Oleh : Yusril Ihza Mahendra
DPP KNPI pernah mengundang saya untuk menyampaikan uraian dengan topik Roadmap Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Kemanakah Arah Praktik Bernegara Kita? Topik ini mengingatkan saya ke masa awal reformasi ketika saya mengemukakan gagasan “Tidak Ada Reformasi Tanpa Amandemen Konstitusi”. Pergantian sebuah rezim tanpa perubahan sistem, sesungguhnya takkan banyak menghasilkan sesuatu yang ideal sebagaimana kita harapkan. Rezim baru yang penuh idealisme, lama kelamaan akan mengulangi pola-pola rezim sebelumnya dalam menjalankan kekuasaan negara. Kekuasaan itu menggoda. Ada kecenderungan umum dalam sejarah politik, sebuah rezim akan terus berupaya dengan berbagai cara — baik sah maupun tidak sah — untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dalam rangka itulah, maka penyelenggaraan kekuasaan negara harus diatur oleh norma-norma hukum, yang akan membentuk sistem bernegara itu. Sistem itu harus memberi jaminan agar semua pihak yang terlibat di dalam negara, baik lembaga-lembaga negara, maupun kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat, dapat melakukan kontrol atas jalannya sistem penyelenggaraan negara itu. Kontrol yang kuat, dan memberikan keseimbangan itu, kita harapkan akan memberi jaminan bahwa sistem akan berjalan sebagaimana kita inginkan.
Uraian singkat di atas itu menggambarkan kepada kita betapa pentingnya konstitusi bagi sebuah negara. Konstitusi itulah yang memberikan kerangka bernegara yang dianggap ideal bagi sebuah bangsa. Konstitusi itu meletakkan dasar-dasar sistem bernegara dan sekaligus mengatur mekanisme penyelenggaraannya. Tentu saja, konstitusi tidak mungkin akan mengatur segala-galanya. Rincian dari dasar-dasar itu dapat diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah seperti undang-undang atau konvensi ketatenegaraan yang tumbuh, diterima dan dipelahara dalam praktek penyelenggaraan negara. Konstitusi sebuah negara pada hakikatnya memuat gagasan-gagasan pokok bernegara bagi sebuah bangsa, yang di dalamnya dirumuskan sistem dan mekanisme penyelenggaraan negaranya.
Sehari setelah kita menyatakan kemerdekaan, kita telah mengesahkan sebuah konstitusi, yang kemudian kita namakan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Filosofi bernegaranya telah dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar itu. Pemikiran filosofis itu kemudian dituangkanke dalam pasal-pasal konstitusi yang merumuskan sistem bernegara dan mekanisme penyelenggaraannya. Namun seperti telah kita maklumi, konstitusi itu hanya bersifat sementara, yang dimaksudkan hanya berlaku untuk setahun saja, sampai dirumuskannya konstitusi yang bersifat permanen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum. Namun, karena pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan, konstitusi itu berlaku dengan berbagai konvensinya, dan kemudian diganti dengan konstitusi yang lain, sampai dinyatakan berlaku kembali melalui dekrit Presiden pada tahun 1959.
Ketika Pemerintah – dalam hal ini Perdana Menteri Djuanda Kartawinata — mengusulkan kepada Konstituante agar kembali ke UUD 1945, telah timbul suara-suara yang mengkhawatirkan konstitusi itu akan menciptakan kediktatoran di negeri ini, karena kekuasaan Presiden yang begitu besar. Buya Hamka misalnya mengatakan di Konstituante bahwa kembali ke UUD 1945 itu bukanlah “shirat al-mustaqim” atau “jalan yang lurus” seperti dikatakan para pendukungnya, melainkan “shirat al-jahim”, yakni “jalan menuju ke neraka” karena akan membuka peluang kepada Presiden untuk menjadi diktator terselubung. Setelah UUD 1945 diberlakukan kembali, keadaan berkembang ke arah seperti dibayangkan oleh Buya Hamka itu. Walaupun UUD 1945 menyebutkan kedaulatan rakyat, namun tak sepatah katapun UUD 1945 itu menyebutkan adanya pemilihan umum. Professor Muhammad Yamin mengatakan bahwa pemilihan umum itu hanya alat saja untuk menegakkan demokrasi. Karena itu pemilihan umum bisa diselenggarakan bisa tidak, asal yang penting demokrasi bisa berjalan. Namun bagaimana demokrasi bisa berjalan, kalau seluruh anggota badan-badan perwakilan ditunjuk saja oleh Presiden?
Setelah Pemerintahan Presiden Soekarno digantikan oleh Pejabat dan kemudian Presiden Soeharto, rezim baru ini bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara “murni dan konsekuen”. Orde Baru yang diciptakannya bertekad untuk melakukan koreksi total terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Namun seperti saya katakan di awal tulisan ini, rezim baru yang penuh idealisme lama kelamaan cenderung akan mengulangi prilaku rezim lama yang digantikannya. Tentu banyak perubahan yang terjadi selama Orde Baru terutama pada pembangunan sosial dan ekonomi, namun satu hal nampak berkesinambungan, yakni kecenderungan rezim untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan, dengan menggunakan pola-pola yang hampir sama. Media massa diberangus, tokoh-tokoh oposisi ditangkapi tanpa proses hukum dan partai politik yang berseberangan dipaksa membubarkan diri, dilakukan baik oleh Orde Lama maupun Orde Baru.
Pancasila dan UUD 1945 yang ingin dilaksanakan secara murni dan konsekuen, dalam kenyataannya ialah Pancasila dan UUD 1945 yang ditafsirkan menurut pandangan rezim yang memerintah. Di masa Orde Lama, tafsiran itu disosialisasikan melalui “indoktrinasi” dan masuk kurikulum pendidikan. Di zaman Orde Baru, sejak tahun 1978, tafsiran itu disosialisasikan melalui penataran-penataran dan masuk pula ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Baik indoktrinasi maupun penataran hakikatnya tetap sama: Rezim yang memerintah ingin agar rakyat memahami hakikat bernegara, sistem dan mekanismenya seperti yang mereka anut. Mereka yang menolak tafsiran itu bisa dianggap sebagai musuh bangsa dan negara. Di sini kembali lagi nampak adanya kesinambungan di tengah perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedua rezim sama-sama memanfaatkan kelemahan-kelemahan UUD 1945 yang sejak awal dimaksudkan hanya sebagai konstitusi sementara itu. Kelemahan itu sengaja disembunyikan, namun ditutupi dengan berbagai cara, mulai dari konsep pseudo-akademis sampai ke hal-hal yang berbau mistik. Presiden Soekarno menyebut Pancasila dan UUD 1945 “Azimat Revolusi”. Presiden Soeharto menyebut Pancasila itu “sakti”. UUD 1945 adalah warisan luhur bangsa yang “dikeramatkan”.
Berkaca dari pengalaman sejarah seperti secara singkat saya uraikan di atas itulah, maka seperti telah saya katakan, di awal reformasi saya menegaskan pendirian “tidak ada reformasi tanpa amandemen konstitusi itu”. Di zaman Orde Baru, saya telah lama melontarkan gagasan amandemen konstitusi itu, baik dalam kuliah maupun dalam berbagai tulisan yang saya buat. Pendapat saya ketika itu dianggap sebagai pendapat “ekstrim kanan”. Saya menolak Eka Prasetya Pancakarsa dan tidak pernah mau mengikuti penataran P4 sampai kegiatan itu dihentikan oleh Presiden BJ Habibie. Kalau hanya rezim berganti, sementara konstitusi tidak diperbaiki dan disempurnakan, maka rezim baru yang dihasilkan oleh gerakan reformasi itu akan kembali mengulangi pola-pola yang dilakukan oleh rezim lama. Untuk merubah pandangan rakyat yang sudah cukup lama ditatar bahwa UUD 1945 tidak dapat dirubah kecuali melalui referendum, bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana. Namun akhirnya kesadaran muncul juga. Beberapa partai politik dalam Pemilu 1999 tegas-tegas menyuarakan perlunya amandemen konstitusi. Akhirnya perubahan konstitusi terjadi juga dalam empat tahapan perubahan, yang disebut dengan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat.
Dengan empat tahapan amandemen konstitusi itu, niat yang sesungguhnya dari para penggagas adalah untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan sistem dan mekanisme penyelenggaraan negara kita, dengan bercermin pada pengalaman-pengalaman pelaksanaannya di masa yang lalu. Hal yang paling inti mengenai pembatasan masa jabatan Presiden, yakni selama lima tahun, namun hanya untuk dua periode saja, telah dilakukan. Hal ini mencegah diangkatnya Presiden seumur hidup seperti di masa Orde Lama, atau Presiden yang dipilih setiap lima tahun tanpa batasan periode seperti di zaman Orde Baru. Amandemen terhadap pasal tentang masa jabatan Presiden ini patut kita hargai. Di masa depan, kita harapkan tidak akan ada lagi Presiden seumur hidup atau dipilih berkali-kali tanpa batasan periode. Sistem ini akan mencegah terulangnya kekuasaan Presiden yang cenderung menyalahgunakan kekuasaannya karena memerintah terlalu lama.
Kita menyaksikan pula amandemen terhadap beberapa pasal yang membatasi kewenangan Presiden yang dinilai terlalu besar di dalam UUD 1945. Ketentuan yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibalik menjadi kewenangan DPR. Namun Presiden tetap berhak mengajukan rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan DPR. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan penguatan kepada DPR, walau tidak mengubah hakikat bahwa badan legislatif tidaklah hanya monopoli DPR. Badan ini memang memegang kekuasaan legislasi, namun tidak menyebabkan DPR menjadi badan legislatif, karena sebagian kewenangan legislasi tetap berada di tangan Presiden. Presiden tetap memegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR dan untuk beberapa hal sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 bersama-sama juga dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Keberadaan DPD memang baru samasekali di dalam UUD 1945. Saya termasuk salah seorang penggagas keberadaan lembaga ini, untuk menengahi polemik tentang negara kesatuan dan negara federal di masa awal reformasi. Saya tetap berpendirian bahwa negara kita adalah negara kesatuan, namun dapat mengadopsi keberadaan Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana pernah dibahas di Majelis Konstituante. Keberadaan DPD atau senat pada umumnya hanya ada di negara federal atau quasi-federal. Negara kesatuan yang memiliki lembaga seperti ini, pada umumnya mempertimbangkan kepentingan daerah yang multi etnik dan juga problema alamiah, yakni ketidakseimbangan penduduk yang mendiami berbagai daerah. Di Malaysia, misalnya antara Semenanjung Malaya dengan Sabah dan Serawak. Di Philipina antara Pulau Luzon dengan pulau-pulau lain di wilayah selatan, dan di negara kita antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau di luarnya. DPR yang dipilih melalui pemilihan umum, praktis akan didominasi oleh daerah yang padat penduduknya. Keberadaan DPD yang anggota-anggotanya sama pada setiap provinsi akan menjadi penyeimbang ketimpangan perwakilan akibat ketidakmerataan penduduk itu.
Pada saat yang sama, utusan daerah dan utusan golongan-golongan yang dulu dimaksud untuk menambah anggota DPR untuk membentuk MPR, digantikan dengan anggota DPD. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum menggunakan sistem proporsional, sementara anggota DPD dipilih dengan menggunakan sistem distrik. Tidak ada lagi anggota DPR maupun MPR yang diangkat. Ketidakjelasan jumlah anggota MPR dan pengertian “ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan” yang dapat dijadikan Presiden sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan, dapat dihindari, sebab jumlah maksimum anggota DPD adalah sepertiga anggota DPR seperti diatur dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945. Pada awalnya, saya menggagas bahwa dalam pembahasan RUU tentang APBN, otonomi daerah dan hubungan luar negeri, harus dibahas dalam sidang gabungan DPR dan DPD.
Namun diskusi terus berkembang dalam Badan Pekerja MPR, sehingga kewenangan DPD membahas RUU adalah seperti dirumuskan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen. DPD juga dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuanganpusat dan daerah. Pasal 22D ayat (2) itu juga mengatur kewajiban DPD untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Saya berpendapat memberikan pertimbangan itu tidak perlu, karena akan menempatkan ketidakjelasan posisi DPD sebagai sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan legislasi.
Saya berpendapat kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU sebagaimana di atas terlalu luas. Sebaiknya dibatasi hanya dalam membahas APBN, otonomi daerah dengan berbagai aspeknya, serta hubungan luar negeri saja. Namun keterlibatan lembaga ini dalam membahas ketiga hal itu benar-benar intensif, sehingga aspirasi daerah dapat terserap secara optimal. Dalam UU tentang Susunan Kedudukan DPR sekarang ini, keterlibatan itu tidaklah menonjol. DPD ditempatkan mirip sebuah fraksi dalam membahas RUU yang disebutkan Pasal 22D ayat (2) itu. Saya berpendapat akan lebih baik keterlibatan DPD membahas RUU dibatasi, namun keterlibatannya dilakukan secara penuh, dalam bentuk sidang gabungan DPR dan DPD. Berkaitan dengan hal itu, saya berpendapat bahwa DPD dapat mengusulkan – bukan mengajukan — RUU berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah – yang kesemuanya dapat diringkaskan dengan istilah hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah –kepada DPR untuk dibahas bersama terlebih dahulu, sebelum DPR mengajukannya kepada Presiden. Mengenai kewenangan DPD melakukan pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 masih memerlukan mekanisme yang lebih tepat untuk mencegah tumpang-tindih pengawasan dengan DPR. Bagi Pemerintah, juga menambah beban pekerjaan.
Dalam konvensi ketatanegaraan kita, Presiden selalu menyampaikan Pidato Kenegaraan di hadapan rapat paripurna DPR pada setiap tanggal 15 Agustus. Setelah ada DPD, saya menyarankan agar Pidato Kenegaraan itu disampaikan di hadapan rapat gabungan DPR dengan DPD. Tidak perlu ada dua kali pidato kenegaraan seperti dikehendaki oleh Pimpinan DPD sekarang ini. Langkah kompromi mengatasi keinginan Pimpinan DPD itu sebagaimana saya usulkan ialah Presiden menyampaikan pidato di hadapan DPD, tetapi bukan pidato kenegaraan, melainkan menyampaikan Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah. Namun, Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita tetap saja menyebutnya sebagai pidato kenegaraan. Langkah kompromi ini saya anggap bersifat sementara saja. Langkah paling baik yang harus dilakukan ialah memisahkan Pidato Kenegaraan tanggal 15 Agustus dengan Pidato Kenegaraan Dalam mengawali Pembahasan RUU APBN dan Nota Keuangan, yang kedua pidato kenegaraan itu disampaikan dalam rapat paripurna gabungan DPR dan DPD. Sebagaimana kita maklum, tahun anggaran kita berlaku mulai 1 Januari setiap tahunnya. Pidato Kenegaraan mengawali pembahasan RUU APBN dapat dilakukan pada akhir Juli atau tanggal 1 Agustus setiap tahunnya.
Amandemen Konstitusi juga telah menciptakan lembaga baru, yakni Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua lembaga, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK adalah suatu gagasan yang baik, untuk memeriksa perkara-perkara yang terkait langsung dengan konstitusi. Kekuasaan Kehakiman sebagai cabang kekuasaan yang merdeka, memang harus terpisah secara ketat dengan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Pada masa saya menjadi Menteri Kehakiman dan HAM saya telah menuntaskan sebuah pekerjaan cukup berat yakni memisahkan kewenangan adiminstrasi, personil dan keuangan peradilan dari Pemerintah. Kini, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi secara administrasi, personil dan keuangan benar-benar independen, apalagi dalam menangani perkara. Jadi, meskipun dalam hal legislasi ada pembagian kekuasaan antara Presiden, DPR dan DPD, namun dalam hal kekuasaan kehakiman, maka kekuasaan ini adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur-tangan lembaga manapun juga.
Mahkamah Agung berwenang memeriksa perkara pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali, memberikan pertimbangan kepada Presiden, dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Amandemen UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselesihan tentang hasil pemilihan umum. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah lahir. Saya mempersiapkan RUU ini dalam waktu singkat karena mengejar waktu pelantikan hakim-hakim MK pada tanggal 15 Agustus 2003, sesuai amanat MPR. Saya merasa bersyukur, tugas berat itu dapat dilaksanakan tepat pada waktunya.
Dalam hal kewenangan MK melakukan uji materil undang-undang terhadap UUD yang telah dilaksanakan dalam praktek, pada hemat saya masih diperlukan telaah mendalam, terutama pihak yang memiliki “legal standing” untuk mengajukan permohonan uji materil itu. Rumusan yang kini termaktub di dalam UU MK memberikan hak yang terlalu luas, termasuk kepada perorangan yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya sebuah undang-undang. Dengan minimal lima hakim, MK dapat menerima atau menolak permohonan itu. Pertanyaan filosofis bernegara yang belum terpecahkan sampai selesainya pembahasan RUU MK ialah apakah cukup kukuh landasan pemikirannya, jika seorang warganegara dan minimal lima hakim MK dapat membatalkan sebagian atau seluruh materi undang-undang. Padahal undang-undang itu dibuat oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, dan seluruh anggota DPR – bahkan mungkin juga melibatkan DPD – yang seluruhnya juga dipilih melalui pemilihan umum? Jawaban sementara atas pertanyaan ini ialah, semua warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. MK adalah penjaga konstitusi. MK memeriksa dan memutus permohonan uji materil secara murni normatif dan akademis, demi menjaga agar konstitusi tidak dilanggar oleh kepentingan politik atau kesalahan konsepsi normatif ketika lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan legislasi membuat undang-undang itu.Hal yang menyangkut sengketa kewenangan, pada hemat saya haruslah dibatasi hanya pada lembaga-lembaga negara di tingkat pusat saja. MK tidak perlu menangani sengketa kewenangan lembaga-lembaga pemerintahan pada tingkat daerah.
Hal yang krusial mengenai kewenangan MK ialah ketika terjadi proses impeachment terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden.Keberadaan impeachment adalah konsekuensi dari Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan perubahan kewenangan MPR setelah amandemen UUD 1945. Mekanisme impeachment telah jelas dirumuskan dalam UUD 1945. Hal krusial ialah mengenai alasan-alasan untuk melakukan impeacment sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, yakni jika DPR berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden “telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Ketika saya menyiapkan RUU Mahkamah Konstitusi dan membahasnya bersama DPR, kami menyepakati untuk mengembalikan segala sesuatu yang dirumuskan di dalam Pasal 7B ayat (1) ini kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian MK mempunyai pedoman untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR itu dengan merujuk kepada bukti-bukti yang sah, agar ketentuan Pasal 7B itu tidak disalahgunakan secara politik untuk menjatuhkan Presiden. Masalah yang masih tersisa sehubungan dengan penjabaran ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 ini ialah, apakah setelah MK katakanlah memutuskan bahwa pendapat DPR adalah benar, apakah Presiden dan/atau wakil Presiden masih dapat diadili di peradilan umum untuk dijatuhi sanksi pidana atas kesalahannya. Walaupun MK telah memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan kesalahan, namun secara politik belum tentu MPR akan memutuskan untuk memberhentikan Presiden. Segalanya tergantung pada keputusan MPR sebagaimana diatur di dalam Pasal 7B ayat (3), (7) dan (8) UUD 1945.
Dengan amandemen UUD 1945, kedudukan DPR telah diperkuat, bukan saja dalam kewenangan legislasi, namun juga dalam hal anggaran dan pengawasan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Inilah sesungguhnya inti dari sistem pemerintahan Presidensial yang kita anut. Para menteri adalah pembantu Presiden, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden. DPR memang memiliki wewenang melakukan pengawasan, namun tidak dapat “memanggil” para menteri yang dapat menimbulkan kesan bahwa yang satu adalah bawahan dari yang lain, apalagi meminta pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban akhir penyelenggaraan pemerintahan negara, sesungguhnya terletak di tangan Presiden. DPR juga tidak dapat mendesak Presiden untuk memberhentikan menteri, karena pengangkatan dan pemberhentiannya adalah kewenangan Presiden yang tidak dapat dicampuri oleh lembaga negara yang lain.
Suatu hal yang memerlukan kehati-hatian yang tinggi ialah mengenai pemerintahan di daerah. Seperti telah saya katakan, Indonesia adalah sebuah negara kesatuan, namun sentralisme yang berlebihan sebagaimana dipraktekkan di masa lalu, telah dikurangi dengan otonomi daerah. Setelah amandemen, pengaturan tentang pemerintahan daerah, jauh lebih jelas dibandingkan ketentuan sebelumnya. Namun UU tentang Pemerintahan Daerah kiranya perlu dievaluasi untuk mencegah semangat kedaerahan yang berlebihan. Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah ada baiknya juga dikaji ulang untuk mencegah politik biaya tinggi, yang dapat membawa implikasi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di daerah. Seringnya Pilkada, baik gubernur, bupati/Walikota, bahkan sampai pada pemilihan kepala desa dan kepala dusun, disamping berpotensi menimbulkan instabilitas politik di daerah, juga dapat memalingkan perhatian rakyat dari pembangunan sosial ekonomi ke bidang politik. Telaah tentang hal ini pada akhirnya akan membawa kita kepada perdebatan yang muncul di awal reformasi, yakni apakah otonomi daerah itu diberikan kepada kabupaten/kota atau kepada provinsi. Setelah sepuluh tahun reformasi, ada baiknya kita merenungkan kembali hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam suasana yang lebih jernih.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini sampai di sini. Masih banyak hal yang belum disinggung dan dibahas dengan lebih mendalam. Insya Allah, saya akan menuliskannya lagi pada kesempatan-kesempatan yang akan datang, untuk menjadi bahan diskusi bagi siapa saja yang berminat membahas ketatanegaraan kita. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kejernihan berpikir dan kebesaran jiwa kepada kita semua dalam membahas masalah yang sangat penting bagi kemajuan bangsa dan negara kita di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar