Selasa, 31 Juli 2012 | 17:55
Keberadaan politisi yang gemar pindah partai tidak seharusnya dipandang secara negatif dan diberi label sebagai kutu loncat.
Peneliti dari Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, mengatakan pindah partai bagi politisi sebenarnya bukan hal baru dalam kontes politik Indonesia.
"Di kalangan politisi merupakan hal yang wajar terjadi," ujar Titi di Jakarta, Selasa (31/7).
Karena itu, menurut Titi, penting untuk menegaskan ada perbedaan antara hijrah politik yang memiliki alasan dan dasar, dengan kutu loncat yang memiliki konotasi negatif.
"Tidak bisa disebut semua orang yang pindah partai adalah kutu loncat. Harus dilihat secara proporsional dengan menelisik alasan perpindahan sebagai garis pengukurnya," imbuh Titi.
Titi menyatakan seseorang boleh disebut 'kutu loncat' jika targetnya hanya mencari keuntungan pribadi serta tidak memiliki dasar ideologis.
Dalam kondisi demikian, politisi itu masuk ke partai baru tidak diiringi keinginan membangun bangsa dan program kerakyatan.
Berdasarkan studi Titi, ditemukan sebenarnya persoalan pindah partai merupakan gejala lama akibat pendidikan politik dalam sebuah partai masih sangat lemah. Bentuknya adalah penanaman nilai-nilai ideologis kepada kader sangat rapuh.
"Keinginan pindah partai tidak akan terjadi jika internalisasi nilai-nilai perjuangan partai bisa ditanamkan kepada politisi parpol," ujarnya.
Fenomena kutu loncat itu semakin menarik perhatian publik setelah ada pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem Patrice Rio Capella, soal 38 anggota DPR berbagai parpol yang akan segera pindah ke Partainya. Sebelumnya Nasdem diketahui siap mendanai calegnya untuk berkampanye pemilu 2014 dengan nilai berkisar Rp5 miliar-Rp10 miliar.
Sementara di sisi lain, lebih dari 200 anggota DPRD dari Partai Golkar menyatakan siap untuk keluar dari partainya akibat kecewa dengan partainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar