Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Selasa, 03 Juli 2012

Rekonstruksi Tatanan Sosial: Urgensi Keadilan



Oleh: MS Kaban (Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang)

Demikian beragama panorama krisis sosial. Dalam kaitan ekonomi, kita saksikan panorama kemiskinan yang membalut sebagian anak-bangsa, tidak hanya di Tanah Air ini, tapi juga eksis di sejumlah negara “Selatan” (kelompok negara-negara terebelakang tingkat per kapitanya). Juga, tidak hanya terjadi pada zaman modern ini. Artinya, kemiskinan akan terus hadir sepanjang masa dan karenanya tidak bisa dipisahkan dari persoalan sosial saat ini (kontemporer).
Kemiskinan sesungguhnya merupakan suratan yang berdimensi sunnatullah, yang – dalam perspektif keagamaan – memang mengandung makna tertentu, yakni akan menjadi mitra bagi kalangan aghniya. Kaya-miskin dirancang sebagai kedua pihak yang saling membutuhkan. Namun, substansi ini sering dipandang dari sisi lain secara a simetris. Pandangan ini merupakan refleksi dari ketidakmampuan memahami skenario yang dimaksudkan Allah itu, yang – dalam dinamikanya – menggiring keharmonisan di antara sesama umat manusia, meski berdeda strata sosial-ekonominya. Tampaknya, karena ketidakmampuan memahami skenario Allah itu pula, maka persoalan kemiskinan bukan tumbuh secara alami, meski tak bisa dilepaskan dari unsur subyektif seperti kemalasan seseorang. Dalam beberapa kasus kita cermati fenomena pemiskinan, yang berarti dirancang secara sengaja melalui sistem. Setidaknya, landasannya didasarkan kepentingan sempit dari para pengambil keputusan.Dalam hal ini kita dapat membacanya dengan mudah, ketika pemerintah – secara regulatif (kebijakan) – tidak memberikan keberpihakannya terhadap kalangan miskin dan sebaliknya: lebih berpihak kepada kalangan pemodal. Keberpihakan ini – jika kita kaitkan dengan kebutuhan lahan industrialisasi – maka kita saksikan lahan-lahan pertanian kian terkikis dan sangat tidak berimbang dengan program konversi (pembukaan) lahan untuk persawahan.
Perlu kita catat, warna kebijakan ini sejatinya – secara sadar ataupun tidak sadar – sedang dan terus melakukan pengikisan kalangan petani. Mereka – perlahan tapi pasti – dicetak menjadi generasi miskin secara struktural. Mengapa pemerintah memperlakukan mereka  secara tidak adil? Jawabannya sederhana: ketidakcukupan bahan pangan menjadi landasan legal untuk melakukan importasi. Inilah nuansa keberpihakan pemerintah terhadap kalangan pemodal (impotier). Karenanya, studi kemiskinan di kalangan petani haruslah pula dilihat dari persoalan imporatasi yang memang menjadi kerangka solusi bagi ketahanan (ketersediaan) pangan nasional. Hal ini sudah menjadi arah pembangunan pangan nasional sejak rezim Orde Baru muncul, meski – pada 1984 – Indonesia pernah mendapat award dari Food Association Organization (FAO) karena berhasilan menjadi negara swasembada pangan tapi hal ini hanya dari sisi beras semata. Bagaimana dengan bahan pangan lainnya seperti gula, kedelai dan lain-lain yang juga masuk dalam sepuluh bahan pokok? Secara absolut, hampir semua komoditas pangan yang ada di Tanah Air ini barang impor. Bahkan, komoditas pangan non pokok (terutama dari hortikultura seperti sayuran dan buah-buahan) – secara dominan – didatangkan dari negeri lain. Inilah tragedi negeri ini sebagai negara agraris yang sudah mengabaikan potensi dirinya sebagai resource-based di bidang pangan.
Persoalan importasi itu harulah dicermati secara serius, karena dampaknya membuat posisi petani kian miskin. Sementara, pembiarannya mengakibatkan jutaan petani kian tak berdaya. Terkesan kuat bahwa pembiarannya mencerminkan langkah-langkah sistimatis bagaimana – secara struktural dan sistemik – membuat petani Indonesia bukan hanya tak mampu berbicara lagi di bidang pertanian, tapi juga menjadi terus miskin. Sikap politik ini sungguh tidak adil.
Yang perlu kita cermati lebih jauh, ketidakberdayaan kalangan petani berdampak lebih jauh. Ketika mereka harus mempertahankan hidup dirinya dan keluarganya, di antara mereka harus pergi ke kota-kota. Dengan tidak berbekal pengetahuan dan keahlian tertentu, maka “profesi”nya hanyalah sebagai kuli bangunan, penarik becak atau pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya yang tentu tidak membuatnya sejahtera. Dan sejalan dengan keterbatasan pendapatannya, maka tidak jarang kita jumpai komunitas mereka tinggal di tempat-tempat yang sangat tidak layak. Diakui atau tidak, keberadaan mereka – di mata aparatur pemerintah – dinilai sebagai komunitas yang mencemari keindahan kota. Tidaklah terlalu keliru panandangan itu. Tapi, pandangan itu harus dipertanyakan lebih jauh, mengapa terjadi fenomena yang tidak manusiawi itu. Pertanyaan ini memaksa kita harus mengkritisi warna kebijakan yang anti kalangan bawah, padahal – secara konstitusi – mereka adalah sesama warga negara yang berhak mendapatkan hak-hak dasarnya selaku anak-bangsa di negeri ini.
Di sisi lain kita saksikan apa yang belum lama ini terjadi di tengah Mesuji, bahkan kasus-kasus serupa jauh sebelumnya, yaitu sengketa lahan. Konflik horisontal itu terjadi karena pemerintah – sekali lagi – lebih memperlihatkan keberpihakannya kepada kalangan pemodal yang bergerak di sektor kehutanan dan atau perkebunan dripada terhadap kalangan petani dan atau penduduk yang – secara ulayat – harus dihargai hak-haknya. Yang mengenaskan adalah, keberpihakan pemerintah sampai pada tahab kerelaan dirinya memuntahkan pelurunya terhadap rakyat (sang pembayar pajak). Setidaknya, membiarkan rakyat berjatuhan ditelan oleh saudara-saudara sebangsanya sendiri.
Serupa tapi tak sama, rakyat juga harus rela dibantai oleh peluru-peluru aparat keamanan kita yang disewa kalangan pemodal, yang justru dari negeri lain. Kasus Freeport adalah salah satu contoh faktual tentang keberpihakan rezim kepada kalangan pemodal yang harus dibayar dengan nyawa bagi siapapun yang melawan kepentingan pemodal. Di sisi lain, meski tidak sampai pada muntahan peluru, aksi demonstratif dari berbagai kalangan buruh di berbagai wilayah, hal itu juga menunjukkan keberpihakan para pembuat regulasi terhadap kepentingan pemodal.
Yang perlu kita garis-bawahi, keberpihakan rezim terhadap kepentingan pemodal tidak hanya mengakibatkan sejumlah kerusakan alam dan ekosistemnya, tapi juga ketidakadilan sosial-ekonomi yang terus terbangun, dari dulu hingga kini, dari hulu sampai ke hilir. Persekongkolan kolutif itu berdampak lebih jauh secara destruktif, antara lain pencemaran lingkungan, baik dari sisi air, ataupun udara, bahkan  banjir. Kondisi ini seperti dibiarkan tanpa tindakan hukum yang pasti dan jelas.
Dan akibat tiadanya tindakan hukum pro lingkungan ini, maka – dalam beberapa sektor – berdampak lebih jauh dan serius, tidak hanya pada lingkungan masyarakat sekitar, tapi juga masyarakat yang jauh dari lokasi industrinya. Dalam hal ini posisi laut yang kini banyak tercemar menjadi pemandangan yang merisaukan, tidak hanya karena kualitas air lautnya yang tercemar, tapi berdampak sangat serius bagi kalangan nelayan yang kehidupannya sangat bergantung pada kualitas air laut. Semakin steril dari pencemaran, maka semakin potensial jumlah ikan dan populasi lainnya (karang sebagai biota laut). Kini, kehidupan nelayan – terutama yang tradisional – kian nestapa. Akibat ketidakmampuannya melaut dalam radius jauh, sementara air laut di sekitar wilayah pantai sudah kian tercemari, maka mereka kian sulit mendapatkan ikan-ikannya. Sekedar ilustrasi, pendapatan nelayan Teluk Jakarta hanya sekitar Rp 5.000 hingga Rp 15.000,-/hari, itupun kalau mereka berlayar. Sementara itu, dalam cuaca yang sangat tidak bersahabat dan itu mengancam keselamatan, maka mereka tidak berani berlayar, di samping memang ada larangan melaut. Itu berarti, mereka harus menganggur untuk sekian lama.
Dalam posisi yang sangat sulit itu, mereka – untuk mempertahankan hidupnya – dengan terpaksa harus rela berhubungan dengan para rentenir yang memang terus menguntitnya. Dalam hal ini kita saksikan, keberpihakan pemerintah terhadap kalangan industri yang jelas-jelas telah mencemari kualitas air dan udara telah memberikan andil besar, bukan hanya krisis pendapatan nelayan, tapi juga gurita rentenir yang kian menyesakkan nafas kalangan nelayan. Di mata keluarga nelayan yang sangat terjepit it sudah tidak berpikir panjang tentang haramnya bunga yang sesungguhnya mencekik itu.
Yang menyedihkan lagi, di tengah krisis kemiskinan yang membalut masyarakat kita, juga terdapat pemandangan yang justru sebaliknya dan sangat kontras. Dengan kelebihan harta yang dimiliknya justru mereka memperlihatkan gaya hidup hedonistiknya. Barangkali kita tak punya hak untuk menasehati para hedonis itu jika memang posisi hartanya hasil dari perjuangan murninya. Justru yang menjadi persoalan serius, posisi harta yang dimilikinya dari posisi jabatan publiknya. Di antara mereka – dengan mengabaikan nurani kerakyatannya – tak peduli bagaimana perilakunya di panggung politik atau kekuasaannya menyedot uang rakyat yang kini sedang nestapa. Mereka seperti berpesta-pora di atas penderitaan rakyat yang sesungguhnya telah berandil terhadap karir politiknya. Fenomena ini kini menjadi tontonan publik tanpa henti. Namun, sampai detik ini seperti tak telihat indikasi di kalangan pejabat publik untuk mengurangi gaya hidup hedonistiknya. Hal ini dapat kita baca dengan mudah melalui gerakan “pamer” fasilitas yang digunakan para pejabat negara, gerakan eksposur lembaga-lembaga negara dalam menghamburkan uang negara, dan masih banyak lainnya.
Dalam beberapa hal, gaya hidup hedonistiknya akibat dari cara mendapatkan dananya demikian mudah dan itu terjadi – antara lain – dengan penyalahgunaan. Yang memprihatinkan, hanya sebagian kecil yang terjaring secara hukum akibat praktik penyalahgunaan itu. Di satu sisi, keterbatasan penjangkauan hukum terhadap sejumlah “praktisi” penyalahgunaan itu akibat dari keterbatasan jumlah aparatur penegak hukum, terutama institusi antikorupsi yang kini diharapkan pada peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sisi lain, proses politik rekrutmen para komisioner, terutama untuk posisi Ketua, sarat dengan nuansa politik. Hal ini berdampak pada kecilnya kemungkinan lembaga KPK mampu menjaring sejumlah elitis yang notabene pemegang kendali kekuasaan. Dan fakta menunjukkan, hanya orang-orang yang “apes” yang – karena perbuatannya – terjaring oleh KPK. Sebaliknya, masih banyak berkeliaran para praktisi (penyelahgunaan wewenang) yang benar-benar tak bisa disentuh oleh hukum antikorupsi.
Di sana kita saksikan adanya diskriminasi hukum. Persoalannya tidak hanya sebatas itu. Akibat terhindarnya dari kejaran hukum, maka sejumlah pejabat publik kian leluasa melakukan penyalahgunaan wewenangnya tanpa risi atau malu terhadap publik. Mereka merasa tak berdosa bahwa tindakannya sejatinya telah berandil besar terhadap kebertahanan ketidakadilan sosial-ekonomi di negeri ini. Negeri ini sungguh kehilangan tokoh-tokoh teladan yang malu dan sedih ketika dirinya hidup serba mewah, tapi di hadapannya justru serba kekurangan. Dalam konteks ini, mereka yang konon beragama, benar-benar telah hilang kesadaran dalam beragama, yang – antara lain – mengajarkan empati terhadap kalangan dlu`afa atau hak-hak pihak lain. Juga, mereka sudah mengangkangi amanat konstitusi yang dijadikan dasar negara kita.
Tampaknya, keberlimpahan fasilitas bagi para pejabat publik dan minimalitas sikap hukum, hal itu menjadi pendorong tersendiri bagi sejumlah kalangan untuk memasuki panggung politik (kekuasaan). Kondisi yang gemerlap menjadi motivasi utama memasuki panggung politik praktis, karena dinilai menjadi tangga singkat untuk menggapai sejumlah fasilitas itu. Perlu kita catat, motivasi ini – secara langsung atau tidak, dalam kadar sekecil apapun – sejatinya ikut berandil dalam proses kesenjangan sosial-ekonomi. Karena itu, sebuah tantangan tidak kecil ketika harus membangun format politik yang mampu mencegah potret “politisi busuk” sebagaimana pernah digemakan oleh Ahmad Muflih Saefuddin beberapa tahun lalu melalui kolomnya di Majalah FORUM dan Harian Republika. Tak dapat disangkal, tidak mudah untuk menghadang politisi busuk, karena sistem politik dan pemilunya – ditambah dengan tingkat kemiskinan serta pragmatisme masyarakat – membuat para pemilih demikian silau dengan dana yang ditebarkan di mana-mana oleh para calon wakil rakyat atau calon pemimpin, termasuk pada saat-saat terakhir (serangan fajar).
Bekal Untuk Semua Kader PBB
Kausalitas masalah yang akhirnya mengakibatkan performa kemiskinan rakyat kian bertahan hingga kini haruslah dilihat dan dipelajari dengan cermat, terutama dari sejumlah aspek makronya. Hal ini merupakan sikap empatinya terhadap kaum dlu`afa. Karena itu, semua kader PBB haruslah well-inform terhadap persoalan apapun yang mengakibatkan kemiskinan itu. Kita semua haruslah cerdas dalam mencermati aneka kebijakan baik pusat atapun daerah kemudian mengkritisinya, bahkan menyakapi secara jelas dan tegas. Jika perlu, para kader PBB harus menjadi inisiator dalam menggulirkan informasi di berbagai forum terbuka ataupun forum tertutup.
Dan yang jauh lebih penting, kader kita – terutama yang berposisi sebagai anggota dan atau pimpinan DPRD – harus lebih kritis dalam menyikapi regulasi daerah yang berpotensi mengeksploitir potensi ekonomi daerahnya secara tanpa batas atau berlebihan. Mereka harus mampu menghitung bagaimana dampak ekosistemnya bagi lingkungan dari diterbitkannya kebijakan investasi di daerahnya. Bahkan, juga harus menghitung, apa manfaat riilnya bagi ekonomi masyarakat daerahnya. Dan yang lebih menyempit lagi, bagaimana dana corporate social-responsibility, sebagai komitmen perusahaan atau industri terhadap penduduk sekitarnya. Hal ini terkait dengan hak-hak dasar masyarakat yang berada di wilayah industri itu dan itu harus sampai ke tangan setiap individu, bukan hanya kepala suku atau orang-orang tertentu sebagai pimpinan kelompoknya.
Karena itu, ada baiknya seluruh kader, apalagi yang kini dalam posisi sebagai pejabat publik harusnya rajin mendata sejumlah panorama masalah itu, baik secara kuantitatif ataupun kualitatif. Hal ini dimaksudkan agar komunikasi publik yang dilancarkannya berlandaskan data, tidak asal bunyi (asbun). Lebih dari itu, kita semua harus mampu menganalisanya sampai pada kerangka solusi. Langkah ini diperlukan agar kita tidak dicap “hanya mengkritik”. Sebuah etika dalam mengkritik perlu memberikan pemikiran solusi. Dan langkah ini sejatinya nasehat (taushiyah) untuk sebuah misi amar-ma`ruf dan nahi munkar. Ini berarti kita sedang menjalankan tugas menyiarkan syariah Islam. Kini, bagaimana kita semua selaku kader PBB dapat menyiarkan sejumlah catatan kritis itu, apakah secara lisan ataupun tulis. Dalam konteks dakwah itu, maka kader PBB harus mempunyai kemampuan di antara dua ragam cara itu. Selanjutnya, bagaimana membangun sistem komunikasi produktif-ekstensif.
Idealnya, masing-masing daerah (DPC-DPW), apalagi di DPP melakukan kajian kajian intensif untuk isu-isu yang sedang mengemuka (kontemporer). Kondisi ini merupkan refleksi kepedulian nyata. Akan lebih ideal lagi jika bahasannya tidak hanya sebatas wacana, tapi sampai pada agenda aksi dan terprogram. Akan sungguh atraktif jika tersuguhkan sejumlah tawaran inovatif sehingga mempunyai daya tarik karena – secara ekonomi – dapat dirasakan manfaatnya. Karya nyata ini menjadi penting – antara lain – pertama, untuk membuktikan kepada publik bahwa politik bukan hanya bicara kekuasaan, tapi juga memberikan manfaat langsung yang kini ditunggu publik. Kedua, membangun komunikasi dan atau silaturahim yang lebih intensif, baik secara langsung ataupun tidak langsung, sehingga terjadi kedekatan hubungan secara emosional. Kondisi ini sesungguhnya merupakan modalitas sosial yang sungguh berguna sebagai modal politik nanti, terutama ketika tergelar pemilu atau pilkada.
Akan jauh lebih ideal, jika seluruh kader PBB tidak hanya da`wah billisan atau bilkitabah, tapi juga da`wah bilhal. Harus kita sadari, sekarang ini masalah keteladanan menjadi persoalan serius. Karena itu, sungguh konstruktif maknanya jika kader-kader PBB di manapun mampu menunjukkan suri tauladan yang baik. Mengenang Rasulullah yang demikian sukses dalam berdakwah, di antara faktor yang cukup menentukan adalah menunjukkan keteladanan yang baik (uswatun hasanah) dalam berbagai sisi kehidupan dan kepemimpiannya. Keteladanannya – di satu sisi – menjadikan para pengikutnya kian hormat dan rela mengikuti apa yang diserukan. Sementara, bagi yang belum memasuki Islam saat itu, banyak juga yang terpesona dengan akhlaknya yang demikian mulia. Keterpesonaannya menjadi catatan faktual tentang masuknya sejumlah kalangan mengikuti agama Muhammad SAW.
Dalam konteks kepartaian, sunguh relevan bagi kita selaku kader PBB untuk meniru keteladanan Rasulullah. Arahnya – di satu sisi – untuk misi dakwah itu sendiri. Di sisi lain, agar begitu terpesona terhadap PBB dan akhirnya menjadi penguat barisan Bulan Bintang ini. Inilah dimensi strategis da`wah bilhal yang harus menjadi satu-kesatuan dalam menjalankan misi partai. Karenanya, tidaklah berlebihan bagi partai pengusung syariah Islam ini sangat memperhatikan perilaku kader agar senantiasa dalam garis-garis akhlak mulia. Dan menjadi relevan pula bagi para pimpinan partai jika bersikap tidak mentolelir jika kader berperilaku a moral. Komitmen moralistik ini merupakan pijakan dasar kita dalam bersyariah.
The last but not least, seluruh kader PBB perlu merekonstruksi mind setnya bahwa memasuki kandang politik praktis merupakan bagian dari aktivitas ibadah. Sikap ini sungguh krusial dalam kerangka mencegah secara dini agar – ketika mendapat amanah sebagai pejabat publik – tetap menjalankan tugasnya untuk mengabdi atau ibadah, bukan mumpungisme lalu mencari kesempatan sebesar-besarnya untuk memperkaya diri dan akhirnya terdorong menjadi pribadi yang hedonis. Dan ketika hedonisme ini telah merasuki, maka dirinya bukan hanya lupa terhadap amanahnya (mengabdi kepada masyarakat), tapi tidak peduli lagi terhadap hak-hak rakyat yang telah memberikan suara kepda dirinya. Jika kader PBB seperti itu, maka tak ada bedanya dengan partai-partai lain yang jelas-jelas tidak mengumandangkan syariah Islam.
Sadarlah bahwa dunia hanyalah permainan. Jika ia mencintainya dan lupa diri, maka ia akan terjebak pada permainan itu. Dan permainan itu menjerumuskan (mencelakakan). Sebagai kader PBB yang mengibarkan syariah Islam, tentu tidak boleh terjebak pada tipu daya syetan itu. Karena itu, kembalikan motivasi berpolitiknya: untuk Allah dan Rasul (ibadah), bukan untuk iblis dan keturunannya. Untuk mengontrol konsistensi keberagamaannya, maka shalat, puasa, zakat bahkan haji jika mampu menjadi sarana taktis untuk memoles diri agar tetap istiqamah di jalan Allah dan Rasul (syariah). Tentu, hasil ini akan teraih jika memang dilakukan dengan penuh penghayatan dan dibuahkan dalam tindakan nyata. Dan hal ini tentu akan memberikan manfaat, bukan hanya pada dirinya yang bersangkutan, tapi juga orang lain (masyarakat). Inilah nilai lebih Islam, bukan hanya sebagai agama individual, tapi juga komunal (umat), bahkan makhluk lain sebagai sesama ciptaan Allah (makhluk) yang harus dihargai hak-haknya. Jika kita abaikan prinsip ini – katakanlah melukai apalagi merusak salah datu makhluk-Nya – sama artinya kita mendurhakai-Nya. Kecintaan terhadap makhluk lain harus diartikan sebagai wujud nyata mencintai Allah. Inilah mata-rantai yang sering tidak kita sadari, sehingga ketika kita membiarkan kerusakan lingkungan akibat kolusi tidak dilihat sebagai sikap menyakiti hak Allah yang harusnya dimuliakan. Juga, ketika kita membiarkan bahkan membangun secara sistimatis terhadap penderitaan orang lain (kemiskinan struktural) tidak dilihat sebagai sikap yang melukai Allah juga. Cara-cara berpikir dan pemahaman seperti ini haruslah disiarkan secara luas oleh para kader PBB di manapun berada, sehingga di sana akan terlihat korelasi positifnya tentang rahmatan lil`alamin dalam Islam.
Kepada teman-teman peserta Lantang III, kami harapkan mampu menyikapi semua dinamika sosial-ekonomi secara kritis dan juga mampu mencari kerangka solusi konstruktif. Jadikan seluruh panorama yang berkembang menjadi data atau masukan untuk dicerna atau i`tibar (pelajaran) yang berharga. Sikap ini haruslah diterjemahkan sebagai sikap kepedulian nyata terhadap kepentingan masyarakat luas. Tentu, cara pandangnya komprehensif (fenomena sosial dan ekonomi itu sendiri, juga kaitan politik-kekuasaan, hukum dan lainnya), termasuk dimensi keagamaan (syariah). Hal ini merupakan “warna” khas kader PBB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar