Tatkala Putin mendapat tantangan di negerinya melalui demo besar-besaran anti kepemimpinannya maka dia membuka secara terang-terangan ‘cacat demokrasi’ dengan suara lantang. Demonstrasi anti Putin itu dinyatakan dipicu oleh Menlu AS Hilary Clinton melalui pernyataan2nya di media, antara lain melalui tuduhan adanya kecurangan dalam pemilu legislatif yang baru saja berjalan. Pernyataan formal pejabat AS itu ditengarai olehnya berperan memberi SINYAK untuk mulai diadakannya gerakan terhadap kepemimpinan dirinya oleh fihak AS dengan agenda agar bisa tetap menjadi kekuatan nomor satu dunia. Dia juga membuka bahwa AS telah mengalokasikan dana beratus juta US DOLLAR membeayai kelompok LSM2 di Rusia untuk mengembangkan sentimen anti dirinya. Ringkasnya Putin menunjukkan bahwa kehidupan ala demokrasi dalam bentuk protes2 ‘damai’ khususnya demo besar-besaran anti suatu rezim ternyata BUKAN SESUATU YANG ALAMIAH. Di dalamnya terselubung proses rekayasa politik, bisa berjangka pendek atau panjang, tergantung resistensi negara yang menjadi sasaran. Barat. Dunia Barat, pengusung demokrasi, sebagai fihak yang berkepentingan, tidak segan2 menghabiskan dana jutaan dolar demi mengegolkan targetnya yakni memasuki kedaulatan negeri lain MELALUI TANGAN2 KELOMPOK DALAM NEGERI YANG TERBELI. Jelas bahwa belanja dengan dolar tersebut terkait kepetintangan Barat sendiri untuk memetik keuntungan besar dalam berhubungan dengan rezim di negeri sasaran nanti. Mana ada gerakan sosial-politik yang berjalan alamiah? Waspadalah wahai umat Islam.
Nampaknya ‘metoda’ terkait demokrasi itu menunjukkan hasil lumayan, yakni banyak pemerintahan negara bisa jatuh oleh proses berslogan demokrasi melalui ‘demo damai’ seperti itu, katakan beberapa negeri muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara, mulai dari Tunisia, Mesir, Lybia, Yaman, dan kini sedang dibergolakkan adalah Syria. Ada artikel ‘impresif’ muncul di Kompas kemarin yang menjelaskan bahwa penyelesaian kemelut Syria ternyata tidak lagi berada di Damaskus (ibukota Syria) tapi di Washington, London, Moskow, Istambul, Beijing, Teheran, Ryadh, dll. KASIHAN.
Namun fakta juga menunjukkan upaya dengan ‘metoda’ semacam itu tidak sepenuhnya berhasil. Kasus Rusia misalnya, Putin tetap terpilih melalui Pemilu minggu lalu yang berjalan relatif lancar menjadi Presiden kali ketiga walau dibayang-bayangi akan digelar demo besar2an menolaknya (sejauh ini belum terrealisir, atau sedang diproses?). Demo serupa juga gagal menjatuhkan kekuasaan Presiden Ahmadinejad di Iran saat pemilihan Presiden 2009 yang lalu di Iran. Demo2 di Cina juga tidak berhasil memporak-porandakan kekuasaan Partai Komunis di negeri tirai banbu itu. Tentu semua hasil tersebut masih bersifat ‘sementara’, upaya2 akan terus berkelanjutan, tarik menarik, dorong mendorong, uangpun mengalir deras dan amat deras, disertai trik-trik berupa ancaman atau hadiah, ‘stick and carrot’. Hasil ‘akhir’ keseluruhannya (jika ada) belum bisa ditebak, tergantung kekuatan-kekuatan yang bermain dalam negeri dan luar negeri, internal dan eksternal. DEMOKRASI JELAS HANYALAH SEBUAH SELUBUNG UNTUK PERTARUNGAN KEKUASAAN. Jika selubung itu gagal tentu akan dicari jalan lain, termasuk PERANG. Kasus Afganistan, Irak, dan bombardir bom NATO atas nama PBB di Lybia menjadi contoh nyata. Mana itu slogan damai, damai, damai yang diteriakkan media Barat? NEGARA IRAN pun kini terus diancam untuk di serang secara militer, namun Iran ternyata tidak gentar dan akan membalas. Di situlah kekuatan kemudian saling tarik ulur, dan jika perang akhirnya terjadi maka sulit ditebak siapa hancur dan siapa menang, jangan2 akan merambat menjadi Perang Dunia 3 yang memporak-porandakan dunia secara keseluruhan. Ada sebuah film berjudul ‘BEACH’ beredar beberapa waktu lalu di mana digambarkan dunia hancur yang gara2nya CINA mengebom AS dengan bom nuklir. Amerika Serikat digambarkan tamat oleh hantaman bom nuklir yang dikirimkan Cina ke San Fransisco, dan yang tersisisa hanyalah sebuah kapal selam AS yang selamat karena kebetulan sedang menyelam teramat dalam di sebuah lautan.
Pertarungan kekuasaan memakai selubung DEMOKRASI MASIH TERUS BERLANGSUNG.
Bagaimana sikap negeri muslim terhadap DEMOKRASI sebagai slogan politik? Dalam prakteknya ada beberapa variasi:
1. Menolak tegas demokrasi, dan sebagai alternatifnya memilih Kerajaan. Umumnya negeri2 teluk menerapkan itu, yakni Arab Saudi, Kuwait, Qatar, UEA. Mereka sampai saat ini masih ‘selamat’ dari gejolak sosial bukan karena demokrasinya namun karena aspek lain. Apa itu? Sepertinya karena mereka mau bekerjasama penuh dengan Barat, khususnya AS, termasuk mau ditempati sebagai ‘pangkalan’ militer. Ingat bagaimana Barat menggunakan mereka saat menghancurkan Iraq. Model ‘menolak demokrasi’ ini sesungguhnya mirip praktek di Cina dengan hegemoni Partai Komunisnya dan Korea Utara dengan dinasti Kim. Bedanya Cina dan Korea Utara walau tidak mau demokrasi namun juga tidak berantakan, tidak menjadi sekutu militer Barat, justru melalui kekompakan-kekokohan rakyat dalam negeri, termasuk mempersenjatai diri dengan nuklir.
2. Menerima Demokrasi secara Terkendali, yakni membuat pemilu dalam menentukan pemimpin negara namun Calon Legislatif dan Presidennnya disaring dahulu dengan ketat oleh Badan Tertinggi Negara, yakni Pimpinan Ulama (Ayatullah) dalam Dewan yang dikenal sebagai Wilayatul Faqih. Walau rakyat lalu bebas memilih calon2 pimpinan legislatif dan Presiden namun siapapun yang nanti terpilih adalah tokoh yang sudah berkualitas baik dalam hal agama, keilmuan, dan orientasi politiknya, sehingga tidak memungkinkan agen musuh, korak, dan penjahat menjadi terpilih. Model inilah yang berjalan di Iran sehingga relatif sulit disusupi Barat. Mengapa Barat memandang Iran masih tidak demokratis walau ada pemilu? Jawabnya mudah, karena Pemerintahan Iran tidak mau tunduk pada hegemoni Barat dalam kebijakan2 terkait dunia interasional. Iran juga masih tidak tergoyahkan oleh demo2 ala slogan demokrasi karena mayoritas rakyatnya relatif kokoh bersama Ideologi Islam yang dianut negara.
3. Mengadopsi demokrasi dengan sepenuh hati, mengikuti gaya Barat, dan bahkan siap diawasi dan dikendalikan oleh luar-negeri. Akibatnya kualitas pemimpin negerinya luar biasa variatif, korupsi merajalela, akhlak bangsa hancur, dan negara relatif mudah diinfiltrasi dan dieksploitasui kekayaan sumber daya alamnya.
Ditinjau dari sisi lain, yakni hubungan negara2 di dunia internasional dengan dunia Barat, baik masalah ideologi maupun dominasi ekonominya, bisa dikenali 6 model yang sedang berjalan di dunia saaat ini:
1. Sepenuhnya menjadi bagian dari sistem demokrasi, mendukung ideologi sekuler, dan larut dalam hegemoni kapitalisme Barat. Bahkan negeri seperti itu bisa disebut sebagai satelit atau bahkan bagian dari neo-kolonialisme.
2. Menolak demokrasi dalam artian kepemimpinan negara bukan melalui pemilu, ditentukan secara lain, namun dalam bidang ekonomi masih bersifat kapitalistik. Kasus Cina sekarang yang berteguh dengan sistem single party, yakni Partai Komunis yang tunggal, namun kebijakan ekonominya relatif terbuka seperti kehendak dunia Barat.
3. Menerima demokrasi seperti Barat namun membatasi diri dalam sistem perekonomiannya, seperti kasus Rusia masa kini.
4. Menolak demokrasi, kekuasaan penuh di tangan Raja/Sultan/Amir dengan keturunannya, namun secara ekonomi menjadi partner Barat sepenuhnya, bahkan ikut mendukung kebijakan2 Barat secara internasional dalam berbagai bidang, termasuk militer.
5. Mau memakai demokrasi dalam politik, namun dengan ciri khusus, dan secara ekonomi menolak sekularisme-kapitalisme, mengembangkan sendiri sistem ekonominya, yakni Ekonomi Islam. Iran adalah kasus yang menarik untuk dicermati. Dalam artikel di Time pada akhir Februari lalu dijelaskan bahwa Pimpinan Tetinggi Iran tegas menolak untuk meniru model Cina yang kompromistis dalam sistem kapitalisme, dan juga menolak model kerjasama ala Uni Sovyet saat di bawah kepemimpinan Gorbachev yang ujungnya membuat Uni Sovyet hancur berantakan.
6. Model terakhir adalah Korea Utara, menggambarkan negeri baik secara politik maupun ekonomi menolak demokrasi dan kapitalisme sekaligus, dan berjuang keras membuat negeri disegani melalui kekuatan militer, termasuk memproduksi senjata nuklir.
Bagaimana posisi Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim itu di masa kini? Bagaimana sebaiknya langkah untuk masa depan? Ini jelas tantangan bagi para ulama dan intelektual muslim di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar