Anggota
Kepolisian menghindari serangan yang dilakukan mahasiswa yang
berlindung dalam sekretariat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) ,
di Salemba, Jakarta, Jum'at (30/3) malam. ANTARA/Zabur Karuru
Margarito: Pasal Kenaikan BBM Lemah
TEMPO.CO, Jakarta
- Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, mengatakan Pasal 7 ayat 6a
Undang-Undang APBN Perubahan 2012 memiliki kelemahan secara
konstitusional. Sebab, pasal yang mengatur adanya kenaikan bahan bakar
minyak (BBM) tersebut dimunculkan oleh DPR.
"Dari mana DPR punya wewenang membuat Pasal 7 ayat 6 huruf a itu?" tanya Margarito di acara diskusi "Koalisi dan Konspirasi" di Rumah Perubahan Jakarta, Selasa, 10 April 2012. Margarito menjadi narasumber dalam diskusi ini bersama budayawan Ridwan Saidi dan pakar LIPI, Siti Zuchro.
Pasal 7 ayat 6a itu membolehkan pemerintah menaikkan harga BBM dan kebijakan pendukungnya ketika harga rata-rata minyak Indonesia atau Indonesian crude oil price (ICP) dalam kurun berjalan enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P 2012. Pasal ini diputuskan DPR dalam rapat paripurna pada Jumat, 30 Maret 2012 hingga Sabtu, 31 Maret 2012.
Mengenai pasal tersebut, Margarito menganggapnya sangat lemah. "Kelemahan konstitusionalnya, dari mana DPR memperoleh kewenangan menentukan itu?" kata Margarito.
Dia berujar, keputusan menaikkan atau menurunkan harga BBM itu adalah kewenangan pemerintah. "Kewenangan DPR itu adalah budgeting," katanya.
Pasal ini telah diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi oleh kelompok masyarakat dari berbagai kalangan pada pekan lalu. Sebab, pasal ini dianggap bertentangan, setidaknya terhadap dua ayat dalam konstitusi, yaitu Pasal 33 ayat 3 dan ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945.
"Kajian kami sementara, paling tidak yang bertentangan ada dua ayat," kata Maqdir Ismail, advokat. Maqdir bersama ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, Teguh Samudra, dan Margarito, adalah mereka yang mendampingi kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi ke MK.
Maqdir menjelaskan keberadaan Pasal 7 UU APBN-P tersebut justru menegaskan pemerintah menggantungkan harga BBM bersubsidi pada mekanisme pasar. Padahal pemerintah seharusnya menyelenggarakan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, dan kemandirian, serta demi kemakmuran rakyat. "Pasal 7 ayat 6a juga bertentangan dengan prinsip kemandirian," katanya.
RUSMAN PARAQBUEQ
"Dari mana DPR punya wewenang membuat Pasal 7 ayat 6 huruf a itu?" tanya Margarito di acara diskusi "Koalisi dan Konspirasi" di Rumah Perubahan Jakarta, Selasa, 10 April 2012. Margarito menjadi narasumber dalam diskusi ini bersama budayawan Ridwan Saidi dan pakar LIPI, Siti Zuchro.
Pasal 7 ayat 6a itu membolehkan pemerintah menaikkan harga BBM dan kebijakan pendukungnya ketika harga rata-rata minyak Indonesia atau Indonesian crude oil price (ICP) dalam kurun berjalan enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P 2012. Pasal ini diputuskan DPR dalam rapat paripurna pada Jumat, 30 Maret 2012 hingga Sabtu, 31 Maret 2012.
Mengenai pasal tersebut, Margarito menganggapnya sangat lemah. "Kelemahan konstitusionalnya, dari mana DPR memperoleh kewenangan menentukan itu?" kata Margarito.
Dia berujar, keputusan menaikkan atau menurunkan harga BBM itu adalah kewenangan pemerintah. "Kewenangan DPR itu adalah budgeting," katanya.
Pasal ini telah diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi oleh kelompok masyarakat dari berbagai kalangan pada pekan lalu. Sebab, pasal ini dianggap bertentangan, setidaknya terhadap dua ayat dalam konstitusi, yaitu Pasal 33 ayat 3 dan ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945.
"Kajian kami sementara, paling tidak yang bertentangan ada dua ayat," kata Maqdir Ismail, advokat. Maqdir bersama ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, Teguh Samudra, dan Margarito, adalah mereka yang mendampingi kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi ke MK.
Maqdir menjelaskan keberadaan Pasal 7 UU APBN-P tersebut justru menegaskan pemerintah menggantungkan harga BBM bersubsidi pada mekanisme pasar. Padahal pemerintah seharusnya menyelenggarakan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, dan kemandirian, serta demi kemakmuran rakyat. "Pasal 7 ayat 6a juga bertentangan dengan prinsip kemandirian," katanya.
RUSMAN PARAQBUEQ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar