesat tiga dekade terakhir, tetapi juga mampu menguasai perekonomian dunia.
Gurita bisnisnya yang menjalar ke banyak negara menjadikan korporasi global lebih berkuasa dibandingkan negara. Sebagian korporasi global, seperti ExxonMobil dan General Motors, bahkan memiliki kekayaan lebih besar daripada sebuah negara.
Di Indonesia, sejumlah peraturan direvisi untuk memuluskan investasi korporasi global di dalam negeri. Celakanya, ketika investasi itu merusak alam, negara tak berbuat banyak untuk menyelamatkan sumber daya negeri ini.
Atas nama pembangunan, negara justru membela korporasi global daripada rakyatnya sendiri.
Di Minahasa, pencemaran Teluk Buyat oleh Newmont yang menyebabkan penyakit minamata di kalangan penduduk sekitar berakhir damai setelah pemerintah menandatangani goodwil agreement yang menyatakan korporasi itu bersedia membayar US$ 30 juta jika pemerintah mencabut gugatan.
Di Mimika, pemerintah memperpanjang kontrak karya dengan Freeport meskipun eksplorasi raksasa tambang emas ini telah merusak keseimbangan ekologis di wilayah itu.
Di Cepu, pemerintah lebih memilih ExxonMobil untuk mengelola sumber minyak di situ daripada menyerahkannya kepada perusahaan lokal di daerah sekitar.
Memperkuat Negara
Ketika pemerintah justru mengakomodasi kepentingan korporasi-korporasi global yang beroperasi di negeri ini dan bukannya melayani rakyat sebagai sumber kedaulatan, negara kita sesungguhnya berada di tapal batas.
Negara tampak bimbang dalam menentukan posisi tegas, antara membela kepentingan korporasi global dengan resiko mengingkari kedaulatan rakyat ataukah membela kepentingan rakyat dengan resiko kehilangan investasi.
Idealnya, negara harus mengutamakan rakyat, tetapi realitanya, negara justru memihak korporasi global. Tidak berlebihan jika kita menyebut Indonesia sesungguhnya bukanlah negara demokrasi, tetapi negara korporatokrasi.
Di tengah tapal batas itu, menolak globalisasi jelas bukan pilihan strategis karena membuat negara ini terisolasi dari pergaulan komunitas global.
Karena itu, langkah yang harus diambil adalah negara tetap terlibat dalam proses globalisasi seraya memperkuat posisi tawarnya dalam berhadapan dengan aktor-aktor internasional lain, terutama korporasi global.
Penguatan negara bukan berarti mengubah negara menjadi otoriter dan bisa bertindak sewenang-wenang, melainkan menjadikan negara berwibawa tidak hanya di mata rakyat, tetapi juga di depan korporasi global dan negara lain.
Untuk memperkuat negara, pemerintahan bersih dan berwibawa yang melindungi rakyat dari eksploitasi dan berani melawan korporasi global merupakan syarat mutlak yang tak bisa ditawar.
Pemerintah yang bersih dan berwibawa pasti bertindak tegas dan menolak kompromi jika ada korporasi yang menawarkan konsesi dalam bentuk apapun.
Pemerintah yang bersih dan berwibawa juga harus menyediakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat karena ini telah menjadi tanggung jawab negara (state accountability) untuk menyejahterakan rakyat, bukannya malah mengalihkan tanggung jawab kepada korporasi (corporate responsibility).
Pemerintahan sekarang sebenarnya memiliki modalitas besar untuk melakukan itu karena kuatnya legitimasi yang didapat dari rakyat.
Tinggal sekarang bagaimana mengapitalisasi modalitas itu untuk menciptakan sebuah negara kuat yang tak mudah goyah oleh terpaan globalisasi.
*Penulis adalah Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga dan Peneliti Cakra Studi Global Strategis (CSGS) Surabaya
A. Safril Mubah
Jl. Airlangga 4-6 Surabaya
asafril@gmail.com
03183161068
Tidak ada komentar:
Posting Komentar