Yusril: Ayat 6a Akibatkan Ketidakpastian
KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSOYusril Ihza Mahendra. Pakar hukum tata negara dan mantan Menteri Hukum dan HAM.
JAKARTA, KOMPAS.com -
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa Pasal 7
ayat 6a dalam Undang-Undang APBN-P 2012 menimbulkan ketidakpastian
hukum. Ketidakpastian itu dapat berdampak pada masyarakat terutama kelas
menengah ke bawah.
"Ketentuan Pasal 7 ayat 6a telah mengakibatkan ketidakpastian hukum," kata Yusril saat mengajukan permohonan uji materi atau judicial review kepada Mahkamah Konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Senin (2/4/2012) sore.
Menurut
Yuzril, rumusan norma di dalam ayat 6 a tersebut mengandung
ketidakpastian setiap warga negara Indonesia yang menggunakan bahan
bakar minyak bersubsidi. Ayat itu memberikan kewenangan pada pemerintah
dengan tanpa persetujuan DPR untuk menyesuaikan harga BBM jika ada
kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dari harga rata-rata minyak
mentah Indonesia (ICP) selama enam bulan.
"Berapa akan dinaikkan,
kenapa dinaikkan, kapan dinaikkan, kapan diturunkan itu tidak pasti.
Akibatnya setiap pengguna BBM bersubsidi, (seperti) tukang ojek, sopir
angkot, taksi, tukang gorengan, dan pemilik warung, termasuk ibu rumah
tangga, sekarang berada di dalam ketidakpastian," jelasnya.
Yuzril
berpendapat bahwa ketidakpastian bertentangan dengan Pasal 28 d ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945, yang berisi hak atas pengakuan, jaminan
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di
depan hukum bagi semua warga negara. Lagi pula, kata Yuzril, ayat 6a ini
diimbangi dengan pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM)
yang baru akan dianggarkan, sementara harga barang di pasaran terlanjur
naik. Hal itu berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat
karena BLSM belum turun.
"Ini juga bertentangan dengan Pasal 28 h
ayat 1 yang mengatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
batin. Karena itu, ketentuan ayat 6a berpotensi bisa dibatalkan MK
karena menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat," kata Yusril.
Yusril
menilai, secara materiil, Pasal 7 ayat 6a juga bertentangan dengan
Pasal 33 UUD 1945. Ia merujuk pada penafsiran MK tahun 2003 ketika
menguji Pasal 28 Undang- undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi. Ada multitafsir jika dikaitkan dengan dua undang-undang
tersebut. Yuzril mengatakan, minyak dan gas merupakan sumber kekayaan
alam yang dikuasai negara dan harus dimanfaatkan sebesarnya untuk
kemakmuran rakyat. Jadi, selamanya harus ada kontrol terhadap harga
migas yang tidak boleh diserahkan ke mekanisme pasar seperti dalam ayat
6a.
"Memang ketentuan ayat 6a tidak seluruhnya menabrak Pasal 33
seperti ditafsirkan MK. Artinya, pemerintah tetap lakukan kontrol pada
harga BBM yang kemungkinan akan tetap disubsidi, tapi berapa harga
kenaikannya akan diserahkan ke pemerintah itu sendiri. Jadi ada titik
singgungnya dengan Pasal 33. Harus diingat, dalam Pasal 33, sumber
kekayaan alam itu dikuasai negara, bukan pemerintah," ujarnya.
Adapun
alasan Yusril mengajukan pengujian formal atas ayat tersebut didasarkan
pada pembentukan Pasal 7 ayat 6a yang dianggap bertentangan dengan
Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. "Kalau kita lihat ayat 6 dan
6a itu bertabrakan satu sama lain. Ayat 6 mengatakan BBM enggak boleh
naik, tapi ayat 6a boleh naik. Ini hanya menyangkut teknik penyusunannya
saja. Intinya ayat 6a kembali tidak mendukung kejelasan rumusan dan
mengandung ketidakpastian hukum," jelas Yusril.
Dengan banyaknya
multitafsir dari Pasal 7 ayat 6a ini, menurut Yusril, ada kemungkinan MK
dapat membatalkan pasal tersebut. MK juga memiliki kewenangan untuk
menafsirkan ayat tersebut agar sesuai dengan konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar