Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 06 Juni 2012

DIBAWAH NAUNGAN SYARIAT


Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam atas penutup para nabi, imam para rasul, Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, atas keluarga dan semua sahabat beliau.
Ketika kita menelusuri era kolonialisme dan imperialisme Barat atas negara-negara Islam, untuk  kembali mengenang masa pemerintahan Islam yang terukir dengan tinta emas sejarah, kita akan menemukan satu realitas objektif yang tetap dalam sejarah Islam. Realitas yang tak pernah terpengaruh oleh perubahan tempat, masa, maupun sistem pemerintahan tertentu.
Realita yang kami maksudkan adalah bahwa semua sistem pemerintahan Islam, pada saat itu, berdiri di atas syariat Islam tanpa mengenal adanya undang-undang yang lain. Walaupun tidak bisa dipungkiri, tak jarang terjadi penindasan oleh rezim yang berkuasa atau adanya penguasa yang otoriter. Tapi itu semua tidak pernah sampai pada kondisi pemaksaan azas selain Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Dengan demikian, kembali memberlakukan hukum Islam merupakan suatu kewajiban, sebagai masa depan yang pasti, dan bagaimanapun umat Muhammad tidak mungkin terlepas dari kenyataan ini. Sebab dialah inti dari agama dan episode sejarah umat Islam yang telah terpatri kuat. Umat muslim tegak di atas, dan bersatu dalam Islam. Mereka takkan menerima agama apapun sebagai pengganti. Sehingga bilapun suatu saat umat ini jauh atau dijauhkan dari nilai-nilai syariat Islam, maka pasti lambat laun ia akan kembali. Dan pada saat itu, takkan ada satu kekuatan pun yang dapat menghalanginya. Walaupun dengan tipu daya maha dahsyat. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman yang artinya : " Mareka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai". ( At-Taubah : 32 )
Inilah rahasia adanya kerinduan setiap muslim terhadap penegakan syariat Islam dimana pun mereka berada. Inilah motif di balik komitmen mereka kepada kelompok atau gerakan yang menjadikan Islam sebagai azasnya. Semua usaha menjauhkan umat dari syariatnya telah gagal. Loyalitas kaum muslimin tidak dapat digoyahkan. Karena cinta terhadap syariat Allah terpatri dalam hati setiap muslim.
Musuh-musuh Islam sangat menyadari fakta ini. Lantaran itu, dimana saja gerakan memperjuangkan penegakan syariat Islam lahir, mereka spontan akan menganggapnya sebagai ancaman dan bahaya yang menakutan. Intelijen dan peneliti akan dikerahkan untuk merumuskan strategi buat menghentikan atau memberangus. Kendati sebagian pergerakan Islam telah berusaha keras menunjukkan niat baik dan tujuan damai. Dan itu mereka tempuh dengan mengambil sikap kooperatif bahkan mengakomodasi sistem yang sekular. Namun demikian, lawan-lawan Islam akan tetap bersikap phobi dan merangkul pihak-pihak ketiga.
Realitas tersebut membuktikan bahwa umat muslim secara fitrah cenderung berpihak kepada gerakan manapun yang mengusung bendera ideologi Islam. Walaupun kekuatan politik, ekonomi, dan media massa mereka sangat terbatas; atau kekuatan mereka dibatasi dan dihapus. Umat muslim akan tetap berusaha mengambil peran besar dalam mewujudkan cita-cita mereka.
Kembali kepada ajaran Islam dengan menerapkan hukum syariat adalah hak asasi yang menjadi tuntutan setiap muslim. Karena hal tersebut adalah tuntutan keimanan mereka. Allah Ta'ala berfirman yang  artinya : " Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". (Al-Ahzaab : 36 )
Dalam ayat lain, Allah berfirman yang  artinya : Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan "Kami mendengar dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.( An-Nuur : 51 )
Akan tetapi, masih tetap saja ada kekuatan-kekuatan tersembunyi yang giat melakukan konspirasi dengan segala kapasitas yang ia miliki. Sasarannya, untuk menghalangi umat muslim mendapatkan hak asasi yang sekaligus identitas mereka: menerapkan hukum Allah dalam kehidupan.
Kelompok imperialis Barat, kubu sekular, dan media massa liberal berkoalisi dalam merusak ideologi, pemikiran, dan akhlak kaum muslimin. Demi menjauhkan mereka dari hak asasi yang semenjak lama diidam-idamkan.
Bagaimana tidak. Penerapan  syariat Islam bukan berarti hanya sibuk beribadah ritual siang-malam, atau hanya terbatas pada hukum pidana, seperti stigma yang selalu didesas-desuskan oleh musuh-musuh Islam. Akan tetapi, syariat Islam adalah sistem komprehensif yang mencakup segala sendi kehidupan, demi mewujudkan kebahagiaan dunia-akhirat bagi pemeluknya.
Syariat Islam menjaga secara selaras antara hak pribadi dan masyarakat. Dia  menjadi tolak ukur dalam membentuk pribadi individu, bahkan negara. Syariat adalah jaminan sesungguhnya untuk dapat melindungi hak dan kebebasan setiap individu. Syariat menjaga harga diri, harta benda, serta darah dari segala bentuk penindasan. Syariat juga penjamin tegaknya negara yang adil, yang berdiri di atas kasih sayang dan iman. Dengan itu, dia akan membawa kepada kebangkitan dan kekuatan Islam, serta mengembalikan keagungan peradaban Islam yang sejak sekian lama dirampas.
Inilah aspek yang membedakan gerakan-gerakan Islam dari gerakan lainnya di manapun. Gerakan Islam berusaha untuk mereformasi masyarakat muslim kepada kondisi semula, mengembalikan Islam sebagai kekuatan politik yang besar. Perjuangan ini perlu disyukuri, walaupun terdapat perbedaan ijtihad antara aktivis Islam. Sebab, siapa pun yang bersungguh-sungguh berusaha mengembalikan kejayaan Islam, maka ia senantiasa terpuji. Tidak ada yang dapat memberikan apresiasi yang layak bagi mereka  kecuali Allah ta'ala.
Namun, ada perubahan besar pada kerangka pikir gerakan Islam dalam gerakan reformasi, yang perlu diungkap secara jujur.
Umumnya gerakan Islam yang baru lahir dan masuk ke dalam kancah politik, menyatakan dengan tegas bahwa cita-cita utamanya adalah penerapan syariat Islam. Bahwa gerakan tersebut sungguh terpaksa terlibat dalam sistem demokrasi sebagai batu loncatan mewujudkan penegakan syariat Islam. Tak jarang pula mereka menyatakan bahwa apa yang terjadi bukan kehendak mereka. Mereka masuk demi melakukan perbaikan. Hal ini kita saksikan dengan kasat mata, berbagai kajian juga membuktikanya.
Lantas, apa yang terjadi selanjutnya?
Sebagian fungsionaris gerakan ini kemudian meyakini bahwa demokrasi yang umumnya diterapkan saat ini merupakan bagian dari ajaran Islam sejati. Berpartisipasi dalam sistem demokrasi yang ada merupakan tuntutan. Sebab, sesungguhnya ajaran Islam menjamin kebebasan bagi semua pihak selama tidak merugikan pihak lain.
Akhirnya, pemikiran politik fungsionaris gerakan itu sama saja dengan pemikiran kelompok sekular dan liberal. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai kondisi darurat, kini dipersepsikan sebagai kondisi wajar. Jika dulu demokrasi dilihat sebagai sarana untuk menegakkan syariat, sekarang demokrasi telah menjadi bagian dari syariat itu sendiri.
Perubahan pada azas sebagian gerakan Islam ini menjadikan kita khawatir. Gerakan yang pada awalnya memutuskan untuk masuk ke lembaga legislatif karena tekanan kondisi demi tegaknya syariat Islam. Namun seiring perjalanan waktu berubah, dan menjadikan perjuangan legislasi sebagai keharusan, karena ia adalah bagian dari Islam.
Penegakan dan penerapan syariat Islam merupakan modal dasar dibentuknya sebuah gerakan Islam. Saat gerakan ini bergeser dari azas ini, apapun alasannya, maka ia sesungguhnya tak punya hak lagi untuk tetap eksis. Jika perjuangannya adalah kebebasan, hak asasi, demokratisasi, persamaan, dan keadilan, sebagaimana pemahaman yang umum, maka tujuannya persis sama dengan kelompok sekular, liberal dan nasionalis. Lantas, apakah keunggulan dari gerakan Islam sehingga meyandang label Islam sedang yang lainnya tidak?
Kita semua sepakat bahwa menjamin hak asasi setiap individu masyarakt, menegakkan keadilan dan melawan sikap zhalim, merealisasikan persamaan di tengah-tengah masyarakat, membentuk pemerintahan atas dasar permusyawaratan yang penuh kasih dan keadilan, adalah tujuan penting dari syariat Islam. Sudah seharusnya terukir dalam agenda setiap dai dan aktivis muslim. Namun, penerapannya hendaklah sesuai dengan rambu-rambu Islam dan di bawah tuntunan syariat. Bukan malah memperlakukan hukum syariat sebagai subordinasi belaka dari tujuan tersebut.
Manakala obsesi seseorang hanya terbatas kepada meraih hak-hak bersifat duniawi semata, maka ia takkan bisa diharapkan berjuang menegakkan syariat Islam. Sebab, semua manusia, dengan segala ideologi dan kepentingannya, satu kata untuk mewujudkan tujuan-tujuan mulia di atas. Namun, tercapainya secuil cita-cita hukum Islam bukanlah indikasi tegaknya syariat Islam dan tidak cukup untuk membuktikan keagungan Islam.
Kita dapat memahami secara baik pernyataan sementara pihak bahwa syariat Islam belum bisa diterapkan saat ini. Disebabkan banyaknya rintangan dan hambatan. Sebaliknya, terwujudnya kebebasan sejati dan demokrasi yang kokoh akan cukup untuk mengantarkan kita kepada penegakan hukum  Islam.
Sebagian gerakan Islam memilih ambil andil dalam pemerintahan demokrasi dengan dalih menjadikannya batu loncatan untuk menerapkan syariat Islam. Mengambil sikap ini bukanlah problema kita yang sebenarnya. Karena ia merupakan hasil dari sebuah upaya ijtihad dan dapat ditolerir. Pertimbangan mashlahat dan mafsadat menjadi acuan pengambilan sikap ini.
Namun, yang menjadi problema sebenarnya adalah kekeliruan beberapa cendekiawan muslim dengan mengadopsi pemikiran sekular seperti apa adanya. Bukan untuk menjadikannya sarana penegakan syariat, bukan pula karena alasan kondisi darurat. Tapi merupakan penerimaan secara penuh terhadap pemikiran tersebut dan anggapan sebagai bagian dari ajaran syariat sebenarnya. Sehingga kebebasan tanpa batas, persamaan penuh antara muslim dan non-muslim, menjadi norma yang harus diperjuangkan dan didukung. Tulisan-tulisan dan pernyataan mereka menjadi bukti.
Kekeliruan yang terjadi adalah adanya upaya mejadikan hukum dalam kondisi darurat, yang nota bene merupakan hukum pengecualian, sebagai hukum dasar dengan dalil-dalil yang dipaksakan. Sarana dan metode yang hukumnya boleh lantaran adanya tuntutan kebutuhan, sehingga bersifat kondisional semata, berubah menjadi tujuan utama. Lantas meyakini bahwa tanpa sarana tersebut, syariat Islam tak mungkin ditegakkan.
Tak sedikit kelompok cendekiawan muslim yang arogan dengan tesis bahwa kebebasan seharusnya didahulukan sebelum penegakan syariat. Selanjutnya, setelah melalui diskusi dan debat yang panjang, mereka sampai pada keyakinan bahwa syariat berada di peringkat kedua setelah kebebasan versi liberal.
Bila memang problem yang kita hadapi berhubungan dengan kondisi darurat atau fase dakwah tertentu, maka penegakan syariat tetap tidak boleh ditempatkan di urutan kedua. Yang tepat adalah pemberlakuan hukum syariat adalah tujuan sebenarnya, sedangkan kebebasan sebagai sarananya.
Sementara pihak mungkin melihat bahwa keduanya hanya berbeda tipis, atau perbedaan semantik belaka. Tapi nyatanya perbedaan antara keduanya amat besar dan dapat menimbulkan pemahaman yang salah bagi masyarakat awam. Karena jika Saudara mengatakan kebebasanlah yang utama, berarti saudara telah menjadikan kebebasan tersebut (versi sekuler dan liberal) sebagai dasar, dan dengan kebebasan itulah syariat menjadi penting. Kemudian jika terjadi benturan kepentingan antara keduanya, syariat dapat dikesampingkan sebagaimana sebelumnya kebebasan telah memberinya tempat.
Bahkan orang awam sekalipun tidak akan lancang mengeluarkan pendapat seperti ini. Tapi sayangnya, ia justru dikemukakan oleh mereka yang mengaku sarjana muslim. Mereka meyakini dan mempromosikan kayakinan itu secara terang-terangan dan dengan percaya diri.
Bukankah syariat Islam menjamin kebebasan, maka bagaimana bisa kebebasan tersebut lebih utama daripada syariat? Pendapat ini secara tidak langsung mengandung makna bahwa Islam menentang kebebasan. Mereka mengklaim bahwa syariat menjamin kebebasan, akan tetapi mereka juga berkata bahwa kebebasan harus didahulukan atas syariat. Dua kesimpulan yang sungguh bertolak belakang.
Hanya ada dua pilihan: menyatakan bahwa kebebasan adalah hak yang dijamin dalam Islam, sehingga usaha mewujudkan kebebasan merupakan bagian dari penerapan syariat; sehingga pula mustahil mengatakan bahwa kebebasan lebih didahulukan atas Islam.
Atau menyatakan bahwa kebebasan harus didahulukan atas syariat, yang dalam kondisi seperti ini, para aktivis Islam harus berani angkat suara dan menjelaskan kepada masyarakat tentang penyimpangan pandangan ini dari segi syariat.
Secara mendasar, apa alasan di balik upaya mendahulukan kebebasan atas syariat? Tidakkah kita temukan dalam dasar dan tujuan Islam konsep yang jelas tentang kebebasan? Daripada mengusung konsep Barat dan memaksakan dalil-dalil agama untuk pembenaran, mengapa kita tidak mempromosikan syariat yang jelas-jelas menjamin hak asasi manusia serta kebebasan paripurna dalam urusan dunia dan agama.
Pertanyaan yang sama kita arahkan kepada pihak-pihak yang mengusung slogan keadilan dan persamaan. Daripada turut mengusungnya dengan alasan tidak bertentangan dengan hukum Islam, mengapa kita tidak sepakat saja dalam syariat Islam, yang dengannya semua cita-cita dan tujuan mulia tersebut dapat tercapai.
Bila problemnya berkaitan dengan fase dakwah tertentu, bukankah akan lebih baik bagi saudara-saudara kita yang berkiprah di bidang politik untuk membentuk kesadaran publik terhadap prinsip “kebertahapan dalam penerapan syariat.” Dengan kesadaran ini, kita menempatkan syariat sebagai kiblat agenda bagi semua pergerakan. Setiap fase yang kita lalui adalah anak tangga, yang pada akhirnya mengantarkan kita ke puncak cita-cita mulia.
Hal ini jauh berbeda jika kita katakan: “perjuangan kebebasan lebih dulu, menyusul kemudian perjuangan syariat.” Karena dengan berpegang pada prinsip ini, kita takkan pernah sampai kepada tujuan penegakan syariat Islam. Kita akan terpasung dalam prinsip kebebasan, sehingga selanjutnya prinsip kebebasanlah yang akan mengatur syariat, menentukan hukum-hukum yang dapat diterima dan yang tidak.
Akan sulit bagi mereka yang memperjuangkan kebebasan, sebagaimana versi Barat, untuk memutar kembali haluan perjuangan menuju penerapan syariat yang murni.
Di sisi lain, jika benar penerapan syariat secara kaffah tidak memungkinkan untuk konteks mayoritas masyarakat muslim saat ini, maka sebenarnya penerapan syariat mungkin dalam tataran ideologi dan pemikiran. Pihak manapun tidak akan bisa menghalangi ulama dan pejuang Islam yang ikhlas untuk mempromosikan pentingnya penerapan syariat Islam dan menyadarkan masyarakat tentang hak-hak yang akan mereka peroleh dengan tegaknya syariat. Peluang ini terbuka lebar bagi mereka. Tapi, kenapa hal ini luput dari perhatian banyak aktivis Islam? Kita malu bahwa kelompok-kelompok sekular dan liberal demikian getol mengkampanyekan ideologi mereka yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat. Meskipun mereka yakin bahwa usaha mereka hampir mustahil berhasil. Tapi mereka sadar bahwa kesadaran masyarakat lambat laun akan berubah seiring perjalanan waktu.
Problema lain yang kita hadapi adalah bahwa pengetahuan tentang syariat Islam yang murni, di tengah-tengah masyarakat muslim sudah mulai pudar. Pada saat yang sama, sebagian dari tokoh publik malah menawarakn potret syariat yang hanya sesuai dengan kehendak public, dengan mengesamping kan wujud syariat yang seharusnya.Tindakan ini amat berbahaya. Karena dapat menggeser persepsi masyarakat yang benar tentang syariat untuk kemudian menggantikannya dengan persepsi yang keliru. Sehingga pada era selanjutnya, meluruskan kembali kesalahan persepsi ini menjadi tugas baru yang cukup sulit. Bila pada periode awal tokoh-tokoh publik menawarkan reformasi sesuai keinginan masyarakat, maka pada periode setelahnya mereka harus bekerja meluruskan pemahaman yang telah menyimpang tersebut.
Oleh sebab itu, solusi terbaik untuk mengatasi berbagai problematika di atas adalah dengan memisahkan antara hukum asal dengan hukum darurat yang bersifat temporer.  Juga dengan menyadarkan para aktivis muslim bahwa tugas utama mereka dalam memimpin umat adalah mengarahkan mereka kepada syariat Islam yang murni, sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Mempelajari kondisi masyarakat saat ini untuk menyusun strategi yang tepat dalam dakwah. Tugas mereka bukan untuk menjustifikasi  kondisi penerapan syariat yang sedang berlangsung, atau menahan aspirasi penegakan syariat yang belum bisa diterapkan.
Mereka sah-sah saja berpegang pada ijtihad politik bergabung dengan pemerintahan yang demokratis, tapi mereka juga dituntut untuk memperbaiki pola pikir kaum muslimin. Paling tidak, janganlah mereka berhadapan secara frontal dengan aktivis lain yang sedang memperjuangkan perubahan itu. Karena membangun kembali kesadaran masyarakat akan kebutuhan mereka terhadap syariat merupakan langkah terpenting untuk tegaknya syariat Islam. Pada masa yang akan datang, masyarakat akan menuntut sendiri ditegakkannya hukum Islam, dan akan mencegah pihak-pihak yang berusaha menggagalkannya.
Adanya fakta ketidaksiapan masyarakat untuk menerima penerapan syariat Islam, dan bahwa konten dakwah yang diterima umum hanyalah untuk perkara-perkara yang disepakati bersama, sebenarnya menjadi pendorong bagi ulama dan praktisi dakwah untuk lebih gigih dalam memperbaiki kondisi keimanan, prilaku, dan pola pikir masyarakat. Dengan menanamkan nilai-nilai keagungan Allah dan Rasul-Nya ke dalam hati mereka, membina ibadah, mu'amalah, dan akhlak mereka sesuai dengan tuntunan Islam. Dengan demikian, mereka kelak akan berpegang teguh kepada syariat Islam dan akan lebih antusias memperjuangkannya.
Langkah ini jauh lebih baik daripada harus menyerah kepada kondisi yang ada dan menunda perjuangan sampai kondisi masyarakat telah benar-benar berubah. Dengan menanamkan pemahaman syariat yang benar kepada masyarakat, sedikit banyaknya membantu kita mengkonter segala bentuk peyimpangan maupun penafsiran batil terhadap dasar-dasar syariat. Agenda dakwah saat ini adalah mengarahkan masyarakat menuju syariat, bukan malah menyitir syariat agar sesuai dengan selera masyarakat.
Ini adalah seruan dan harapan bagi kita, saudara-saudara seperjuangan, dan seluruh kaum muslimin untuk menuntut kembali penegakan syariat Islam dalam setiap sendi kehidupan. Ini adalah seruan iman dari lubuk hati yang paling dalam. Ia adalah buah manisnya iman, dengan tujuan melaksanakan kehendak Allah demi menggapai ridha-Nya, yang merupakan kewajiban kita semua. Ini bukanlah kampanye ala partai politik demi dukungan segelintir orang untuk cita-cita rendah dan semu, bukan pula yel-yel politik demi meraup suara dalam pemilu untuk tujuan jangka pendek pribadi, apalagi sekadar resolusi untuk memancing kekuatan di Timur dan di Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar