Sistem
yng dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di
Madinah, jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel
politik di era modern tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu
adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak
menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika
dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat
sistem itu berpijak.
Dengan
demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena
hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan
mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat.
Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan
antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu
sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling
beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam
ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan
bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi
keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada
sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai 'kalangan
pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa
Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah
sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan
dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang
kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara
urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling
utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: "agama
adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk
mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan
pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga
kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka
dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip
beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan
hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para
'pembaru-pembaru' itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para
orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam
menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di
antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
- Dr. V. Fitzgerald (4) berkata:
"Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan
sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade
terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka
sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu,
namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa
kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat
dipisahkan satu sama lain".
- Prof. C. A. Nallino (5)
berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a
religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia
bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
- Dr. Schacht berkata (6): "
Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori
perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia
merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara
secara bersamaan".
- Prof. R. Strothmann berkata
(7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena
pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang
bijaksana, atau "negarawan".
- Prof D.B. Macdonald berkata
(8): "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan
diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
- Sir. T. Arnold berkata (9):
" Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala
negara".
- Prof. Gibb berkata (10):
"Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan
agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat
yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem
kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".
Bukti Sejarah
Seluruh
pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta
sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya
dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai
identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu
undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju
kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang
baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya
perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua
unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat 'politik'.
Atau yang dinamakan sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu definisi
tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah
disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di
antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan
masyarakat politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan aktifnya, dan
mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju
dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan
kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah
pembacaan bai'at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw
dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para
faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang
berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi dalam
Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh
kedua peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi
adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan 'negara Islam'.
Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua
peristiwa bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara
teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya
sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya,
'kontrak sosial' yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi
dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini
berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu
negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu
fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara
keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang
matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan
demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan
pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu
tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali
dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat
untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan,
menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar
negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang
mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta
sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh
seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang telah kami sebutkan--
terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di
samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat
politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami
gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka
terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran
politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya,
hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat
ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan
faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan
landasan berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran
yang beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh
perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.
( Di sadur dari : Abdul Hayyie al Kattani )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar